Fatwa Ulama: Sedang Sakit, Bolehkah Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid?

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

Soal:

Apakah orang yang sakit biasa itu sudah cukup menjadi udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid?

Jawab:

Sakit yang bisa menjadi udzur bagi seseorang (lelaki Muslim) untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid adalah sakit yang menyebabkan kesulitan baginya untuk pergi ke masjid. Maksudnya orang yang sakit tersebut akan merasakan kesulitan dan kesusahan (jika pergi ke masjid). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من سمع النداء فلم يجبه فلا صلاة له إلا من عذر

barangsiapa yang mendengarkan panggilan adzan, lalu ia tidak menjawabnya (dengan pergi ke masjid). Maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur

Pernah ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma: “apakah yang dimaksud udzur?”. Beliau menjawab:

خوف أو مرض

adanya rasa takut atau sakit” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Hakim dengan sanad yang shahih).

Juga apa yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu‘alaihi Wasallam:

لما مرض تخلف عن الجماعة وقال: مروا أبا بكر فليصل بالناس

Ketika beliau merasa sakit, beliau tidak menghadiri shalat jama’ah. Lalu beliau bersabda: ‘perintahkan Abu Bakar untuk mengimami orang-orang shalat’” (Muttafaqun ‘alaih).

Wabillahi at taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin, wa alihi wa shahbihi wasallam.

Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

  • Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (ketua)
  • Abdullah bin Ghuddayan (anggota)
  • Shalih Al Fauzan (anggota)
  • Abdul Aziz Alu Asy Syaikh (anggota)
  • Bakr Abu Zaid (anggota)

Sumber: http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=12687&PageNo=1&BookID=3

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24680-fatwa-ulama-apakah-orang-sakit-dibolehkan-tidak-menghadiri-shalat-berjamaah-di-masjid.html

Perhatikan Aroma Tubuh Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Sadarilah Bau Badanmu Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Sangat penting memperhatikan aroma tubuh ketika akan menghadiri shalat berjamaah. Bisa jadi seseorang tidak sadar bahwa tubuhnya mengeluarkan aroma yang tidak sedap, akan tetapi orang di sekitarnya merasakan aroma tersebut, misalnya bau keringat, bau pakaian atau bau ketiaknya. Bisa juga aroma tidak sedap itu berasal dari bau mulutnya, terutama jika ia adalah seorang perokok. Tentu hal ini sangat menganggu orang yang shalat berjamaah karena posisi shaf saat shalat sangat berdekatan bahkan sampai menempel.

Jika bau tubuh yang tidak sedap itu tercium tentu akan menganggu jamaah yang lain. Bisa jadi ada orang yang sensitif dengan bau-bau tertentu, ia bisa merasa mual bahkan pusing karena tidak nyaman dengan bau yang tidak sedap. Hal ini akan menganggu konsentrasi dan kekhusyukan para jamaah saat melaksanakan shalat, padahal khusyuk dan tumakninah (tenang) dalam shalat termasuk rukun shalat. Jika tidak ada keduanya maka shalatnya tidak sah.

Larangan Shalat Berjamaah Karena Bau Badan yang Tidak Sedap

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang pada dirinya ada aroma tidak sedap untuk menghadiri shalat berjamaah, hal ini termasuk uzur tidak shalat berjamaah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”[1]

Perhatikan Bau Mulut Anda Wahai Para Perokok

Mohon diperhatikan khususnya bagi para perokok, dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Semoga kaum muslimin bisa meninggalkan benda yang sangat merugikan ini.

Boleh Meninggalkan Shalat Berjamaah Untuk Sementara Waktu

Hukumnya wajib meninggalkan shalat berjamaah untuk sementara waktu bagi seseorang yang pada tubuhnya ada aroma tidak sedap, mencakup semua bau menyengat dan tidak sedap pada mulut, hidung atau ketiak. Setelah bau tersebut hilang maka dia wajib untuk kembali shalat berjamaah di masjid.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata

وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل

“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”[2]

Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,

قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن

“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]

Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,

قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد

“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulut anda terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”[4]

Secara umum, jika memang ada penyakit yang bisa menghalangi salat berjamaah, maka ia mendapat uzur untuk tidak menghadiri salat jamaah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab,

