Janganlah Kalian Memuji Diri Sendiri!

DALAM kajian seputar raqaiq (membangun kelembutan hati), kita selalu diajarkan bahwa tidak ada pujian yang berarti selain pujian Allah, dan tidak ada celaan yang berarti, selain celaan dari Allah, karena Dia-lah Zat yang mengetahui kondisi hamba-Nya lahir batin. Allah Taala berfirman, “Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertakwa.” (QS. an-Najm: 32)

Karena itulah, seorang mukmin akan lebih memperhatikan kondisi batinnya dibandingkan penilaian orang lain. Manusia hanya bisa menilai lahiriah, sementara kondisi batin mereka buta. Kami tidak mengetahui adanya doa khusus dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kita mendengar pujian orang lain. Hanya saja ada riwayat dari sahabat yang membaca doa berikut ketika dia berdoa.

Dari Adi bin Arthah rahimahullah (seorang ulama Tabiin) beliau bercerita, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”

Doa ini diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 761) dan sanadnya dishahihkan al-Albani. Juga al-Baihaqi dalam Syuaabul Iman (4/228). Doa ini menunjukkan bahwa sahabat adalah manusia yang jauh dari karakter bangga dengan pujian manusia. Bahkan mereka mengakui kekurangan yang mereka miliki, yang itu tidak diketahui orang yang memuji. Dengan ini akan menghalangi kita dari potensi ujub. Dengan ini pula kita akan lebih mudah mengakui kekurangan kita. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Tanda Ikhlas: Menganggap Sama Pujian dan Celaan

Di antara tanda ikhlas adalah menggap sama antara pujian dan celaan. Dengan adanya pujian tidak menjadikan dirinya bangga dan adanya celaan pun tidak menyurutkan semangatnya untuk beramal. Tanda ikhlas seperti inilah yang dituntut saat beramal dan berdakwah.

Perintah untuk ikhlas disebutkan dalam ayat,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan. Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.

Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.[1]

Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal dan berdakwah.

Selesai disusun ba’da Zhuhur di Darush Sholihin, 24 Muharram 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23439-tanda-ikhlas-menganggap-sama-pujian-dan-celaan.html

Jangan Terlena dengan Pujian

Berhati-hatilah dengan pujian. Seringkali pujian membuat orang melupakan dengan hakikat dirinya yang sebenarnya. Banyak orang memuji, bukan berarti apa yang ada pada diri kita adalah sama persis seperti apa yang dipuji oleh banyak orang.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَجُلًا ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَيْحَكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ – يَقُولُهُ مِرَارًا – إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يُرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ، وَحَسِيبُهُ اللَّهُ، وَلاَ يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا”

Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya: Ada seseorang berada di dekat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Lalu ada orang lain yang memuji-muji orang tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka engkau! Engkau telah menebas leher kawanmu.” – Nabi mengulang kata tersebut berulang kali – Jika kamu mau memuji, dan itu harus memuji, maka katakan, “Aku sangka (aku kira) dia demikian dan demikian” jika dia menyangka kawannya memang seperti itu, “dan yang mengetahui pasti adalah Allah, dan aku tidak mau memastikan (keadaan) seseorang di sisi Allah.” (HR. Bukhari no. 6061 dan Muslim no. 3000)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan bahwasannya ujub dapat disebabkan karena pujian yang berlebihan. Jika pada saat seseorang memuji kawannya atau orang lain di hadapannya, dan dapat menyebabkan orang yang dipuji tersebut merasa besar diri dan bangga dengan amalannya, maka hal ini dimakruhkan. Adapun pujian kepada seseorang yang orangnya tidak ada di tempat itu, maka hal tersebut adalah sanjungan yang baik. 

Dalam hadis ini juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang memuji orang lain itu dengan mengatakan “Celaka kamu, kamu telah menebas leher kawanmu”. Artinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai perilaku semacam ini.

