Istimewanya Ibadah Muhasabah

Muhasabah merupakan ibadah yang agung dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, banyak orang meninggalkannya. Muhasabah berasal dari kata hasaba- yuhasibu- muhasabatan yang berarti “menghitung”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muhasabah diartikan sebagai introspeksi diri”.

Syekh Munajjid hafizhahullah menjelaskan bahwa muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan. (A’malul Qulub, hal. 362)

Muhasabah merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Hasyr: 18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. (HR. Tirmidzi)

Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat Amalul Qulub, hal. 363-364)

Perlu kita ketahui bahwa muhasabah mempunyai keistimewaan (keutamaan) yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan lainnya.

Muhasabah: Ibadahnya orang-orang pilihan

Hanya orang yang diberikan hidayah yang bisa melakukan amal muhasabah ini. Mayoritas amal ibadah bisa jadi ada motivasi unsur duniawi, seperti doa, ikhtiar, dan tawakal, karena ingin dicukupkan rezekinya; atau sedekah dan salat karena ada niatan agar terlihat dermawan dan saleh. Sedangkan amal muhasabah ini sangat kecil kemungkinan ada unsur duniawinya karena hanya dia dan Allahlah yang mengetahui kondisi hati.

Allah Ta’ala berfirman,

بَلِ ٱلْإِنسَٰنُ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ بَصِيرَةٌ

“Bahkan, manusia itu menjadi saksi (mengerti) atas dirinya sendiri.” (QS. Al-Qiyamah: 14)

Muhasabah: Dilakukan saat orang lain sedang lalai

Kebanyakan orang melakukan muhasabah ketika malam hari dalam kondisi yang sepi. Dan malam hari banyak digunakan manusia untuk tidur dan lalai melakukan ketaatan. Padahal, ibadah yang dilakukan saat mayoritas orang sedang lalai memiliki keutamaan yang besar.

Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memperbanyak puasa di bulan Sya’ban di mana banyak orang lalai berpuasa saat itu.

Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh Usamah bin Zaid,

عن أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Aku bertanya pada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, aku tak melihat engkau berpuasa dalam sebulan sebagaimana engkau lakukan di bulan Syaban.’Rasulullah menjawab, ‘Bulan itu (Syaban) adalah bulan yang banyak orang lalai darinya, karena berada di antara bulan Rajab dan Ramadan. Pada bulan Syaban, amalan diangkat kepada hadirat Allah, maka aku ingin amalanku diangkat selagi aku sedang berpuasa.’ (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Bahkan, salat sunah yang paling utama adalah salat yang dilakukan pada malam hari karena banyak manusia lalai dari beribadah dan sedang terlelap tidur.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ

Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam. (HR. Muslim)

Belajar menghisab diri

Kita hidup berjalan terus menuju kematian, tak pernah berhenti, bahkan tak akan bisa mundur kembali.

Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu berkata,

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (kelak pada hari kiamat).

Seseorang yang senantiasa mengintropeksi dirinya di dunia, maka ia akan tahu amal buruk mana yang harus ditinggalkan dan amal kebaikan apa yang harus dipertahankan, sehingga akan mempermudah hisab (timbangan) di hari kiamat nanti.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86658-ibadah-muhasabah.html

Muhasabah Diri

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan.

Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.

Akhir tahun kerap menjadi momentum untuk berbenah diri. Evaluasi, introspeksi dan resolusi pun disusun demi meraih pencapaian terbaik pada tahun berikutnya.

Islam mengenal konsep muhasabah yang tidak menunggu masa tahunan. Upaya menghitung diri bisa dilakukan setiap hari sesuai dengan firman Allah SWT. 

Yaa ayyuhalladzii naamanuttaqullaha wal tanzhur nafsun ma qadda mat lighad. Wattaqullah. Innallaha khabirun bimaa ta’malun.” (QS al-Hasyr: 18). Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah (dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya), dan hendaklah setiap diri melihat dan memperhatikan apa yang telah dilakukan (dari amal-amalnya) untuk hari esok (hari Akhirat). dan (sekali lagi diingatkan) bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti akan segala yang kamu kerjakan.”

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT memberi perintah takwa hingga dua kali. Dua perintah tersebut mengapit imbauan agar kita memperhatikan segenap amal yang sudah diperbuat.

