KH. Cholil Ridwan: Ulama Harus Sadarkan Umat Pentingnya Politik

Anggota Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah, KH. Cholil Ridwan menyatakan, ulama sebagai pewaris tugas dan fungsi Nabi dinilai tidak hanya memimpin ibadah saja tetapi juga memimpin Negara dan bangsa.

Ia mencontohkan, nabi Sulaiman yang seorang raja, dan nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang juga sebagai pemimpin pemerintahan.

“Makanya yang mewarisi beliau itu ulama yang namanya Abu Bakar, Umar, Usman, Ali yang mereka juga seorang khalifah,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Jakarta belum lama ini.

Jika di Indonesia, Cholil menyebutkan, sosok ulama yang juga pemimpin seperti para pahlawan dahulu yang tidak hanya menyerukan ajaran Islam tetapi juga terdepan memimpin perang terhadap penjajah.

Menurutnya, bukan berarti mengesampingkan ulama yang hanya bergerak di pengajian, majelis dzikir, tabligh akbar, khutbah dan sebagainya.

“Bukannya tidak penting, itu penting. Tapi orientasinya lebih ke akhirat, sedangkan soal ekomomi, politik dan lainnya luput,” ungkapnya pada Jum’at (11/03/2016).

Cholil mengumpamakan, walaupun membangun seribu pesantren, seribu masjid, seribu majelis taklim, tidak akan banyak merubah nasib umat Islam.

“Bukan tidak baik, itu tetap perlu. Tapi kalau ingin berubah, ya yang paling signifikan lewat politik, ulama harus ngajarin politik,” tukas ulama Betawi ini.

Selama ini, terang Cholil, masih sebagian kecil saja ulama yang menyerukan tentang pentingnya politik bagi umat. Ia juga menghimbau agar tema khutbah tidak selalu berdimensi akhirat semata.

“Sekarang semuanya harus turut mencerahkan umat soal politik ini. Ulama jangan hanya khutbah soal akhirat tapi abai terhada persoalan agar terwujudnya Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur,” pungkasnya.

 

sumber: Hidayatullah

Dibutuhkan, Pemimpin yang Amanah! [1]

BELUM lama ini, di sela-sela penyaluran program raskin/rastra tahun 2016, Bali, Selasa (26/1/2016) lalu, Gubernur Made Mangku Pastika meminta kepada Menko PMK, Puan Maharani, agar alokasi beras untuk rumah tangga miskin (raskin) di Bali dinaikkan.

Menanggapi permintaan tersebut Menteri Puan Maharani menerangkan, pemerintah belum memikirkan mengenai kemungkinan menaikkan alokasi raskin yaitu tetap 15 kg saja. Puan sambil berseloroh meminta rakyat untuk mengurangi makan. “Jangan banyak-banyak makan-lah, diet sedikit tidak apa-apa,” gurau Menteri Puan.

Saat terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pengurangan tenaga kerja massal di berbagai perusahaan swasta dan pertambangan minyak dan gas bumi, banyak orang yang sedang kelaparan dan (angka kemiskinan meningkat). Waktunya sangat tidak tepat ketika Puan merespons permintaan serius seorang Gubernur. Puan harus sadar akan hal itu.

Mengenai urusan perut alias “kampung tengah” orang menomorsatukan, ini malah Puan Maharani berseloroh atau bercanda mengeluarkan pernyataan rakyat disuruh diet.

Kritik dan cercaan pada Menteri Puan Maharani mulai membanjiri media. Rakyat mulai memahami bahwa pemimpin yang mereka pilih bukanlah pemimpin yang peduli dengan kondisi rakyatnya, beralasan kerja untuk rakyat namun ternyata rakyat semakin sengsara.

Inilah profil pemimpin demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat memilih mereka dengan harapan pemimpin mereka akan meningkatkan kesejahteraan, tapi justru pemimpin yang mereka pilih tidak amanah dan tidak peduli pada rakyatnya.

Kepemimpinan Itu Adalah Amanah

Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.

Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah.

Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”

Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya.

Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.*/Nur Alfiyah, staf pengajar Home Shcooling Group SD Allami jember

 

sumber: Hidayatullah

Seni Memimpin Ala Rasulullah

NABI Muhammad merupakan sosok pemimpin yang hingga hari ini diakuai dan dihormati banyak manusia. Bahkan kepempinan manusia sempurkan ini telah banyak diakui para peneliti Barat. Sebut saja Will Durant, Gustav Lebon, La Martin, Thomas Carlyle dan masih banyak yang lain.

La Martin yang setelah meneliti kehidupan Nabi menyatakan, “Muhammad adalah manusia di atas manusia dan di bawah Tuhan. Tak dapat diragukan bahwa ia adalah utusan Tuhan.”

Bahkan Thomas Carlyle, cendekiawan Inggris, mengritik orang Barat yang begitu saja meyakini kampanye buruk terhadap nama besar Muhammad. “Diantara aib terbesar yang ada hari ini ialah bahwa seorang cendekiawan menerima begitu saja ucapan seseorang yang mengatakan bahwa Islam adalah bohong dan Muhammad adalah penipu.”

“Pandangan yang kokoh, pemikiran-pemikiran yang lurus, kecerdasan, kecermatan, dan pengetahuannya akan kemaslahatan umum, merupakan bukti-bukti nyata kepandaiannya. Kebutahurufannya justru memberikan nilai positif yang sangat mengagumkan. Ia tidak pernah menukil pandangan orang lain, dan ia tak pernah memperoleh setetes pun informasi dari selain-Nya. Allah-lah yang telah mencurahkan pengetahuan dan hikmah kepada manusia agung ini. Sejak-sejak hari-hari pertamanya, ia sudah dikenal sebagai seorang pemuda yang cerdas, terpercaya dan jujur. Tak akan keluar dari mulutnya suatu ucapan kecuali memberikan manfaat dan hikmah yang amat luas,” katanya.

Sementara itu Gustav Lebon, cendekiawan Prancis, dalam bukunya “Peradaban Islam dan Arab”, menulis, “Jika kita ingin kita ingin mengukur kehebatan tokoh-tokoh besar dengan karya-karya dan hasil kerjanya, maka harus kita katakan bahwa diantara seluruh tokoh sejarah, Nabi Islam adalah manusia yang sangat agung dan ternama. Meskipun selama 20 tahun, penduduk Makkah memusuhi Nabi sedemikian kerasnya, dan tak pernah berhenti mengganggu dan menyakiti beliau, namun pada saat Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau menunjukkan puncak nilai kemanusiaan dan kepahlawanan dalam memperlakukan warga Makkah. Beliau hanya memerintahkan agar patung-patung di sekitar dan di dalam Ka’bah dibersihkan. Hal yang patut diperhatikan dalam kepribadian beliau ialah bahwa sebagaimana tidak pernah takut menghadapi kegagalan, ketika memperoleh kemenangan pun beliau tidak pernah menyombong dan tetap menunjukkan sikapnya yang lurus.”

Bahkan Allah Subhanahu Wata’ala sendiri secara langsung memuji dan mengatakan dalam Surah Al Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik…”

Sayangnya, kita lebih sosok Rasululah dari aspek ruhaniyaah dan spiritual belum menyentuh sosok beliau sebagai pengelola pemerintahan dan suatu negara hingga akhirnya beliau berhasil membangun bangunan negara yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur. Surat Al Ahzab ayat 21 membuat kita kembali teringat betapa keteladanan beliau meliputi semua aspek kehidupan. Semua tindak tanduk dan tutur kata beliau merupakan teladan dan warisan yang teramat berharga.

Rahasia keteladan Nabi dalam memimpin tentu saja karena ditopang oleh empat sifat yang sudah tidak asing lagi:

Pertama, shidiq yang artinya jujur. Kejujuran merupakan sikap utama dan harus mendapat tempat semestinya pada diri seorang pemimpin. Dan Nabi Muhammad SAW dikenal oleh masyarakatnya sebagai sosok yang jujur, jauh dari dusta. Kejujuran membawa kepada kebaikan, kebaikan dalam segala hal, utamanya dalam memimpin suatu bangsa dan masyarakat.

