Apakah Perintah Mengeraskan Suara Adzan Harus Memakai TOA?

Sejak pertama kali ditemukannya teknologi mutakhir dengan Branding TOA, hingga saat ini ia menjadi branding terkenal di seluruh dunia dan media pengeras suara yang paling banyak diminati. Baik untuk hal-hal yang bersifat hiburan maupun yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan seperti adzan bagi umat Islam.

Dalam ajaran agama Islam ada hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan.

Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id al Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah pedalaman (Badui). Maka bila kamu sedang (menggembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalaman lalu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suara adzanmu. Sebab, sungguh, tidaklah jin, manusia dan makhluk apapun yang mendengar ujung suara muadzin kecuali menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat”. Abu Sa’id al Khudri berkata, “Seperti ini yang aku dengan dari Rasulullah”. (HR. Bukhari).

Kita sepakat bahwa saat itu belum ada pengeras speaker atau TOA. Namun, hadis di atas sangat jelas menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan. Dengan demikian, penggunaan TOA sebagai media untuk membantu suara muadzin supaya lebih nyaring tentu sesuai dengan konteks hadis di atas. Dengan kata lain, penggunaan TOA untuk kumandang adzan adalah boleh.

Tetapi, dalam relasi kehidupan yang beragam tentu ada hal-hal yang harus diperhatikan supaya satu dengan yang lain tidak saling mengganggu. Sebab dalam Islam juga diatur tentang keharusan menjaga hubungan baik dengan tetangga. Tidak boleh saling mengganggu apalagi menyakiti.

Untuk itu, memahami hadis Nabi di atas harus dibaca secara kompleks. Maka, pertanyaannya adalah, apakah anjuran mengeraskan suara adzan boleh dengan suara yang sangat keras, sekeras-kerasnya, atau ada batasnya?

Dalam fikih klasik, seperti ditulis oleh Syaikh Zainuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in dijelaskan, disunnahkan mengeraskan suara adzan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat didengar oleh dirinya. Sementara adzan untuk shalat berjamaah sunnah dinyaringkan sampai salah seorang dari mereka mendengar suara adzan tersebut.

Abu Bakr Syatha dalam kitabnya I’anatu al Thalibin yang mensyarahi kitab Fathul Mu’in menjelaskan lebih lanjut, muadzin yang mengumandangkan adzan untuk shalat berjamaah disyaratkan harus didengar minimal oleh satu orang jamaah, dan disunnahkan mengeraskan suaranya sampai didengar oleh lebih dari satu orang jamaah.

Penjelasan ini menjadi penegasan bahwa mengeraskan volume adzan ada batasnya. Tidak boleh terlalu keras sehingga mengganggu orang lain, khususnya yang non muslim. Ukuran mengganggu dan tidaknya didasarkan pada kondisi disekitar. Apabila mayoritas muslim tentu no problem dengan penggunaan TOA dengan volume yang nyaring. Sedangkan dalam suatu daerah yang dihuni oleh penganut beragam agama, maka harus memperhatikan keadaban supaya jangan sampai mengganggu, apalagi membuat resah.

Hal ini sebenarnya bukan hanya untuk adzan, tetapi juga acara hiburan dan sebagainya yang menggunakan TOA harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. Karena, keimanan itu tidak sempurna kalau tetangga masih belum aman dari mulut kita, tangan kita, juga suara kita, termasuk TOA yang kita bunyikan.

ISLAM KAFFAH