KETAHUILAH bahwasanya dalam menghadapi takdir yang tidak disenangi, seorang hamba terbagi dalam tiga keadaan:
a. Dia ridha dengan takdir tersebut
Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya… ” (At-Taghabun [64]: 11).
Al-Qamah berkata, “Maksud musibah dalam ayat di atas adalah sebuah musibah yang menimpa seseorang dan dia menyadari bahwa takdir tersebut datang dari sisi Allah, kemudian ia pasrah dan ridha dengannya.”
Imam At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala apabila mencintai sebuah kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa yang ridha maka dia mendapatkan keridhaan dan siapa yang benci maka dia hanya akan mendapatkan kebencian.”
Dalam salah satu doanya Rasulullah menyebutkan: “Aku memohon kepada-Mu sikap ridha setelah mendapatkan takdir.” (HR An-Nasa’i).
Salah satu hal yang bisa memotivasi seorang mukmin untuk bersikap ridha dengan takdir Allah adalah merealisasikan makna keimanannya, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Menakjubkan bagi seorang mukmin, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menetapkan sesuatu bagi seorang mukmin kecuali (sesuatu itu-edt) baik baginya.”
Seseorang datang menemui Rasulullah dan meminta kepada beliau untuk berwasiat kepadanya, dengan wasiat yang ringkas dan padat. Rasulullah bersabda:
“Janganlah engkau menuduh Allah (salah) dalam keputusan yang telah ditetapkan-Nya kepadamu.” (HR Ahmad).
Abu Darda radiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya apabila Allah Subhanahu Wa Ta’alamenetapkan sebuah takdir, Dia ingin agar takdir tersebut diterima dengan ridha.” Sikap ridha adalah jika seorang hamba tidak menginginkan selain apa yang dia rasakan, baik kesukaran atau kemudahan.
Umar bin Abdul Aziz radiyallahu anhu berkata, “Saya berada di waktu pagi dan tidak memiliki rasa senang, kecuali terhadap kejadian-kejadian qadha’ dan qadar (takdir).”
b. Sabar menerima musibah
Tingkatan ini diperuntukkan bagi orang yang tidak bisa ridha dengan keputusan Allah. Sikap ridha adalah karunia yang dianjurkan dan disunnahkan, sementara sabar adalah sesuatu yang secara pasti diwajibkan kepada seorang mukmin.
Kesabaran memiliki kebaikan yang banyak. Allah memerintahkan untuk bersabar dan menjanjikan pahala yang besar kepada pelakunya, sebagaimana firman-Nya:
“…Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar [39]: 10).
Perbedaan antara ridha dan sabar bahwa sabar merupakan sikap menahan dan menjaga diri dari marah sekalipun ada perasaan sakit, dan menginginkan hilangnya sakit tersebut.
Juga menjaga anggota badan dari melakukan tindakan-tindakan yang menggambarkan ketidaksukaan, seperti keluhan dengan lisan, gerakan tangan atau gambaran tanda-tanda kemarahan di wajahnya.
Ada pun ridha adalah ketenangan hati dan kelapangan jiwa, menerima takdir Allah dan tidak menginginkan hilangnya kedukaan itu, sekalipun merasakan sakit dalam dirinya. Dengan demikian, keridhaannya telah membuat semuanya ringan, karena hatinya telah dipenuhi yakin dan ma’rifah (mengenal Allah).
c. Marah dengan keputusan Allah
Dengan bersikap seperti ini, seseorang bisa dinyatakan keluar dari lingkup orang-orang yang bertawakal menuju kelompok orang-orang yang menuduh Allah Rabb semesta alam dengan kejelekan, na’udzubillahi min dzalik!
Untuk lebih memahami ketiga sikap di atas, kita perlu mengetahui bahwa dalam menghadapi segala sesuatu yang tidak disukainya, seorang hamba memerlukan enam prinsip:
1. Prinsip tauhid
Yaitu bahwa segala sesuatu telah dikehendaki, diciptakan, dan ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.
2. Prinsip adil
Yaitu bahwa sesungguhnya Allah akan tetap menjalankan hukum-Nya dan adil dalam keputusan-Nya.
3. Prinsip rahmat
Maksudnya, seseorang memiliki pendirian bahwa rahmat Allah dalam semua ketentuan-Nya mengalahkan murka dan kemarahan-Nya.
4. Prinsip hikmah
Yaitu pemahaman yang menyebutkan bahwa sesungguhnya hikmah Allah mengharuskan demikian. Allah tidak pernah menakdirkan sesuatu yang sia-sia, tidak pula menetapkan sesuatu yang tidak berguna.
5. Prinsip al-hamdu (pujian)
Yaitu pemahaman bahwa sesungguhnya Allah memiliki pujian yang sempurna dalam segala segi.
6. Prinsip al-‘ubudiyah (dan ini yang paling tinggi dan mulia)
Yakni pemahaman yang berawal dari sebuah kesadaran bahwa manusia hanyalah seorang hamba dari segala aspek, berlaku ke atasnya semua hukum dan keputusan majikannya, dengan hukuman atas keberadaannya sebagai seorang hamba yang dimiliki.
Dia Subhanahu Wa Ta’ala memperlakukannya di bawah hukum yang telah ditentukan-Nya, sebagaimana dia menjalankannya di bawah hukum-hukum agama. Hal itu merupakan tempat dijalankan segala keputusan-Nya.*Dr. Hani Kisyik, dikutip dari bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia.
HIDAYATULLAH