Kedua, amanah yang artinya mampu menjalankan kepercayaan yang diemban di pundak secara profesional tanpa mencederai kepercayaan yang sudah diberikan. Sikap amanah telah mengakar kuat pada diri Rasululah bahkan semenjak di usia belia. Tidak ada yang menyangsikan kejujuran seorang Muhammad kecil. Gelar amin (orang yang layak dipercaya) disandingkan di belakang nama beliau, Muhammad Al-Amin.

Ketiga, tabligh yang berarti menyampaikan kebenaran dan berani mengungkap kebatilan. Kepemimpinan beliau ditopang oleh sikap transaparansi, keterbukaan, dan selalu bersuara dengan tuntunan Ilahi. Tak ayal sikap terang-terangan beliau dalam mendakwahkan ajaran kebenaran dan memberangus kemunkaran mengundang murka pentolan-pentolan Kaum Quraish.

Sebuah delegasi datang menemui paman Nabi, Abu Thalib, untuk memberi tawaran menggiurkan khusus untuk Nabi asal beliau menghentikan dakwahnya. Mereka, pentolan Qurasih ini dicekam rasa ketakutan bahwa kedudukan, kewibawaan, dan kekuasaannya akan tamat seiring laju perkembangan dakwah sang Nabi.

“Jika keponakanmu menginginkan kerajaan, kami siap mengangkatnya menjadi raja; jika menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta sehingga tidak ada yang terkaya kecuali Nabi; jika ia terkena gangguan jin, kami siap mencarikan obat untuk menyembuhkanya; asalkan ia berhenti mendakwahkan Islam,” demikian pernyataan tawaran itu.

Aspirasi delegasi Quraish disampikan oleh Abu Thalib kepada Nabi. Nabi menyampaikan sebuah pernyataan tegas sembari memberi ilustrasi indah yang memupuskan “mimpi” delegasi Quraish, “Demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan (dakwah) ini, sampai Allah memenangkannya atau aku hancur karenanya.”

Sifat Nabi berikutnya yang menjadi penopang kepemimpinan beliau adalah fathanah. Fathanah adalah cerdas. Kecerdasan atau berilmu mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus tahu bahwa setiap keputusan dan arahannya sesuai sasaran yang dituju. Karenanya, dalam berdialog, berdiskusi, menyampaikan ajaran Allah, beliau selalu mendasarkannya pada ilmu.

Tiga Nilai Moral

Empat penopang kepemimpinan Nabi di atas melahirkan nilai-nilai moral yang adiluhung. Pijakan moral sangat penting diunggah sebelum memutuskan suatu perkara. Dr. A. Ilyas Ismail dalam sebuah tulisannya menyebutkan ada Tiga Sifat Moral yang harus ada pada diri seorang pemimpin, seperti yang telah diajarakan sendiri oleh Rasul.
Sumber sifat moral itu merupakan intisari dari firman Allah Surah At-Taubah 128, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Kata Ilyas Ismail, ayat tersebut mengandung tiga ajaran moral bagi seseorang dalam memimpin yaitu, memiliki sense of crisis, sense of achievement, dan kasih sayang.
sense of crisis merupakan penjabaran dari ayat di atas, “a`zizun a`laihi ma a`nittum.” Seorang pemimpin harus tahu apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Rasa sakit seorang warganya menjadi rasa sakit bagi diri sosok pemimpin yang punya sifat empati.

Kebahagiaan rakyatnya menjadi kebahagiaan bagi dirinya. Empati, bisa mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpin menjadi idaman setiap penduduk di negeri ini.
Akan tetapi, empati itu sering mampir pada momen tertentu: Pilkada, Pileg, Pilpres. Setelah semuanya berakhir, rakyat hanya terhibur oleh mimpi dan angan kosong belaka. Himpitan ekonomi, perut yang keroncongan, biaya sekolah yang melangit tak terjangkau, orang miskin yang “dilarang” sakit, menjadi pemandangan yang dengan mudah kita saksikan.