نعم هذا عذر شرعي ، إذا كان فيه بخر شديد الرائحة الكريهة ولم يتيسر له ما يزيله فهو عذر ، كما أن البصل والكراث عذر ، أما إن وجد دواءً وحيلة تزيله فعليه أن يفعل ذلك حتى لا يتأخر عن صلاة الجمعة والجماعة ، ولكن متى عجز عن ذلك ولم يتيسر فهو معذور أشد من عذر صاحب البصل ، والبخر لا شك أنه مؤذٍ لمن حوله ، إذا كان رائحته ظاهرة

“Ya, ini adalah uzur menurut syariat. Jika pada mulutnya terdapat bau yang sangat menyengat dan tidak mudah baginya untuk menghilangkannya maka ini merupakan uzur, sebagaimana bawang putih dan kurrats (sejenis daun bawang) adalah uzur. Akan tetapi jika didapatkan obat dan cara untuk menghilangkannya maka wajib ia lakukan agar tidak tertinggal shalat Jumat dan salah berjamaah. Akan tetapi kapan saja ia tidak mampu dan tidak mudah baginya maka ia mendapatkan uzur yang lebih daripada mereka yang makan bawang putih. Bau mulut tidak diragukan lagi akan menganggu orang di sekitarnya jika baunya jelas.”[6]

Mari kita perhatikan aroma tubuh kita ketika akan menghadiri shalat berjamaah. Bagi laki-laki disunahkan memakai parfum dan wewangian yang sewajarnya.

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30240-perhatikan-aroma-tubuh-sebelum-pergi-shalat-berjamaah.html

Adab Shalat Berjamaah di Masjid

Shalat berjamaah di masjid merupakan salah satu amal yang mulia. Agar ibadah ini semakin sempurna, ada beberapa adab dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak boleh diabaikan. Berikut di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan seorang muslim ketika hendak melakukan shalat berjamaah di masjid :

Memilih Pakaian yang Bagus

Hendaknya kita memilih pakaian yang bagus saat pergi ke masjid. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar memakai pakaian yang menutup aurat, akan tetapi memerintahkan pula untuk memperbagus pakaian, lebih-lebih lagi ketika akan pergi ke masjid. Allah Ta’ala berfirman

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa kita dianjurkan untuk berhias ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari raya. Termasuk dalam hal ini memakai parfum bagi laki-laki.

Namun sekarang banyak kita jumpai kaum muslimin yang ketika pergi ke masjid hanya mengenakan pakaian seadanya padahal ia memiliki pakaian yang bagus. Bahkan tidak sedikit yang mengenakan pakaian yang penuh gambar atau berisi tulisan-tulisan kejahilan. Akibatnya, mau tidak mau orang yang ada dibelakangnya akan melihat dan membacanya sehingga mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan shalat.

Berwudhu dari Rumah

Sebelum pergi ke masjid, hendaknya berwudhu sejak dari rumah, sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 1553)

Membaca Doa Menuju Masjid

Saat keluar dari rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk mengucapkan doa. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ

“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan:  “Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi, laa haula wa laa quuwata illa billah (Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah). ‘ Beliau bersabda, “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata kepadanya (setan yang akan menggodanya, pent.), “Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan, dan penjagaan.” (HR. Abu Daud no. 595, At-Tirmizi no. 3487)

Ketika hendak menuju masjid, dianjurkan membaca :

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا

Allahummaj’al fii qolbi nuura wa fii bashari nuura wa fii sam’i nuura wa ‘an yamiinihi nuura wa ‘an yasaarii nuura wa fauqi nuura wa tahti nuura wa amaami nuura wa khalfi nuura waj’al lii nuura (Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dari kananku, cahaya dari kiriku, cahaya dari belakangku, dan jadikanlah untukku cahaya” (H.R Muslim 763)

Berdoa Ketika Masuk Masjid

Setelah sampai di masjid, hendaknya masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca doa masuk masjid. Bacaan doa masuk masjid sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka ucapkanlah, ‘Allahummaftahlii abwaaba rahmatik’ (Ya Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu). Jika keluar dari masjid, ucapkanlah: ‘Allahumma inni as-aluka min fadhlik’ (Ya Allah, aku memohon pada-Mu di antara karunia-Mu).” (HR. Muslim 713)

Tidak Lewat di Depan Orang yang Sedang Shalat

Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat  mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 ( tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yangsedang  shalat.” (HR. Bukhari 510 dan Muslim 1132)

Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaa’ah yang diimami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya  baru kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan tersebut (Lihat dalam riwayat Bukhari 76 dan  Muslim 504). Namun demikian, sebaiknya memilih jalan lain agar tidak lewat di depan shaf makmum.

