Sekali Lagi Soal Pernikahan Nabi dan Sayyidah Aisyah

Pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah adalah pernikahan karena berlandaskan wahyu, tradisi Arab jahiliyah biasa menikah usia muda, tetapi mengapa Sayyidah Aisyah yang diserang?

UMAT Islam sedunia dibuat marah oleh pernyataan jubir sebuah partai nasionalis Hindu di India yang mempersoalkan pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah Ra. Pernyataannya itu dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap sosok sentral umat Muslim, Nabi Muhammad ﷺ .

“Nabi Muhammad menikahi seorang gadis berusia enam tahun dan kemudian berhubungan dengannya pada usia sembilan tahun,” ujarnya dalam sebuah video yang kemudian dihapus oleh saluran televisi tersebut.

Perkataanya sangat jelas hendak menganggap Nabi Muhammad melakukan penyimpangan. Maka perlu ditegaskan kembali bahwa pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dengan Sayyidah Aisyah bukanlah sesuatu yang menyimpang, sama sekali tidak mencoreng nama baik Nabi Muhammad ﷺ.

Kalau seandainya pernikahan Nabi adalah hal yang menyimpang, kata Syekh Al-Buthi,  kenapa tidak ada satupun masyarakat Arab jahiliyyah saat itu yang menentangnya? Praktik semacam ini tidaklah memicu pertentangan atau mendapat gugatan dari komunitas Makkah secara umum dan kaum Muslim secara khusus.

Jika hal ini benar melanggar fitrah kemanusiaan pasti ada segolongan orang yang mengecam dan merendahkan Rasulullah serta membela fitrah kemanusiaan yang dilanggar. Tapi realitasnya, kala itu, hal semacam ini tidak menjadi sebuah permasalahan.

Bahkan musuh Rasulullah ﷺ sekalipun di Makkah saat itu tidak menyinggungnya. Sebab, jika pernikahan ini memang dianggap melanggar, tentu mereka akan menyerang Muhammad habis-habisan lewat praktik ini, sebab kita tahu bagaimana bencinya mereka terhadap Nabi. Namun buktinya, tidak ada.

Kalau memang itu menyimpang, kenapa hanya Sayyidah Aisyah yang diserang, tidak yang lainnya? Padahal di sana ada sejumlah perempuan di masa Nabi yang menikah di umur belasan tahun.

Sebut saja Ruqayyah, salah satu putri Baginda Nabi. Ia menikah dengan Utbah bin Abu Lahab pada umur kurang dari sepuluh tahun.

Selanjutnya ia menikah dengan Utsman bin Affan pada usia dua belas tahun, setelah dicerai oleh Utbah. Fatimah pun tatkala menikah dengan Ali berumur 18 tahun.

Ini berarti praktik seperti ini memang tidak pernah dipermasalahkan sedari awal oleh penduduk Makkah. Sekali lagi, kenapa hanya sayyidah Aisyah saja yang diserang?

Kedua, pernikahan Nabi dan Sayyidah Aisyah adalah pernikahan yang suci; pernikahan yang langsung diwahyukan oleh Allah Swt. Dalam hadits dikatakan bahwa Nabi diperlihatkan akan Sayyidah Aisyah dalam mimpinya pada tiga malam berturut turut.

Jibril pun berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Ini adalah istrimu.” Rasul pun menyingkapkan hijab dari wajah Aisyah dan tersingkaplah ia.

Lalu Rasul pun berkata, “Jika ia berasal dari sisi Allah maka biarkanlah ketetapan itu berlaku.”

Itu artinya ketentuan ini adalah murni dari wahyu. Bukan “angan-angan” Nabi ﷺ untuk mendapatkan Sayyidah Aisyah saat umur tiga atau empat tahun–sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian sejarawan. (lihat Syeikh Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah).

Jika dikatakan pernikahan itu adalah “angan-angan” Nabi sejak lama, maka itu salah. Sebab sepeninggalan Sayyidah Khadijah Nabi tak ada niatan untuk menikah. 