Suatu saat Sayidina Umar bin Khaththab pernah berujar yang ditujukan kepada semua orang yang diberi amanah sebuah jabatan, “Jika rakyatku kelaparan, Umar orang yang harus pertama kali merasakannya; jika rakyatku merasa kenyang, Umar orang yang harus terakhir merasakannya.” Sosok umar merupakan penerus sikap moral seorang pemimpin sejati, Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang manakala ada bahaya mengancam atau segala hal yang tidak nyaman, beliau siap pasang badan dan berdiri di garis terdepan. Misalnya, setiap kali peperangan beliau selalu maju lebih dulu ketimbang sahabat-sahabat yang lain.

Tetapi, bila ada kenikmatan beliau mendahulukan orang lain. Contohnya, suatu kali beliau diundang oleh salah seorang sahabat untuk makan bersama. Yang diundang hanya beliau seorang karena si pengundang melihat Nabi dalam keadaan sangat lapar. Namun Nabi mengajak sahabat-sahabat yang duduk bersama beliau.

Tiba di rumah pengundang, Nabi mempersilakan para sahabat makan terlebih dahulu. Satu per satu sahabat melahap hidangan yang tersaji. Setelah itu barulah beliau yang makan. Berkat mukjizat beliau, makanan yang seharusnya hanya cukup satu orang bisa mencukupi banyak perut orang lain.

Sementara sifat moral berikutnya adalah sense of achievement. Menurut Ilyas Ismail, sifat ini merupakan penjabaran dari bunyi ayat Allah dalam surat yang sama, “harisyun a`laikum.” Artinya seorang pemimpin dalam mengemban ide dan gagasan harus benar-benar bertujuan memajukan masyarakat dan warga negaranya.

Pemimpin yang harisyun a`laikum adalah pemimpin yang mendahulukan kepentingan orang banyak jauh mengalahkan kepentingan pribadi, partai, dan kelompoknya. Salah satu potret indahnya ada pada seorang sahabat, sepupu sekaligus menantu Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib.

Suatu hari, Aqil, saudara Ali, meminta harta lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, “Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu.” Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata: “Hanya ini saja untukmu.” Aqil segera mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian Ali. Tiba-tiba ia menjerit. Ternyata ia sedang memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, “Itu besi yang dibakar api dunia, bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai jahannam?”
Sayangnya, di negeri berharap adanya pemimpin berjiwa sense of achievement belum menjelma menjadi sebuah kenyataan. Tengok saja kasus busung lapar, bunuh diri karena kemiskinan, memakan nasi aking, padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam. Dalam UU pasal 34 disebutkan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Mungkinkah hal itu terjadi karena bunyi pasalnya telah berubah menjadi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang“?

Keberpihakan pada masyarakat dari pemimpin negeri ini laksana jauh panggang dari api. Sumber daya alam diekslploitasi sedemikian rupa, perusahaan-perusahaan menjadi tuan di negeri kita sementara kita menjadi pelayan di negeri sendiri. Akibatnya, angka kemiskinan merangkak naik, rakyat menjerit, sementara pejabatanya asyik dengan tingkah pola yang menjijikkan: biaya dinas yang dimanipulasi, korupsi yang merajai bumi pertiwi, arah pembangunan yang tidak jelas juntrungannya.

Ketiga, masih kata Ilyas, adalah pengasih dan penyayang yang merupakan penjabaran dari ra`ufun rahiim. Kasih sayang perlu dimiliki oleh semua orang, dalam hal ini, seorang pemimpin. Dengan kasih sayangnya, pemimpin mampu bersimpati dan memberikan empati, dan mengulurkan tangan.