Takwa yang pertama, ujar Quraish, berada dalam konteks ajakan kepada kaum Muslimin agar tidak bernasib seperti orang Yahudi dan munafik yang mendapatkan siksa duniawi dan ukhrawi. Karena itu, kita diminta bertakwa agar terhindar dari siksa Allah baik dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Perintah takwa kedua didorong rasa malu atau untuk meninggalkan amalan negatif. Hal ini tampak jelas dari kalimat, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliputi pengetahuan-Nya akan segala yang kamu kerjakan.”

Quraish menjelaskan,  perintah untuk memperhatikan apa yang diperbuat untuk hari esok merupakan  perintah untuk melakukan evaluasi terhadap segenap amal yang telah dilakukan. Analoginya bak seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya.

Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik atau memperbaikinya bila masih ada kekurangan. Jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan karena barang tersebut sudah tampil sempurna. Demikian dengan setiap mukmin yang dituntut untuk terus menjadi lebih baik.

Para ulama menjelaskan, ada tiga dimensi waktu pada ayat tersebut. Pertama, masa sekarang dan yang akan datang dalam kalimat wal tanzhur. Karena itu, ayat tersebut bisa dimaknai hendaknya setiap jiwa itu dalam keadaan terus menerus memperhatikan apa yang telah dia lakukan.

Dimensi kedua yakni masa lalu. Apa yang telah dia lakukan. Sementara itu, dimensi berikutnya adalah masa depan (lighadin) yang dimaknai sebagai akhirat.  Karena itu, kita diminta untuk mengevaluasi perbuatan pada masa lalu dengan fokus terhadap amal-amal yang sedang kita lakukan sebagai inventarisasi dan pertanggungjawaban pada tak hanya hari esok tetapi sampai kepada akhirat.

Muhasabah berasal dari kata bahasa Arab hasaba-yahsubu-hisaban yang berarti menghitung. Dalam sebuah kesempatan, Umar bin al-Khattab berpesan untuk senantiasa melakukan perhitungan diri dengan perkataan yang artinya: “Perhitungkan dirimu sebelum kamu diperhitungkan dan timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk pameran yang paling besar.”

Sebagian ulama menyatakan bahwa muhasabah diri adalah kesiapan akal untuk menjaga dirinya dari perbuatan khianat dan senantiasa bertanya dalam setiap perbuatan yang dia lakukan, “Mengapa dia melakukannya dan untuk siapa dia lakukan?”

Apabila ternyata perbuatannya itu karena Allah, maka dia melanjutkannya. Namun bila dia berbuat karena selain Allah maka segera dia menghentikannya, dan menyalahkan dirinya atas kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan apabila seorang hamba telah memberikan persyaratan kepada dirinya dalam melaksanakan kebenaran pada pagi harinya dan waktu sore, dia hendaknya menuntut dirinya dan menghisabnya atas segala gerak dan diamnya.

Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan para pedagang terhadap barang dagangannya setiap akhir tahun, atau akhir bulan, bahkan setiap hari. Demikian besarnya harapan untuk memperoleh keuntungan dan takut mengalami kerugian sehingga perjalanan waktu terasa amat cepat dan singkat.

Kapan waktu yang tepat untuk memuhasabah diri? Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, betapa besar manfaat seseorang untuk duduk sebentar sesaat sebelum tidur untuk memuhasabah diri.

Dia bisa melihat apa yang dialami pada hari itu, apakah keuntungan dan kerugian. Dia memperbaharui taubat nasuha antara dirinya dengan Allah SWT. Kemudian, dia tidur dengan tobatnya dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa saat terjaga nanti.

Jika amalan ini dilakukan setiap malam, Ibnu Qayyim menjelaskan, seseorang yang mati dalam kondisi demikian, maka ia mati dalam keadaan tobat. Jika terjaga, maka dia berada dalam kondisi siap beramal dan bergembira karena ajalnya ditangguhkan. Dia pun bisa menghadap keharibaan Tuhannya dan memperbaiki kekurangannya.

Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

KHAZANAH REPUBLIKA

Pergantian Tahun Bagi Orang Beriman adalah Momentum Introspeksi Diri

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pengembangan Seni Budaya dan Peradaban Islam, Ustaz Jeje Zaenudin, mengatakan, pergantian tahun bagi siapapun tentu memiliki makna yang penting. Sebagaimana makna penting dari waktu itu sendiri. Karena pergantian tahun hakikatnya adalah pergantian waktu kehidupan dalam rentang satu tahun yaitu siklus dua belas bulan.

