Mengapa Perempuan Hanya Dapat Separuh Bagian Warisan?

Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sebelum mengenal lebih teknis mengenai pembagian warisan dalam syariat Islam, terlebih dahulu diingat bahwa sejak Islam diturunkan tak ada sedikit pun agama ini memberikan wacana lebih dalam hal keadilan terhadap satu gender tertentu. Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sejak Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya dalam berkehidupan. Islam juga agama yang membolehkan perempuan untuk memiliki hartanya sendiri tanpa sedikit pun hak bagi orang lain. Baik itu orang tuanya sendiri, suaminya, atau siapa pun untuk ikut campur di dalamnya.

Dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama karya Muhammad Bagir dijelaskan, jika seorang perempuan memiliki harta warisan atau hibah dan sebagainya dari ayah, ibu, saudara atau keluarga lainnya, itu akan menjadi haknya sendiri. Si perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.

Jika dia menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan bersama suaminya, lalu suaminya meninggal dunia, modal dan labanya itu harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta peninggalan suaminya. Harta itu dikeluarkan sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris yang lain. Perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.  SHARE

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan yang mereka kelola bersama. Sebagai imbalannya, istri atau suami memperoleh bagian dari laba perusahaan yang ditentukan persentasinya. Maka bagian tersebut tetap menjadi hak masing-masing jika terjadi perceraian ataupun salah satu dari keduanya lebih dahulu meninggal dunia.

Di sisi lain, seorang istri nafkahnya ditanggung oleh suami apabila syarat dalam syariatnya terpenuhi. Syarat tersebut yakni dia bukanlah istri yang pembangkang, tidak berselingkuh, serta persyaratan lainnya yang ditentukan syariat yang menjadikan suami berkewajiban memberinya nafkah.

Seorang laki-laki dalam Islam memiliki sejumlah tanggungan nafkah yang dibebankan apabila telah sampai padanya masa pemberian nafkah. Jika seorang laki-laki memiliki saudara-saudara perempuan yang tidak berpenghasilan, laki-laki itulah yang wajib menafkahi mereka.

Sebaliknya, para saudara perempuan itu tidak diwajibkan menafkahi saudara laki-laki mereka betapa pun kayanya mereka dan miskinnya si saudara laki-laki itu, kecuali tentunya jika mereka ingin melakukan amal saleh sebagai silaturahim yang amat besar pahalanya.

Karena itu semua, jika dalam soal harta warisan dalam Islam dikenal bahwa laki-laki menerima dua kali bagian yang diterima oleh perempuan, pada hakikatnya setengah atau bahkan lebih dari setengah jumlah itu bukan untuk kepentingan dirinya (laki-laki) sendiri.

Bagian itu juga untuk kepentingan istri beserta keluarganya. Seandainya dia tidak berkewajiban menafkahi mereka, niscaya satu bagian saja dari warisan itu sudah cukup bagi dirinya sendiri, sebagaimana yang cukup untuk laki- laki yang tidak berkeluarga.

Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah, semua keperluan hidupnya menjadi tanggungan suaminya. Sementara itu, satu bagian yang dia peroleh dari harta warisan boleh saja dengan tenang dia tabung atau investasikan dalam apa saja yang menjadi hobi dan kegemarannya.

Dalam hal waris, syariat Islam merujuk pada sebuah dalil dalam Alquran surah an-Nisa penggalan ayat 11. Allah berfirman, artinya “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu. (Yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

Ayat inilah yang menjadi landasan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dijadikan hujah oleh mayoritas ulama.

OLEH IMAS DAMAYANTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Ancaman Terhadap Pembagian Waris yang Menyelisihi Syari’at

Hukum waris pada jaman jahiliyyah

Pada jaman jahiliyyah, wanita dan anak-anak kecil tidak boleh mendapatkan harta warisan. Harta warisan hanya bagi laki-laki dewasa yang sudah mahir menunggang kuda dan memainkan senjata.

Lalu datanglah syariat Islam yang menghapus dan membatalkan hukum jahiliyyah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 7)

Berbeda 180 derajat dari ketentuan hukum jahiliyyah jaman dahulu adalah hukum yang ditetapkan oleh orang-orang jaman sekarang. Yaitu mereka memberikan hak warisan bagi perempuan, namun dengan bagian yang sama dengan kaum lelaki. Dengan alasan kesetaraan gender, kesamaan hak asasi manusia, lalu mereka pun melampaui batas dengan melanggar ketentuan syariat dalam hukum waris.

Padahal, Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan,

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Juga dalam firman-Nya,

وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 176)

Oleh karena itu, ketentuan waris dalam Islam adalah sesuai dengan hak perempuan. Hak tersebut tidak dinihilkan sama sekali, sebagaimana hukum waris era jahiliyyah jaman dulu. Namun, tidak juga diberikan dengan melampaui batas dengan disamakan haknya dengan kaum lelaki, sebagaimana hukum waris yang dianut orang-orang yang bodoh pada jaman ini.

