Hukum Jual Beli Petasan untuk Lebaran

Saat ini umat muslim sudah memasuki hari ke-10 terakhir bulan Ramadhan. Umumnya di masyarakat sudah mempersiapkan menabung menyisihkan uangnya untuk membeli petasan yang akan dibakar saat lebaran nanti. Lantas, bagaimana hukum jual beli petasan untuk lebaran?

Di pelosok-pelosok desa biasanya bikin sendiri. Biasanya mereka cukup bermodal kertas, kemudian digulung dengan agak tebal sampai kisaran ukuran lutut atau bahkan paha besarnya. Yang ukuran seperti paha biasanya bunyinya agak kencang. Butuh kesiapsiagaan saat hendak membakarnya, karena letusannya membuat kaget bagi sebagian orang yang mendengar letusannya. 

Selanjutnya timbul pertanyaan, Kira-kira bagaimana hukum menjual petasan dalam menyambut hari raya yang sebentar lagi sudah mau masuk Idul Fitri tersebut? Sahkah jual beli petasan untuk merayakan hari raya? 

Dalam muktamar Nahdlatul Ulama ke 2 di surabaya pada tanggal 12 Rabiuts Tsani  1346 H/9 Oktober 1927 M. memutuskan sebuah kesepakatan, bahwa membeli dan atau menjual petasan adalah sah, karena bertujuan untuk kebahagiaan.

Orang-orang yang membeli petasan lebaran tersebut pada dasarnya adalah untuk melupakan rasa kegembiraan karena selama bulan Ramadhan berhasil menjalankan ibadah puasa. Mereka melupakan rasa gembira melalui suara petasan. 

Dalam putus tersebut para ulama merujuk pada kitab i’anatut thalibin, yang menjelaskan bahwa ketika menggunakan uang yang disalurkan pada sesuatu yang mengandung tujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang, maka hal itu tidak termasuk berlebihan. 

اما صرفه في الصدقة وجوه الخير والمطاعم والملابس والهدايا التي لاتليق به فليس بتقدير قوله ليس بتبدير) اي على الاصح لان له في ذالك غرضا صحيحا وهو الثواب والتلذ   ومن ثم قالوا لا إصراففي الخير ولا خير في الاشراف

 Artinya: “Adapun mempergunakan atau menyalurkan pada sedekah dan berbagai jalur kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah yang layak baginya maka tidak termasuk mubazir menurut pendapat yang lebih benar, karena dalam hal yang demikian itu, ia bertujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang.

Oleh karenanya, mereka mengatakan, “Tidak berlebihan dalam kebaikan dan kebaikan dalam berlebihan”.

Jual beli petasan dapat dikategorikan boleh karena petasan termasuk barang yang suci. Dalam kitab al-Bajuri dijelaskan:

بيع عين مشاهدة، اي حاضرة، فجائز، إذا وجدت الشروط من كون المبيع طاهرا منتفعا به مقدارا علي تسليمه للعاقد عليه ولاية

Artinya: “Jual-beli sesuatu yang tampak riil itu boleh, jika memang memenuhi berbagai syarat, seperti barang yang dijual itu suci, bisa dimanfaatkan, bisa diserahkan dan bagi yang bertransaksi mempunyai kuasa (terhadap barang tersebut).

Demikian keterangan dalam beberapa kitab-kitab fikih seputar hukum  jual beli petasan untuk lebaran. Selamat membaca.

BINCANG SYARIAH

Memburu Lailatul Qadar di Menit Terakhir Bulan Ramadhan

Berikut ini penjelasan terkait memburu malam lailatul qadar di menit terakhir bulan Ramadhan. Bulan yang mulia ini mengandung satu bulan yang lebih mulia dari 1000 bulan. Simak penjelasan ulama terkait hal tersebut. 

Sudah menjadi kebiasaan di setiap tahunnya, bahwa di akhir bulan Ramadhan semangat umat muslim mulai kendur, kendatipun Allah SWT menjanjikan pahala yang besar bagi yang memanfaatkan peluang lailatul qadar, yaitu yang biasa ditandai pada sepertiga akhir puasa. 

