MENGKUTI dan menyerupai mereka (orang kafir) maka bukan golongan kami. Kami sampaikan dua hadis untuk menegaskan hal ini.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No.33016, dll)
Dari Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.” (HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudhai, Musnad Asy Syihab No. 1191)
Ketika menjelaskan hadis-hadis di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al Alqami tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim, Aunul Mabud, 11/51)
Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan: “Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadis ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin.” (Ibid, 11/52)
Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.
Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.
Dari Mughirah bin Syubah Radhiallahu Anhu, katanya: “Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.” (HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)
Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam). Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi. Syaikh Abul Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan: “Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 5/377)
Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain, saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadis ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)