Kepergian Sayyidah Khadijah cukup membuat Nabi lama menyimpan duka dalam dirinya. Adalah Khaulah binti Hakim yang menawarkan Nabi untuk menikah kembali.

Sosok yang ditawarkan olehnya ada dua: Aisyah binti Abu Bakar dan Saudah binti Zam’ah. Jadi, Khaulah lah yang memilihkan kedua wanita itu pada Rasul.

Nabi pun menyutujuinya, meskipun pada hakikatnya Rasulullah ﷺ telah diwahyukan oleh Allah akan pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah. Khaulah pun datang ke Abu Bakar untuk menyapaikan keinginan baik tersebut.

Dan Abu Bakar pun menyutujuinya. Jadi, tidak ada yang namanya Rasul “berangan-angan” dan mendambakan untuk menikah dengan Sayyidah Aisyah.

Ketiga, sebagian orang juga megatakan bahwasanya sekalipun disetujui oleh penduduk Makkah, namun tetap ia melanggar fitrah manusia. Untuk membantah ini Syekh Al-Buthi dengan tegas telah menulis:

“Mereka sepertinya lupa bahwa tingkat kematangan seksual pada perempuan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lingkungan dan iklim suatu daerah. Di negeri beriklim panas seperti Arab, Sudan, atau Mesir, perempuan telah mengalami kematangan seksual pada usia yang sangat muda. Jadi tak aneh apabila sepuluh tahun mereka sudah mengalami haid. Bahkan di Negara seperti Sudan, Nejed, dan lainnya, bisa kurang dari itu. Hal ini berbeda dengan perempuan-perempuan yang tinggal di negri beriklim dingin dan lembab seperti Asia Tengah dan sebagian Eropa. Mungkin di sana ada yang sudah berusia 14 tahun namun belum haid.” (lihat Syeikh Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah).

Karena itu, fitrah mana sebenarnya yang dilanggar? Adapun fatwa dari kebanyakan ulama termasuk di Mesir untuk tidak menikahi anak di usia belasan adalah mempertimbangkan kondisi saat ini yang berbeda dengan dulu. Bukan karena fitrah itu sendiri.

Pada intinya mereka yang menganggap pernikahan ini adalah sebuah penyimpangan telah salah kaprah. Sebab mereka membandingkan kehidupan pandangan masyarakat sekitarnya dengan kehidupan Rasulullah pada zamannya. Ya tentu beda. Dari cara pandangnya saja sudah berbeda.

Mereka tidak melihat pernikahan ini sebagai sebuah wahyu. Ia hanya melihat sebatas norma yang berlaku.

Padahal norma itu pun tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Adapun seorang Muslim melihat ini sebagai sebuah kemuliaan. Sayyidah Aisyah adalah wanita mulia. Nabi adalah sosok yang tidak dihantui oleh nafsunya, sebagaimana manusia biasa. Itulah bedanya.

Agaknya istilah pedofil adalah istilah yang memang dipopulerkan oleh Barat. Jika budaya yang menjadi tolak ukurnya maka akan rancu.

Sebab tradisi dan budaya itu sifatnya dinamis. Ia bisa berbeda-beda di setiap tempatnya dan akan berubah setiap zamannya.

Ia tidak bersifat universal sebagaimana hukum dalam sebuah agama. Inilah mengapa mereka menganggap menikah dengan anak usia dini adalah sebuah penyimpangan.

Kita tentu sering mendengar kisah nenek-nenek moyang kita yang menikah di umur mereka yang belia. Namun itu tidak pernah menjadi sebuah permasalahan bagi mereka. Jadi sekali lagi, tuduhan semacam ini memang datang dari orang yang tidak memahami ajaran, sejarah, dan kebudayaan Islam dengan baik.

Maka sebagai seorang muslim yang percaya akan Rasulullah ﷺ. kita tentu tidak perlu mengikuti tuduhan itu. Wallahu a’lam bi al-Shawab.*

Direktur Pesantren Adab, Shoul Lin al-Islami; Pesantren at-Taqwa Depok, alumnia Al-Azhar, Mesir

HIDAYATULLAH