Diriwayatkan  dari Abdullah bin Syakir,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَنْتَ سَيِّدُ قُرَيْشٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” السَّيِّدُ اللهُ “، فَقَالَ: أَنْتَ أَفْضَلُهَا فِيهَا قَوْلًا، وَأَعْظَمُهَا فِيهَا طَوْلًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لِيَقُلْ أَحَدُكُمْ بِقَوْلِهِ وَلَا يَسْتَجِرَّنَّهُ الشَّيْطَانُ أَوِ الشَّيَاطِينُ”

Suatu hari seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia mengatakan, “Apakah anda sayyidul Quraisy?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “As Sayyid adalah Allah.” Maka sahabat mengatakan, “Engkau adalah orang yang paling mulia di antara kita, paling besar jasanya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Katakanlah perkataan yang biasa kalian ucapkan, dan jangan jadikan perkataan kalian menjadi tunggangan setan-setan.”  (HR. Ahmad no. 16316, Abu Daud no. 4706) 

Dari hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja melarang seseorang memuji di hadapan beliau, lalu bagaimanakah dengan orang yang levelnya pasti di bawah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berhati-hatilah dengan hati manusia yang lemah. Jika dipuji, maka dapat menyebabkan masuknya ujub dalam hatinya, yang dapat mempengaruhi perilaku dan tindakannya. Dalam redaksi hadis yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نَحْثِيَ فِي وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ

“Rasulullah memerintahkan kami untuk melemparkan debu di wajah orang-orang yang suka memuji.” (HR. Muslim no. 3002)

Berhati-hati juga dengan diri kita, jika kita merasa bangga dan senang jika dipuji secara langsung, karena hal tersebut merupakan salah satu ciri dari kemunafikan. Allah Ta’ala berfirman

إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ قَالُواْ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ ١

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 1)

Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan firmannya,

ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّهُمۡ سَآءَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢

“Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-Munafiqun [63]: 2)

Maksud (ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ) adalah mereka menjadikan itu penghalang atau tameng, kemudian “Mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini adalah sifat orang munafik dan orang yang suka cari muka. Maka kita harus waspada terhadap mereka. Jangan biarkan mereka berlebihan dalam perilaku yang terlarang ini. Inilah alasan pertama mengapa pujian langsung di hadapan seseorang itu dilarang.

Alasan lainnya kenapa pujian langsung itu dilarang adalah karena pujian yang dia tujukan kepada manusia sejatinya Allah Ta’ala juga ikut menyaksikannya. Allah Ta’ala mengetahui keadaan sejati seseorang yang tidak diketahui oleh oran lain satu pun. Maka tidak ada yang mengetahui batin manusia kecuali Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui hakikat ketulusan amal manusia kecuali hanya Allah Ta’ala saja. Dan tidak pula ada yang mengetahui apakah amalannya diterima ataukah tidak kecuali Allah Ta’ala saja. 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkoreksi orang tersebut, dan beliau mengganti perkatannya dengan redaksi

أَحَسِبُحُ كَذَلِكَ، وَاللهُ حَسِيْبُهُ

“Aku menyangka dia demikian, dan Allah lah yang akan menghisabnya.”

Karena Allah Ta’ala yang memperhitungkan dan mengetahui amalan seseorang. Allah Ta’ala mengetahui niat dan maksudnya. Inilah adab kepada Allah Ta’ala. Tidak selayaknya seseorang memuji dirinya sendiri di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (QS. An-Najm [52]: 32)

Kesimpulan yang bisa kita pelajari dari hadis ini adalah larangan berlebihan dalam memuji orang lain. Karena tidaklah ada jaminan terhindarnya ujub pada dirinya. Ujub yang membuat dia berkeyakinan kalau dia berhak mendapatkan pujian tersebut. Hal ini menyebabkan dia menelantarkan amal dan tidak punya perhatian kepada ketaatan, karena mengandalkan pujian yang ada pada dirinya. 

Penulis: Azka Haris Sartono

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54736-jangan-terlena-dengan-pujian.html

Menyikapi Pujian

ALHAMDULILLAH. Puji dan syukur hanya untuk Allah, Dzat yang menjadi tempat kembali segala pujian. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.

Pujian adalah hal yang lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Kerap kali kita mendapat pujian dari atasan kita, dari orangtua, dari anak, atau dari teman kita. Padahal ketahuilah saudaraku, sesungguhnya pujian itu datang tiada lain adalah karena mereka tidak tahu saja keburukan kita.

Ya, sesungguhnya kita dipuji oleh orang lain bukan karena kebaikan kita, melainkan karena Allah Swt. menutupi keburukan-keburukan kita dari pandangan manusia. Seandainya saja Allah membukakan keburukan kita dan seandainya saja keburukan kita mengeluarkan bau tak sedap, niscaya tak ada seorang pun yang mau duduk di dekat kita.