Melaksanakan Shalat Dua Rakaat Sebelum Duduk

Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (H.R. Bukhari 537 dan Muslim 714)

Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib jumat, dimana tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan langsung naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh karena itu, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Merupakan suatu hal yang keliru jika tahiyatul masjid diniatkan tersendiri, karena pada hakikatnya tidak ada dalam hadits ada shalat yang namanya ‘tahiyatul masjid’, akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama untuk shalat dua rakaat sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk masjid setelah adzan lalu shalat qabliah atau sunnah wudhu, maka itulah tahiyatul masjid baginya. Tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap waktu seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Termasuk di dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut sebagian pendapat kalangan ulama.

Menghadap Sutrah Ketika Shalat

Yang dimaksud denagan sutrah adalah pembatas dalam shalat, bisa berupa tembok, tiang, orang yang sedang duduk/sholat, tongkat, tas, dll. Sutrah disyariatkan bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian. Dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat menghadap sutrah terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud 698. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ 651)

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutrah adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.. Dalam shalat berjamaah yang menghadap sutrah adalah imam, dan sutrah bagi imam juga merupakan sutrah bagi makmum yang dibelakangnya.

Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menghalanginya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Bukhari 509 dan Muslim 1129)

Menjawab Panggilan Adzan

Ketika mendengar adzan, dianjurkan untuk menjawab adzan. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Bukhari 611 dan Muslim 846)

Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat{ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ,  حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ} disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat { لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ } sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka hendaklah  kalian yang mendengar menjawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dijawab, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka maka dijawab “Laa Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka dijawab, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Dan muadzin berkata, “Laa Ilaaha illallah”, maka dijawab, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim. 848)

Ketika selesai mendengarkan adzan, dianjurkan membaca doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut :

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang setelah mendengar adzan membaca doa : Allahumma Robba hadzihid da’wattit taammah was shalatil qaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiilah wab’atshu maqaamam mahmuudanil ladzi wa ‘adtahu “(Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya) melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari 94)

Tidak Keluar dari Masjid Tanpa Udzur

Jika kita berada di dalam masjid dan adzan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada udzur. Hal ini sebagaiamana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiyallahu’anhu, beliau berkata :

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 “Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kamudian muadzin mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata : “ Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam” (H.R Muslim 655)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas dibenci keluar dari masjid setelah ditunaikannya adzan sampai sholat wajib selesai ditunaikan, kecuali jika ada udzur.

Tidak boleh keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan kecuali  ada udzur seperti mau ke kamar kecil, berwudhu, , mandi, atau keperluan mendesak lainnya.

Memanfaatkan Waktu Antara Adzan dan Iqomah

Hendakanya kita memanfaatkan waktu antara adzan dan iqomah dengan amalan yang bermanfaat seperti shalat sunnah qabliyah, membaca al quran, berdizikir, atau berdoa. Waktu ini  merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة

Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)

Boleh juga diisi dengan membaca quran atau mengulang-ulang hafalan al quran asalkan tidak dengan suara keras agar tidak mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).

Tidak selayaknya seseorang justru mengisi waktu-waktu ini dengan obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat.

Jika Iqamah Telah Dikumandangkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

 Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Jika shalat wajib telah dilaksanakan, maka tidak beleh ada shalat lain selain shalat wajib” (H.R Muslim 710)

Berdasarkan hadits di atas, jika seseorang sedang shalat sunnah kemudian iqamah telah dikumandangkan, maka tidak perlu melanjutkan shalat sunnah tersebut dan langsung ikut shalat wajib bersama imam.