Pembagian hukum waris dalam Islam itu didasarkan atas ilmu dan hikmah

Sebagian orang melontarkan klaim-klaim dan tuduhan dusta terhadap hukum Allah yang berkaitan dengan masalah warisan. Mereka menuduh bahwa hukum waris dalam Islam itu tidak adil, mengkebiri hak-hak kaum perempuan, bias gender, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.

Kalau mereka mau membuka Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa hukum waris dalam Islam itu ditetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala yang mengetahui apa yang maslahat untuk umatnya.

Hal ini bisa kita renungkan ketika Allah Ta’ala selesai menyebutkan tentang hukum waris dan bagian masing-masing ahli waris, Allah Ta’ala tutup dengan firman-Nya,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Dalam ayat di atas, terdapat faidah luar biasa ketika Allah menyebutkan dua sifat Allah yang mulia, setelah menyebutkan ketentuan hukum waris, yaitu sifat al-‘ilmu (Maha mengetahui) dan al-hikmah (Maha bijaksana).

Maksudnya, karena Allah Ta’ala Maha mengetahui dan Maha bijaksana, Allah Ta’ala mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah Ta’ala pun meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, patuhilah perintah Allah ketika membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena pembagian itu berdasarkan ilmu Allah Ta’ala dan hikmah-Nya.

Seandainya pembagian waris ini diserahkan kepada pemikiran dan ijtihad (logika atau hasil olah pikir) manusia sendiri, maka pembagian itu akan dilandasi dengan kebodohan dan hawa nafsu, serta tidak ada hikmah di dalamnya. Sehingga justru akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela hukum Allah Ta’ala, atau mengatakan, “Seandainya hukumnya begini atau begitu”, maka dia telah mencela ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Dan sebagaimana Allah menyebutkan ilmu dan hikmah setelah menyebutkan hukum syariat-Nya, Allah Ta’ala juga menyebutkannya dalam ayat-ayat yang berisi tentang ancaman. Hal ini untuk menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa syariat dan balasan-Nya berkaitan dengan hikmah-Nya dan tidak keluar dari ilmu-Nya. (Lihat Al-Qawa’idul Hisaan, hal. 51-57)

Oleh karena itu, Allah Ta’ala mensifati bahwa hukum Allah itulah hukum yang paling baik. Dan Allah Ta’ala sifati hukum selain hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50)

Maka, renungkanlah wahai para pencari kebenaran.

Ancaman terhadap orang-orang yang mengubah-ubah ketentuan warisan

Melaksanakan ketentuan hukum waris sebagaimana yang telah Allah Ta’ala tetapkan adalah sebuah kewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah kami kutip sebelumnya,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 12)

Oleh karena itu, tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ؛ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar.

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)

Asy-Syaukani rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,

وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: تِلْكَ إِلَى الْأَحْكَامِ الْمُتَقَدِّمَةِ، وَسَمَّاهَا حُدُودًا: لِكَوْنِهَا لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا، وَلَا يَحِلُّ تَعَدِّيهَا وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فِي قِسْمَةِ الْمَوَارِيثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، كَمَا يُفِيدُهُ عُمُومُ اللَّفْظِ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ

“Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, (تِلْكَ) merujuk kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum waris). Dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh dilampaui atau tidak boleh dilewati. “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-nya”, yaitu dalam pembagian harta waris dan aturan-aturan syariat lainnya -sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh cakupan makna ayat yang bersifat umum-, “niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (Fathul Qaadir, 1: 501)

Kemudian beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

مَنْ فَرَّ مِنْ مِيرَاثِ وَارِثِهِ، قَطَعَ اللَّهُ مِيرَاثَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang lari dengan membawa warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari surga pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah no. 2703) [1]

Barangsiapa yang mengutak-atik pembagian waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat, sehingga dia mewariskan harta kepada orang yang seharusnya tidak berhak menerimanya; atau dia mencegah (menahan) pembagian sebagian atau seluruh harta waris kepada orang yang seharusnya berhak menerimanya; atau dia menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, sebagaimana dijumpai dalam undang-undang sekuler buatan manusia yang bertentangan dengan hukum syariat bahwa bagian perempuan itu setengah dari bagian lelaki; maka orang tersebut telah kafir dan berhak berada di neraka selamanya, kecuali dia bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum meninggal dunia. (Lihat Al-Mulakhkhas Fiqhiyhal. 335) [2]

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 1 Ramadhan 1440/6 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46661-ancaman-terhadap-pembagian-waris-yang-menyelisihi-syariat.html