Tidak bisa dipungkiri, manusia akan merasa senang jika mendapat pujian. Oleh karena itulah pujian sebenarnya melenakan. Bukankah pujian itu semata-mata karena orang lain tak mengetahui diri kita yang sebenarnya? Semakin kita merasa senang dipuji, maka semakin kita lalai untuk menyadari kekurangan diri. Dan, akan semakin membuat kita lalai dari memperbaiki keadaan diri.

Itulah mengapa Rasulullah Saw pernah berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari). Lewat doa ini Nabi Saw. menyampaikan pesan kepada kita bahwa pujian orang lain bisa membuat diri kita lupa kepada Allah Yang Maha Terpuji. Tidak heran, dalam haditsnya yang lain Rasul Saw. juga pernah berpesan agar melemparkan pasir kepada orang yang suka memuji. Ini adalah pesan yang menyiratkan bahwa betapa pujian bisa sangat membahayakan.

Imam Al Ghazali menerangkan bahwa orang yang dipuji sedang menghadapi dua keburukan. Pertama, ia bisa terjangkit penyakit sombong dan merasa diri hebat (ujub). Padahal sombong dan ujub adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Kedua, ia bisa lupa diri karena terlena dengan pujian.

Saudaraku, seharusnya pujian yang orang lain berikan kepada kita itu membuat kita malu dan berkaca diri. Benarkah kita sebagaimana yang mereka katakan. Karena, sesungguhnya pujian itu datang disebabkan mereka mengira sesuatu yang sebenarnya tak ada pada diri kita.

Namun, orang yang cinta dunia akan menikmati pujian-pujian itu. Bahkan, ia akan berusaha mencari pujian dari orang lain pada setiap pekerjaan yang ia lakukan. Ia akan terus membagus-baguskan topeng daripada membaguskan isi atau kualitas dirinya. Ketika pujian itu ia dapatkan, maka puaslah hatinya. Sedangkan ketika pujian itu tidak ada, maka kecewalah dia. Pada orang seperti ini, tidak ada Allah di dalam hatinya. Naudzubillahi mindzalik.

Coba kita tafakuri, apakah yang ada pada diri kita sehingga bisa menjadi alasan bahwa diri kita ini pantas untuk dipuji. Kita ini hanya makhluk lemah, berasal dari setetes air mani, yang kemana-mana membawa maaf- kotoran, dan akhirnya nanti menjadi bangkai. Kita pun sekedar makhluk yang tak punya apa-apa, selain sekedar titipan dari Allah Swt.

Oleh sebab itu, sikap terbaik dikala mendapat pujian dari orang lain adalah segera mengembalikan pujian itu kepada Dzat yang paling berhak untuk dipuji, Allah Swt. Kemudian, segera beristighfar memohon ampun kepada Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasul Saw. Dan, berdoalah kepada Allah supaya kita dibimbing-Nya agar menjadi pribadi yang lebih baik daripada persangkaan manusia.

Ketika mendapat pujian, Rasulullah Saw. berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui.” (HR. Bukhari). Dan, jikapun pujian yang mereka sampaikan itu memang benar ada di dalam diri kita, maka berdoalah sebagaimana doa Rasul Saw., “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR. Bukhari).

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang terampil menjaga hati dari kesombongan akibat pujian orang lain. Dan, semoga kita pun termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa rendah hati dan bersemangat untuk terus-menerus membersihkan hati dan memperbaiki diri. Wallahu alam bishawab. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Doa Kala Kita Dipuji oleh Orang Lain

PARA ulama mengatakan, kalau ada yang memujimu, bacalah doa seperti berikut. Ketika dipuji, Abu Bakr berdoa,

Allahumma anta alamu minni bi nafsiy, wa anaa alamu bi nafsii minhum. Allahummaj alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa yalamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.

[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syuab Al- Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami Al-Ahadits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25: 145, Asy-Syamilah)

Sebagaimana disebutkan Al-Baihaqi dalam Syuab Al-Iman, Al-Auzai mengatakan bahwa ketika seseorang dipuji oleh orang lain di hadapan wajahnya, maka hendaklah ia mengucapkan doa di atas.