Di mana-mana, banyak dari kaum muslimin sibuk dengan urusan dunia. Seperti mempersiapkan semacam jenis makanan dan minuman untuk lebaran nanti. Lain lagi urusan bajunya.

Mereka terus memadati pasar-pasar grosir. Kalau orang Madura yang belum mudik, biasanya memadati pasar Tanah Abang di Jakarta Timur. Segala sesuatu dijual murah di sana, kendatipun kualitasnya bagus-bagus. 

Kalau di daerah Madura sendiri biasanya memadati pasar-pasar terdekat. Di Parenduan Sumenep, misalnya, ada jenis pasar yang lumayan lebar, yang menjul beranekaragam jenis jualan. Pasar itu beroperasi setiap hari Rabu. Karena itu, pasar tersebut disebut dengan “Pasar Rebbuan“.

Di mana-mana ada pasar, setiap umat muslim, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk memadati pasar-pasar. Mereka memenuhi pasar dengan mempersiapkan untuk lebaran nanti. Mereka sampai lupa bahwa ada jenis ibadah yang pahalanya luar biasa jika pada saat yang bersamaan dikerjakan pada malam turunnya Lailatul Qadar.

Herannya, ketika di pasar mereka tampak bersemangat seakan-akan tidak merasakan rasa lelah sedikitpun. Namun saat waktunya pelaksanaan ibadah seperti tarawih, tadarus, shalat berjamaah, mereka hilang tanpa jejak entah kemana, kendatipun Allah sudah menjanjikan pahala yang sangat besar sekali. 

Malam Lailatul Qadar dalam banyak riwayat turun pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan. Umat muslim yang berhasil melaksanakan ibadah yang bertepatan dengan hari turunnya Lailatul Qadar tersebut akan meraih pahala lebih besar daripada pahala selain bulan Ramadhan.

Dalam banyak riwayat, dijelaskan bahwa predikat pahala yang diberikan adalah lebih baik dari ibadah seribu bulan. Sayangnya, peluang emas itu banyak disia-siakan saja. 

Kalau di pelosok-pelosok desa yang terlihat masih konsisten di tempat-tempat ibadah tersisa kalangan sepuh yang tetap kelihatan aktif bermunajat kepada Allah SWT. Sementara sebagian yang lain (sebagian besar remaja) mengurangi saf-saf salat Tarawih di babak sepuluh terakhir bulan Ramadhan tersebut. 

Tetapi ada pula dari beberapa anak remaja yang juga masih konsisten menyambut malam Lailatul Qadar tersebut. Di antara mereka adalah dari kalangan Santri Pondok Pesantren. Semua umat muslim yang secara konsisten terus memadati tempat-tempat ibadah tersebut, mereka sangat berkeinginan mendambakan rahmat Allah SWT yang tetap kelihatan rajin di masjid untuk i’tikaf

Inilah kemudian kenapa malam Lailatul Qadar oleh Allah SWT dirahasiakan supaya ada nilai perjuangan dan konsistensi yang secara berlanjut terus dipertahankan dalam melaksanakan tugas penghambaan kita kepada Allah SWT. 

Mereka yang secara konsisten beribadah, i’tikaf di masjid dari tanggal satu di bulan Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, dapat dipastikan ia akan bertemu dengan malam Lailatul Qadar.

Orang yang bertemu dengan malam Lailatul Qadar, sesuai dengan janji Allah SWT, maka pahala ibadahnya bernilai berlipat-ganda, seperti ia melaksanakan ibadah selama seribu tahun (QS. Al-Qadar: 1-5).

Bayangkan, bila hidup kita ditakdirkan hanya mencapai 50-70 tahun saja. Allah menjanjikan pahala ibadah di bulan Ramadhan adalah berkali-kali lipatnya. Ibadah tersebut kita kerjakan secara konsisten.

Kemudian kita terus memadati rumah ibadah dari tanggal satu hingga akhir Ramadhan. Pada gilirannya, kita ditakdirkan bertemu dengan malam Lailatul Qadar. Selama bulan Ramadhan kita mendapatkan pahala melebihi umur kita: melebihi ibadah 50 tahun. Betapa senangnya. Dan, Allah SWT sungguh Maha Bijaksana. 