Dengan kasih sayang, seorang pemimpin akan berkeliling untuk melihat satu per satu keadaan rakyatnya. Adakah di antara mereka yang kekurangan gizi, sakit tapi tak mampu berobat, terlilit hutan yang tak sanggup dibayar, sehingga pemimpin itu menjadi orang pertama yang selalu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya.

Seorang pemimpin hendaknya menjadi pengembala yang melayani rakyatnya untuk mencapai tujuan mereka dan memenuhi kebutuhannya. Dia harus bisa melayani bukan minta dilayani. Mari kita simak kata-kata seorang penyair tentang junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:

“Jika engkau menyayang, maka engkau (laksana) ibu dan ayah.”

Dengan melihat sejarah dan cacatan masa lalu Nabiullah Muhammad, pempin seperti SBY tentunya tidak perlu memasang iklan besar-besar di pelbagai media untuk meningkatkan elaktibilitas, popularitas, dan memperbaiki citranya yang belakangan sangat terpuruk karena hantaman kasus korupsi di tubuh partai yang telah mengantarkannya menjadi RI 1 dua kali berturut-turut. Cukuplah beliau meneladani ajaran moral Nabi dalam memimpin, rakyat dan kita semua akan mencintai dan mendukungnya. Akankah sejarah berulang dengan SBY bertindak layaknya Umar bin Khathtab, Ali bin Abi Thalib, atau pemimpin yang malah tumbang di tangan rakyatnya sendiri? Sejarah akan menjawab.

Keteladanan Rasulullah Muhammad menjadi referensi yang sejalan dengan ruang dan waktu, dimanapun seseorang berada pada sebuah zaman. Uswah, keteladanan beliau adalah sebuah jalan yang terang, bersih dari dusta, pengkhianatan, kebodohan, jauh dari sikap hiprokit. Siapa saja yang memimpin suatu negeri tanpa bersendikan teladan nabi, pasti jauh dari kebaikan dan kesejahteraan.*

Pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad, Malang-Jawa Timur

 

Oleh: Ali Akbar bin Agil

sumber: Hidayatullah.com

Seperti Apakah Pemimpin yang Baik?

“Setiap manusia diamanahi menjadi seorang pemimpin dan amanah ini suatu saat pasti akan dimintai pertanggungjawabannya”

Pemimpin, ketika mendengar kata tersebut mungkin yang terlintas dalam pikiran kita adalah seorang pemimpin negara, pemimpin organisasi, pemimpin lembaga, dan lainnya. Kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan adalah sosok pemimpin seperti apakah yang sebenarnya dibutuhkan untuk dapat memimpin sebuah organisasi atau dalam lingkup yang lebih luas seperti sebuah negara?
Menjadi seorang pemimpin merupakan sebuah amanah besar yang harus dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab sebab kelak segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang pemimpin, mulai dari hal yang paling kecil sampai hal yang paling besar, akan diperhitungkan pada suatu hari yang pasti, yakni Hari Penghisaban.

Sesungguhnya setiap manusia diamanahkan oleh Allah untuk menjadi seorang pemimpin. Ya, setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin kita harus mampu mengorganisir diri dengan semaksimal mungkin, mulai dari manajemen waktu yang baik, mengontrol diri dalam berbicara, bersikap, dan berperilaku, sampai dalam hal menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan dan istirahat. Jika kita telah mampu menjadi pemimpin yang baik untuk diri kita sendiri barulah kita kembangkan potensi kepemimpinan ini dalam ranah yang lebih luas seperti organisasi atau lembaga.

Seorang pemimpin dalam sebuah organisasi/lembaga merupakan sosok yang mempunyai peran penting terkait “mau dibawa kemana” organisasi/lembaga tersebut. Akibat peran penting yang diemban oleh seorang pemimpin, maka yang menjadi pemimpin suatu organisasi/lembaga haruslah seorang yang mempunyai parameter dan indikator sebagai pemimpin yang baik. Berikut adalah beberapa indikator yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menurut penulis.