Disebutkan pula dalam Adabul Mufrod karya Imam Al Bukhari mengenai hadits di atas ketika beliau sebutkan dalam Bab “Apa yang disebutkan oleh seseorang ketika ia disanjung.”

Begitu pula disebutkan dalam kitab Hilyatul Awliya karya Abu Naim Al Asbahaniy bahwa ketika seseorang dipuji di hadapannya, hendaklah ia mengingkari, marah dan tidak menyukainya, ditambah membaca doa di atas.

Semoga bermanfaat. [Referensi: Al-Mawsuah Al-Fiqhiyyah/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Ingatlah Nasihat, Lupakan Pujian yang Menjatuhkan

SELALULAH ingat orang yang pernah menolongmu, lupakan orang yang pernah engkau tolong. Selalulah ingat dosa-dosa yang telah kau lakukan, lupakan menghitung pahala yang telah kau kumpulkan. Selalulah ingat nikmat surga saat kau dapati keletihan dan beratnya menjaga iman dan amal, lupakan lezat dan keindahan maksiat berbanding dengan pedihnya azab akhirat.

Selalulah ingat orang yang pernah engkau sakiti, lupakan orang yang pernah menyakitimu. Selalulah ingat, nikmat-nikmat yang pernah kau dapatkan, lupakan duka dan luka yang pernah kau rasakan. Selalulah ingat orang-orang yang pernah mengajarimu, lupakan orang-orang yang pernah engkau ajari.

Selalulah ingat harta yang belum engkau sedekahkan, lupakan harta yang telah engkau infakkan. Selalulah ingat orang-orang yang kekurangan dan ditimpa nestapa, lupakan khayalan-khayalanmu tentang orang-orang yang diberi kelebihan dunia.

Selalulah ingat ilmu yang belum kau amalkan, lupakan amal dari ilmumu yang telah engkau laksanakan. Selalulah ingat akhirat yang kian dekat mendatangimu, lupakan dunia yang telah pergi meninggalkanmu. Selalulah ingat istri/suamimu yang halal bagimu dan setia mendampingimu, lupakan laki-laki/wanita yang haram bagimu dan berupaya merayumu serta memikat hatimu.

Selalulah ingat bayang-bayang keberhasilan dari kerja kerasmu, lupakan bayang-bayang kegagalan yang pernah menghampirimu. Selalu ingatlah nasihat dan kritik membangun untukmu, lupakan pujian sanjungan yang dapat menjatuhkanmu. Wallahu A’lam.

 

[Ust. Abdullah Haidir Lc.]

INILAH MOZAIK

 

 

——————————————-

Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini! 

Bacalah Doa ini Ketika Anda Dipuji

DALAM kajian seputar raqaiq (membangun kelembutan hati), kita selalu diajarkan bahwa tidak ada pujian yang berarti selain pujian Allah. dan tidak ada celaan yang berarti, selain celaan dari Allah. karena Dia-lah Dzat yang mengetahui kondisi hamba-Nya lahir bathin. Allah Taala berfirman, “Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertaqwa.” (QS. an-Najm: 32)

Karena itulah, seorang mukmin akan lebih memperhatikan kondisi bathinnya dibandingkan penilaian orang lain. Manusia hanya bisa menilai lahiriyah, sementara kondisi bathin mereka buta. Kami tidak mengetahui adanya doa khusus dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kita mendengar pujian orang lain. Hanya saja ada riwayat dari sahabat yang membaca doa berikut ketika dia berdoa.

Dari Adi bin Arthah rahimahullah (seorang ulama Tabiin) beliau bercerita, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”

Doa ini diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 761) dan sanadnya dishahihkan al-Albani. Juga al-Baihaqi dalam Syuaabul Iman (4/228). Doa ini menunjukkan bahwa sahabat adalah manusia yang jauh dari karakter bangga dengan pujian manusia. Bahkan mereka mengakui kekurangan yang mereka miliki, yang itu tidak diketahui orang yang memuji. Dengan ini akan menghalangi kita dari potensi ujub. Dengan ini pula kita akan lebih mudah mengakui kekurangan kita. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

MOZAIK

Bagaimana Kita Menyikapi Pujian?

Alhamdulillah.Puji dan syukur hanya untuk Allah, Dzat yang menjadi tempat kembali segala pujian. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.