“Bagi orang beriman bergantinya tahun berarti peringatan bahwa jatah umurnya di dunia telah berkurang satu tahun,” kata Ustaz Jeje kepada Republika, Selasa (28/12).

Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) ini mengatakan, oleh sebab itu pergantian waktu seharusnya disikapi dengan muhasabah diri, mengevaluasi perjalanan hidup dalam setahun. Semua patut bersyukur jika dalam setahun yang dilalui dapat mengukir prestasi amal soleh lebih banyak dari kesalahan dan dosa.

Ia menambahkan, sebaliknya jika nihil prestasi amal soleh dalam satu tahun yang lalu, sepatutnya bersedih  dan menyesal telah menyia-nyiakan waktu yang sangat mahal itu. Di samping itu waktu yang telah digunakan itu harus dipertanggungjawabkan kepada  Zat pemilik waktu itu pada hari akhirat nanti.

“Patut disayangkan jika setiap momen pergantian waktu satu tahun, yang terpikir banyak orang hanya masalah perayaan, pesta, dan kegembiraan-kegembiraan lainnya yang hampa dari evaluasi diri. Padahal sejatinya kita tidak layak bergembira apalagi berpesta pora menyongsong pergantian tahun, manakala kita minim prestasi hidup bahkan sebaliknya bergelimang dengan dosa,” ujarnya.

Ustaz Jeje menegaskan, patutkah manusia merayakan kegembiraan atas berkurangnya jatah hidup dan semakin dekatnya ajal atau kematian. Maka mengajak kepada semuanya, mari jadikan pergantian tahun ini sebagai momentum evaluasi diri untuk memperbaiki kualitas hidup sebagai pribadi, kekuarga, umat, maupun sebagai bangsa.

Ia mengatakan, berbagai kesalahan, kekurangan, dosa  dan kemaksiyatan yang dilakukan sepanjang tahun 2021, perbaiki pada tahun 2022 ini. Supaya tidak mengulang-ulang kesalahan dan kekeliruan di tahun depan.

“Cukup sudah segala penderitaan, musibah dan malapetaka yang menimpa kita sepanjang tahun 2021 menjadi pelajaran yang berharga bagi kita untuk lebih bersyukur atas segala karunia, bersabar dalam mengatasi segala cobaan, serta bekerja keras dalam mewujudkan kebajikan hidup di antara sesama umat manusia,” kata Ustaz Jeje.

IHRAM

Sudahkah Kita Muhasabah?

Salah satu amalan yang hendaknya kita lakukan dalam setiap hari-hari kita adalah memperbanyak muhasabah diri. Muhasabah artinya memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan. (A’maalul Quluub, hal. 362)

Perintah agar setiap hamba selalu muhasabah

Allah Ta’ala memerintahkan setiap hamba untuk muhasabah terhadap dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَوَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr: 18-19).

Ayat ini merupakan ayat yang merupakan landasan pokok bagi hamba untuk senantiasa muhasabah terhadap amal perbuatannya.

Terdapat pula hadis yang menunjukkan disyariatkannya muhasabah. Dari sahabat Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian” (HR Tirmidzi, hasan).

Al ‘Izz bin Abdis Sallaam rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya” (Lihat A’maalul Quluub, hal. 363-364).

Bentuk-Bentuk Muhasabah

Pertama. Muhasabah terhadap amal-amal yang wajib. Melakukan kewajiban syariat lebih tinggi kedudukannya daripada meninggalkan keharaman, karena melaksanakan kewajiban adalah tujuan pokok. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba memulai muhasabah dengan memperhatikan amal-amal wajib. Jika melihat ada kekurangan, maka dia segera memperbaiknya. Bisa dengan mengulanginya jika memang diperlukan atau menambah dengan amal-amal sunnah penyertanya. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Muhasabah jiwa yang pertama kali dilakukan adalah tentang amal kewajiban. Jika ada yang kurang dalam penunaiannya, maka hendaknya dia mengulanginya atau memperbaikinya.”