Raihlah Shaf yang Utama

Di antara kesempurnaan shalat berjamaah adalah sebisa mungkin menempati shaf yang utama. Bagi laki-laki yang paling depan, adapun bagi wanita yang paling belakang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (H.R.Muslim 440)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا

Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 721 dan Muslim 437)

Merapikan Barisan Shalat

Perkara yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam shalat). Masih banyak kita dapati di sebagian masjid, barisan shaf yang tidak rapat dan lurus

Dijelaskan di dalam hadits dari sahabat Abu Abdillah Nu’man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَتُسَوُّنَّ سُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

 “Hendaknya kalian bersungguh- sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian” (HR. Bukhari 717 dan Muslim 436)

Jangan Mendahului Gerakan Imam

Imam shalat dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk semuanya“. (H.R. Bukhari 734)

Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam hadits berikut:

َ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَار

Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam takut jika Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala  keledai? “(H.R Bukhari 691)

Berdoa Ketika Keluar Masjid

Dari Abu Humaid atau dari Abu Usaid dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu).” (HR. Muslim. 713)

Ketika kelauar masjid dmulai dengan kaki kiri terlebih dahulu.

Jika Wanita Hendak Pergi ke Masjid

Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam rumhanya. Allah Ta’ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)

Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud dan dihasankan di dalam kitab Irwa Al Ghalil 515)

Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan :

  1. Meminta izin kepada suami atau mahramnya
  2. Tidak menimbulkan fitnah
  3. Menutup aurat secara lengkap
  4. Tidak berhias dan memakai parfum

Abu Musa radhiyallahu‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».

Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib 2019)

Inilah di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak shalat berjamaah di masjid. Semoga penjelasan ini dapat menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam.[1]

Penulis: Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6978-adab-shalat-berjamaah-di-masjid.html

Mencari Energi Shalat Berjamaah

Menghidupkan gerakan shalat subuh berjamaah merupakan gerakan fositif memakmurkan masjid. Gerakan ini perlu diapresiasi karena dapat mengisi shaf-shaf kosong di masjid. Secara psikologi umat Islam pun semangat shalat subuh berjamaah di masjid dan cukup antusias. Namun, kegiatan ini, bukanlah puncak dari perjuangan, tapi awal dari langkah perjuangan.

Perjuangan shalat berjamaah masih panjang karena ada empat shalat wajib lagi belum terorganisir pelaksanaanya yaitu shalat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Keempat shalat ini hukumnya wajib seperti wajibnya shalat Subuh. Keutamaan yang terkandung di dalamnya pun berbeda-beda dan tidak bisa dibandingkan dengan shalat wajib lainnya termasuk shalat Subuh karena memiliki porsi masing-masing. Sangat keliru jika ibadah itu dibedakan hanya faktor keutamaan yang terkandung dalam ibadah yang dimaksud.

Pelaksanaan shalat wajib pasti akan lebih baik dilakukan berjamaah di masjid daripada di rumah termasuk shalat kaum perempuan. Banyak ayat dan hadis Nabi SAW memuat dorongan dan keutamaan shalat berjamaah di masjid. Selain itu banyak juga ancaman kepada orang yang mengabaikan salat berjamaah di masjid.

Disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]:45, ”Jadikan sabar dan salat itu sebagai penolongmu”. Kalau salat kita belum mendatangkan energi postif dan akhlak mulia maka besar kemungkinan salat kita belum diterima Allah SWT sebagaimana sabda Nabi SAW. “Pada hari kiamat nanti ada orang yang membawa salatnya kepada Allah SWT. Kemudia dia mempersembahkan salatnya kepada Allah SWT. Lalu salatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian kumal kemudian ditamparkan kewajahnya. Allah menolak amal ibadah salatnya.

Dalam hadis yang lain disebutkan, Nabi SAW bersabda;  “Jika salat seseorang tidak mencegah dia dari kemungkaran, maka salatnya tidak menambah sesuatu kecuali salatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah sSWT”.

Selain itu, Nabi bersabda, akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin. Empat belas abad yang lalu Nabi SAW telah memprediksi bahwa akan datang satu zaman, masjid-masjid mereka makmur dan damai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama dan intelektual mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.

Mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda orang beriman ? Dan mengapa orang yang salat di masjid itu kosong dari hidayah ? Hal ini menunjukkan bahwa salat bukanlah tanda satu-satunya bahwa seorang yang melakukannya otomatis disebut mukmin dan dapat hidayah tetapi itu baru tanda bahwa yang melakukannya adalah seorang Muslim.

Tanda orang mukmin selain shalat masih banyak yang perlu diperhatikan seperti sabda Nabi SAW bahwa siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah dia menghormati tetangganya. Dalam hadis yang lain, hendaklah dia senang menyambung silaturahim atau tali persaudaraan. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari akhirat, hendaklah dia berbicara yang benar, jika tidak mampu berbicara dengan benar maka lebih baik dia diam diri. Pada hadis lain, tidak dianggap sebagai orang beriman apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang sementara para tetangga kepalaran.

Secara tersirat Nabi menyampaikan bahwa nanti akan datang suatu zaman, orang-orang berkumpul di masjid untuk menegakkan shalat berjamaah, tetapi tidak akur dengan tetangga di sampingnya baik yang Muslim dan non-Muslim, memutuskan tali silaturahim termasuk tidak menyambungkan tali silaturahim di antara sesama Muslim. Mereka menyebarkan fitnah dan menuduh yang tidak layak terhadap kaum muslimin lainnya. Mereka melaksanakan shalat, tetapi sulit mengucapkan perkataan yang benar, tidak bisa berlaku adil baik kepada sesama Muslim apalagi di luar Islam. Mereka shalat, tetapi mengabaikan tanggung jawab sosial dengan acuh tak acuh atas penderitaan yang dirasakan oleh sesama manusia.

Dalam hadis Qudsi dijelaskan kriteria shalat yang diterima Allah SWT; Sesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima shalat dari orang yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Dia tidak mengulang maksiat kepada-Ku. Dia menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup shalat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat-Ku untuk menjaganya. Jika dia berdoa kepada-Ku, Aku akan ijabah. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di Surga.

Tanda-tanda salat yang diterima oleh Allah SWT berdasarkan hadis Qudsi tersebut, di antaranya; Pertama, merendahkan diri. Dia datang melaksanakan salat dengan merendahkan diri hanya pada-Nya. Jiwa yang merendahkan diri disebut jiwa khusyu jauh dari sifat ujub dan riya. Kedua, tidak sombong sesama makhluk Allah SWT.

Menurut Imam Ghazali, orang takabur adalah orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain dan dia memandang enteng dan hina orang lain. Sifat sombong ini bisanya muncul karena faktor ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, kecakapan dan kecantikan. Puncak dari kesombongan adalah menolak eksistensi al-Haq (Allah SWT) dan menolak kebenaran yang datang dari-Nya karena yang menyampaikannya adalah orang yang tidak bertitel, statusnya lebih rendah dari dirinya, pahamnya berbeda dengan diri, kelompok, dan alirannya.

Ketiga, tidak maksiat pada Allah SWT. Tanda orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT mampu mengendalikan nafsunya. Di akhirat kelak ada beberapa kelompok manusia yang mendapat perlindungan karena amalannya di dunia yaitu orang yang diajak kencan oleh seorang perempuan yang cantik dan memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi tapi dia menolak ajakannya seraya berkata; “Aku takut kepada Allah SWT. Sikapnya seperti Yusuf saat  Zulaikha menggoda dirinya.

Keempat, memiliki jiwa solidaritas sosial tinggi. Tanda salat yang diterima bukan hanya berdiri lama, melakukan ruku, dan sujud yang panjang dalam salat tetapi ia aktif memikirkan dan mencari solusi penderitaan yang menimpa sesamanya. Dia menyisihkan waktu dan rizkinya untuk ikut serta membahagiakn orang lain.

Kriteria salat yang diterima dan kekhususannya penting ditafakuri sebagai tolok ukur salat berjamaah kita. Rasulullah menegaskan, Ada dua orang umatku yang melakukan salat, yang ruku dan sujud sama akan tetapi nilai salatnya kedua orang itu jauhnya antara langit dan bumi. Perbedaan ini karena salat mereka tidak termasuk kriteria salat yang diterima oleh Allah SWT. Allahu alam bi al-shawab.

