Ibadiyah adalah sempalan khawarij modern, sempalan minoritas dalam Islam yang sampai sekarang masih eksis. Bagaimana sejarahnya?
SEKTE Ibadiyah adalah sempalan dari Khawarij yang muncul di masa Khalifah Utsman bin Affan RA. Pendirinya bernama Jabir bin Zaid, murid Abdullah bin Abbas RA dan ‘Aisyah RA, istri Nabi Muhammad ﷺ.
Namanya mengacu kepada Abdullah bin Ibad, penerus Jabir. Pada masa itu, Jabir termasuk orang yang menolak Utsman karena dianggap telah melakukan kesalahan besar.
Namun penolakannya berbeda dengan kelompok Khawarij lainnya yang sampai taraf menghalalkan darah Utsman. Jabir tidak setuju dengan sikap seperti itu.
Secara umum, Khawarij menyebut dirinya sebagai ahl al-istiqama (orang-orang yang tetap berada di jalan lurus). Penamaan ini muncul akibat ketidaksetujuan terhadap perjanjian damai antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyyah.
Mereka menyingkir dari konflik keduanya, sehingga mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang lurus. Sementara pihak Ali dan Muawiyyah dinilai sesat.
Meski menolak kedua Sahabat itu, sekte Ibadiyah masih memandang keduanya sebagai Muslim. Ini berbeda dengan Khawarij lainnya seperti al-Muhakkimat yang memvonis keduanya kafir.
Pada masa Umayyah, Ibadi mendapat dukungan penuh karena dianggap sebagai kelompok Khawarij moderat. Pemikirannya dapat digunakan untuk meng-counter Khawarij garis keras. (Imam as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hal 120).
Pada masa itu, penganut Ibadi leluasa mengamalkan praktik keagamaannya. Namun setelah Jabir meninggal, tidak ada tokoh Ibadi yang dianggap pro terhadap Dinasti Umayyah.
Penerus Jabir, Abdullah bin Ibad, malah memberontak kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima Dinasti Umayyah. Akibatnya, mereka diusir dan lari ke Oman, Hadramaut (Yaman), Zanzibar (Afrika), dan Khurasan.
Beberapa Pandangan
Dalam masalah teologi, aliran Ibadi banyak dipengaruhi Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat di akhirat.
Ini berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam (Sunni) bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Pengaruh Mu’tazilah yang lain dalam Ibadi yaitu keyakinan bahwa seseorang akan kekal di neraka, meski dia Muslim. (Adil Salahi, Pioneer of Islamic Scholarship, hal 147).
Sedangkan Sunni berpendapat bahwa orang Muslim yang masuk neraka, dengan izin Allah SWT bisa dipindah ke surga.
Namun ada hal yang membedakan Ibadi dan Mu’tazilah, yaitu tentang kehendak Allah SWT. Mu’tazilah berpendapat bahwa kehendak manusia bersifat bebas, sedangkan Ibadi berpendapat Allah adalah Pencipta dan Pengatur semua tindakan manusia. Ini sama dengan pendapat Sunni.
Berkaitan dengan dosa besar, Ibadi berbeda dengan kelompok Khawarij pada umumnya. Khawarij memandang pelaku dosa besar menyebabkannya keluar dari Islam, sedangkan Ibadi membagi manusia ke dalam dua golongan yaitu kufur nikmat dan kufur syirik.
Kufur nikmat yaitu orang Muslim yang tidak mengikuti aliran Ibadi. Mereka dianggap mengingkari nikmat.
Dengan kata lain, orang Islam yang menyalahi ajaran Ibadi dihukumi kafir, tapi bukan kafir musyrik. Karena itu masih diperbolehkan mengawini wanita kelompoknya, boleh saling mewarisi, dan tidak boleh diperangi.
Sedangkan kufur syirik ditujukan kepada kaum non-Muslim yang tidak beriman dan berislam.
Ibadi juga tidak mewajibkan shalat Jumat. Kewajiban tersebut dinilai hanya berlaku di kota-kota besar yang terjamin nilai-nilai keadilan.
Selain itu, tidak adanya imam dari Ibadi yang memimpin shalat Jumat juga menjadi alasan. Imam dari kelompok lain yang menyampaikan khutbah Jumat dianggap sebagai Muslim kaki tangan penguasa tiran.
Dalam masalah sumber hukum, Ibadi memiliki perbedaan dengan Sunni. Sumber hukum Sunni ada empat, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Sementara Ibadi hanya menggunakan tiga sumber pertama, sedangkan qiyas dianggap bid’ah.
Kitab hadits Ibadi banyak diambil dari periwayatan Jabir bin Zaid yang juga diakui oleh para perawi Sunni. Kitab haditsnya yang terkenal adalah Musnad ar-Rabi ibn Habib, sebagaimana yang disusun kembali oleh Abu Ya’qub Yusuf bin Ibrahim al-Warijlani.
Isi kitab tersebut sebagian besar sama dengan kitab hadits Sunni. Namun ada beberapa isinya yang tidak dikenal oleh ulama Sunni, kemungkinan besar karena penisbatan secara khusus kepada jalur Ibadi.
Metode menentukan keshahihan Hadits secara umum sama dengan metode ulama Sunni. Hanya saja mereka berpendapat bahwa beberapa hadits diubah setelah masa kekuasaan dua khalifah pertama.
Dalam istinbath hukum, kaum Ibadi agak longgar. Misalnya tidak menerapkan hukuman rajam, karena hukum tersebut tidak tercantum dalam al-Qur’an.
Ini berbeda dengan Sunni dan Syiah yang mengakui dan memberlakukan hukum rajam.
Perkembangan
Secara resmi, aliran ini digunakan oleh Pemerintah Oman. Sultan Qaboos bin Said al-Said yang menjadi penguasa Oman sejak tahun 1970 dan menjadi pemimpin pemerintahan terlama di Timur Tengah, adalah pengikut sekte Ibadiyah.
Penganut Ibadi di Oman mencapai 75%. Selebihnya ada di Zanzibar, Tanzania, pegunungan Nafusa di Libya, Mzab di Aljazair, dan Pulau Djerba di Tunisia.
Ibadiyah dewasa ini punya cukup banyak tokoh yang popular. Misalnya Ahmad bin Hamad al-Halili, Moufdi Zakaria, Sulaiman al-Barouni, dan Nouri Abusahmain.
Meski berasal dari Khawarij yang senang mengkafirkan kelompok lain, kaum Ibadi mementingkan ukhuwah Islamiyah daripada bermusuhan karena perbedaan mahzab atau aliran. Ini tidak lepas dari keyakinan mereka bahwa kebenaran sebuah hukum hanya Allah SWT yang menentukan.
Hasilnya, Oman diakui sebagai negara yang sangat kuat dalam memelihara hubungan harmonis antar mazhab. Oman juga dikenal toleran dalam hubungan Muslim dengan non-Muslim.
Meski Ibadiyah menjadi mazhab resmi Kesultanan Oman, ada banyak kelompok Islam dan agama yang hidup di negeri tersebut. Karena itu tidak mengherankan jika Global Peace Index menempatkan Oman sebagai salah satu negara yang damai, toleran, dan ramah dengan aneka ragam aliran dan agama.*/Bahrul Ulum, artikel pernah dimuat di Suara Hidayatullah