Kedua. Muhasabah terhadap perkara keharaman yang dilarang syariat. Apakah kita masih melakukannya? Jika masih terjerumus riba, maka harus membersihkan dan meninggalkannya. Jika masih mengambil hak orang lain, segera kembalikan. Jika pernah menggunjing orang lain, merendahkan, atau menghinanya, maka segera minta maaf dan mendoakan kebaikan untuknya. Jika berbuat kemaksiatan lain semisal minum khamr atau melihat aurat wanita, maka wajib bertaubat dengan menyesalinya. Juga bertekad untuk tidak mengulanginya, disertai dengan memperbanyak amal dengan harapan menghapus dosanya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Hud: 114).

Ketiga. Muhasabah dari perbuatan yang melalaikan. Hendaknya kita introspeksi diri, apakah masih sibuk dengan banyak hal melalaikan seperti berbagai tontonan dan permainan (meskipun itu bukan keharaman)? Hendaknya kita banyak mengisi waktu kita dengan berzikir dan beribadah, serta amal ketaatan lainnya.

Keempat. Muhasabah terhadap perbuatan anggota badan. Apa yang kita lakukan dengan kedua kaki kita, tangan kita, telinga kita, mata kita, dan juga lisan kita? Hendaknya kita memperbaikinya dengan menggunakan semua anggota badan kita dalam ketaatan kepada Allah dan meninggalkan berbagai kemaksiatan.

Kelima. Muhasabah terhadap niat. Apa yang kita inginkan dengan amal kita? Apa yang ada dalam niat kita? Sudah seharusnya kita secara khusus muhasabah terhadap niat yang ada dalam hati, karena betapa berat dan susahnya muhasabah tentang niat ini. Hati ini sangat mudah berbolak-balik, sehingga perlu kesungguhan dan butuh diulang-ulang terus untuk memperbaikinya (Lihat A’maalul Quluub, hal. 383-384).

Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat dan menjadi renungan bagi kita semua. Sudahkah kita muhasabah?? Marilah memperbanyak muhasabah dalam kehidupan hari-hari kita. Wallahu muwaffiq ilaa aqwamit thariq.

***

Penyusun : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Perlu Muhasabah Diri?

Pertanyaan di atas mungkin banyak menghampiri benak seorang muslim, ada di antara mereka yang memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan dunianya tanpa memikirkan apa yang akan menjadi bekalnya di akhirat. Ada pula yang beribadah sebagaimana apa yang Allah perintahkan, namun ibadahnya hanyalah sebagai rutinitas. Mereka shalat lima waktu setiap harinya, berpuasa dan mengeluarkan zakat setiap tahunnya akan tetapi semua itu tidak berdampak pada akhlak dan pribadinya, maksiat pun terkadang masih dilakukan. Motivasi untuk memperbaiki amalan-amalan yang ada tak kunjung hadir, penyebabnya satu karena melupakan muhasabah diri sehingga orang-orang seperti ini sudah merasa cukup dengan amalan yang telah dilakukan. Di sinilah pentingya muhasabah, ada beberapa hal lainnya yang menjadi alasan kenapa muhasabah perlu dilakukan, diantaranya:

1. Muhasabah merupakan perintah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

2. Muhasabah merupakan sifat hamba Allah yang bertaqwa

Seseorang yang bertaqwa adalah mereka yang membawa sebaik-baik bekal, dan dalam perjalanan mencari bekal tersebut tak jarang seseorang merasa lelah dan bosan yang mengakibatkannya tak mawas diri sehingga tergelincir dan terjatuh dalam futur (lemah semangat untuk melakukan amal shalih). Muhasabah akan membantu seseorang untuk menghadapi berbagai rintangan yang ia temukan dalam pencariannya akan bekal tersebut. Maimun bin Mahran rahimahullah berkata:

لَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدُّ مُحَاسَبَةً مِنَ الشَّرِيْكِ الشَّحِيْحِ لِشَرِيْكِهِ

“Tidaklah seorang hamba menjadi bertaqwa sampai dia melakukan muhasabah atas dirinya lebih keras daripada seorang teman kerja yang pelit yang membuat perhitungan dengan temannya”.

3. Buah manis dari muhasabah adalah taubat

Ketika seseorang melakukan muhasabah maka akan tampak jelas di hadapannya atas dosa-dosa yang dilakukan. Bagaimana mungkin seorang anak cucu Adam dapat melihat dosa dan aibnya tanpa melakukan muhasabah?!

