Hukum Suntik dan Mandi Menyelam Ketika Puasa

DI antara yang dapat membatalkan puasa adalah adalah memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan makanan atau air ke dalam mulut hingga masuk ke tenggorokan. Namun, perkara  memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka tidak lah sesederhana itu. Menariknya, dalam hal ini Syeikh al-Habib Hasan di dalam kitabnya yang berjudul al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat, halaman 451-454 menjelasakan beberapa permasalahan yang menarik seputar wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf, di antaranya.

Pertama, hukum suntik bagi orang yang berpuasa

Adapun hukumnya adalah dibolehkan dalam keadaan darurat, akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam hal batalnya puasa atau tidak, perbedaan tersebut terbagi tiga pembagian. Pertama, suntik ataupun benda lain yang semacamnya itu membatalkan puasa, karena ia masuk kedalam rongga (jauf). Kedua, ulama mengatakan hal tersebut tidak membatalkan puasa, dengan alasan bahwa suntik ataupun jarum tersebut tidak masuk melalui lubang yang terbuka (ghoir manfadz maftuh). Ketiga, apabila suntik atau hal semacamnya itu mengandung bahan makanan atau vitamin, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Namun kalau seandainya tidak mengandung bahan makanan, di sini terdapat beberapa perincian. Apabila jarum atau suntik itu dimasukkan melalui lubang yang tidak terbuka (ghoir manfadz maftuh) seperti lengan, jari, paha, kepala,  dan lain-lain, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Adapun jika benda tersebut dimasukkan melalui lubang yang terbuka (manfadz maftuh) seperti dubur, telinga, hidung, mulut maka ia membatalkan puasa.  Dalam hal ini untuk berhati-hati, maka lebih baik tidak memasukkan jarum suntik ke dalam anggota tubuh ketika sedang berpuasa, karena keluar dari perbedaan pendapat ulama itu dianjurkan (al-Khuruj min al-Khilaf Mustahab).

Kedua, hukum menelan dahak

Adapun perkara menelan dahak bagi orang yang berpuasa ada perincian menarik dari para ahli fiqih. Pertama, apabila seseorang menelan dahaknya tatkala masih di pangkal tenggorokan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.  Kedua, apabila seseorang menelan dahaknya yang sudah berada di atas pangkal tenggorokan atau diujung tenggorokan, maka hal demikian membatalkan puasa. (Lihat juga: Nihayah al-Muhtaj ditulis oleh Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin al-Ramli, juz 3, hlm.135).

Ketiga, hukum menelan air liur

Hal ini tidaklah membatalkan puasa karena perkara menelan air liur ini sangat sulit untuk pencegahannya, namun dengan tiga syarat. Pertama, air liur tersebut mesti murni. Artinya tidak boleh bercampur dengan zat lain, apabila bercampur dengan air, darah atau zat yang lain. Lalu air liur tersbut ditelan, maka dalam hal ini puasanya dihukumi batal, karena air liur tersebut sudah bercampur dengan zat lain. Kedua, bahwa air liur yang ditelannya tersebut harus suci. Artinya jika air liur tersebut terkontaminasi dengan najis, maka ia membatalkan puasa tatkala ditelan. Ketiga, air liur tersebut harus berasal dari dalam atau dirinya sendiri. Maka apabila air liur tersebut ia permainkan dan telah keluar melewati bibir bagian merahnya kemudian ia telan kembali, ketahuilah perkara tersebut membatalkan puasa. (Lihat juga: Minhaj al-Thalib wa Umadah al-Muftin ditulis oleh Imam an-Nawawi hlm,75).

Keempat, hukum apabila masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga dll kecuali mata) tanpa tersengaja ketika mandi.

Dalam hal ini ulama membahasnya secara mendalam sekali, oleh karenanya hukum ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, apabila seseorang tersebut mandi karena ada sebab masyru’, seperti mandi junub atau mandi sunnah jum’at lalu masuk air ke dalam lubang yang terbuka seperti, dubur, mulut, hidung, telinga, kecuali mata, sementara orang yang berpuasa itu tidak  mandi menyelam, hal tersebut tidak membatalkan puasa. Namun, apabila ia mandi menyelam di sungai atau hal semacamnya. Kemudian masuk air ke dalam rongga yang terbuka seperti, dubur, telinga, mulut, hidung kecuali mata. Maka puasa orang tersebut dihukumi menjadi batal, karena mandi menyelam bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh, atas dasar inilah orang tua dahulu melarang anaknya mandi menyelam tatkala berpuasa. Dan apabila ia mandi tanpa ada sebab syara’ (ghoir al-masyru’), seperti mandi untuk mendinginkan badan atau membersihkan kotoran di badan, lalu masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga) maka puasa orang tersebut dihukumi batal, sekalipun mandinya tidak menyelam. (Lihat juga : Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Malibary, hlm 268).

Kelima, hukum apabila tertelan air ketika berkumur-kumur (Madhmadhah) atau memasukkan air ke dalam hidung (Istinsyaq). Menarik sekali, karena dalam hal ini fuqoha’ syafi’iyah menjelaskan secara rinci. Pertama, apabila seseorang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur atas perkara yang dianjurkan oleh syara’ (masyru’) seperti berkumur-kumur sebelum berwudhu’. Kemudian, jika seandainya di saat itu tertelan air, maka tidaklah membatalkan puasa dengan syarat ia berkumur-kumur dengan cara tidak berlebih-lebihan (mubalagho’). Kemudian apabila ia berkumur-kumur dengan cara mubalagho sampai ke pangkal tenggorokannya, lalu airnya tertelan, maka puasanya dihukumi batal karena berlebih-lebihan (mubalagho) bagi orang berpuasa hukumnya makruh. Kedua, puasanya dihukumi batal, apabila orang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur (mubalagho atau pun tidak) atas perkara yang tidak diperintahkan agama (ghoir al-masyru’), seperti berkumur-kumur di saat selesai berkerja atau keluar rumah. kemudian tatkala itu tertelan air walaupun tanpa sengaja, hal tersebut tetap membatalkan puasa, karena ia berkumur-kumur tanpa ada anjuran dari syara’ (ma’mur). Allahu’alam.*

Oleh: Muhammad Karim

Asatidz Tafaqquh Study Club

HIDAYATULLAH