UNTUK mengatahui lebih lanjut tentang permasalahan ini, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu landasan hukum syariat bagi perkara ini. Dalil untuk perkara ini adalah hadits Sahal bin Sad As-Saidi radhiyallahu anhu. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa salam seraya mengatakan:
“Wahai Rasulullah, aku serahkan diriku untukmu,” maksudnya untuk dinikahi. Rasulullah shallallahu alaihi wa salam pun melihat perempuan tersebut dari atas sampai ke bawah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa salam tunduk dan diam.
Karena melihat seolah Rasulullah tidak menginginkannya berdirilah seorang sahabat seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak menginginkannya, nikahkanlah ia denganku!”
Rasulullah bertanya: “apakah engkau memiliki sesuatu (untuk mahar)?”
“Tidak,” jawabnya.
“Pulanglah, cari sesuatu di rumahmu untuk dijadikan mahar!”
Ketika kembali, dia mengatakan: “Tidak ada wahai Rasulullah”.
“Kembali! Dan cari sesuatu meskipun itu adalah cincin besi!”.
Sekembalinya, dia mengatakan lagi: “Tidak ada juga wahai Rasulullah, meskipun itu berupa cincin besi. Namun ini sarungku, dia bisa memiliki setengahnya.”
Sahal radhiyallahu anhu menuturkan bahwa orang tersebut tidak memiliki rida, pakaian yang sering dikenakan orang Arab pada waktu itu adalah rida dan sarung. Pada saat ini pakaian tersebut kita kenal dengan pakaian ihram orang yang menunaikan haji. Terdiri dari dua helai kain, bagian atas dinamakan rida dan bagian bawah dinamakan izar atau sarung. Jika orang tersebut tidak memiliki rida, artinya tubuh bagian atas orang tersebut tersingkap. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut benar-benar sangat miskin. Dan maksud perkataan “Dia bisa memiliki setengahnya” adalah hari ini dia yang memakai, dan esok istrinya yang memakai.
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam pun mengatakan: “Apa yang bisa kau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya istrimu tidak bisa memanfaatkannya. Namun jika istrimu nanti memakainya, kamu tidak berpakaian apa-apa.”
Setelah lama menanti dan tidak ada jawaban dari Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Orang tersebut pun pergi. Seolah-olah beliau telah putus asa. Ketika melihatnya telah pergi, Rasulullah pun memanggilnya kemudian bertanya: “Apa saja surah Alquran yang kamu hafal?”.
Saya hafal surah ini, ini, dan ini. Beliau pun menyebutkan beberapa surah Alquran yang dihafalnya.
Rasulullah berkata kepadanya: “Pergilah!, aku telah menjadikan wanita ini milikmu, dengan hafalan yang engkau miliki.”
Tafsir Hadits
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka. Sebenarnya ada banyak faedah dan permasalahan fikih yang perlu pembahasan lebih luas dari kisah tersebut. Namun sesuai judul tulisan ini, yang kita bahas adalah apa maksud mahar dengan hafalan Alquran? Apakah benar, sebagaimana yang diyakini banyak orang bahwa mahar hafalan cukup dengan membacakannya saja untuk istri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan kembali sabda Nabi shallallahu alaihi wa salam yang artinya “dengan hafalan yang kamu miliki”. Ada dua tafsiran untuk perkataan tersebut:
Yang pertama: dengan hafalan yang kamu ajarkan untuk istrimu.
Yang kedua: karena hafalan yang kamu miliki.
Kedua tafsiran ini dipaparkan oleh Al-Qadhi Iyadh rahimahullah sebagaimana dinukilkan Syaikhul Islam Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. Kedua tafsiran ini masing-masing memiliki hujjah dan penguat.
Berdasarkan tafsiran yang pertama, kewajiban seorang suami untuk menunaikan maharnya adalah dengan mengajarkan Alquran yang dihafalnya kepada istrinya. Jadi, ketika seorang akhwat meminta mahar dari calon suaminya berupa hafalan surah Ar-Rahman misalkan. Suaminya harus mengajarkan surah Ar-Rahman tersebut kepada istrinya. Tajwidnya, tafsirnya, dan faedah-faddah yang terkandung di dalamnya. Jika suaminya tidak mampu, minimal suaminya mengajarkan kepada sang istri agar sang istri bisa menghafal sebagaimana suaminya menghafal surah tersebut atau bisa membaca surah tersebut. Yang jelas harus ada pengajaran di situ, meskipun pengajaran dalam bentuk yang sangat sederhana.