Pertama, pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi anggotanya sebab pada hakikatnya kepemimpinan adalah sebuah seni mempengaruhi serta memberikan motivasi anggota untuk bekerja keras demi tercapainya tujuan dan cita-cita organisasi/lembaga tersebut. Akan tetapi, kemampuan mempengaruhi ini harus dilakukan dengan seni –teknik menyampaikan- yang tepat, sebab jika kurang tepat dalam cara menyampaikan dikhawatirkan malah meninggalkan persepsi yang salah kepada para anggota.
Kedua, pemimpin harus bersikap jujur dan terbuka. Kejujuran merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki setiap pemimpin sebab jika dalam hal kejujuran saja seorang pemimpin sudah meragukan maka bagaimana ia mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Kejujuran di sini juga terkait keterbukaan (transparansi) seorang pemimpin kepada anggotanya, yakni dalam menghadapi suatu permasalahan. Setiap anggota mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran dari setiap permasalahan yang ada. Jangan sampai keputusan dalam menghadapi suatu permasalahan hanya diputuskan oleh pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggotanya.

Ketiga, pemimpin harus bersikap adil dan bijaksana. Dalam menghadapi suatu permasalahan seorang pemimpin harus bijaksana memandang masalah tersebut dari berbagai sisi sehingga dalam penyelesaiannya yang didiskusikan bersama anggota, akan dihasilkan sebuah keputusan yang tidak menguntungkan salah satu pihak/golongan. Dengan demikian, hasil keputusan tersebut dapat bersifat adil. Untuk kriteria ketiga ini sangat berhubungan dengan kriteria sebelumnya, yaitu jujur dan terbuka. Keputusan yang diambil ketika menghadapi suatu permasalahan harus sebelumnya terdapat keterbukaan dalam menyampaikan duduk permasalahan kepada anggota, sehingga keputusan yang diambil dapat bersifat adil dan dapat menunjukkan kebijaksanaan seorang pemimpin.

Keempat, pemimpin harus disiplin. Salah satu sifat yang dimiliki oleh pemimpin yang baik adalah disiplin. Artinya, setiap pemimpin harus mampu memajemenkan diri dengan baik sehingga kedisplinannya tersebut dapat dijadikan tauladan untuk para anggotanya. Satu hal yang harus selalu diingat oleh seorang pemimpin, yaitu “Pemimpin harus sudah selesai dengan dirinya sendiri. Private Sector harus selesai sebelum mengurus Public Sector.” Dengan demikian, ketika seorang pemimpin sedang terjun ke ranah publik, sudah tidak lagi sibuk mengurusi hal-hal privat yang belum terselesaikan.

Kelima, pemimpin harus mempunyai wawasan yang luas. Memimpin sebuah organisasi/lembaga berarti harus siap untuk menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang menghampiri. Oleh karena itu, wawasan yang luas harus dimiliki setiap pemimpin untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Hal ini juga dapat dikembangkan dengan menumbuhkan sifat Open Minded.

Keenam, pemimpin harus mampu membangun kerja sama yang baik dengan anggotanya. Dalam mengelola sebuah organisasi/lembaga, seorang pemimpin tidaklah mampu untuk menjalankan dan mengelolanya sendiri, melainkan pasti membutuhkan kerjasama dengan anggota. Pemimpin harus dapat membentuk suasana kerjasama yang nyaman sehingga anggota menjadi lebih produktif. Dengan demikian, melalui kerja sama yang sinergis ini tujuan dan cita-cita organisasi dapat tercapai. Akan tetapi, satu hal yang harus dipahami oleh seorang pemimpin, yakni seorang bos akan berkata “You Go!” kepada para anggotanya, sedangkan seorang pemimpin adalah yang berkata “Let’s Go!”.

