Keturunan Nabi Muhammad SAW hadir di Indonesia sejak abad ke – 14 dengan tujuan utama berdakwah.
Di kalangan umat islam, terdapat sebagian orang yang disebut sebagai alawiyin. Siapakah mereka? Alawiyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad.
Saat ini kaum alawiyin telah memiliki banyak keturunan dan tersebar di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang autentisitas keturunan (nasab) alawiyin diatur oleh suatu organisasi yang bernama Rabithah Alawiyah.
Sejarah pencatatan nasab alawiyin dimulai pada abad ke-15 oleh Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran. Pencatatan nasab alawiyin juga dilakukan oleh Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dengan bantuan pendanaan dari raja-raja India. Beliau memerintahkan untuk melakukan pencatatan alawiyin di Hadramaut, Yaman, pada abad 17.
Pada akhir abad ke-18, Sayid Ali bin Syekh bin Muhammad bin Ali bin Shihab juga melakukan pencatatan alawiyin. Hasil pencatatan itu terkompilasi dalam buku nasab sebanyak 18 jilid. Pencatatan nasab paling akhir dilakukan oleh mufti Hadramaut, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur pada akhir abad 19 yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Hasil pencatatan mereka terkumpul dalam tujuh buku nasab dari Hadramaut.
Ketika Habib Alwi bin Thahir Alhaddad mendirikan organisasi Rabithah Alawiyah, beliau berinisiatif melakukan pencatatan alawiyin yang ada di Indonesia.
Berangkat dari inisiatif itu, kemudian Rabithah Alawiyah membentuk Maktab Daimi pada 10 Maret 1932.
Maktab Daimi merupakan lembaga otonom yang mempunyai tugas memelihara sejarah dan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia. Harapannya, sejarah dan silsilah alawiyin tetap terjaga dan lesstari.
Dalam menjalankan tugasnya, Maktab Daimi mempunyai metode khusus untuk mengetahui nasab seseorang, yakni apakah orang tersebut masih garis keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan.
Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Ustadz Ahmad bin Muhammad Alatas mengatakan, setiap orang yang ingin mengetahui silsilah nasabnya harus mengajukan permohonan kepada Maktab Daimi.
Pemohon harus mengisi formulir yang sudah tersedia. Pemohon juga harus menyebutkan silsilah nasabnya sampai kakek kelimanya.
“Setelah dicatat dengan benar (nama kakeknya), kita akan mengecek pada buku-buku besar (buku silsilah nasab) yang kita miliki,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Jika nama-nama kakek si pemohon ada di dalam buku nasab, maka pihak Maktab Daimi akan meminta pemohon mengajukan saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar berasal dari suku atau marga alawiyin.
Namun sebaliknya, jika nama kakek yang dituliskan si pemohon tidak ada di buku silsilah nasab yang menjadi rujukan Maktab Daimi, Maktab Daimi akan menggunakan metode lain.
Maktab Daimi akan meminta data-data silsilah kakek si pemohon yang berurutan dan valid sampai kakek si pemohon ada di buku silsilah nasab.
Ia mencontohkan, misalkan pemohon menuliskan silsilah kakeknya sampai kakek kelimanya. Tapi, ada empat nama kakeknya yang tidak terdaftar di buku silsilah nasab Maktab Daimi.
Maka, empat nama kakeknya tersebut harus dibuktikan dengan data yang valid seperti dengan kartu keluarga, surat pernikahan, paspor, dan surat jual beli.
“Yang mana semuanya itu akan menyebutkan nama ayahnya, sehingga akan berkesinambungan kepada silsilah yang ada di buku ini (silsilah nasab),” ujarnya.
Metode seperti itu, menurut Ustadz Ahmad, dibuat guna menghindari orang-orang yang ingin memalsukan nasabnya.
Ia menerangkan, buku silsilah nasab yang digunakan Maktab Daimi awalnya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.
Buku itu kemudian diserahkan kepada Habib Alwi bin Thahir Alhaddad di Indonesia. Namun, buku itu hanya memuat nama-nama alawiyin yang lahir di Yaman.
Kemudian, ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf, mengembangkan buku pertama yang berasal dari Hadramaut tersebut.
Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.
“Jadi Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf meneruskan nasab yang ditulis oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur yang dari Hadramaut,” jelasnya.
Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itu sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.
Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surabaya, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.
“Dari 15 jilid buku tersebut, ada juga yang dipinjam sampai di Madinah dan digunakan di Jeddah. Boleh dikatakan buku nasab hasil perpaduan buku nasab dari Hadramaut dan Indonesia itu lebih lengkap secara keseluruhan dibanding buku nasab yang lain,” papar Ustadz Ahmad.
Jejak para sayyid
Menurut catatan yang ada saat ini, keturunan Nabi Muhammad SAW atau para sayyid datang ke Indonesia sejak abad 14. Mereka datang secara bergelombang.
Ada yang ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Di antara para sayyid itu, ada yang sekarang dikenal sebagai Wali Songo.
“Tujuan para sayyid datang ke Indonesia untuk berdakwah melalui perdagangan. Dengan cara berdagang bias membaur dengan masyarakat, setelah itu berdakwah,” ujarnya.
Para sayyid memang banyak yang berasal dari Yaman. Dari Yaman, mereka hijrah ke India. Lalu, dari negeri Hindustan itu, mereka hijrah lagi ke kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Indonesia.
“Itu yang disebut dari Gujarat. Jadi, Gujarat adalah wilayah besar di India, mereka itu berasal dari Yaman, bukan keturunan orang India,” terang Ustadz Ahmad.
Di India, para sayyid banyak bermukim di wilayah Hyderabad dan Kerala. Di Hyderabad, terdapat sekitar 38 marga yang bertalian dengan garis keturunan Nabi Muhammad SAW.
Di Kerala, terdapat 20 marga, sementara di Indonesia ada 68 marga yang bertalian dengan garis keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Lantas, apa manfaatnya mengenal nasab? Bagi para sayyid, menurut ustadz Ahmad, hal itu bermanfaat untuk mengetahui asal usul atau silsilah keluarga mereka.
Harapannya, mereka dapat mencontoh dan mengikuti kepribadian, akhlak, dan sifat Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia.
“Untuk apa kalau nasabnya bagus tapi perilaku dan akhlak nya tidak sesuai (dengan Nabi Muhammad SAW)? Maka akan sangat disayangkan sekali.”
IHRAM