Agar Semakin Dekat dengan Alquran di Bulan Suci Ramadhan

Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran

KH Ahsin Sakho Muhammad mengungkap untuk mendekatkan diri dengan Alquran dapat dimulai dengan membentuk mindset bahwa Alquran merupakan kitab suci yang perlu diimani, dan merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia. 

“Alquran merupakan kitab yang berisi nasehat-nasehat tentang kehidupan, obat dari penyakit hati, dan bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya,” ujar Mantan Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) itu. 

Alquran mengandung beragam macam aspek yang bermanfaat bagi manusia, sebagai obat dari segala penyakit hati, hidayah, rahmah, dan nasihat tentang kehidupan, diharapkan, dengan mengetahui aspek tersebut, akan muncul ketertarikan dan rasa cinta pada Alquran, ujar Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Fatwa Indonesia (MUI) Pusat itu. 

“Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran, setiap huruf yang dia baca akan bernilai 10 kebaikan, melihat mashaf juga dianggap sebagai ibadah, bahkan mendengarkan orang membaca Alquran juga termasuk ibadah,” jelasnya. 

Penasihat Yayasan Karantina Tahfidz Al-Quran Nasional (YKTN) Pusat itu menerangkan, dengan membaca Alquran dan menghayati setiap redaksi kata dan maknanya, akan membawa ketenangan hati dan menciptakan perasaan dekat dengan Sang Pencipta.  “Orang yang dekat dengan Alquran, akan menemukan kehadiran Allah melalui Kalam-Nya, jadi ini yang perlu kita tanamkan dalam benak kita agar bisa lebih dekat dengan Alquran.” 

“Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran. kalau ramadhan dianalogikan sebagai tamu kita, maka kita perlu menyenangkannya dengan sesuatu yang disenangi olehnya, yaitu dengan membaca Alquran, dan memaknai maksud didalamnya,” tutur Ahli Ilmu Qira’at dan Tafsir Alquran itu.

“Ramadhan adalah bulannya Alquran dan kita berharap, dengan mengisi ramadhan dengan membaca Alquran akan semakin menambah keimanan dan keyakinan kita terhadap keistimewaan Alquran. Selain itu, membaca Alquran itu tidak pernah menjemukan, dan itu keistimewaannya,” sambungnya. 

Teruntuk mereka yang masih ‘jauh’ atau belum mengenal Alquran, Mantan Sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama ini menyarankan agar bergabung dalam komunitas pencinta Alquran. 

“Untuk orang yang belum akrab dengan Alquran, perlu mempunyai komunitas atau masuk dalam komunitas pencinta Alquran, seperti komunitas one day one juz atau sejenisnya, karena dengan bergabung dengan pecinta Alquran, maka akan menular pula rasa kecintaan itu,” sarannya. 

“Kalau ada komunitas Alquran maka ikut saja, karena disana kita akan didorong untuk lebih intens mendekatkan diri pada Alquran,” ujarnya menambahkan. 

Cara lain yang dapat dilakukan agar lebih ‘dekat’ dengan Alquran adalah dengan mengakses informasi tentang orang-orang yang dapat dijadikan panutan dalam mempelajari ilmu Alquran, baik itu qari, atau da’i. “Melalui cara itu kita bisa menyadari pentingnya mempelajari Alquran, terlebih dalam situasi dimana resiko distorsi keimanan cukup tinggi, Alquran dapat menjadi penyelamat kita untuk mempertahankan keimanan, karena orang yang selalu bersama Alquran akan terhindari dari resiko tersebut.” 

“Mari kita merawat keimanan kita melalui Alquran,” pungkasnya.

Hal serupa juga diungkapkan Prof Didin Hafidhuddin. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menjelaskan, Alquran adalah pedoman hidup bagi kaum Muslimin, terutama mereka yang mengingainkan kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat.

Menumbuhkan kecintaan pada Alquran, harus diupayakan dan dilakukan secara terus-menerus, terutama selama bulan Ramadhan, waktu diturunkannya Alquran. “Alquran harus dibaca dan dipahami secara bertahap namun konsisten, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Mantan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) itu.

Adapun cara yang dapat dilakukan, menurut Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor ini, adalah membiasakan menyertakan Alquran dalam aktivitas sehari-hari. “Ini bisa dimulai dari lingkup keluarga, seperti mengadakan tadarus bersama.”

Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) ini menjelaskan, orang-orang yang gemar membaca Alquran dan senantiasa mendekatkan diri dengan Alquran, Allah SWT janjikan syafaat di hari akhir nanti. 

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,” (QS. Fathir: 29)

“Membaca Alquran tidak akan membuat siapapun merugi, sebaliknya akan membawa manfaat dan syafaat yang besar bagi kehidupan di dunia maupun akhirat,” pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

7 Persiapan Menyambut Ramadhan

TAK terasa kita memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu agung yaitu bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, kedatangan Ramadhan tentu akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat, menuai pahala dan sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa. Namun, bagaimana cara kita menyambut Ramadhan sesuai dengan tuntunan syariat? Apa yang mesti kita persiapkan?

Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menurut penulis, banyak amalan yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut kedatangan bulan Ramadhan, di antaranya yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Swt agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Swt. Berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang hamil dan yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban. Sebagaimana Aisyah r.a tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan. Menuntut ilmu ibadah hukumnya wajib ’ain. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara beribadah dengan benar yaitu sesuai dengan petunjuk Nabi saw sehingga ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar tersebut dengan berkata: ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu ibadah tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Ibadah tanpa mengikuti petunjuk Rasulullah saw tidak akan diterima Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang mengada-adakan urusan baru dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan berasal daripadanya, maka amalannya ditolak” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami, maka amalannya ditolak”. (HR. Muslim)

Ibadah yang dilakukan tanpa petunjuk Rasul saw tidak hanya ditolak, namun juga menuai murka Allah Swt. Rasul saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) itu bid’ah, dan semua bid’ah itu kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah).

Rasulullah saw juga bersabda: ”Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk urusan adalah mengada-adakan urusan baru (dalam agama). Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Suatu ibadah akan diterima oleh Allah Saw bila dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk mempersiapkan keilmuan kita dengan membaca kitab/buku mengenai Fiqh Puasa dan ibadah yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus Al-Quran, i’tikaf dan lainnya, agar ibadah kita sesuai Sunnah Nabi saw.

Kempat, persiapan jiwa dan mental. Persiapan ini penting dilakukan, agar jiwa kita siap untuk beribadah dengan full time dan optimal pada bulan Ramadhan. Caranya, dengan memperbanyak puasa sunnat di bulan sebelumnya (minimal di bulan Sya’ban) seperti puasa sunnat Senin dan Kamis, puasa ayyamul bidh (hari ke 13, 14, dan 15 pertengahan bulan hijriah) dan puasa Nabi Daud (sehari berpuasa dan sehari berbuka). Terlebih lagi pada bulan Sya’ban kita sangat dianjurkan memperbanyak puasa sunnat. Aisyah r.a berkata: “Aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa (sunnat) sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban. (HR. Muslim).

Adapun pengkhususan ibadah seperti shalat malam dan puasa pada nisfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka menurut para ulama perbuatan itu tidak ada satupun dalil shahih yang mensyariatkannya. Puasa nisfu Sya’ban tidak dikerjakan dan tidak pula diperintahkan oleh Nabi saw.

Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan kebanyakannya maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, para ulama Fiqh tidak menyebutkan dalam kitab-kitab Fiqh mereka bahwa shalat malam nisfu Sya’ban itu sebagai shalat Sunnat dan puasa nisfu Sya’ban itu sebagai puasa sunnat. Bahkan para ulama hadits menjelaskan kepalsuan hadits-hadits tersebut.

Imam Ibnu Al-Jauzi telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam berbagai persoalan agama, termasuk mengenai keutamaan nishfu Sya’ban di dalam kitabnya yang beliau beri nama Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dalam kitab tersebut.

Begitu pula Imam Ibnul Qayyim mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam kitabnya Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban itu maudhu’ (palsu).

Syaikh Al-Mubarakfuri berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits yang sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazii: 3/444).

Dalam kitabnya Al-Fataawaa, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut berkata: “Yang shahih dari Nabi saw dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semuanya. Tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya.

Dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan, khususnya memperbanyak puasa untuk melatih jiwa dalam berpuasa dan untuk persiapan menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka sehingga tidak menyusahkan mereka. Nabi saw pernah ditanya: “Puasa apa yang utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.”

Mengangungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nisfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nisfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi Saw dan tidak dilakukan oleh para generasi sahabat.” (Al-Fataawaa: 165-166).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, beliau berkata: “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Dalam kitabnya Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada haditS shahih mengenai puasa nisfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah swt.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha: 421).

Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Ash-Shiyam berkata: “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nisfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti Senin dan Kamis, atau puasa pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15) setiap bulan hijriah, maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah. (Fiqh Ash-Shiyam: 138)

Syaikh Usamah Abdul Azis berkata: “Menetapkan puasa secara khusus pada nishu Sya’ban tanpa hari-hari lain karena meyakini keutamaan yang tidak dimiliki hari-hari lain adalah perbuatan bid’ah. Ini karena tidak ada dalil yang shahih yang menjelaskannya. Hadits-hadits yang ada dalam masalah ini adalah hadits yang sangat lemah dan bahkan palsu.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 68)

Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan: “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw tentang anjuran shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban secara khusus dan puasa pada siang harinya secara khusus pula. Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada nisfu Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, tapi hari itu secara kebetulan.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 70)

Termasuk persiapan jiwa dan mental yaitu dengan cara membiasakan diri melakukan shalat-shalat sunnat dan memperbanyak membaca Al-Quran sebelum kedatangan Ramadhan, agar kita terbiasa melakukannya sehingga memudahkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada bulan Ramadhan nantinya.

Kelima, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Bila kita sehat, maka kita dapat melakukan ibadah dengan baik dan optimal. Namun bila kita sakit, maka ibadah kita terganggu. Rasul saw bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim) Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Keenam, persiapan dana. Pada bulan Ramadhan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Maka, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan Ramadhan. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita, karena mengikuti sunnah Rasul saw. Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana untuk berbuka puasa dan sahur. Begitu pula persiapan dana untuk keluarga selama i’tikaf, agar dapat beri’tikaf dengan baik tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Di samping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, di antaranya adalah melakukan tarhib Ramadhan. Tarhib Ramadhan adalah mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan seputar puasa Ramadhan, adab-adabnya, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya yang dapat kita lakukan secara maksimal di bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau memberikan penjelasan mengenai puasa dan keutamaan Ramadhan kepada para shahabat.

Akhirnya, marilah kita sambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan suka cita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal pada Ramadhan ini. Kita berdoa dan berharap kepada Allah Swt semoga ibadah kita selama ini dan di bulan Ramadhan nanti diterima. Dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan kali ini dan dapat meraih berbagai keutamaannya. []

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara
yusranhadi@yahoo.com

ISLAM POS

Cara Rasulullah Sambut Ramadhan

Adalah Rasul SAW yang mempersiapkan diri betul menyambut kedatangan setiap bulan Ramadhan.

Persiapan Rasul tersebut bukan hanya bersifat jasmani, melainkan paduan jasmani dan rohani mengingat puasa sebagaimana ibadah yang lain adalah paduan ibadah jasmani dan rohani, di samping ibadah yang paling berat di antara ibadah wajib (fardu) lainnya.

Oleh sebab itu, ia disyariatkan paling akhir di antara ibadah wajib lainnya. Persiapan jasmani tersebut dilakukan oleh Rasul SAW melalui puasa Senin-Kamis dan puasa hari-hari putih (tanggal 13,14 dan 15) setiap bulan sejak bulan syawal hingga Sya’ban.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa puasa Senin dan Kamis. Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau senantiasa puasa Senin dan Kamis.”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada setiap hari Senin dan Kamis Allah SWT mengampuni dosa setiap Muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, ‘Tangguhkanlah keduanya sampai keduanya berdamai’.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam kaitannya dengan puasa tiga hari setiap bulan, Rasul SAW bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA, “Wahai Abu Dzar, jika engkau ingin berpuasa setiap bulan, maka puasalah tanggal 13,14 dan 15.” (HR. Tirmidzi).

Sedangkan persiapan rohani dilakukan oleh Rasul SAW melalui pembiasaan shalat tahajud setiap malam serta zikir setiap waktu dan kesempatan. Bahkan, shalat tahajud yang hukumnya sunah bagi kaum Muslimin menjadi wajib bagi pribadi Rasul SAW.