Banyak di antara manusia yang melakukan kemaksiatan, namun Allah masih memberikan nikmat kepadanya, dia tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk istidraj (penangguhan menuju kebinasaan) dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf: 182).

Orang-orang yang memahami ayat Allah ini, akan takut atas peringatan Allah tersebut dan dia akan senantiasa mengintrospeksi dirinya, jangan sampai nikmat yang Allah berikan kepadanya merupakan bentuk istidraj. Muhasabah yang mengantarkan kepada pertaubatan di awali dengan memasuki gerbang penyesalan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

النَّدَامَةُ تَوْبَةٌ

Menyesal adalah taubat.” (HR.Ibnu Majah no. 4252, Ahmad no.3568, 4012, 4414 dan 4016. Hadist ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghir no.6678)

Wallahu A’lam.

***

Penulis: Noviyardi Amarullah Tarmizi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27695-mengapa-perlu-muhasabah-diri.html

Khutbah Jumat Tahun Baru: Resolusi Berbasis Muhasabah

Mengambil momentum tahun baru 2020, khutbah Jumat ini mengambil tema Resolusi Berbasis Muhasabah. Selain tema ini, disediakan pula Khutbah Jumat Menyikapi Musibah Banjir 2020, khususnya untuk wilayah Jabodetabek.

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memanjangkan usia kita dan menyehatkan kita sehingga bisa menunaikan sholat Jumat di awal tahun 2020 ini. Sungguh merupakan nikmat paling besar ketika Allah menjaga iman kita. Maka marilah kita terus bersyukur kepada-Nya dengan senantiasa berusaha meningkatkan taqwa.

Sholawat dan salam atas Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memberikan keteladanan kepada kita semua. Tak ada satu pun petunjuk yang kita butuhkan untuk mengarungi kehidupan ini kecuali beliau memberikan keteladanan terbaik untuk umatnya.

Jamaah Jum’at rahimakumullah,
Di awal tahun seperti ini, banyak perusahaan dan instansi mencanangkan target setelah membuat evaluasi tahun lalu. Mereka ingin satu tahun ke depan lebih baik daripada satu tahun yang telah dilewatinya.

Bagi seorang muslim, sesungguhnya setiap pergantian satuan waktu adalah momentum untuk melakukan evaluasi dan menghadirkan resolusi. Melakukan perbaikan dari waktu ke waktu. Muhasabah.

1. Muhasabah

Muhasabah adalah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS. Al Hasyr: 18)

Melalui Surat Al Hasyr ayat 18 ini, Allah memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman untuk melakukan muhasabah. Waltandhur nafsum maa qoddamat lighad. Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.

Seluruh ulama mufassirin sepakat bahwa makna ghad pada ayat ini adalah akhirat. Sehingga muhasabah kita yang paling utama adalah terkait dengan apa yang sudah kita lakukan untuk akhirat. Bukan sekedar masa depan di dunia ini.

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengingatkan sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab mengingatkan.

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

Hitung-hitunglah diri kalian sendiri sebelum kalian dihitung (di akhirat nanti).

Maka kualitas iman dan ibadah kita mestinya menjadi bahan muhasabah. Karena itulah yang akan menjadi bekal masa depan akhirat kita.

Bagaimana shalat kita. Amal pertama dan utama yang nanti akan dihisab di akhirat. Sudahkan kita berusaha shalat berjamaah.

Abdullah bin Ummi Maktum pernah minta izin kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, rumahku jauh dan aku tidak punya penuntun ke masjid. Bolehkah aku shalat di rumah?”

Rasulullah tahu sahabatnya ini tidak bisa melihat. Maka beliau mengijinkan. Namun ketika Abdullah bin Ummi Maktum hendak pulang, ia dipanggil kembali. “Apakah ketika engkau mendengar adzan ketika di rumah?”

“Benar ya Rasulullah. Adzan terdengar hingga rumahku.”

“Kalau begitu, shalatlah berjamaah di masjid.”

Sejak saat itu, Abdullah bin Ummi Maktum tidak pernah meninggalkan shalat jamaah di masjid. Bahkan beliaulah yang adzan Subuh. Artinya, sebelum fajar sudah berada di masjid. Padahal beliau buta.