Ketujuh, pemimpin harus senang mendengarkan. Hal ini yang seringkali luput dari pemimpin saat ini, yaitu kemampuan untuk mendengarkan. Ya, kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik tidak dimiliki oleh semua orang, sebab kebanyakan orang-orang lebih suka untuk didengarkan daripada untuk mendengarkan. Padahal mendengarkan adalah sebuah kesempatan untuk lebih memahami dan mengerti, tentu akan sangat penting bagi seorang pemimpin, yakni pemahaman terhadap anggotanya. Ironinya adalah tidak semua pemimpin mau mendengarkan aspirasi dari orang lain, bahkan angggotanya sendiri, terbukti dengan adanya sikap “memilih-milih” orang yang sekiranya diajak berdiskusi olehnya. Bukankah pepatah mengatakan “Jangan lihat siapa yang menyampaikan, melainkan dengarlah apa yang disampaikan.”

Dengan demikian, pemimpin yang baik pasti seorang pendengar yang baik. Ia akan semakin dihormati dan dikagumi para anggotanya sebab kerendahan hati yang dimiliki dengan kesediaannya untuk menjadi pendengar yang baik.
Terakhir –namun bukan yang terkahir-, pemimpin harus berani untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Dalam memimpin sebuah organisasi seorang pemimpin harus berusaha semaksimal mungkin untuk tetap mengarahkan anggota dan organisasi/lembaga yang dipimpinnya agar selalu berada di jalan yang Allah ridhoi sebab tanggung jawab sebagai seorang pemimpin bukanlah tanggung jawab yang main-main, melainkan sebuah amanah besar yang harus dipertanggung jawabkan.

Beberapa indikator yang telah disebutkan di atas memang bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dipenuhi, sebab manusia bukanlah makhluk yang sempurna, tentu memiliki kekurangan. Akan tetapi, seorang pemimpin yang baik akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut, mengingat amanah yang diembannya ini pasti kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sumber: Dakwatuna.com

Inilah Dalil-Dalil Mengharamkan Umat Islam Memilih Pemimpin Kafir

Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin bagi umat Islam berarti menentang Allah SWT dan Rasulullah SAW serta Ijma’ Ulama. Memilih orang kafir sebagai pemimpin umat Islam berarti memberi peluang kepada orang kafir untuk “mengerjai” umat Islam dengan kekuasaan dan kewenangannya.

Berikut ini adalah sejumlah Dalil Qur’ani beserta Terjemah Qur’an Surat (TQS) yang menjadi dasar untuk bersikap dalam memilih pemimpin :

1.  Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai Pemimpin

QS. 3. Aali ‘Imraan : 28.

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”

QS. 4. An-Nisaa’ : 144.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”

QS. 5. Al-Maa-idah : 57.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”

2.  Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai Pemimpin walau Kerabat sendiri :

QS. 9. At-Taubah : 23.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan BAPAK-BAPAK dan SAUDARA-SAUDARAMU menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

QS. 58. Al-Mujaadilah : 22.

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling  berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu BAPAK-BAPAK, atau ANAK-ANAK atau SAUDARA-SAUDARA atau pun KELUARGA mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

3. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai teman setia

QS. 3. Aali ‘Imraan : 118.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi TEMAN  KEPERCAYAANMU orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang  disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

QS. 9. At-Taubah : 16.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi TEMAN SETIA selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman ? Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

4. Al-Qur’an melarang saling tolong dengan kafir yang akan merugikan umat Islam

QS. 28. Al-Qashash : 86.

“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi PENOLONG bagi orang-orang kafir.”

QS. 60. Al-Mumtahanah : 13.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan PENOLONGMU kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.”

5. Al-Qur’an melarang mentaati orang kafir untuk menguasai muslim

QS. 3. Aali ‘Imraan : 149-150.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu MENTAATI orang-orang yang KAFIR itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allah lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong.”

6. Al-Qur’an melarang beri peluang kepada orang kafir sehingga menguasai muslim

QS. 4. An-Nisaa’ : 141.

“…… dan Allah sekali-kali tidak akan MEMBERI JALAN kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”

7. Al-Qur’an memvonis munafiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 4. An-Nisaa’ : 138-139.

“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan  yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”

8. Al-Qur’an memvonis ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 5. Al-Maa-idah : 51.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM.”

9. Al-Qur’an memvonis fasiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 5. Al-Maa-idah : 80-81.

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang FASIQ.”

