Ilmu, Sofis, dan Akhlak

ILMU memiliki posisi penting di dalam Islam. Teks-teks al-Qur’an dan Hadits telah menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana Islammemberikan penekanan yang sangat besar terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu—seperti hakikat ilmu; orang-orang berilmu; ruang lingkup ilmu; sumber-sumber ilmu; tingkatan ilmu; tujuan memperoleh ilmu; niat, cara, upaya, dan usaha untuk memperoleh ilmu. Tidak diragukan lagi bahwasanya Islam adalah agama berdasarkan ilmu. Sesuatu yang diakui oleh salah seorang orientalis besar, Franz Roshental, dalam karyanya yang berjudul, Knowledge Triumphant (Franz Roshental, Knowledge Triumphant [Leiden: Brill, 2008]).

Berdasarkan pandangan tersebut, ilmu selalu menjadi perhatian besar para sarjana Muslim. Mereka memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mencapai ilmu, yang pada gilirannya, memiliki kemampuan untuk mengetahui (ʿilm), mengakui (maʿrifah), memilih (ikhtiyār), memisahkan (tafrīq), memutuskan (ḥukm) dan membedakan kebenaran (ḥaqq) dari kepalsuan (bāṭil), kenyataan (ḥaqq) dari ilusi (wahm), keabsahan (salīm) dari ketidakabsahan (saqīm), kebaikan (ḥasan) dari keburukan (qubḥ), manfaat (nafʿ) dari bahaya (ḍarar), dan asli (ṣādiq) dari palsu (zā’if, Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran [Jakarta: Gema Insani, 2008], 202-203).

 

Di antara kelompok sarjana Muslim yang menekankan tentang pentingnya ilmu adalah Mutakallimun. Menurut mereka, ilmu identik dengan keyakinan, maka keyakinan, lebih khusus lagi keyakinan rasional yang berasal dari ajaran fundamental dalam Islam, harus didasarkan pada demonstrasi rasional dan ilmu yang tepat. Ilmu adalah dasar bagi metafisika, terutama bagi wujud Allah, yang merupakan realitas tertinggi wujud. Di sini kita bisa melihat mengapa karya-karya Mutakallimun tentang teologi seringkali diawali dengan konsep tentang ilmu. Sebab, dalam ilmu Teologi Islam (ʿilm al-kalam), ilmu tidak hanya berfungsi sebagai dasar bagi argumen rasional saja, tetapi juga sebagai argumen teologi. Inilah yang menjadi alasan mengapa tema tentang ilmu dan wujud Allah selalu menempati jumlah besar karya-karya teologi Islam, seperti dapat dilihat dengan jelas dari Mawāqif karya ʿAḍud al-Dīn al-Ījī (w. 756 H/1355 M).

Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa Mutakallimun menentang dengan sangat keras segala macam bentuk yang disebut pseudo-ilmu, seperti yang dilakukan oleh kaum sofis. Bahkan bisa disebut, Mutakallimun adalah di antara kelompok yang memberikan bantahan dan kritik keras terhadap kaum sofis (ʿAbd al-Qāhir ibn Ṭāhir al-Tamīmī al-Baghdādī, Uṣūl al-Dīn [Instanbul: Maṭbaʿah al-Dawlah, 1928], 6-7; Ibn Ḥazm, al-Faṣl fi al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, 2nd ed., ed. Muḥammad Ibrāhīm Naṣr dan ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah, 5 vols. [Beirut: Dar al-Jayl, 1996], 1: 43-46).

Dalam hal ini, Mutakallimun menganggap bahwa sofisme, yang asalnya berakar dan berkembang di peradaban Yunani Kuno, merupakan salah satu faham yang menentang ilmu. Dalam berbagai kuliah, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sering menyebut kaum Sofis sebagai orang-orang yang ingkar ilmu. Di sini, sofisme tidak hanya menghancurkan agama, tetapi juga semua ilmu.Ketika ilmu dilawan dan dinafikan, maka ia sama dengan menafikan metafisika.

Lalu siapa dan apa pemahaman yang dibawa oleh kaum sofis itu?Menurut al-Attas, Abd al-Qāhir al-Baghdādī adalah orang pertama yang memberikan klasifikasi tentang kaum sofis, yaitu agnostik (al-lā adriyyah); subjektif (al-ʿindiyyah); dan skeptik(al-ʿindiyyah). Agnostik adalah sikap orang-orang yang berpendapat bahwa mereka tidak tahu (lā adrī) apakah sesuatu benar-benar wujud atau tidak, bahkan mereka meragukan keraguan mereka sendiri. Subjektif adalah sikap orang-orang yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu, semua ilmu adalah subjektif, tergantung kepada opini setiap orang (ʿindī). Skeptik adalah sikap orang-orang yang menolak hakikat segala sesuatu, bahkan “sesuatu” yang kita sebut pun hanya merupakan fantasi dan imaginasi. Meskipun memiliki titik tekan yang berbeda-beda, tetapi ketiga golongan Sofis tersebut memiliki kesamaan sifat: menolak kemampuan manusia untuk mencapai ilmu dan kebenaran (Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ʿAqā’id of al-Nasafī [Kuala Lumpur: University of Malaya, 1988], 48.

 

Dengan demikian, kaum Sofis mengajarkan relativisme, skeptisisme, dan agnotisme dalam ilmu. Protagoras (480-411 SM), salah seorang Sofis terkemuka di zaman Yunani Kuno mengatakan bahwasanya tidak ada yang dinamakan kebaikan, keburukan, kebenaran, dan kesalahan absolut, serta setiap orang berhak menjadi otoritas final. Dia kemudian mengeluarkan ungkapan yang sangat terkenal, manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things. Plato, Protagoras and Meno, terj. W.K.C. Guthrie (London: Penguin Classics, 1956], 28).Oleh sebab itu, di dalam al-Faṣl fi al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, Ibn Hazm menyebut kaum Sofis sebagai orang-orang yang menafikan hakikat (mubṭil al-ḥaqā’iq).Karena ancaman besar yang diberikan oleh kaum Sofis terhadap ilmu dan agama, Najm al-Dīn al-Nasafī memulai teks akidahnya dengan ungkapan yang secara langsung membantah kaum Sofis, “ḥaqā’iq al-ashyā’ thābitah wa al-ʿilm bihā mutaḥaqqiq khilāfan li al-sufasṭā’yyah” (hakikat segala sesuatu adalah tetap, dan ilmu tentangnya adalah pasti, berbeda dengan kaum Sofis).

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, salah satu hakikat ilmu yang dinafikan oleh kaum Sofis adalah ketika mereka menolak dalil-dalil panca indera (al-ḥissiyāṭ)dan aksiomatik (al-badīhiyyāt) sebagai sumber ilmu (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Muḥaṣṣal al-Afkār al-Mutaqaddimīn wa al-Muta’akhkhirīn, ed. Samīḥ Daghīm (Beirut: Dār al-Fikr al-Lubnānī, 1992), 37). Padahal, dalam struktur keilmuan Islam, panca indera adalah saluran ilmu paling rendah (al-Attas, The Oldest,53, 66, 101-102). Untuk kasus zaman sekarang, para penyeru LGBT bisa dikategorikan ke dalam bentuk penolakan terhadap dalil panca indera dan aksiomatik, ilmu yang disebut oleh Qāḍī al-Quḍāt ʿAbd al-Jabbār, salah seorang tokoh Muʿtazilah paling terkemuka, sebagai ilmu yang tidak bisa dinafikan oleh manusia dengan cara apa pun (ʿAbd al-Jabbār ibn Aḥmad, Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsah, ed. ʿAbd al-Karīm ʿUthmān[Kairo: Maktabah Wahbah, 1996], 49). Semenjak zaman dahulu sampai zaman sekarang manusia sepakat tentang definisi laki-laki dan perempuan. Kalaupun definisi laki-laki dan perempuan ingin digugat untuk kemudian diberi definisi baru, kenapa hal-hal lain yang bersifat aksiomatik (seperti hakikat api adalah panas dan membakar, hakikat salju itu dingin, manusia berpijak di atas tanah, manusia berkedip dengan mata, 1+1 = 2, dan lain-lain), dan jumlahnya tidak terhitung tidak digugat juga?Dalam hal ini, ketidakkonsistenan kaum Sofis terlihat dengan jelas. Jika panca indera yang merupakan saluran ilmu paling rendah dan jembatan untuk mendapatkan ilmu-ilmu lain yang lebih tinggisaja ditolak, apalagi dengan saluran-saluran ilmu lain yang lebih tinggi? Oleh sebab itu, menurut al-Rāzī, sikap terbaik terhadap orang-orang keras kepala seperti orang-orang Sofis adalah dengan menghindar jauh dari mereka (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Muḥaṣṣal, 37).Orang-orang yang membela kasus penistaan agama di tanah air yang akhir-akhir ini menarik banyak perhatian pun bisa dikategorikan termasuk ke dalam kelompok kaum Sofis yang menolak dalil panca indera. Al-Attas betul, permasalahan ilmu yang dihadapi oleh para sarjana Muslim pada zaman dahulu banyak persamaan dengan permasalahan yang ada pada zaman sekarang (Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, [Kuala Lumpur: ISTAC, 1998]: 85).

Kaum Sofis dan Akhlak

Sejatinya, watak kaum Sofis yang meragukan kebenaran dan membenarkan keraguansudah cukup memberikan gambaran kepada kita tentang hakikat akhlak mereka. Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu Wata’ala sudah mewanti-wanti tentang sifat Iblis yang selalu menolak kebenaran. Kesalahan Iblis yang kemudian dilaknat oleh Allah bukan karena Iblis tidak menjunjung nilai-nilai toleransi, demokrasi, kemajemukan, kebhinekaan dll., tapi kesalahan Iblis ada dalam konsep ilmu, yaitu menolak kebenaran.Apalagi, mengikuti al-Ghazali, akhlak pada hakikatnya bukan tampilan-tampilan luar seperti toleransi, tenggang rasa, dll., tapi akhlak adalah kondisi dalaman yang ada di dalam hati (Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, 16 vols. (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), 8: 97). Syamsuddin Arif menyebut para cendekiawan yang memiliki sifat keras kepala seperti Iblis sebagai cendekiawan bermental diabolik (Syamsuddin Arif, Orientalis, 143-147).Salah dalam ilmu akan mengakibatkan salah dalam akidah dan akhlak.

 

Pada zaman Yunani Kuno, salah satu gaya kaum Sofis seperti Protagoras, Gorgias (485-380 SM), Prodicus (465-395 SM),Hippias (460 SM), dan Thrasymachus (459-400 SM) menyebarkan ajaran-ajaran mereka adalah dengan cara retorika persuasif. Pada zaman itu mereka memang terkenal sebagai orang-orang yang pandai beretorika. Mereka mengajarkan kepada orang-orang cara berbicara di depan umum.Protagoras, misalnya mengajarkan murid-muridnya untuk memuji dan mencela satu permasalahan yang sama. Wejangan Protagoras yang terkenal adalah: membuat argumen yang lemah menjadi kuat (to make the weaker argument the stronger). Protagoras juga mengklaim sebagai guru politik, sedangkan Gorgias mengaku sebagai master retorika. Kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno pun terkenal sebagai orang-orang yang sombong, percaya diri, serta cerdik dalam memaparkan argumen.Karena memiliki skill menarik perhatian banyak orang, mereka kemudian memasang tarif yang sangat mahal untuk mengajarkan skill dalam beretorika. Protagoras adalah di antara Sofis yang menjadi kaya raya dengan tarif mahal yang dipasangnya (W.K.C. Guthrie, The Sophists [Cambridge: Cambridge University Press, 1971], 51, 181-182; Jacqueline De Romilly, The Great Sophists in Periclean Athens,terj. Janet Lloyd [Oxford: Clarendon Press, 1992], 4-7, 237).

Demikianlah hakikat kaum Sofis. Secara epistemologis, pemikiran mereka sangat berseberangan dengan konsep ilmu di dalam Islam, dan secara etika mereka jauh dari akhlak mulia sebab yang diajarkan hanya retorika penuh tipu daya yang berdasarkan asumsi dan kepentingan dunia. Sifat sombong dan percaya diri yang berlebihan cukup memberikan gambaran kepada kita tentang hakikat akhlak mereka. Bahkan, Guthrie menjelaskan bahwa antarsesama mereka saja, kaum Sofis terkenal sebagai orang-orang individualistik, lawan, dan pesaing satu dengan lain (W.K.C. Guthrie, The Sophists, 47).

Kaum Sofis pada zaman dahulu dan zaman sekarang tetaplah kaum Sofis. Mereka adalah orang-orang ingkar ilmu, menolak hakikat yang pasti, meragukan kebenaran, membenarkan keraguan, dan jauh dari akhlak Islam. Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka, hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin (QS al-Baqarah [2]: 118). Wallahu aʿlam bi al-ṣawwāb.*

 

Oleh: Arif Munandar Riswanto

Mahasiswa Ph.D Centre for Advanced Studies on Islam Science and Civilisation, Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) Kuala Lumpur

 

sumber: Hidayatullah