Bagaimana tilawah kita. Sudahkah kita membiasakan membaca Al Qur’an dan menambah hafalan kita? Yang di akhirat kelak akan menentukan ketinggian derajat surga.

Para sahabat demikian mesra dengan Al Quran dan selalu sigap mengamalkannya. Sehingga Sayyid Qutb menyebut mereka jailul qur’anil farid. Generasi Qur’ani yang unik.

Para sahabat Nabi hingga pahlawan Islam yang namanya abadi hingga saat ini, mereka adalah orang-orang yang demikian mesra dengan kitab suci. Para ulama hingga para pembebas negeri seperti Shalahuddin Al Ayyubi dan Muhammad Al Fatih, ternyata mereka adalah para penghafal Al Quran. Bahkan sudah hafizh sejak kecil. Bagaimana dengan kita, sudah bertambah berapa hafalan Qur’an kita dalam setahun lamanya?

Bagaimana sedekah kita? Yang akan menjadi benteng dari musibah di dunia dan benteng dari api neraka. Para sahabat mencontohkan dalam keadaan lapang dan sempit mereka bersedekah. Hingga ada yang sambil menangis membawa segenggam kurma. Karena hanya itu yang sanggup mereka infakkan.

2. Resolusi

Jama’ah Jumat hafidhakumullah,
Muhasabah harus bermuara pada kesimpulan bahwa amal-amal kita masih sedikit sedangkan dosa-dosa kita banyak. Bekal kita untuk masa depan akhirat masih sangat kurang. Sehingga muhasabah yang benar akan melahirkan resolusi dan perbaikan.

Kalau perusahaan dan orang-orang membuat resolusi untuk kinerjanya mengejar kesuksesan dunia, semestinya kita membuat resolusi berbasis muhasabah untuk kesuksesan akhirat kita. Tentu boleh kita memiliki target kesuksesan dunia, namun tujuan akhirnya tetap akhirat.

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.. (QS. Al Qashash: 77)

Maka berangkat dari muhasabah, kita buat resolusi. Terkait shalat kita. Jika belum lengkap berjamaah, kita lengkapi. Tidakkah kita ingin seperti Said bin Musayyab yang 50 tahun tak pernah ketinggalan shalat jamaah. Tidakkah kita ingin seperti Muhammad Al Fatih yang sejak baligh tak pernah meninggalkan shalat jamaah.

Kita tingkatkan pula khusyu’ dalam shalat kita. Tidakkah kita ingin demikian mesra berkomunikasi dengan Allah sebagaimana Rasulullah dan para sahabat menemukan kenikmatan terbesar dalam shalat.

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Dan dijadikan penyejuk hatiku dalam shalat. (HR Nasa’i dan Ahmad)

Ali bin Abu Thalib pernah terkena panah. Di zaman itu belum ada anestesi seperti sekarang. Umumnya orang di zaman itu menggunakan khamr agar tidak merasa kesakitan saat anak panahnya dicabut. Namun Ali tidak mau. Ia minta anak panah itu dicabut saat shalat. Dan demikian khusyu’nya shalat, Ali tidak mengerang kesakitan saat anak panah itu dicabut.

Kalau kita sudah muhasabah tentang tilawah dan hafalan kita. Maka perlu menghadirkan resolusi agar di tahun baru ini tilawah kita lebih banyak. Tadabbur kita lebih lama. Dan hafalan bertambah.

Kalau kita sudah muhasabah tentang sedekah kita. Maka perlu menghadirkan resolusi agar di tahun baru ini sedekah kita lebih besar. Ini juga membuat kita lebih semangat untuk kerja lebih keras, kerja lebih cerdas dan tentunya kerja lebih ikhlas. Semoga dengan resolusi ini, kita kemudian bertumbuh semakin taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bekal kita ke akhirat semakin banyak.

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللَّهُمَّ باَرِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَماَ باَرَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنـَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ . رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ . رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

[Khutbah Jumat Tahun Baru edisi 8 Jumadil Awal 1441 H bertepatan 3 Januari 2020; Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Tahun Baru, Arifin Ilham: Orang Beriman Sibuk Muhasabah

Perayaan pergantian tahun tak pernah dikenal dalam Islam. Namun, untuk menghalau maraknya kemaksiatan di malam itu, Ustaz Arifin Ilham mengajak umat Islam mengisinya dengan berzikir.