10. Al-Qur’an memvonis sesat kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin

QS. 60. Al-Mumtahanah : 1.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu     karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu  nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah TERSESAT dari jalan yang lurus.”

11. Al-Qur’an mengancam azab bagi yang jadikan kafir sbg Pemimpin / Teman Setia

QS. 58.  Al-Mujaadilah : 14-15.

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman ? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka AZAB yang sangat  keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”

12. Al-Qur’an mengajarkan doa agar muslim tidak menjadi sasaran fitnah orang kafir

QS. 60. Al-Mumtahanah : 5.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (SASARAN) FITNAH bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

 

sumber: VOA Islam

Petunjuk Al-Quran dalam Memilih Pemimpin

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah “aset”, karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”.(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah saw: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu”.(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah”. Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, “Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami”. Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, “Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat”. Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

 

Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cerminâ” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.

Sikap rakyat terhadap pemimpin
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, “Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”. dan Q. S. At-Taubah (9): 129, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

 

Oleh: Agus Saputera

Penulis adalah:
Staf Hukmas dan KUB
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag)
Prov. Riau

Pekanbaru, 18 Februari 2011

sumber: Kemenag RI/Riau

Memilih Pemimpin Muslim ataukah Non Muslim yang Bersih dan Adil?

Manakah yang mesti dipilih jika ada dua pilihan. Ada calon pemimpin yang muslim namun suka bermaksiat, ataukah non muslim yang dikatakan bersih dan adil?

Yang jelas, tidak pantas non muslim menguasai rakyat yang mayoritas muslim. Kenapa demikian?

Karena memang Allah melarangnya. Islam itu tinggi, artinya di atas, bukan di bawah, bukan berada dalam kekuasaan non muslim. Sangat tidak pantas Islam yang mulia ini malah dikuasai oleh non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 141)

Memang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264). Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.

Lantas manakah yang mending memiliki pemimpin muslim namun kerap korupsi ataukah pemimpin non muslim yang jujur, adil dan anti korupsi?

Kita dapat ambil pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini.

Ibnu Mas’ud berkata,

لأَنْ أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأنَا صَادِقٌ

“Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai daripada aku jujur lalu bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Kabir. Guru kami, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Kata Syaikh Sholeh Al Fauzan, di antara faedah dari hadits di atas adalah bolehnya mengambil mudarat yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua kemudaratan. (Al Mulakhos fii Syarh Kitabit Tauhid, hal. 328).

Kaedah dari pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah,

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ المفْسَدَتَيْنِ بِتَرْكِ أَثْقَلِهِمَا

“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,

جَوَازُ اِرْتِكَابِ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)

Kalau kita bandingkan saat mesti memilih antara pemimpin muslim yang gemar maksiat dengan pemimpin non muslim yang jujur dan adil, maka tetap saja pemimpin muslim lebih utama untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa alasannya?

Alasan pertama, kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir. Alasan kedua, kita akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin semacam itu lebih mengerti akan kebutuhan kaum muslimin. Alasan ketiga, non muslim tidak mudah menindas kaum muslimin atau menyebar ajaran mereka.

Kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi, itu adalah kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas tindak jeleknya. Namun agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun akan peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim yang bermaksiat masih lebih mending, berbeda dengan non muslim yang diancam akan kekal di neraka.

Jadi bagi yang masih mengatakan pemimpin non muslim itu lebih baik, berpikirlah dengan nalar yang baik dan banyak mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut non muslim  dalam ayat berikut ini,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6). Ini firman Allah loh yang tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan wahyu.

Loyalitas seorang muslim haruslah kepada sesama muslim bukan kepada yang berlawanan agama dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Dalam ayat lain disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

Marilah kaum muslimin melihat realita yang terjadi. Cobalah renungkan sejenak, bagaimana nasibnya nanti jika akhirnya pemimpin non muslim yang akan maju sebagai pewaris kekuasaan.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

 

sumber: Rumaysho.com