Adapun tafsiran yang kedua, cukup suami menghafalkan surah itu saja. Maka itu sudah menjadi mahar. Ini merupakan penghormatan bagi mereka yang menghafal Quran. Kewajiban suami adalah membuktikan bahwa dia telah menghafalnya dengan membacakannya di hadapan istrinya. Boleh ketika akad atau setelah akad. Tafsiran kedua inilah yang sering dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Manakah di antara kedua tafsiran tersebut yang benar? Yang paling mendekati kebenaran adalah tafsiran yang pertama. Bahwa maksudnya mahar dengan hafalan adalah pengajaran surah yang dihafalnya untuk istrinya. Bukan sekadar membacakan atau menyetorkan hafalan saja. Tafsiran inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Mengapa tafsiran pertama yang lebih benar? Berikut penjelasannya:
1. Tafsiran pertama dijelaskan pada hadits Sahal bin Sad dari jalur Zaidah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Kisahnya sama, namun riwayat dari jalur Zaidah redaksinya:
“Pergilah!, telah aku nikahkan engkau dengannya, dan ajarkan dia (surah-surah yang kamu hafal) dari Alquran!”
Berdasarkan kaidah yang disepakati oleh ahli hadits bahwasanya apabila terdapat perbedaan redaksi dalam riwayat yang sama, dan sumbernya pun sama. Dan perbedaan tersebut tidak bertentangan, maka antara redaksi satu sama lain saling menafsirkan. Ditambah lagi Zaidah bin Qudamah adalah seorang perawi yang tsiqah, maka riwayatnya pun layak diterima sebagai tafsiran bagi riwayat lainnya. Inilah yang dilakukan oleh para ulama ahli hadits. Ketika memaknai sebuah hadits tidak cukup bagi mereka melihat artinya menurut bahasa saja. Namun mereka mengumpulkan seluruh riwayat yang ada. Setelah terkumpul, di situlah akan diketahui makna suatu hadits.
2. Tafsiran pertama memiliki penguat dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya, yang redaksinya:
“Berdirilah!, ajarkan dia dua puluh ayat!, dan dia telah menjadi istrimu.”
3. Berdasarkan tafsiran pertama, sang istri mendapatkan manfaat yaitu pengajaran Quran. Sang istri bisa tau tajwid yang benar, bisa mengetahui faidah dan ajaran yang terkandung di dalam hafalan suaminya. Akan lebih bersyukur lagi jika sang istri bisa menghafal sebagaimana suaminya telah menghafal ayat tersebut. Inilah mahar dengan pengajaran dimana ada manfaat yang bisa diraih sang istri.
Pendapat ini juga yang dipegang mazhab Syafiiyah [Lihat Al-Bayan fi Mazhabil Imam Asy-Syafii 9/374].
Pengajaran tersebut layaknya seperti jasa. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa alaihissalam ketika menikah dengan putri Nabi Syuaib alaihissalam. Mahar yang diberikan adalah jasa bekerja kepada Nabi Syuaib alaihissalam selama delapan tahun. Kisah ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:
Nabi Syuaib berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini, dengan mahar kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu melengkapi sampai sepuluh tahun, itu terserah padamu. Aku tidak ingin membebanimu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang shalih”. [Al-Qashash: 27]
4. Adapun tafsiran kedua, penguatnya adalah pemaknaan dari sisi bahasa. Pemegang pendapat ini mengatakan bahwa (Ba) di dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa salam: bima maaka minal Quran bermakna “karena” bukan bermakna “dengan”. Jadi artinya sebagaimana berikut: “aku nikahkan engkau dengannya karena hafalan yang kamu miliki” bukan “dengan hafalan yang kamu miliki”.
5. Berdasarkan tafsiran kedua, sang istri tidak mendapatkan manfaat apapun. Sang istri hanya mendengar suaminya membaca Alquran yang dihafalkannya saja. Meskipun ada yang mengatakan, mendengar bacaan Quran itu merupakan suatu manfaat. Namun, jika dibandingkan dengan pengajaran, berapa manfaat yang bisa dirah sang istri? Sang istri berhak mendapatkan itu. Karena mahar adalah hak sang istri.
6. Ada penguat lain bagi tafsiran kedua dari hadits Ummu Sulaim radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Imam Nasai rahimahullah. Bahwa ketika Abu Thalhah radhiyallahu anhu meminang Ummu Sulaim, Ummu Sulaim meminta maharnya berupa keislaman Abu Thalhah. Karena pada saat itu Abu Thalhah masih kafir. Di sini Ummu Sulaim tidak mendapat manfaat apa-apa. Jawabannya adalah bahkan Ummu Sulaim mendapat manfaat dengan keislaman Abu Thalhah. Karena dengan keislamannya dia bisa menikahi Ummu Sulaim. Hal ini karena seorang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah. Dan bagi mereka yang menafsirkan kisah Sahal dengan kisah Ummu Sulaim sanggahannya adalah penafsiran tersebut kurang tepat. Untuk apa mereka jauh-jauh mencari penafsiran dari kisah yang berbeda? Sedangkan dalam kisah yang sama sudah ditafsirkan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kesimpulannya, tafsiran pertamalah yang lebih benar. Maka bagi ikhwan yang belum menikah, apabila calon istrinya nanti meminta mahar berupa hafalan surah tertentu. Jelaskan pada mereka bahwa yang dimaksud dengan mahar hafalan adalah mengajarkannya bukan menyetorkan hafalan. Wal Ilmu inda Allah. []