Melalui akun Facebook-nya pada Sabtu (30/12), Ustaz Arifin Ilham menyampaikan, sikap mukmin terhadap perubahan waktu tidak terjebak pada akhir tahun. Tidak ada sunnahnya untuk merayakan tahun baru, membakar petasan, meniup terompet, saling peluk cium, apalagi sampai bermaksiat.

Hal itu merupakan perayaan sia-sia, mubazir dan jauh dari syariat Allah. Sebagaimana Allah SWT sampaikan dalam Alquran surat al-Isra ayat 26-27, “Dan janganlah kamu menghambur hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara saudara setan.”

Rasulullah bersabda, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk bersenang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha,” (HR An-Nasaai).

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang umatnya meniup terompet karena itu tradisinya orang orang Yahudi,” (HR Abu Daud).

Majelis Ilmu dan Zikir menggelar Tabligh Akbar, bertepatan pada malam tahun baru. “Bukan untuk merayakan tahun baru, tetapi dalam rangka al-amru bil ma’ruf wannahyu anil mungkar. Karena sudah terlalu hebatnya maksiat dalam malam tahun baru itu,” ungkap Ustaz Arifin.

Sungguh bagi orang beriman setiap hari adalah perubahan waktu. Karena itulah orang-orang beriman terus sibuk muhasabah diri, ibadah, amal shalih dan dakwah.

Insya Allah Zikir Akbar Nasional pada Ahad, 13 Rabiul Akhir atau 31 Desember, Ahad 2017 malam Senin dimulai bada magrib sampai pukul 21.00 di Masjid At Tin Taman Mini Jakarta Timur. Ustaz Arifin akan di sana Gus Sholah, Haidar Nasir, Tengku Dziulkarnain dan ulama-ulama lainnya. “Sebarkan kabar ini. Kalian pun punya andil dalam dakwah, sahabatku,” ajak Ustaz Arifin.

Ustaz Arifin berharap, dirinya dan umat Islam tetap selalu dalam hidayah Allah hingga saat meninggalkan dunia yang sebentar ini dalam keadaan husnul khatimah.

 

REPUBLIKA

Pentingnya Muhasabah

Setiap insan tentu ingin pulang ke tempat yang nyaman nan indah saat hari akhir. Tak ada yang ingin kembali ke tempat yang penuh dengan kemuraman dan penyiksaan.

Hujjatul Islam Imam Ghazali memberikan salah satu nasihatnya yang menghujam. Dalam ihya ulumuddin, sang imam membeberkan salah satu cara untuk kembali ke Jannah saat di Kampung Akhirat kelak.

“Siapa saja yang memeriksa dirinya sebelum ia diperiksa, niscaya ringanlah pemeriksaannya pada hari Kiamat, mampu menjawab setiap pertanyaan dan baguslah tempat kembalinya,” ungkap Imam Ghazali.

Keharusan memeriksa diri, melihat lebih dalam dan mau jujur dengan kondisi diri adalah bekal utama untuk pulang ke surga.Sebaliknya, Imam Ghazali mewanti-wanti, sesiapa yang enggan dan jarang memeriksa diri, mungkin akan berakhir dalam kesusahan. “Dan siapa saja yang tidak memeriksa dirinya, maka kekallah kerugiannya dan panjanglah berdirinya pada lapangan kiamat,” tulis Imam Ghazali.

Muhasabah, mungkin itu istilah memeriksa diri. Imam Ghazali memberikan tempat yang spesial untuk bab muhasabah. Esensi pendekatan diri dan introspeksi dibahas dalam beberapa bagian.

Seseorang yang memiliki penglihatan kalbu yang jernih akan sadar jika Allah SWT senantiasa mengawasi perilaku mereka. Saat hisab nanti setiap aksi seberat atom akan dipersoalkan. Dan seseorang yang beriman sadar, tanpa muhasabah, orang-orang tidak akan selamat dari bahaya ini.

Allah SWT berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah kerugian seseorang barang sedikitpun. Dan jika amal itu seberat biki sawipun pasti Kami mendatangkan pahalanya. dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan.” (QS al-Anbiya [21]:47.

