Hukum Azan dan Iqamah jika Salat Sendirian

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Apakah azan sebelum salat itu wajib bagi setiap individu? Apakah tidak mencukupkan diri dengan azan dari masjid? Jazakumullahu khairan.

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa azan merupakan simbol syiar Islam yang agung dan paling dikenal. Azan juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala yang berupa pemberitahuan tentang masuknya waktu salat dengan lafaz zikir tertentu. Azan ini pun disyariatkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, antara wajib atau sunnah muakkadah.

Adapun pendapat yang rajih (lebih kuat), hukumnya adalah wajib kifayah. Yaitu, jika sudah ada azan dan iqamah dari seorang muazin, itu sudah cukup bagi jamaah. Hal itu didasarkan pada beberapa dalil hadis yang menunjukkan kewajiban azan dan iqamah. Di antaranya adalah hadis Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu secara marfu‘,

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa, tidak mengumandangkan azan dan tidak didirikan salat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.” (HR. Abu Daud [547], an-Nasa’i [847] dan Ahmad [21710]. Dihasankan oleh al-Albani dalam kitabnya as-Tsamar al-Mustathab [II7/1]).

Hadis ini merupakan dalil atas wajibnya azan dan iqamah. Hal ini disebabkan setan dapat menguasai orang yang meninggalkan azan dan salat. Oleh karenanya, hukum azan menjadi wajib yang tidak boleh ditinggalkan.

Begitu pula hadis Malik bin Huwairis radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Apabila datang waktu salat, maka hendaknya salah seorang kalian mengumandangkan azan dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam (salat).” (Muttafaqun ‘alahi)

Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadis di atas menunjukkan wajibnya azan dan iqamah. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan kewajiban tersebut tanpa pengkhususan kondisi harus berjamaah. Sebagaimana hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dan selainnya secara marfu’,

إِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Engkau berada di tengah-tengah kambing gembalaanmu atau lembahmu, lalu Engkau hendak mengumandangkan azan untuk salat, maka keraskanlah suaramu. Sebab tidaklah jin, manusia, atau sesuatu yang mendengar suara muazin kecuali mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.”  (HR. Bukhari [609]).

Demikian juga dalam hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

‘Rabbmu ‘Azza wa Jalla kagum terhadap seorang penggembala domba di sebuah kaki bukit yang menyerukan azan untuk salat, kemudian dia melaksanakan salat. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Ia mengumandangkan azan dan menegakkan salat. Ia takut kepada-Ku. Sungguh Kuampuni dosa hamba-Ku ini dan Kumasukkan dia ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud [1203], an-Nasa’i [666]. Disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [41]).

فإذا كان المنفرد ببلدةٍ أُذِّن فيها، أو فاتته جماعةُ المسجد؛ فإنه يُشرع له الأذانُ والإقامة مِن باب ذكر الله بالألفاظ التوقيفية لا للإعلام بدخول الوقت، تحصيلًا لفضيلة الأذان كما ثبت في حديث أبي سعيدٍ الخدريِّ وعقبةَ بن عامرٍ رضي الله عنهما السابقَيْن

Apabila seseorang salat sendirian di suatu daerah yang sudah dikumandangkan azan, atau dia tertinggal salat berjama’ah di masjid, maka disyariatkan baginya untuk azan dan iqamah. (Hal ini) dalam rangka zikir kepada Allah dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat. Bukan dalam rangka mengumumkan masuknya waktu salat. (Serta) untuk mendapatkan keutamaan azan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Abi Sa’id al-Khudri dan Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhuma yang telah diuraikan di atas.”

وقد صحَّ ذلك -أيضًا- مِن فعلِ أنسِ بن مالكٍ رضي الله عنه: فعن أبي عثمان قال: «مَرَّ بِنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فِي مَسْجِدِ بَنِي ثَعْلَبَةَ فَقَالَ: «أَصَلَّيْتُمْ؟»، قَالَ: قُلْنَا: «نَعَمْ»، وَذَاكَ صَلَاةُ الصُّبْحِ، فَأَمَرَ رَجُلًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ

“Terdapat juga riwayat yang sahih dari praktik Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dari Abi Usman, dia berkata, ‘Anas bin Malik pernah bertemu kami di masjid Bani Tsa’labah. Beliau bertanya, ‘Apakah kalian sudah salat?’ Kami menjawab, ‘Sudah.’ Dan ketika itu (waktu) salat subuh. Lalu beliau menyuruh salah seorang untuk azan dan iqamah, kemudian beliau mengimami salat subuh bersama rombongannya.” (HR. Abu Ya’la [4355])

Apabila azan yang dikumandangkan sebelumnya sudah cukup, tentu Anas radhiyallahu ‘anhu membiarkannya (tanpa menyuruh salah seorang untuk kembali mengumandangkan azan -pent.). Maka yang lebih utama adalah apa yang dikuatkan oleh mazhab asy-Syafi’i dan Ahmad.

Oleh karena itu, disyariatkan pula bagi para wanita untuk mengumandangkan azan dan iqamah apabila mereka jauh dari laki-laki. Dan juga karena pensyariatan azan dan iqamah adalah dalam rangka zikir kepada Allah Ta’ala dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

“Wanita adalah saudari kandung dari pria.” (HR. Abu Daud [236], At-Tirmidzi [113], dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ [2333]).

Maksudnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ؟ فَغَضِبَ، قَالَ: أَنَا أَنْهَى عَنْ ذِكْرِ اللهِ؟

“Apakah wanita melakukan azan?” Lalu beliau marah, kemudian berkata, “Apakah aku melarang zikir kepada Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2324], dihasankan oleh Al-Albani dalam Tamamul Minnah [153]).

Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ketika ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ وَإِقَامَةٌ؟ قَالَ: لَا، وَإِنْ فَعَلْنَ فَهُوَ ذِكْرٌ

Apakah wanita melakukan azan dan iqamah?” Beliau kemudian menjawab, “Tidak perlu. Namun, apabila mereka melakukannya, maka itu adalah bentuk zikir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2317]).

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا

Kesimpulan:

Disyariatkan untuk azan dan iqamah bagi orang yang salat sendirian atau tertinggal dari jamaah di masjid. Demikian juga bagi wanita selama tidak ada laki-laki di sekitarnya.

***

Sumber : https://ferkous.com/home/?q=fatwa-54

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/68404-hukum-azan-dan-iqamah-jika-shalat-sendirian.html