 

Oleh : Fadhlullah M. Said *)

*) Guru SMA Plus Babussalam, Pon-Pes Babussalam al-Muchtariyah Ciburila Dago Atas Bandung

sumber: RepublikaOnline

Shalat Berjama’ah Bagi Wanita

Bismillah.

Shalat berjama’ah tidaklah wajib bagi kaum wanita menurut kesepakatan para ulama. Meskipun demikian, shalat berjama’ah dianjurkan bagi wanita tanpa ada perbedaan pendapat. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjama’ah itu melebihi shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajad” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Siapakah yang berhak menjadi imam di antara para wanita?

Yang paling berhak menjadi imam di kalangan mereka adalah yang paling paham al-Qur’an. Jika mereka sama (pemahamannya) dalam al-Qur’an, maka yang paling berhak adalah yang paling memahami Sunnah di kalangan mereka. Akan tetapi, ketika shalat jama’ah itu di rumah seseorang, maka tuan rumah paling berhak untuk menjadi imam. Meskipun, ia boleh mengizinkan orang lain untuk menjadi imam.

Barisan wanita yang terbaik

Barisan yang paling utama bagi para wanita adalah barisan yang pertama, kemudian barisan berikutnya. Ini berdasarkan (keumuman) sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

Sesungguhnya Allah menurunkan rahmat dan para Malaikat-Nya mendo’akan orang-orang yang berada pada barisan-barisan terdepan (dalam shalat berjama’ah) (HR. Abu Dawud dan an-Nasa-i).

Namun apabila kaum wanita berjama’ah dengan laki-laki maka barisan mereka harus jauh dari jama’ah laki-laki, jadi barisan terbaik bagi para wanita adalah barisan yang terakhir. Sedangkan yang paling buruk adalah barisan yang pertama.

Apakah seorang wanita yang mengimami wanita harus mengeraskan bacaannya?

Seorang wanita yang mengimami para wanita hendaklah mengeraskan bacaannya. Namun apabila ada kaum pria, maka ia tidak boleh mengeraskannya, kecuali jika kaum pria tersebut adalah para mahramnya.

Shalat para wanita di belakang kaum pria

Seorang wanita boleh shalat menjadi makmum di belakang barisan kaum pria. Tempat kaum wanita berdiri adalah di balakang kaum pria, meskipun wanita itu hanya sendiri. Wanita hendaknya berdiri sendirian di barisan yang terakhir. Demikian pula jika ia shalat berjama’ah bersama pria yang tergolong mahramnya, maka ia berdiri sendirian di belakangnya. Jika seorang wanita berdiri pada barisan kaum pria atau di depannya, maka shalat wanita itu batal berdasarkan pendapat yang benar, kecuali jika dalam keadaan darurat, atau ia tidak mengetahuinya, wallahu a’lam.

Seorang laki-laki boleh melakukan shalat berduaan dengan istrinya atau dengan wanita mahramnya, tanpa ada perbedaan pendapat. Hal ini karena ia diperbolehkan berduaan di luar shalat.

Tidak diperbolahkan seorang laki-laki menjadi imam bagi seorang wanita yang bukan mahramnya berdua-duaan. Namun diperbolehkan seorang laki-laki menjadi imam bagi sekelompok wanita, karena berkumpulnya banyak wanita menghilangkan al-khalwah(berduaan), dan tidak ada larangan mengenai hal ini. Akan tetapi hal ini berlaku jika aman dari fitnah.

Jika seorang wanita melakukan shalat (dengan jarak yang dekat) di belakang barisan kaum pria, maka berlaku pada mereka sebuah hadits yang artinya, “seburuk-buruk barisan kaum wanita adalah pada barisan pertama” (HR. Muslim, an-Nasa-i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah). Jika seorang wanita hendak memperingatkan imam, sedangkan ia shalat di belakang kaum pria, maka ia boleh menepukkan tangannya, bukan mengucap tasbih (Subhanallah).

Wanita boleh shalat diimami anak kecil (yang telah tamyiz)

Syaratnya, anak kecil tersebut telah tamyiz (dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk) serta mengetahui cara shalat yang benar.

**************************

Zulfa sinta filavati

Referensi : Panduan Praktis Shalat Berjama’ah Bagi Wanita, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah

Artikel muslimah.or.id