Diriwayatkan oleh Aisyah RA yang bertanya kepada Rasul SAW mengenai pembiasaan ssalat tahajud, padahal dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah SWT, Rasul SAW menjawab dengan nada yang sangat indah, “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”

Memasuki bulan Sya’ban, Rasul SAW meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah puasa, qiyamul lail, zikir dan amal salehnya. Peningkatan tersebut dikarenakan semakin dekatnya bulan Ramadhan yang akan menjadi puncak aktifitas kesalehan dan spiritualitas seorang Muslim.

Jika biasanya dalam sebulan Rasul SAW berpuasa rata-rata 11 hari, maka di bulan Sya’ban ini beliau berpuasa hampir sebulan penuh. Dikisahkan oleh Aisyah RA bahwasanya, “Rasulullah banyak berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kita mengatakan, beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat Usama bin Zayed RA dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak melihatmu banyak berpuasa seperti di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia, letaknya antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan tersebut amal manusia diangkat (ke langit) oleh Allah SWT dan aku menyukai pada saat amal diangkat aku dalam keadaan berpuasa’.” (HR. An-Nasa’i).

Sya’ban adalah bulan penutup rangkaian puasa sunah bagi Rasulullah SAW sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Jika Rasul telah mempersiapkan penyambutan Ramadhan dengan berpuasa minimal 11 hari di luar Sya’ban dan 20-an hari di bulan Sya’ban, berarti untuk menyambut Ramadhan Rasulullah SAW telah berpuasa paling sedikitnya 130 hari atau sepertiga lebih dari jumlah hari dalam setahun.

Maka, hanya persiapan yang baiklah yang akan mendapat hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri di bulan Sya’ban sehingga memperoleh hasil yang maksimal di akhir Ramadhan.

 

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

REPUBLIKA

Delapan Sikap Siapkan Diri Menyambut Ramadhan

TAK terasa kita telah memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, tentu kedatangan bulan Ramadhan akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat dan menuai pahala serta sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa.

Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu Wata’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya. Bukan pula pergi ke pantai menjelang Ramadhan untuk rekreasi, makan-makan dan bermain-main.

Jadi, bagaimana sebenarnya cara kita menyambut Ramadhan? Apa yang mesti kita persiapkan dalam hal ini? Maka tulisan ini mencoba memberi jawaban dari pertanyaan tersebut. Menurut penulis, banyak hal yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan menyambut kedatangan Ramadhan, yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan sungguh-sungguh agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Subhanahu Wata’ala, karena berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Di antara doa mereka itu adalah: ”Ya Allah, serahkanlah aku kepada Ramadhan dan serahkan Ramadhan kepadaku dan Engkau menerimanya kepadaku dengan kerelaan”. Dan doa yang populer: ”Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan”.

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban.

Sebagaimana Aisyah r.a tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan (memahami fikih puasa). Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar diatas, ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Maka dalam hal ini, hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Begitu juga ilmu sangat diperlukan dalam melaksanakan ibadah lainnya seperti wudhu, shalat, haji dan sebagainya. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk membaca buku fiqhus shiyam (fikih puasa) dan ibadah lain yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, i’tikaf dan membaca al-Quran.

Kempat, persiapan jiwa dan spiritual. Persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam.

Persiapan jiwa dan spiritual merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya untuk memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Penyucian jiwa (Tazkiayatun nafs) dengan berbagai amal ibadah dapat melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakkalan, dan amalan-amalan hati lainnya yang akan menuntun seseorang kepada jenjang ibadah yang berkualitas. Salah satu cara untuk mempersiapkan jiwa dan spritual untuk menyambut Ramadhan adalah dengan jalan melatih dan memperbanyak ibadah di bulan sebelumnya, minimal di bulan Sya’ban ini seperti memperbanyak puasa Sunnat.

Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban merupakan sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Aisyah ra, ia berkata, “Aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, dari Usamah bin Zaid r.a ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan lain yang sesering pada bulan Sya’ban”. Beliau bersabda, “Itu adalah bulan yang diabaikan oleh orang-orang, yaitu antara bulan Ra’jab dengan Ramadhan. Padahal pada bulan itu amal-amal diangkat dan dihadapkan kepada Rabb semesta alam, maka aku ingin amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (HR. Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).

Adapun pengkhususan puasa dan shalat sunat seperti shalat tasbih pada malam nisfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka hal itu tidak ada dalil shahih yang mensyariatkannya. Menurut para ulama besar, dalil yang dijadikan sandaran mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah hadits dhaif (lemah) yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan ibadah, bahkan maudhu’ (palsu). Oleh Sebab itu, Imam Ibnu Al-Jauzi memasukkan hadits-hadits mengenai keutamaan nishfu Sya’ban ke dalam kitabnya Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Al-Mubarakfuri berkata, “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazi: 3/444).

Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 14, 15, 16), maka ia boleh melakukan puasa pada bulan Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja.”

Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersbut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Kelima, persiapan dana (finansial). Sebaiknya aktivitas ibadah di bulan Ramadhan harus lebih mewarnai hari-hari ketimbang aktivitas mencari nafkah atau yang lainnya. Pada bulan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Karena itu, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan ini. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita. Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana agar dapat beri’tikaf dengan tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Keenam, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Orang yang sehat dapat melakukan ibadah dengan baik. Namun sebaliknya bila seseorang sakit, maka ibadahnya terganggu. Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim)

Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Disamping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, seperti melakukan tarhib Ramadhan yaitu mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan mengenai puasa Ramadhan, adab-adab, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya.

Menjelang bulan Ramadhan tiba, Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam memberikan pengarahan mengenai puasa kepada para shahabat. Beliau juga memberi kabar gembira akan kedatangan bulan Ramadhan dengan menjelaskan berbagai keutamaannya. Abu Hurairah ra berkata, “menjelang kedatangan bulan Ramadhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Telah datang kepada kamu syahrun mubarak (bulan yang diberkahi). Diwajibkan kamu berpuasa padanya. Pada bulan tersebut pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syaithan-syaithan dibelunggu. Padanya juga terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalang kebaikan pada malam itu, maka ia telah terhalang dari kebaikan tersebut.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi). Selain itu, banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Ramadhan. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam untuk memberi motivasi dan semangat kepada para sahabat dan umat Islam setelah mereka dalam beribadah di bulan Ramadhan.

Akhirnya, penulis mengajak seluruh umat Islam khususnya di Aceh untuk menyambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal. Selain itu kita berharap kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar ibadah kita diterima, tentu dengan ikhlas dan sesuai Sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan dan dapat meraih berbagai keutamaannya.*

 

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA, Penulis adalah ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh & kandidat Doktor Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)

HIDAYATULLAH

Sambut Ramadhan dengan Alquran

Yayasan Cinta Quran bekerjasama dengan CIMB Niaga Syariah, Alanabi, dan Royal Indonesia menyelenggarakan acara bertajuk Amazing Quran. CEO dan Founder Cinta Quran Fatih Karim mengatakan, kegiatan ini digelar dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.

“Ramadhan kan bulan Alquran, Muslim Indonesia ini terbanyak, tapi banyak yang tidak bisa baca Alquran. Padahal umat ini semestinya menunjukkan akhlak Alquran,” kata Ustaz Fatih kepada Republika, Sabtu, (21/5) di Auditorium RRI, Jakarta.

Amazing Quran tahun ini menghadirkan pembawa acara Asep Fakhri, dengan pengisi acara Ustaz Fatih Karim dan Ustaz Abi Makki. Keduanya bercerita tentang penting Alquran dalam kehidupan.

Ustaz Abi Makki mengatakan, Alquran merupakan wahyu yang luar biasa sebab tidak ada perubahan sejak kitab ini diturunkan. Umat Islam hendaknya menghabiskan waktu dengan mempelajari kitab ini. Sebab, Rasulullah mengatakan, orang-orang yang menyibukkan diri dengan Alquran akan mendapatkan penghormatan dari Allah SWT.

Abi Makki menganalogikan, Alquran ibarat makanan bagi jasad. Alquran merupakan asupan bagi ruh yang bersumber langsung dari Allah SWT. Oleh karena itu, upaya menghafal Alquran dijanjikan balasan yang luar biasa dari Allah SWT. “Dengan syahadat ibu-bapak bisa menjadi ahli surga. Dengan bacaan Alquran menunjukkan di mana tingkatan surga kita,” kata dia.

Dalam acara tersebut hadir pula bintang tamu, yaitu Risty Tagor dan Sandrina Malakiano. Keduanya membagikan kisah hijrah mereka menuju Islam. “Agama adalah jalan dan setiap orang akan menemukan tuhannya,” kata Sandrina.

 

sumber: Republika Online