Dibutuhkan, Pemimpin yang Amanah! [3]

Kepemimpinan adalah Tugas Pengaturan, Bukan Kekuasaan Otoriter

Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah, maka ia layak memegang jabatan pemimpin.

Sebaliknya, jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak wajib untuk ditaati.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

كَانَتْبَنُوإِسْرَائِيلَتَسُوسُهُمْالْأَنْبِيَاءُكُلَّمَاهَلَكَنَبِيٌّخَلَفَهُنَبِيٌّوَإِنَّهُلَانَبِيَّبَعْدِيوَسَتَكُونُخُلَفَاءُتَكْثُرُقَالُوافَمَاتَأْمُرُنَاقَالَفُوابِبَيْعَةِالْأَوَّلِفَالْأَوَّلِوَأَعْطُوهُمْحَقَّهُمْفَإِنَّاللَّهَسَائِلُهُمْعَمَّااسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]

Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi, “Imam adalah penjaga, dan bertanggungjawab terhadap rakyatnya”, Imam Badrudin al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak mereka.”

Walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala.

Umar bin Khattab adalah salah satu profil pemimpin dalam Islam. Kesungguhan beliau memegang amanah ditunjukkan dengan aktifitas beliau sebagai pelayan umat. Umar bin Khattab memastikan kondisi rakyatnya tidak kelaparan saat terjadi musim kering. Umar lebih mementingkan kondisi rakyatnya daripada perutnya sendiri. Di saat musim tiba Umar menyiapkan daging dan gandum untuk rakyatnya, sedangkan umar hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang.

Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata, “Kurangilah panas minyak itu dengan api.” Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”

Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Tidak hanya itu, beliau juga memanggul gandum sendiri dan memasak gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.

Inilah profil ideal seorang pemimpin yang didambakan oleh rakyat, pemimpin yang amanah dan peduli pada rakyat bukan pemimpin yang peduli dengan dirinya sendiri, keluarga dan partainya. Pemimpin yang seperti ini tidak akan lahir dari sistem kapitalisme yang memberikan peluang terjadinya kecacatan profil pemimpin. Namun pemimpin yang amanah hanya akan lahir di sistem Islam yang berlandaskan keimanan pada Allah Subhanahu Wata’ala.*/Nur Alfiyah, staf pengajar Home Shcooling Group SD Allami Jember 

 

 

sumber:Hidayatullah

Dibutuhkan, Pemimpin yang Amanah! [2]

SELAIN harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.

Kedua, al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun ekspedisi perang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu menekankan aspek ini kepada para amirnya. Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah melantik seorang amir pasukan atau ekspedisi perang, beliau berpesan kepada mereka, terutama pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan bersikap baik kepada kaum Muslim yang bersamanya.[HR. Muslim & Ahmad].

Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariat Islam. Ia sadar, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya.

Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa. Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.

Ketiga, al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].

Selain itu, seorang pemimpin mesti berlaku lemah lembut serta memperhatikan dengan seksama kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah masyarakat. Ia juga memerankan dirinya sebagai pelindung dan penjaga umat yang terpercaya. Ia tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk menghisap dan mendzalimi rakyatnya.

Seorang pemimpina mesti juga tak pernah memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri, atau menggelimangkan dirinya dalam lautan harta, wanita dan ketamakan. Ia pun tidak pernah berfikir untuk menyerahkan umat dan harta kekayaan mereka ke tangan-tangan musuh.

Dirinya selalu mencamkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka AllahSubhanahu Wata’ala tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.” [HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi].

Untuk itu, seorang pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul bersama mereka dengan cara yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam hal pemerintahan dan administasi, akan tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang menjadikan dirinya ditaati dan dicintai oleh rakyatnya.*/Nur Alfiyah, staf pengajar Home Shcooling Group SD Allami Jember

 

sumber: Hidayatullah

Dibutuhkan, Pemimpin yang Amanah! [1]

BELUM lama ini, di sela-sela penyaluran program raskin/rastra tahun 2016, Bali, Selasa (26/1/2016) lalu, Gubernur Made Mangku Pastika meminta kepada Menko PMK, Puan Maharani, agar alokasi beras untuk rumah tangga miskin (raskin) di Bali dinaikkan.

Menanggapi permintaan tersebut Menteri Puan Maharani menerangkan, pemerintah belum memikirkan mengenai kemungkinan menaikkan alokasi raskin yaitu tetap 15 kg saja. Puan sambil berseloroh meminta rakyat untuk mengurangi makan. “Jangan banyak-banyak makan-lah, diet sedikit tidak apa-apa,” gurau Menteri Puan.

Saat terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pengurangan tenaga kerja massal di berbagai perusahaan swasta dan pertambangan minyak dan gas bumi, banyak orang yang sedang kelaparan dan (angka kemiskinan meningkat). Waktunya sangat tidak tepat ketika Puan merespons permintaan serius seorang Gubernur. Puan harus sadar akan hal itu.

Mengenai urusan perut alias “kampung tengah” orang menomorsatukan, ini malah Puan Maharani berseloroh atau bercanda mengeluarkan pernyataan rakyat disuruh diet.

Kritik dan cercaan pada Menteri Puan Maharani mulai membanjiri media. Rakyat mulai memahami bahwa pemimpin yang mereka pilih bukanlah pemimpin yang peduli dengan kondisi rakyatnya, beralasan kerja untuk rakyat namun ternyata rakyat semakin sengsara.

Inilah profil pemimpin demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat memilih mereka dengan harapan pemimpin mereka akan meningkatkan kesejahteraan, tapi justru pemimpin yang mereka pilih tidak amanah dan tidak peduli pada rakyatnya.

Kepemimpinan Itu Adalah Amanah

Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.

Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah.

Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”

Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya.

Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.*/Nur Alfiyah, staf pengajar Home Shcooling Group SD Allami jember

 

sumber: Hidayatullah