AL-QUR’AN telah memberi bimbingan dan petunjuk kepada kita tentang cara menangkal atau menolak musuh bebuyutan Bani Adam dengan cara yang sangat mudah dan praktis, yakni dengan isti’adzah dan berpaling menjauhkan diri dari orang-orang bodoh terhadap kebenaran. Juga dengan cara menolak keburukan mereka dengan kebaikan.
Al-Qur’an telah memberitahukan kepada kita tentang besarnya bagian dan keberuntungan bagi orang-orang yang mengikuti bimbingan dan petunjuk di atas. Bagian dan keberuntungan tersebut adalah terhindar dari kejahatan yang memusuhi dan berbaliknya sikap sang musuh menjadi sahabat sejati, kemudian memperoleh cinta kasih, terkendalinya hawa nafsu, terbebasnya hati dari sifat dengki dan dendam, juga rasa aman orang lain bersamanya, bahkan terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Semua ini belum termasuk kemuliaan, pahala yang baik, dan ridha Allah untuknya. Ini adalah puncak keberuntungan, baik diraih di dunia maupun di akhirat. Hal ini tidak akan dapat diraih melainkan oleh orang sabar.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Sifat-sifat baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang sabar.” (Fushilat: 35).
Sedangkan pemarah dan dungu, sungguh tidak mungkin akan dapat bersabar untuk menghadapi hal tersebut. Karena marah merupakan kendaraan bagi setan, dan terjalinlah kerja sama antara nafsu yang emosional dan setan dapat menaklukkan nafsu yang tenang (nafsu mutmainnah) yang selalu menyuruh hati agar menolak keburukan dengan kebaikan.
Padahal Allah menyuruh hati agar menjalin kerja sama dengan nafsu yang tenang dan tentram melalui isti’adzah kepada Allah dari setan. Dan isti’adzah merupakan penolong bagi nafsu yang tentram dan memerangi nafsu yang emosional. Berkat isti’adzah terwujudlah sifat sabar, iman, dan tawakal, sehingga kekuatan setan pun terkalahkan. Sebab, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (an-Nahl: 99)
Menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, dan para mufassir, makna dari “tidak ada kekuasaannya” adalah “tidak mempunyai hujjah”. Sesungguhnya setan tidak memiliki cara (jalan) untuk menguasai orang-orang beriman dan bertawakal kepada Allah, baik dari segi hujjah maupun dari segi kemampuan (kapabilitas).
Kemampuan di sini meliputi apa yang disebut kekuasaan (sulthan). Akan tetapi, terkadang hujjah juga suka disebut sebagai kekuasaan karena oleh pemiliknya dijadikan sarana untuk berkuasa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa setan tidak memiliki kekuasaan untuk menguasai hamba-hamba-Nya yang berhati tulus dan bertawakal kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah,
“Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. ‘Allah berfirman, ‘Inilah jalan yang lurus; kewajiban Akulah (menjaganya). Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (al-Hijr: 39-42)
Firman Allah tersebut meliputi dua hal: Pertama, peniadaan kekuasaan dan pembatalan kekuasaan setan atas orang-orang yang mengesakan Allah sebagai Tuhan mereka dengan tulus murni, dan kedua, pengakuan kekuasaan setan atas orang-orang musyrik dan orang-orang yang menjadikan setan sebagai wali mereka.
Ketika setan mengetahui bahwa Allah tidak akan membuat orang-orang yang mengesakan-Nya dengan tulus murni terjerat oleh perangkap yang dibuatnya, maka ia pun bersumpah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,
“Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (Shaad: 82-83)
Setan sebagai musuh Allah mengetahui bahwa orang-orang yang berlindung kepada Allah dan bersikap tulus murni mengesakan serta bertawakal kepada-Nya, membuat ia tidak ada kuasa untuk menyelewengkan dan menyesatkannya. Begitu juga setan mengetahui bahwa ia memiliki kekuasaan atas manusia untuk menyelewengkan dan bersikap syirik kepada Allah. Dengan demikian hanya orang-orang sesat sajalah sebagai bawahannya dan setan pulalah sebagai wali, pemimpin, dan ikutan mereka.
Firman Allah,
“Dan sekali-kali Allah tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa: 141).
*/Sudirman STAIL (sumber buku: Membersihkan Hati dari Gangguan Setan, penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)