Malam Lailatul Qadar tidak bisa diprediksi kapan akan turun. Itu semua merupakan rahasia Allah. Menurut beberapa riwayat, bahwa Lailatul Qadar tersebut akan turun pada hari-hari ganjil di bulan Ramadhan, meskipun dengan demikian ada pula yang berpendapat bahwa malam Lailatul Qadar turun pada tanggal genap. 

Oleh karena itu, bagi setiap hamba yang ingin meraihnya, maka harus mengikuti kontestasi dengan cara mengisi malam-malam Ramadhan dengan kegiatan amal ibadah (seperti mengisi dengan salat malam, tarawih, tadarus, dan lainnya). Dan, malam semi final (malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan) tidak putus semangat untuk terus bermunajat kepada Allah SWT hingga selesai laga. 

Dengan demikian, karena sekarang sudah memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan niscaya mari saling mengingatkan dan meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT.

Bukannya nabi teladan kita, Muhammad SAW yang mendapatkan jaminan dosanya diampuni saja, masih giat memberikan teladan ideal terhadap umatnya, dengan terus optimal melakukan i’tikaf sepanjang malam? Hal itu rutin beliau lakukan sampai beliau wafat, dan kemudian hal itu diteladani oleh para istrinya (HR. Bukhari).

Demikian penjelasan terkait memburu malam lailatul qadar. Sudah selayaknya kita memburu malam lailatul qadar ini. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Membagikan Berita Hoax di Media Sosial Saat Puasa

Di era media sosial ini banyak sekali hoax yang bertebaran. Terlebih terkait politik, akibat ketidaksukaan pada orang tertentu, sehingga menyebarkan hoax. Padahal bencana hoax bisa menimbulkan segregasi dan konflik di tengah masyarakat. 

Dalam konteks Ramadhan, bagaimana apa hukum membagikan berita hoax di media sosial saat puasa? Apakah berpengaruh terhadap keabsahan dan pahala?

Lantas apakah like dan share hoax mengurangi pahala puasa Ramadhan?  Syekh Muhammad bin Qosim al-Ghozy dalam kitab Fathul Qorib, menjelaskan bahwa ada 10 hal yang membatalkan puasa, antara lain makan dan minum—memasukkan sesuatu ke lubang yang terbuka menuju perut secara sengaja. Berjimak, keluar mani, melakukan hubungan badan,muntah dengan sengaja, haid, nifas,murtad, dan gila. 

Lantas bagaimana dengan membagikan berita hoax di media sosial? Menyebarkan berita hoax di media sosial, tidak termasuk dalam hal yang membatalkan puasa. Kendati demikian, membagikan berita bohong di medsos, dapat mengurangi pahala puasa.  

Hal ini sebagaimana  dijelaskan oleh Habib Zain bin Smith dalam kitab al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Thariqil Akhirah, dengan mengutip sebuah hadis riwayat Ad Dailami, bahwa yang membatalkan pahala puasa antara lain adalah sikap tidak terpuji; bohong, adu domba, syahwat yang berlebihan, dan sumpah palsu. Nabi bersabda:

 خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

Artinya; Ada lima hal yang bisa membatalkan pahala puasa: ghibah, adu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu. 

Yang penting diingat, bahwa menyebarkan berita hoax dan mengamininya, merupakan tindakan yang tak terpuji. Lebih jauh lagi, melakukan kebohongan dan menyebarkan berita hoax termasuk pertanda orang munafik. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Riwayat Abu Hurairah;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, tanda-tanda orang Munafik ada tiga, jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari janjinya, dan jika diberi amanah (diberi kepercayaan) dia berkhianat.

Pada sisi lain, Ibnu Hajar Al Asqallani menjelaskan dalam kitab kitab Fathul Bari, bahwa  Allah tidak akan akan menerima puasa orang yang melakukan Tindakan zur. Apakah Zur yang dimaksud dengan Ibnu Hajar tersebut? Jawabannya adalah;  al kidzbu—berkata bohong dan dusta.