Pujian adalah hal yang lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Kerap kali kita mendapat pujian dari atasan kita, dari orangtua, dari anak, atau dari teman kita. Padahal ketahuilah saudaraku, sesungguhnya pujian itu datang tiada lain adalah karena mereka tidak tahu saja keburukan kita.

Ya, sesungguhnya kita dipuji oleh orang lain bukan karena kebaikan kita, melainkan karena Allah Swt. menutupi keburukan-keburukan kita dari pandangan manusia. Seandainya saja Allah membukakan keburukan kita dan seandainya saja keburukan kita mengeluarkan bau tak sedap, niscaya tak ada seorang pun yang mau duduk di dekat kita.

Tidak bisa dipungkiri, manusia akan merasa senang jika mendapat pujian. Oleh karena itulah pujian sebenarnya melenakan. Bukankah pujian itu semata-mata karena orang lain tak mengetahui diri kita yang sebenarnya? Semakin kita merasa senang dipuji, maka semakin kita lalai untuk menyadari kekurangan diri. Dan, akan semakin membuat kita lalai dari memperbaiki keadaan diri.

Itulah mengapa Rasulullah Saw. pernah berdoa,“Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.”(HR. Bukhari). Lewat doa ini Nabi Saw. menyampaikan pesan kepada kita bahwa pujian orang lain bisa membuat diri kita lupa kepada Allah Yang Maha Terpuji. Tidak heran, dalam haditsnya yang lain Rasul Saw. juga pernah berpesan agar melemparkan pasir kepada orang yang suka memuji. Ini adalah pesan yang menyiratkan bahwa betapa pujian bisa sangat membahayakan.

Imam Al Ghazali menerangkan bahwa orang yang dipuji sedang menghadapi dua keburukan.Pertama,ia bisa terjangkit penyakit sombong dan merasa diri hebat(ujub). Padahal sombong dan ujub adalah penyakit hati yang sangat berbahaya.Kedua,ia bisa lupa diri karena terlena dengan pujian.

Saudaraku, seharusnya pujian yang orang lain berikan kepada kita itu membuat kita malu dan berkaca diri. Benarkah kita sebagaimana yang mereka katakan. Karena, sesungguhnya pujian itu datang disebabkan mereka mengira sesuatu yang sebenarnya tak ada pada diri kita.

Namun, orang yang cinta dunia akan menikmati pujian-pujian itu. Bahkan, ia akan berusaha mencari pujian dari orang lain pada setiap pekerjaan yang ia lakukan. Ia akan terus membagus-baguskan topeng daripada membaguskan isi atau kualitas dirinya. Ketika pujian itu ia dapatkan, maka puaslah hatinya. Sedangkan ketika pujian itu tidak ada, maka kecewalah dia. Pada orang seperti ini, tidak ada Allah di dalam hatinya.Naudzubillahi mindzalik.

Coba kita tafakuri, apakah yang ada pada diri kita sehingga bisa menjadi alasan bahwa diri kita ini pantas untuk dipuji. Kita ini hanya makhluk lemah, berasal dari setetes air mani, yang kemana-mana membawa maaf- kotoran, dan akhirnya nanti menjadi bangkai. Kita pun sekedar makhluk yang tak punya apa-apa, selain sekedar titipan dari Allah Swt.

Oleh sebab itu, sikap terbaik dikala mendapat pujian dari orang lain adalah segera mengembalikan pujian itu kepada Dzat yang paling berhak untuk dipuji, Allah Swt. Kemudian, segera beristighfar memohon ampun kepada Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasul Saw. Dan, berdoalah kepada Allah supaya kita dibimbing-Nya agar menjadi pribadi yang lebih baik daripada persangkaan manusia.

Ketika mendapat pujian, Rasulullah Saw. berdoa,“Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui.”(HR. Bukhari). Dan, jikapun pujian yang mereka sampaikan itu memang benar ada di dalam diri kita, maka berdoalah sebagaimana doa Rasul Saw.,“Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.”(HR. Bukhari).

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang terampil menjaga hati dari kesombongan akibat pujian orang lain. Dan, semoga kita pun termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa rendah hati dan bersemangat untuk terus-menerus membersihkan hati dan memperbaiki diri.Wallahu alam bishawab. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar