Tiga Keutamaan Mengikuti Sunnah Nabi

Dalam kitab Sunan Ibnu Majah mengungkap ada tiga keutamaan mengikuti sunnah Nabi diantaranya, Pertama, anjuran untuk tidak masuk dalam perselisihan sunnah karena akan binasa

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَ أَنْبَأَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَانْتَهُوا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah ia berkata; telah memberitakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah apa yang telah aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan perselisihan mereka kepada para Nabinya. Jika aku perintahkan kepada kalian terhadap suatu perkara maka laksanakanlah semampu kalian, dan jika aku larang kalian dari suatu perkara maka jauhilah.” 

Kedua, Mentaati sunnah Rasulullah adalah wujud ketaatan kepada Allah SWT

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dan Waki’ dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Barangsiapa menta’atiku maka ia telah ta’at kepada Allah dan barangsiapa durhaka kepadaku maka ia telah durhaka kepada Allah.”

Ketiga, Diberikan kebaikan dunia

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ سُمَيْعٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْأَفْطَسُ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُرَشِيِّ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَذْكُرُ الْفَقْرَ وَنَتَخَوَّفُهُ فَقَالَ أَالْفَقْرَ تَخَافُونَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتُصَبَّنَّ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا صَبًّا حَتَّى لَا يُزِيغَ قَلْبَ أَحَدِكُمْ إِزَاغَةً إِلَّا هِيهْ وَايْمُ اللَّهِ لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌ

قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ صَدَقَ وَاللَّهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَنَا وَاللَّهِ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌ

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa bin Sumai’ berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sulaiman Al Afthas dari Al Walid bin Abdurrahman Al Jurasyi dari Jubair bin Nufair dari Abu Darda` ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami, sementara kami sedang memperbincangkan masalah kefaqiran dan kami merasa takut darinya. Lalu beliau bersabda: ” Apakah kalian takut kepada kemiskinan? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan diberikan kepada kalian dunia, hingga hati salah seorang dari kalian tidak bisa berpaling kecuali akan menemuinya. Sungguh, telah aku tinggalkan untuk kalian perkara terang benderang, malam dan siangnya sama.” Abu Darda` berkata; “Demi Allah benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meniggalkan bagi kita perkara yang terang benderang, malam dan siangnya sama.”

IHRAM

Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat?

Ada keyakinan yang menyebar di Indonesia, yaitu sunah melakukan hubungan intim suami-istri pada malam Jumat (Kamis malam). Mereka berkeyakinan bahwa ini akan lebih berpahala. Bahkan ada istilah “ritual malam jumatnya suami-istri”. Keyakinan ini tidak tepat, karena tidak ada dalil khusus terkait hal ini. Berikut sedikit pembahasannya:

Pendapat Ulama tentang Sunah Berhubungan Intim sebelum Salat Jumat

Sunah waktu berhubungan intim yang berpahala adalah sebelum menunaikan salat Jumat, yaitu sejak pagi sampai sebelum salat Jumat, bukan pada malam hari (sebelum subuh). Terdapat dalil terkait sunah ini dan penjelasan ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat (dengan membasuh kepala dan anggota badan lainnya, pent), membuat mandi, pergi di awal waktu, mendapati khutbah pertama, mendekat pada imam, mendengar khutbah, serta diam. Maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan salat setahun.” (HR. Tirmidzi) Disahihkan oleh Syekh Al-Albani.

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ada tiga pendapat ulama terkait dengan lafaz ( اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ). Beliau menjelaskan,

روي غَسَلَ بتخفيف السين , وَغَسَّلَ بتشديدها, روايتان مشهورتان; والأرجح عند المحققين بالتخفيف..

, فعلى رواية التخفيف في معناه هذه الأوجه الثلاثة:”

أحدها: الجماع قاله الأزهري ; قال ويقال: غسل امرأته إذا جامعها.

والثاني: غسل رأسه وثيابه.

والثالث: توضأ

Diriwayatkan cara membacanya yaitu “gasala”  (dengan takhfif pada huruf sin) dan riwayat lainnya “gassala” (dengan tasydid pada huruf sin). Dua cara baca ini adalah dua riwayat yang masyhur. Yang rajih menurut muhaqqiqun (peneliti) adalah tanpa tasydid huruf sin. Berdasarkan cara baca ini, ada tiga pendapat dalam maknanya:

  1. Berhubungan intim dengan istri. Hal ini disampaikan oleh az-Zuhri. Beliau mengatakan “Dan dikatakan ‘membuat istri mandi wajib’, jika berhubungan intim dengan istri.”
  2. Membasuh kepala dan bajunya.
  3. Berwudu.

(Al-Majmu‘ 4/543)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan makna ‘gassala‘ adalah berhubungan intim dengan istri. Beliau berkata,

غَسَّل أي: جامع أهله، وكذا فسَّره وكيع

“Makna gassala adalah berhubungan intim dengan istrinya. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Waki’.” (Zadul Ma’ad 1/385)

Pendapat Ulama tentang Wajibnya Mandi sebelum Salat Jumat

Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa pendapat terkuat dari maksud hadis ini adalah mandi sebelum salat Jumat secara umum. Beliau berkata,

وبقوله: واغتسل، غسل سائر بدنه ، وقيل جامع زوجته فأوجب عليها الغسل فكأنه غسلها واغتسل

“Maksudnya adalah membasuh seluruh tubuhnya. Pendapat lain (lebih lemah) yaitu berhubungan badan dengan istrinya. Sehingga ‘membuat istri mandi wajib’ seakan-akan ia membasuh istrinya dan membuatnya mandi.” (Tuhfazul Ahwadzi 3/3)

Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa setiap hari Jumat (sebelum waktu salat Jumat), mandi hukumnya wajib (perlu diketahui ada juga ulama yang berpendapat hukumnya adalah sunah muakkadah).

Syekh Al-‘Utsaimin berkata,

فاحرص -يا أخي- على أن تغتسل يوم الجمعة؛ لأن غسل الجمعة واجب على كل بالغ، والدليل على وجوبه قول النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «غسل الجمعة واجب على كل محتلم».

“Bersemangatlah wahai saudaraku untuk mandi pada hari Jumat karena hukumnya wajib bagi yang sudah balig. Dalil wajibnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mandi pada hari Jumat (sebelum salat Jumat) wajib bagi yang sudah bermimpi basah.” ( Silsilah Liqais Syahri no. 74)

Hikmah Berhubungan Intim sebelum Salat Jumat

Hikmah dari sunah berhubungan intim sebelum salat Jumat adalah agar pikiran menjadi lebih tenang, segar, serta fokus dalam melakukan ibadah yang akan dimulai, yaitu salat Jumat. Berhubungan badan dengan istri memiliki banyak keuntungan. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,

وَأَمَّا الْجِمَاعُ وَالْبَاهُ، فَكَانَ هَدْيُهُ فِيهِ أَكْمَلَ هَدْيٍ، يَحْفَظُ بِهِ الصِّحَّةَ، وَتَتِمُّ بِهِ اللَّذَّةُ وَسُرُورُ النَّفْسِ، وَيَحْصُلُ بِهِ مَقَاصِدُهُ الَّتِي وُضِعَ لِأَجْلِهَا

“Adapun jimak, berhubungan badan, maka petunjuk beliau –shalallahu alaihi wasallam– dalam hal ini adalah petunjuk yang paling sempurna. (Jimak) menjaga kesehatan. Kelezatan dan keceriaan jiwa akan menjadi sempurna. Akan tercapai semua maksud yang ditujukan (kemaslahatan).” [Thibbun Nabawi 1/187]

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68525-benarkah-sunnah-berhubungan-intim-di-malam-jumat.html

Membedakan Antara Qa’idah dan Waqi’atu ‘Ain

Salah satu prinsip dalam mengamalkan sunnah Nabi adalah membedakan sunnah yang rutin dengan yang kadang-kadang. Karena di antara sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ada yang Nabi jadikan sebagai qa’idah (قاعدة) atau hal yang dilakukan secara umum, konsisten, rutin dan jadi pegangan utama. Dan ada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang Nabi lakukan karena waqi’atu ‘ain (واقعة عين) atau perkara yang insidental, hanya kondisi atau waktu tertentu, atau hanya kadang-kadang saja.

Dua hal ini harus dibedakan dan ditempatkan sesuai tempatnya. Syaikh Mustafa al ‘Adawi menerangkan:

هناك أحاديث تقعد قواعد, وأحاديث واقعة عين. لا يعدى إلى ما سواها. أو أحاديث يكون العمل بها باطراد و أحاديث يجوز العمل بها أحيانا

“Ada hadits-hadits yang dijadikan Nabi sebagai kaidah. Dan ada hadits-hadits yang waqi’atu ‘ain (insidental), tidak bisa diterapkan pada kondisi-kondisi lainnya. Dan ada hadits yang diamalkan secara menyeluruh (rutin) serta ada hadits yang pengamalannya kadang-kadang” (Mafatih Al Fiqhi fid Diin, hal. 77).

Contohnya, Abu Hurairah radhiallahu’anhu pernah diminta untuk meminum susu oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai kekenyangan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اقْعُدْ فَاشْرَبْ، فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ، فَقالَ: اشْرَبْ، فَشَرِبْتُ، فَما زَالَ يقولُ: اشْرَبْ حتَّى قُلتُ: لا، والَّذي بَعَثَكَ بالحَقِّ، ما أجِدُ له مَسْلَكًا، قالَ: فأرِنِي، فأعْطَيْتُهُ القَدَحَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وسَمَّى وشَرِبَ الفَضْلَةَ

“Duduklah Abu Hurairah dan minumlah!”. Maka aku pun duduk dan minum susu. Nabi terus berkata: “Minum lagi …”. Sampai akhirnya aku katakan: “Tidak Rasulullah, demi Allah, sudah tidak ada lagi tempat dalam perutku”. Nabi berkata: “Kalau demikian, berikan padaku susu tersebut”. Aku pun berikan wadah susu kepada beliau, lalu beliau memuji Allah dan menyebut nama-Nya, lalu meminum sisa susu yang ada. (HR. Bukhari no.6452).

Bukan berarti hadits ini bermakna kita dianjurkan untuk makan sampai kekenyangan setiap saat. Karena ini bersifat waqi’atu ‘ain, hanya insidental dan sesekali saja.

Yang Nabi jadikan kaidah dalam masalah makan adalah hadits Al Miqdam bin Ma’di Karib radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطنِه ، بحسْبِ ابنِ آدمَ أُكُلاتٌ يُقِمْنَ صُلبَه ، فإن كان لا محالةَ ، فثُلُثٌ لطعامِه ، و ثُلُثٌ لشرابِه ، و ثُلُثٌ لنفَسِه

“Tidak ada wadah yang lebih buruk daripada perut manusia yang kepenuhan. Hendaknya seseorang mengonsumsi apa yang dapat membuat tulang punggungnya tegak. Jika tidak bisa menahan diri, maka hendaknya 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 untuk nafas” (HR. At Tirmidzi no. 2380, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Inilah yang hendaknya senantiasa diamalkan, dirutinkan dan dijadikan pegangan. Yaitu makan secukupnya, tidak sampai kekenyangan. Namun berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas, makan kekenyangan itu boleh saja jika kadang-kadang. Semisal ketika sedang dijamu oleh orang lain, sehingga membahagiakan yang menjamunya.

Syaikh Mustafa al ‘Adawi hafizhahullah menjelaskan:

أما أن نجعل النادر من فعله صلى الله عليه وسلم هو الغالب من أفعالنا, ونجعل الغالب من فعله هو النادر من أفعالنا فهذا خلل واضح وجهل في التشريع

“Adapun menjadikan perbuatan Nabi yang Nabi lakukan kadang-kadang sebagai perbuatan yang kita lakukan secara rutin dan sering, lalu menjadikan perbuatan Nabi yang sering Nabi lakukan menjadi perbuatan yang jarang kita lakukan, ini adalah kesalahan yang nyata dan kejahilan terhadap syariat” (Mafatih Al Fiqhi fid Diin, hal. 81).

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67395-membedakan-antara-qaidah-dan-waqiatu-ain.html

Makna dan Kedudukan Sunnah Nabi

Bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fikih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi, sunnah adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang batin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.

Secara bahasa, sunnah artinya as-sirah (perjalanan) hidup atau thariqah (cara hidup). Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan,

والسُّنَّة السيرة، حسنة كانت أَو قبيحة

As-Sunnah artinya as-sirah (perjalanan hidup), baik yang bagus maupun yang jelek.”

Dijelaskan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Irsyadhul Fuhul,

أما لغة : فهي الطريقة المسلوكة ، وأصلها من قولهم : سننت الشيء بالمسن إذا أمررته عليه ، حتى يؤثر فيه سنا أي طريقا . وقال الكسائي : معناها الدوام ، فقولنا : سنة معناه الأمر بالإدامة من قولهم : سننت الماء إذا واليت في صبه . قال الخطابي : أصلها الطريقة المحمودة ، فإذا أطلقت انصرفت إليها ، وقد يستعمل في غيرها مقيدة ، كقوله : من سن سنة سيئة . وقيل : هي الطريقة المعتادة ، سواء كانت حسنة أو سيئة

Sunnah secara bahasa artinya cara hidup. Jika orang Arab mengatakan ‘sanantu asy-syai’a bil-masni’,  maknanya adalah ‘aku menjalaninya hingga tua’. ‘Hatta yuatsira fihi sunnan’, maknanya adalah ‘hingga (perjalanan hidup) itu membuahkan sebuah cara hidup’.

Al Kisa’i mengatakan, ‘Sunnah makanya ad-dawaam (kontinu). Maka makna as-sunnah adalah sesuatu yang dilakukan secara kontinu. Sebagaimana perkataan ‘sunantul ma’a’, yang artinya ‘aku secara kontinu memercikkan air’.

Al-Khathabi mengatakan, ‘as-sunnah artinya cara hidup yang baik. Jika disebutkan secara muthlaq (bersendirian), maka maknanya demikian. Dan terkadang digunakan secara muqayyad (digandengkan) semisal dalam hadis ‘man sanna sunnatan sayyiatan’. Dan sebagian ahli bahasa mengatakan maknanya adalah cara hidup yang sudah jadi kebiasaan, baik itu bagus ataupun buruk.’” [1]

Sedangkan makna sunnah dalam istilah syar’i, adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan,

وأما معناها شرعا : أي في اصطلاح أهل الشرع ، فهي : قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم وفعله وتقريره ، وتطلق بالمعنى العام على الواجب وغيره في عرف أهل اللغة والحديث ، وأما في عرف أهل الفقه فإنما يطلقونها على ما ليس بواجب ، وتطلق على ما يقابل البدعة كقولهم : فلان من أهل السنة .

Adapun makna as-sunnah secara syar’i, yaitu dalam istilah para ulama, artinya adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dimaknai dengan makna umum, baik itu perkara yang wajib atau yang selainnya, menurut ahli bahasa dan ahli hadis. Adapun dalam kebiasaan ahli fikih, yang dimaksud dengan as-sunnah adalah semua ibadah yang tidak wajib. Dan terkadang juga, maksud as-sunnah adalah lawan dari bid’ah, sebagaimana dalam perkataan ulama: Fulan adalah ahlussunnah.” [2]

Maka sunnah yang kami maksudkan di sini adalah sunnah dalam makna perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan sunnah dalam definisi ulama fikih, yaitu segala ibadah yang tidak wajib. Dan masalah yang akan kita bahas ini, adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ia diperintahkan oleh Nabi, dilakukan oleh Nabi, dan juga disetujui oleh Nabi.

Dari ini kita pahami bahwa sunnah adalah teladan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka di dalamnya tercakup perkara wajib, perkara mustahab (dianjurkan), dan juga terkadang berupa perkara mubah. Oleh karena itu, tidak benar sangkaan sebagian orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an itu yang wajib dan As-Sunnah itu yang mustahab.

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Banyak orang yang menyangka bahwa yang terdapat dalam Al-Qur’an itulah yang wajib, sedangkan yang ada dalam As-Sunnah yang suci itu adalah yang mustahab (dianjurkan) yang diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Pemahaman keliru ini masuk ke tengah masyarakat karena semrawutnya pengertian mengenai makna As-Sunnah, padahal mereka tahu wajibnya menaati perintah Rasul.” [3]

Kedudukan Sunnah Nabi

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena ia adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib untuk memuliakan sunnah Nabi secara umum, mengamalkannya, menaatinya, dan menjadikannya cara beragama serta cara hidup. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, di antaranya:

Dalil-Dalil dari Al-Qur’an

Dalil-dalil dari Al Qur’an tentang wajibnya mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

  1. Perintah Allah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”” (QS. Al Imran: 32).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya dengan bentuk perintah yang umum, yaitu agar mereka menaati Allah dan menaati Rasul-Nya. Perintah ini mencakup taat dalam masalah iman dan tauhid, dan juga perkara-perkara turunan dari keduanya, baik berupa amalan, perkataan, lahiriah maupun batiniah. Bahkan juga mencakup menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Karena menjauhi apa yang dilarang juga termasuk menaati perintah Allah.” [4]

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam, maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya.” [6]

  1. Adanya ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” [7]

Ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik rahimahullah pun berkata, “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan azab yang pedih sebagaimana dalam ayat … (beliau menyebutkan ayat di atas).” [8]

Ketika menjelaskan perkataan Imam Malik rahimahullah ini, Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Fitnah yang dimaksud Imam Malik rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka.” [9]

  1. Tercelanya memiliki pilihan lain ketika dalam suatu permasalahan yang sudah ada sunnah Nabi

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [10]

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak layak bagi seorang mukmin dan mukminah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya, janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya.” [11]

  1. Adanya perintah untuk mengembalikan keputusan kepada Rasulullah ketika ada perselisihan

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [12]

  1. Rujuk kepada keputusan Rasulullah ketika ada perselisihan dijadikan sebagai barometer iman

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [13]

  1. Ditetapkannya Rasulullah sebagai teladan yang sempurna dalam ibadah dan muamalah

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” [14]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [15]

Dalil-Dalil Hadis

Dalil-dalil dari hadits tentang wajibnya berpegang pada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [16]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” [17]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Apa yang aku larang hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaknya kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan karena mereka menyelisihi ajaran nabi-nabi mereka.” [18]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألا إنِّي أوتيتُ الكتابَ ومثلَهُ معَهُ ، ألا يوشِكُ رجلٌ ينثَني شبعانَ على أريكتِهِ يقولُ : عليكمُ القُرآنَ ، فما وجدتُمْ فيهِ من حلالٍ فأحلُّوهُ وما وجدتُمْ فيهِ من حرامٍ فحرِّموهُ

Ketahuilah bahwa aku diberikan Al-Qur’an dan sesuatu yang semisalnya (As-Sunnah) untuk membersamainya. Ketahuilah, akan ada orang yang bersandar dalam keadaan kekenyangan di atas dipannya, lalu ia berkata: “Hendaknya kalian berpegang pada Al-Qur’an, yang kalian dapati halal di dalamnya maka halalkanlah, yang kalian dapati haram di dalamnya maka haramkanlah.”” [19]

Perkataan para Ulama

Para ulama ahlussunnah sejak dahulu hingga sekarang memotivasi umat ini untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan juga pedoman dalam beragama dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

لم أسمع أحدًا – نسبه الناس أو نسب نفسه إلى علم – يخالف في أن فرض الله عز وجل اتباعُ أمر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، والتسليم لحكمه؛ بأن الله عز وجل لم يجعل لأحد بعده إلا اتباعه، وأنه لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله – صلى الله عليه وسلم -، وأن ما سواهما تبع لهما

Tidak pernah aku mendengar orang yang disebut ulama atau yang menisbatkan diri sebagai ulama, yang menentang bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan kita ittiba’ (mengikuti) perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menerima segala hukum dari beliau. Dan Allah Ta’ala tidak memberikan kelonggaran untuk siapapun kecuali mereka harus mengikuti Rasulullah. Dan tidak ada perkataan yang wajib ditaati kecuali Kitabullah atau sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang selainnya hanya mengikuti dua hal tersebut.” [20]

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan,

ليس من أحد إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

Tidak ada satu orang pun kecuali perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (maka wajib diambil dan tidak boleh ditinggalkan).” [21]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan,

لا تقلدني ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

Jangan kalian taqlid buta kepadaku! Jangan pula kepada Malik atau Asy-Syafi’i atau Al-Auza’i atau Ats-Tsauri! Namun, ambillah kebenaran yang sesuai dengan sumber pendapat mereka (yaitu sunnah Nabi).” [22]

Imam Ahmad rahimahullah juga mengatakan,

من ردَّ حديث رسول الله فهو على شفا هلكة

Siapa yang menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berada dalam jurang kebinasaan.” [23]

Abu Hamzah Al-Bazzar rahimahullah mengatakan,

من علم طريق الحق سهل عليه سلوكه، ولا دليل على الطريق إلى الله إلا متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم في أحواله وأقواله وأفعاله

Barangsiapa yang mengetahui jalan kebenaran, maka perjalanannya akan mudah. Dan tidak ada petunjuk menuju jalan Allah kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam kehidupan beliau, perkataan beliau, dan perbuatan beliau.” [24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

الْعِبَادَاتُ مَبْنَاهَا عَلَى الشَّرْعِ وَالِاتِّبَاعِ لَا عَلَى الْهَوَى وَالِابْتِدَاعِ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَالثَّانِي: أَنْ نَعْبُدَهُ بِمَا شَرَعَهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْبُدَهُ بِالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ

Ibadah itu landasannya adalah syariat dan mengikuti sunnah Nabi, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena Islam itu dibangun di atas dua landasan. Pertama, kita menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Yang kedua, kita menyembah Allah dengan apa yang Allah syariatkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita tidak menyembah Allah dengan hawa nafsu dan bid’ah.” [25]

Semoga penjelasan ringkas ini dapat memotivasi kita untuk terus mempelajari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/67160-makna-dan-kedudukan-sunnah-nabi.html

Makan Kurma Hukum Asalnya Mubah

Mengapa hukumnya mubah? Karena kaidah asalnya

الأصل في الأطعمةوالأشربةالإباحة

“Hukum asal makanan dan minuman adalah mubah”

Kurma termasuk makanan sehinga hukum asalnya mubah?

Yang sunnah adalah apabila kita makan sesuai dengan tatacara dan sifat yang disunnahkan

Misalnya:
Makan kurma ketika berbuka puasa, maka ini sunnah

Makan kurma ketika makan sahur, maka ini sunnah

Atau makan kurma ajwa pada pagi hari sebanyak 7 butir agar terlindung dari racun dan sihir pada hari itu

Jadi yang sunnah bukan makan kurmanya, tetapi apabila makan kurma sesuai tatacara, prosedur dan sifat yang sesuai sunnah, inilah yang sunnah

Agar lebih memahami kami beri contoh,

Tidur itu jelas hukumnya mubah

Tetapi apabila kita tidur, sesuai dengan tatacara dan sifat yang disunnahkan, maka inilah yang sunnah

Misalnya:

Tidur di awal malam setelah isya, ini hukumnya sunnah

Tidur di waktu siang atau disebut dengan qailulah, ini hukumnya sunnah

Tidur di atas lambung kanan (menghadap tangan) dan menaruh tangan di atas pipi, ini hukumnya sunnah

Semoga bisa memahami

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

4 Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam di Waktu Petang

Maghrib atau jelang petang adalah perpindahan waktu antara siang menuju malam. Dibawah ini adalah hal hal atau adab yang dianjurkan dilakukan menjelang petang atau maghrib tiba. Diantara sunah sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam

Memasukkan anak anak dalam rumah

Orang tua zaman dahulu kerapkali menyuruh anak-anaknya untuk masuk ke rumah ketika waktu menjelang petang tiba. Ternyata hal tersebut merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tentunya berpahala.

Rasulullah telah mengabarkan bahwasanya jin dan juga setan berkeliaran ketika waktu maghrib. Itulah mengapa diperintahkan untuk memasukkan anak kedalam rumah. Mengerjakan adab tersebut merupakan salah satu bentuk menjaga diri dari gangguan jin dan setan. Banyak anak yang dihinggapi setan ketika maghrib, sedangkan orang tua si anak tidak mengetahui dan menyadarinya. Begitulah islam telah mengatur untuk para penganutnya suapaya menjaga anak-anak dan rumah-rumah tempat tinggalnya.

Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Jangan kalian membiarkan anak anak kalian di saat matahari terbenam sampai menghilang kegelapan malam sebab setan berpencar jika matahari terbenam sampai menghilang kegelapan malam,”  (Dari Jabir dalam kitab Sahih Muslim).

Menutup Pintu dengan menyebut nama Allah

Sunnah kedua yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turunkan kepada umatnya adalah hendaknya kita menutup pintu-pintu sambil menyebut nama Allah SWT diwaktu menjelang petang. Dengan menutup pintu sambil menyebut nama Allah niscaya kita akan senantiasa selalu terjaga dari gangguan setan dan jin.

Dari Jabir bin abdillah rahiyallahu ‘anhu telah menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ –أَوْ أَمْسـيتُمْ– فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ، فَإنَّ الشيطَانَ يَنْتَشـر حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقُوا الأَبْوَابَ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللّهِ، فَإنَّ الشيطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَاباً مُغْلَقاً

“Jika masuk awal malam –atau beliau mengatakan: jika kalian memasuki waktu sore- maka tahanlah anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran pada saat itu. Jika sudah lewat sesaat dari awal malam, bolehlah kalian lepaskan anak-anak kalian. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah karena setan tidak bisa membuka pintu yang tertutup” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sholat Dua Rakaat Sebelum Maghrib

Berdasarkan sebuah hadits Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Shalatlah sebelum shalat Maghrib” tiga kali dan pada yang ketiga, beliau mengatakan, “bagi yang mau” karena tidak suka kalau umatnya menjadikan hal itu sebagai suatu kebiasaan

Sholat dua rakaat sebelum Maghrib atau dua rakaat di antara adzan dan iqamah bukanlah sunnah yang ditekankan untuk dilaksanakan seperti layaknya shalat sunnah rawatib, akan tetapi boleh ditinggalkan. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada sabda tersebut “Bagi siapa yang mau” karena beliau tidak suka jika dianggap umatnya sebagai sunnah yang dikuatkan.

Dalam hadits lain dari Annas radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan “Sungguh aku melihat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senior saling berlomba mengejar tiang-tiang (untuk dijadikan tempat shalat) ketika masuk waktu maghrib.” (HR. Al-Bukhari no. 503)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan : “Kami pernah tinggal di Madinah. Saat muadzin ber adzan untuk shalat Maghrib, mereka (para sahabat senior) saling berlomba mencari tiang-tiang lalu mereka shalat dua rakaat dua rakaat sampai ada orang asing yang masuk masjid untuk shalat mengira bahwa shalat Maghrib sudah ditunaikan karena saking banyaknya yang melaksanakan shalat sunnah sebelum Maghrib.” (HR. Muslim no. 837).

Makruh Tidur sebelum isya’

Sunnah selanjutnya yakni tidak tidur ketika maghrib atau sebelum isya’. Hal ini berdasar hadits Abu Barzah Al-aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata

أنَّ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، قَالَ: وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا، وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka untuk mengakhirkan waktu Isya’, membenci tidur sebelumnya, dan membenci bincang-bincang setelah Isya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

FIMADANI

Yuk Lakukan Adab Menjilat Jari ala Rasulullah

DARI Ibnu ‘Abbas radhiyallahu Ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian makan makanan jangan dia usap tangannya sampai dia menjilat tangannya tersebut. Atau dia menjilatkan tangannya tersebut.” (HR. Bukhari no 5035 versi Fathul Bari no 5456. Imam Muslim no 3787, versi Syarh Shahih Muslim no 2031)

Kata Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menjelaskan tentang salah satu adab daripada adab dalam memakan; seorang yang makan hendaknya dia membersihkan makanan. Dan ini adab Islam yang sangat indah agar kita dijauhkan dari sikap tabdzir dan sikap kufur kepada nikmat.

Bayangkan kalau makanan yang lezat belum habis kemudian kita cuci piringnya atau kita cuci tangan kita sehingga mengalirlah makanan tersebut bersama kotoran-kotoran. Ini merupakan bentuk dari tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karenanya, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita. Dalam hal makanan, kita berusaha menghabiskan makanan tersebut. Seorang makan sesuai dengan keperluannya.

Dan tatkala dia ambil makanan tersebut, maka dihabiskan, jangan sampai ada yang dibuang sehingga dia menjilat sisa-sisa makanan yang ada, baik yang ada di tangannya ataupun yang ada di piringnya. Maksud Nabi di sini bukanlah tatkala sedang makan dijilat-jilat tangannya kemudian dia makan lagi apalagi tatkala sedang makan berjemaah, tidak.

Maksudnya adalah di akhir tatkala selesai makan, selesai makan dibersihkan. Karena dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan: “Kalian tidak tahu di bagian mana makanan tersebut yang ada keberkahannya.” (HR Muslim no 3792, versi Syarh Shahih Muslim no 2033 dari sahabat Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu)

Tatkala makanan banyak dihadapan kita, Allah meletakkan barakah di sebagian makanan tersebut. Kita tidak tahu dimana barakah tersebut, apakah di awal makanan kita, di tengah makanan atau di akhir makanan kita. Dan kalau pas kita mendapati keberkahan makanan tersebut maka ini akan berpengaruh dengan ibadah kita;

Keberkahan membuat kita sehat. Keberkahan membuat kita semangat untuk beribadah. Ini Allah berikan keberkahan kepada makanan tersebut. Maka seseorang berusaha untuk menghabiskan makanannya sehingga dia bisa pasti mendapatkan keberkahan makanan tersebut. Karena diajarkan bagi kita untuk menjilat-jilat tangan kita yang masih bersisa-sisa makanan.

Demikian juga kata Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam: “Atau dia jilatkan kepada orang lain.”

Maksudnya yaitu seperti: Antara suami dan istri. Di antara bentuk rasa cinta suami dan istri, istri terkadang menjilat tangan suaminya atau suami menjilat tangan istrinya. Dan ini di antara perkara yang disunahkan, tidak jadi masalah kalau mereka sedang makan, mereka saling suap menyuapi atau saling menjilati jari di antara mereka.

Atau antara ayah dengan anak. Ini tidak mengapa dan diajarkan dalam Islam. Oleh karenanya, jangan dengarkan perkataan sebagian orang yang merendahkan adab Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam masalah ini. Mereka mengatakan “Apa itu Islam, kok adabnya buruk? Sampai menjilat-jilat jari, ini adalah perkara yang menjijikkan.” Ini tidak benar.

Maksud Nabi bukan kita menjilat-jilat jari kita tatkala sedang makan bersama di tengah makan, akan tetapi maksudnya adalah setelah di akhir makan. Untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sedikit makanan pun yang kita buang, tapi semuanya kita makan.

Dan kita ingat, masih banyak orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan makan dan kelaparan. Apakah kita kemudian makan kemudian ada sisanya lalu kita buang? Seandainya sisa-sisa tersebut kita habiskan menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. [Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA]

INILAH MOZAIK

Yuk, Belajar Cara Tidur Sesuai Petunjuk Rasul

YUK pelajari dari hadits adab-adab tidur yang disebutkan dalam kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi berikut ini.

Hadits pertama: Dari Al-Bara bin Aazib radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan tidur, beliau berbaring pada sisi kanan, lalu membaca doa: Allahumma aslamtu nafsii ilaik, wa fawwadh-tu amrii ilaik, wa wajjahtu wajhiya ilaik, wa aljatu zhohrii ilaik, rogh-batan wa rohbatan ilaik, laa malja-a wa laa manjaa minka illa ilaik. Aamantu bikitaabikalladzi anzalta wa bi nabiyyikalladzi arsalta.

Artinya: “Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepadaMu, aku menyerahkan urusanku kepadaMu, aku menghadapkan wajahku kepadaMu, aku menyandarkan punggungku kepadaMu, karena senang (mendapatkan rahmatMu) dan takut pada (siksaanMu, bila melakukan kesalahan). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dari (ancaman)Mu, kecuali kepadaMu. Aku beriman pada kitab yang telah Engkau turunkan, dan (kebenaran) NabiMu yang telah Engkau utus.” Apabila Engkau meninggal dunia (di waktu tidur), maka kamu akan meninggal dunia dengan memegang fitrah (agama Islam).” (HR. Bukhari, no. 6313; Muslim, no. 2710)

Hadits kedua: Dari Al-Bara bin Aazib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda padaku, “Jika engkau hendak tidur, maka berwudhulah dengan wudhu yang digunakan untuk shalat lalu berbaringlah pada sisi kanan.” Kemudian disebutkan doa seperti di atas, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Jadikanlah bacaan tersebut sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan.” (HR. Bukhari, no. 247; Muslim, no. 2710)

Hadits ketiga: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat malam sebanyak 11 rakaat. Ketika terbit fajar Shubuh, beliau melakukan dua rakaat ringan, kemudian beliau berbaring lagi setelah itu pada sisi kanan sampai muadzin mengumandangkan iqamah. (HR. Bukhari, no. 6310; Muslim, no. 736)

Hadits keempat: Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika ingin tidur di malam hari, maka beliau meletakkan tangannya di pipinya (yang kanan), kemudian mengucapkan, “ALLOHUMMA BISMIKA AMUUTU WA AHYA [Artinya: Ya Allah, dengan nama-Mu. Aku mati dan aku hidup].” Jika beliau bangun dari tidur, beliau mengucapkan, “ALHAMDULILLAHILLADZI AHYANAA BADA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN NUSYUUR [Artinya: Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan].” (HR. Bukhari, no. 6325)

Hadits kelima: Dari Yaisy bin Thokhfah Al-Ghifariy, dari bapaknya, ia berkata, “Ketika itu aku sedang berbaring tengkurap di masjid karena begadang dan itu terjadi di waktu sahur. Lalu tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkanku dengan kakinya. Ia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah.” Kemudian aku pandang orang tersebut, ternyata ia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Abu Daud, no. 5040 dan Ibnu Majah, no. 3723. Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits keenam: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang duduk tanpa menyebut nama Allah di dalamnya, maka di dalamnya ada kekurangan (tirotun). Siapa yang tidur dalam keadaan tidak menyebut nama Allah di dalamnya, maka di dalamnya ada kekurangan (tirotun).” (HR. Abu Daud, no. 4856; 5059. Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

 

Muhammad Abduh Tuasikal

INILAH MOZAIK

Inilah Kebiasaan Rasulullah di Bulan Dzulhijjah

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ”.

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini”. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.” [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]

Dalam riwayat yang lain, salah seorang istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ

Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa sembilan hari bulan Dzulhijjah [HR. Abu Daud dan Nasa’i. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 2129 dan Shahih Sunan Nasa’I, no. 2236] [1]

Hadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan keutamaan amal shalih yang dilakukan pada masa-masa itu dibandingkan dengan hari-hari yang lain selama setahun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah ataukah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ? Beliau rahimahullah menjawab, “Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada siang hari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân, dan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama daripada sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.” (Majmû Fatâwâ, 25/287)[2] Ibnul Qayyim rahimahullah juga setuju dengan perkataan guru beliau tersebut.

Hadits ini seharus sudah cukup memberikan motivasi kepada kaum Muslimin untuk berlomba melakukan amal shalih pada waktu-waktu yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Terlebih lagi diantara waktu yang disebutkan itu ada waktu yang teramat istimewa yang juga dijelaskan keutamaannya secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hari Arafah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” [HR. Muslim no. 1348]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang keutamaan berpuasa pada hari ini bagi kaum Muslimin yang sedang tidak melakukan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]

Alangkah naifnya, kalau hari-hari yang penuh keutamaan ini kita sia-siakan begitu saja. Sudah menjadi keharusan bagi setiap kaum Muslimin yang mengimani hari akhir untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memanfaat waktu-waktu yang memiliki nilai lebih ini. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk diantara para hamba-Nya bisa memanfaatkan masa-masa ini dan semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk para hamba-Nya yang dibebaskan dari api neraka.

Ya Allah, Terimalah Amal Ibadah Kami,…

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidak ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para Sahabat pun bertanya : “Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun (karena mati syahid).”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini memberikan gambaran keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Ada beberapa amalan yang disyari’atkan pada sepuluh hari pertama bulan ini, di antaranya :

1. Puasa Arafah.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Puasa Arafah menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang. [HR. Muslim]

Puasa ini disunahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka yang sedang berhaji, tidak diperbolehkan berpuasa. Pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Mereka harus memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga, keutamaan hari Arafah bisa dinikmati oleh orang yang sedang berhaji maupun yang tidak sedang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan hari Arafah dalam sebuah hadits shahîh riwayat Imam Muslim.

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada satu hari yang pada hari itu Allah membebaskan para hamba dari api neraka yang lebih banyak dibandingkan hari Arafah. [HR. Muslim]

Hadits ini dengan gamblang menunjukkan keutamaan hari Arafah.

2. Berkurban Pada Hari Raya Kurban Dan Hari-hari Tasyriq.
Anas Radhiyallahu anhu menceritakan :

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Nabi berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu. [Muttafaq ‘Alaihi]

3. Ibadah Haji Dengan Segala Rangkaiannya.
Sudah tidak asing lagi bagi kaum Muslimin, baik yang belum berkesempatan melaksanakan ibadah haji maupun yang sudah melaksanakannya, tentang keadaan ibadah yang agung ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Tidak balasan lain bagi haji mabrûr kecuali surga [HR. al-Bukhâri Muslim]

Itulah di antara ibadah-ibadah yang disyari’atkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Setelah melakukan berbagai amal shalih di atas, kita jangan lupa berdo’a agar Allah Azza wa Jalla berkenan menerima amal ibadah yang telah lakukan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrâhîm Alaihssallam dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam. Ketika akan selesai melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla untuk membangun Ka’bah, mereka berdo’a :

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2:127]

Ini merupakan wujud kehati-hatian, barangkali dalam pelaksanaan ibadah yang Allah Azza wa Jalla perintahkan kepada kita ada yang kurang syarat atau lain sebagainya.

Kalau Nabi Ibrâhîm Alaihissallam dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam saja berdo’a agar amalan mereka diterima, maka kita tentu lebih layak untuk berdo’a demikian.

ALMANHAJ

Anjuran Rasulullah Membersihkan Gigi

Rasululah senantiasa menganjurkan umat Islam bersiwak (menyikat gigi) pada waktu sebelum shalat, sebelum tidur, dan bangun tidur.

Karena itu, dalam sebuah hadit rasullulah mengatakan, “Andaikan aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak (menyikat gigi) setiap kali berwudhu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Syuraih bin Hani bertanya kepada Istri Rasulullah, Siti Aisyah RA, “Aapakah yang dahulukan oleh Nabi SAW jika hendak masuk rumahnya?” Saat itu Aisyah menjawab rasul mengosok gigi (bersiwak).”

Aisyah juga menceritakan, bahwa kami menyediakan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah SAW. Maka bila saja Rasul telah bangun segera bersiwak dan wudhu kemudian Rasul menunaikan shalat.

Diriwayatkan Annas’I, Ibnu Khuzaimah, Rasulullah bersabda bahwa menyikat gigi (bersiwak) itu membersihkan mulut, dan menjadikan keridhoan Allah.

Banyak yang melihat Rasulullah rutin membersihkan gigi dengan siwak. Pada suatu pagi Hudzaifah RA pernah melihat Rasulullah SAW ketika bangun tidur menggosok giginya dengan siwak (sikat gigi).

Anas bin Malik RA juga menceritakan saat bertemu Rasulullah, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Aku telah banyak menganjurkan kepadamu untuk bersiwak (menyikat gigi).”

Siti Aisyah dan Sahabat Rasulullah Abu Hurairah RA mengatakan mendengar Rasulullah menyampaikan sabdanya bahwa salah lima macam fitrah kebiasaan yang tetap dari nabi adalah menyikat gigi (bersiwak) dan berkumur.

Apabila dihitung dalah kesehariannya, maka seorang mulim telah melakukan tidak kurang dari 20 kali menyikat gigi (bersiwak). Rinciannya yaitu setiap mau melaksanakan shalat lima waktu, shalat sunah Rawatib (dua belas kali), shalat Dhuha, shalat Witir, dan ketika masuk rumah. Kebiasaan bersiwak pertama kali dilakukan oleh Rasulullah ketika akan masuk rumah seperti yang diriwayatkan oleh Istri Rasulullah Aisyah.

Berdasalkan hasil penelitian kesehatan modern tentang siwak, didapatkan bahwa sesungguhnya siwak mengandung banyak sekali kandungan dan manfaatnya untuk kesehatan gigi dan gusi loh. Di dalamnya mengandung materi yang dapat membasmi kuman, mengandung materi uang membersihkan gigi dan gusi, dapat menjaga kebersihan gigi, dan merubah bau mulut yang tidak sedap. Saat berpuasa pun Rasulullah tetap bersiwak/

 

sumber: Republika Online