Ibnu Hajar menjelaskan pendapat di atas ketika mensyarah hadits shahih Riwayat Imam Bukhari, yang menjelaskan bahwa  Allah tidak akan melirik ibadah puasa orang yang tidak meninggalkan perkataan zur. Nabi bersabda;

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَل َبِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan sia-sia, maka Allah tidak berkepentingan sedikitpun terhadap puasanya.” (HR. Bukhari). 

Untuk itu, sudah seyogianya seseorang yang berpuasa menahan diri dari hal yang membatalkan puasa, dan mengurangi pahala puasa. Yang dalam hal ini adalah membagikan atau share berita bohong di medsos. Rasulullah dalam sebuah hadis memberikan arahan pada orang yang berpuasa untuk mampu menahan dan mengendalikan diri agar tidak marah. Nabi bersabda;

الصوم جنّة، فلا يرفث ولا يجهل، وان امرؤ قاتله أو شاتمه، فليقل: إنّي صائم مرتين

Puasa adalah benteng. Maka hendaknya tidak berkata kotor dan bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaknya ia katakan “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sebanyak dua kali.

Sudah jelaslah bahwa membagikan berita hoax di media sosial saat puasa bisa menggugurkan pahala puasa. Maka dari itu, lakukanlah kebaikan-kebaikan saja dan jaga diri dari keinginan melakukan perbuatan sia-sia dan tercela. 

BINCANG MUSLIMAH

Hikmah Puasa (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

ALLAH ADALAH AL-HAKIM (YANG MAHA MENENTUKAN HUKUM DAN BIJAKSANA) DAN PENGARUHNYA PADA SYARIAT-NYA

Di antara nama-nama Allah Ta’ala yang terindah (asma’ul husna) adalah Al-Hakim, Yang Maha Menentukan Hukum dan Bijaksana). Hanya Allahlah semata Sang Penentu hukum (baik hukum syariat Islam, hukum takdir, maupun hukum balasan di dunia maupun akherat), dan hukum-hukum-Nya pada puncak kebijaksanaan, kesempurnaan, dan keindahan.

Tidaklah Allah men-syariat-kan suatu hukum syariat, kecuali pasti ada hikmah yang sempurna di dalamnya. Terkadang kita tahu, namun banyak yang kita tidak tahu. Termasuk syariat puasa Ramadan yang sedang kita jalani.

DALIL HIKMAH PUASA

Setidaknya ada dua dalil hikmah puasa.

Dalil Pertama

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala telah kabarkan hikmah yang agung dari kewajiban berpuasa Ramadan, berupa diraihnya ketakwaan. Sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Puasa adalah sarana untuk merealisasikan takwa, sedangkan takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Puasa termasuk sebab yang terbesar seseorang bisa melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Puasa Ramadan adalah madrasah imaniyyah agar seorang hamba mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah Ta’ala semata.

Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa adalah diraihnya ketakwaan.

Kedua, puasa itu adalah bagian dari keimanan. Oleh karena itu, yang diseru untuk melaksanakannya adalah orang-orang yang beriman.

Ketiga, puasa Ramadan itu diwajibkan bagi kita sebagaimana puasa juga diwajibkan bagi umat-umat sebelum umat Islam karena puasa termasuk syariat dan perintah yang bermanfaat bagi makhluk di setiap zaman. Jadi, janganlah seseorang merasa berat berpuasa, karena itu bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dengan bertakwa dan di akhirat dengan masuk surga, terhindar dari siksa.

Dalil Kedua

Hadis dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan (baca: tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).” (HR. Al-Bukhari)

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فأما قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً

“Maka, adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela, mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba … Dan adapun amal “az-zuur” adalah setiap perbuatan yang haram berupa penipuan, khianat, khianat dalam jual beli, dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan.” [1]

Beliau rahimahullah juga berkata,

فالذي لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما حرَّم الله

“Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakikatnya ia tidak puasa. Karena memang (zahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [2]

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أي: أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن ندع قول الزور والعمل به والجهل

“Yaitu, bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita itu (sekadar) meninggalkan makan dan minum. Namun (hakikatnya) menghendaki dari kita agar kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh.” [3]

Dari hadits tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,

Pertama, hikmah puasa itu untuk meraih takwa dengan menghindari ucapan dan perbuatan haram yang berarti menunaikan kewajiban.

Kedua, puasa yang sesungguhnya itu bukan sekadar meninggalkan makan dan minum, namun puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah takwa, yaitu menghindari ucapan dan perbuatan haram dan larangan Allah lainnya, serta menunaikan kewajiban dan perintah Allah lainnya.

Ketiga, setiap dosa dan maksiat itu berdampak buruk pada puasa seseorang. Semakin banyak seseorang menghindari maksiat, maka semakin bagus kualitas puasanya. Begitu pula sebaliknya, semakin seseorang banyak melakukan maksiat, semakin menurun pahala puasa seseorang.

BERBAGAI BENTUK KETAKWAAN YANG MERUPAKAN HIKMAH PUASA RAMADAN

Ulama rahimahumullah telah menyebutkan berbagai macam hikmah puasa Ramadan. Semuanya kembali kepada perkara ketakwaan kepada-Nya semata. Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan menghasilkan berbagai bentuk ketakwaan:

Pertama, puasa melahirkan berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah.

Karena puasa membiasakan seseorang melakukan berbagai ketaatan yang disyariatkan. Ketaatan tersebut dilakukan saat sedang berpuasa. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan ketaatan lainnya, seperti: bertauhid, salat berjemaah lima waktu, menunaikan zakat, sedekah, baca Alquran, berbakti kepada orang tua, meninggalkan gibah, meninggalkan mencari nafkah dengan cara haram, dan lain-lain.

Kedua, puasa melahirkan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya.

Karena puasa itu membiasakan seseorang menahan diri dari perkara yang hukum asalnya halal yang dicintai syahwat (makan, minum, dan hubungan badan) dalam rangka taat kepada Allah serta mencari rida Allah semata. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk menahan diri dari seluruh perkara haram.

Ketiga, puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia.

Karena sebagaimana dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم

“Sesungguhnya setan mengalir [4] dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah.”

Syaikhul Islam rahimahullah  berkata dalam Majmu’ Fatawa (25: 246), “Tidak ada keraguan bahwa darah terbentuk dari makanan dan minuman. Dan jika seseorang makan atau minum, maka darah tempat mengalirnya setan-setan akan meluas. Sedangkan jika ia puasa, maka tempat mengalirnya setan-setan akan menjadi sempit, sehingga tergeraklah hati melakukan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” [5]

Maka, dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.

Keempat, puasa itu menundukkan syahwat dan mengendalikan hawa nafsu.

Oleh karena itu, solusi bagi pemuda yang belum mampu menikah adalah berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menafkahi rumah tangga), maka menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.” (HR. Muslim)

Kelima, puasa membuahkan sterilnya pelakunya dari akhlak yang buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa itu perisai bagi pelakunya dari hal-hal yang merusak puasa dan mengurangi kesempurnaannya. [6] Termasuk juga perisai dari akhlak buruk. Dan hendaknya orang yang berpuasa berhiaskan diri dengan akhlak yang baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ

“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa.’ (dua kali).” (HR. Bukhari)

Keenam, puasa membuahkan rasa syukur kepada Allah.

Seseorang yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan badan. Ini semua termasuk nikmat yang paling besar. Menahan diri dari nikmat-nikmat tersebut seharian dengan berpuasa akan menyadarkan seseorang kadar nikmat yang besar tersebut sehingga mendorong seseorang menyukurinya, terutama saat berbuka puasa.

Ketujuh, puasa membuahkan zuhud terhadap dunia.

Pada aktifitas berpuasa terdapat bentuk menahan diri dari menunaikan dua pokok syahwat perhiasan dunia yaitu perut dan kemaluan. Hal ini mendorong pelakunya untuk zuhud terhadap dunia dan perhiasannya dalam bentuk meninggalkan perkara dunia yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.

Kedelapan, orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala meskipun sendirian.

Sehingga tidak berani makan minum dan hubungan suami istri di siang Ramadan padahal ia mampu melakukannya. Karena meyakini Allah melihatnya dan mengetahui perbuatannya.