 

 

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Muhasabah Bisa Geser Budaya Lama Rayakan Tahun Baru

Republika secara rutin menggelar Muhasabah Akhir Tahun menyambut datangnya tahun baru. Kegiatan ini diapresiasi Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang selalu menyempatkan hadir setiap tahunnya.

Gubernur menilai tradisi Muhasabah dapat menggeser budaya perayaan tahun baru yang selama ini ada. Tahun baru yang biasanya identik dengan pesta dan hura-hura.

“Muhasabah Akhir Tahun ini juga sebuah kebaikan. Untuk menuat budaya baru mengimbangi bahkan mendominasi budaya yang sudah ada yang boleh jadi kurang tepat untuk dilaksanakan,” kata Heryawan saat mengisi Muhasabah Akhir Tahun 2016 yang digelar di Masjid Pusdai Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (31/12).

Muhasabah menjadi kegiatan yang tepat masyarakat menyambut tahun baru dengan penuh nilai. Karena diisi dengan renungan diri atas apa yang telah dilakukan agar lebih baik ke depannya.

Ia pun berharap 2017 menjadi tahun yang baik untuk semuanya khususnya masyarakat Jawa Barat. Dengan menyiapkan resolusi ke depan dengan karya-karya baik.

“Jam 00.00 nanti kita menapaki 1 dari 365 hari. Hari pertama berkarya untuk terus dilanjutkan. Mari kita berkomitmen yang kita isi kebaikan, inovasi yamg bermanfaat bagi masyarakat ke depan,” ujarnya.

Gubernur berharap perbaikan di berbagai bidang juga bisa terjadi. Kemajuan baik di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, hingga kesehatan.

“Dalam konteks ekonomi pertumbuhan. Kemudian dalam konteks sosial toleransi. Pendidikan ada kemajuan. Kesehatan masyarakat semakin sehat. Kita berdaya saing dan mendapatkan kesejahteraan dan disandingkan dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah,” jelasnya.

Selain Gubenrur, Muhasabah Akhir Tahun Republika juga menghadirkan penceramah KH Athian Ali Muhammad Dai, KH Prof Hermawan K Dipojono, serta Ustaz Evie Effendi.

Muhasabah Republika di Bandung ini didukung oleh Pusdai, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Badan Pengelola Islamic Centre Jawa Barat, Bank BJB, Bank BJB Syariah, Pos Indonesia, Elzatta, JNE, RZ, Vila Istana Bunga, Shafira, serta Naripan Hotel. Selain mendengarkan tausyiah, jamaah yang hadir juga berkesempatan mendapatkan hadiah doorprize umrah yang dipersembahkan oleh Dago Wisata dan Maqdis.

Zuli Istiqomah

 

sumber: Republika Online

Kisah Orang Tekun Ibadah yang Masuk Neraka

Alkisah, ada dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil. Yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sebaliknya: sangat tekun beribadah. Yang terakhir disebut ini rupanya tak henti-hentinya menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa hingga mulutnya tak betah untuk tidak menegur.

“Berhentilah!” sergahnya.

Teguran seolah hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri. Perbuatan dosa berlanjut dan sekali lagi tak luput dari mata saudaranya yang rajin beribadah. “Berhentilah!” Sergahnya kembali.

Si pendosa lantas berucap, “Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?”

Saudara yang ahli ibadah pun menimpali, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”

Cerita ini tertuang dalam sebuah Hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di ujung, Hadits tersebut melanjutkan, tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allahsubhanahu wata’ala.

Kepada yang sungguh-sungguh beribadah, Allah mengatakan, “Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?”

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.

“Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, “(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka.”

Kisah di atas menyiratkan pesan kepada kita untuk tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tentu beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi takabur dengan menghakimi pihak lain, apakah ia bahagia atau celaka di akhirat kelak. Sebuah kata bijak menyebutkan, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.”

Tentang etika dakwah, Islam pun mengajarkan bahwa tugas seorang mubaligh sebatas menyampaikan, bukan mengislamkan apalagi menjanjikan kenikmatan surgawi.

Vonis terhadap orang ini-itu sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, sangat tidak dianjurkan karena melangkahi Rabb, penguasa seluruh ciptaan. Islam menekankan umatnya muhasabah atau koreksi diri sendiri daripada mencari kesalahan pribadi orang lain yang belum tentu lebih buruk di hadapan Tuhan. (Mahbib)

 

sumber: NU.or.id