Kesembilan, ibadah puasa hakikatnya merupakan bentuk tarbiyyah (pendidikan) sosial kemasyarakatan.

Mendidik pelakunya menjadi insan yang peka terhadap masyarakatnya dan bentuk tarbiyyah tersebut berupa:

Pertama, memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong dalam kebaikan di antara kaum muslimin, antara si kaya dengan si miskin. Karena si kaya merasakan sebagian kesulitan si miskin berupa rasa lapar meski beberapa saat ketika berpuasa. Maka, bagaimana lagi fakir miskin yang lapar setiap harinya? Sehingga hal ini menyebabkan si kaya tergerak untuk bersedekah, memberi makan buka puasa, dan berzakat di bulan Ramadan.

Kedua, memupuk persatuan di antara kaum muslimin, karena mengawali puasa Ramadan dan mengakhirinya secara bersama-sama. Sahur dan buka pun pada waktu yang bersamaan.

Ketiga, mengajarkan kesamaan kedudukan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, bangsawan bernasab tinggi dan rakyat yang tak bernasab tinggi. Tidak ada yang membedakan di antara mereka, kecuali ketakwaannya.

Semoga Allah Ta’ala menyampaikan umur kita sehingga kita bisa berjumpa dengan bulan Ramadan dan menganugerahkan kepada kita kemampuan beribadah dengan ikhlas dan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74275-hikmah-puasa-bag-1.html

Agar Semakin Dekat dengan Alquran di Bulan Suci Ramadhan

Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran

KH Ahsin Sakho Muhammad mengungkap untuk mendekatkan diri dengan Alquran dapat dimulai dengan membentuk mindset bahwa Alquran merupakan kitab suci yang perlu diimani, dan merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia. 

“Alquran merupakan kitab yang berisi nasehat-nasehat tentang kehidupan, obat dari penyakit hati, dan bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya,” ujar Mantan Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) itu. 

Alquran mengandung beragam macam aspek yang bermanfaat bagi manusia, sebagai obat dari segala penyakit hati, hidayah, rahmah, dan nasihat tentang kehidupan, diharapkan, dengan mengetahui aspek tersebut, akan muncul ketertarikan dan rasa cinta pada Alquran, ujar Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Fatwa Indonesia (MUI) Pusat itu. 

“Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran, setiap huruf yang dia baca akan bernilai 10 kebaikan, melihat mashaf juga dianggap sebagai ibadah, bahkan mendengarkan orang membaca Alquran juga termasuk ibadah,” jelasnya. 

Penasihat Yayasan Karantina Tahfidz Al-Quran Nasional (YKTN) Pusat itu menerangkan, dengan membaca Alquran dan menghayati setiap redaksi kata dan maknanya, akan membawa ketenangan hati dan menciptakan perasaan dekat dengan Sang Pencipta.  “Orang yang dekat dengan Alquran, akan menemukan kehadiran Allah melalui Kalam-Nya, jadi ini yang perlu kita tanamkan dalam benak kita agar bisa lebih dekat dengan Alquran.” 

“Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran. kalau ramadhan dianalogikan sebagai tamu kita, maka kita perlu menyenangkannya dengan sesuatu yang disenangi olehnya, yaitu dengan membaca Alquran, dan memaknai maksud didalamnya,” tutur Ahli Ilmu Qira’at dan Tafsir Alquran itu.

“Ramadhan adalah bulannya Alquran dan kita berharap, dengan mengisi ramadhan dengan membaca Alquran akan semakin menambah keimanan dan keyakinan kita terhadap keistimewaan Alquran. Selain itu, membaca Alquran itu tidak pernah menjemukan, dan itu keistimewaannya,” sambungnya. 

Teruntuk mereka yang masih ‘jauh’ atau belum mengenal Alquran, Mantan Sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama ini menyarankan agar bergabung dalam komunitas pencinta Alquran. 

“Untuk orang yang belum akrab dengan Alquran, perlu mempunyai komunitas atau masuk dalam komunitas pencinta Alquran, seperti komunitas one day one juz atau sejenisnya, karena dengan bergabung dengan pecinta Alquran, maka akan menular pula rasa kecintaan itu,” sarannya. 

“Kalau ada komunitas Alquran maka ikut saja, karena disana kita akan didorong untuk lebih intens mendekatkan diri pada Alquran,” ujarnya menambahkan. 

Cara lain yang dapat dilakukan agar lebih ‘dekat’ dengan Alquran adalah dengan mengakses informasi tentang orang-orang yang dapat dijadikan panutan dalam mempelajari ilmu Alquran, baik itu qari, atau da’i. “Melalui cara itu kita bisa menyadari pentingnya mempelajari Alquran, terlebih dalam situasi dimana resiko distorsi keimanan cukup tinggi, Alquran dapat menjadi penyelamat kita untuk mempertahankan keimanan, karena orang yang selalu bersama Alquran akan terhindari dari resiko tersebut.” 

“Mari kita merawat keimanan kita melalui Alquran,” pungkasnya.

Hal serupa juga diungkapkan Prof Didin Hafidhuddin. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menjelaskan, Alquran adalah pedoman hidup bagi kaum Muslimin, terutama mereka yang mengingainkan kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat.

Menumbuhkan kecintaan pada Alquran, harus diupayakan dan dilakukan secara terus-menerus, terutama selama bulan Ramadhan, waktu diturunkannya Alquran. “Alquran harus dibaca dan dipahami secara bertahap namun konsisten, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Mantan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) itu.

Adapun cara yang dapat dilakukan, menurut Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor ini, adalah membiasakan menyertakan Alquran dalam aktivitas sehari-hari. “Ini bisa dimulai dari lingkup keluarga, seperti mengadakan tadarus bersama.”

Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) ini menjelaskan, orang-orang yang gemar membaca Alquran dan senantiasa mendekatkan diri dengan Alquran, Allah SWT janjikan syafaat di hari akhir nanti. 

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,” (QS. Fathir: 29)

“Membaca Alquran tidak akan membuat siapapun merugi, sebaliknya akan membawa manfaat dan syafaat yang besar bagi kehidupan di dunia maupun akhirat,” pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Anjuran Bergembira Menyambut Bulan Ramadan

Di antara bulan yang diistimewakan oleh Allah adalah bulan Ramadan. Di bulan Ramadan, Allah melimpahkan banyak keutamaan kepada orang yang beriman berupa ampunan, keberkahan, kebaikan dan lain sebagainya. Dengan demikian, bagi orang yang beriman sudah selayaknya bulan Ramadan disambut dengan penuh kegembiraan dan persiapan lahir maupun batin.

Menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan ini sudah pernah dilakukan Nabi saw. di depan para sahabatnya dan mengajak mereka untuk bersama-sama merayakan kedatangan bulan Ramadan. Dalam kitab Al Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَشِرُ اَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ يَقُوْلُ : ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

“Rasulullah saw. memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya tentang kedatangan bulan Ramadan seraya beliau berkata: ‘Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Di bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”

Sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab al-Hanbali, berdasarkan hadis ini para ulama menganjurkan untuk saling ber-tahniah atau saling mengucapkan “selamat menyambut kedatangan bulan Ramadan” di antara satu sama lain ketika menjelang bulan Ramadan. Di Indonesia tahniah tersebut biasanya diungkapkan dengan kalimat “ahlan wa sahlan ya ramadan”. Kegembiraan dan kebahagiaan dalam menyambut bulan Ramadan harus ditampakkan satu sama lain.

Selain itu, dianjurkan memperbanyak doa ketika menyambut bulan Ramadan. Imam Nawawi dalam kitab Almajmu mencantumkan sebuah hadis yang berisi doa Nabi saw. ketika menyambut bulan Ramadan. Hadis tersebut diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dari Thalhah bin Ubaidillah, dia barkata;

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلالَ قَالَ : ” اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِيمَانِ  وَالسَّلامَةِ وَالإِسْلامِ  رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

 “Sesungguhnya Nabi saw ketika telah melihat hilal Ramadan, beliau berdoa; Allahumma ahillahu ‘alaina bil yumni wal imani was salamati wal islam. Rabbi wa rabbukallah (Ya Allah jadikanlah hilal (bulan) ini bagi kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”    

Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH