Pergi berhaji memang butuh biaya. Radiudin menyadari itu. Tukang sampah tersebut mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membayar cicilan ongkos haji. Tahun ini, namanya tercantum dalam daftar kloter 19.
RULLY EFENDI, Jember
DI gang menuju SMAN 3 Jember, ada sebuah depo sampah yang ramai setiap pagi. Bau busuk sampah itu cukup menyengat. Bagi Radiudin, sampah dan bau busuk tersebut justru menghidupinya. Setiap hari, selama tiga jam dia bergulat dengan sampah. Mulai pukul 07.00 hingga 10.00, kadang bisa lebih. Sebab, truk tak kunjung datang atau gerobak sampah terlambat datang.
Bau busuk sampah itu tidak pernah dia rasakan. Kotornya tubuh pun dianggap Radiudin sebagai bagian dari risiko pekerjaan. Namun, berkat ketekunannya menjadi tukang sampah, pria berumur 51 tahun tersebut pergi berhaji pada tahun ini. ’’Saya sangat-sangat bersyukur. Mulanya, saya tidak menyangka jadi juga berangkat pada tahun ini,’’ katanya.
Bapak tiga orang anak itu menjadi tukang sampah sejak 1993. Empat tahun belakangan, dia bertugas di Depo Lingkungan Muktisari, Kelurahan Tegal Besar, Kaliwates. Meski rumah dan tempat kerjanya berjarak sekitar 20 kilometer, pria yang akrab disapa Pak Nur tersebut rela berangkat pada pagi dari rumahnya di Dusun Bunder, Desa Sumberpinang, Pakusari.
Nama Pak Nur bakal berganti menjadi Pak Haji Nur. Sebab, namanya tercatat dalam daftar anggota rombongan jamaah haji dalam kloter 19. Dia bakal berangkat bersama jamaah haji asal Jember yang lain pada 14 Agustus 2016. Itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
Menjadi calon jamaah haji bukan kejutan yang mendadak datang begitu saja. Hal itu bisa terwujud karena rencana panjang yang dilalui dengan penuh perjuangan. Si tukang sampah tersebut pun harus nyeper dan mencari rongsokan di tengah tumpukan sampah. Hasilnya dia tabung untuk ongkos berhaji. Biaya pendaftaran untuk mendapatkan kursi berhasil dia bayar pada 2009. ’’Saat itu kena Rp 20 juta,’’ ungkap Radiudin.
Dia tak ragu mencari kerja sampingan dengan memungut barang bekas yang bisa diuangkan untuk tambahan biaya hidup. Apalagi, saat awal bekerja menjadi tukang sampah, dia hanya dibayar Rp 1.000 tiap hari. Tunjangan bulanan hanya Rp 5 ribu. Total uang yang dia terima per bulan tak lebih dari Rp 35 ribu.
Sebagaimana pesan orang tuanya, Radiudin tak pernah mengeluhkan keadaan hidupnya. Dia yakin Tuhan memberikan berkah dalam setiap pekerjaan yang nikmatnya dia syukuri. Ternyata benar, setelah bekerja selama 23 tahun, dia bisa mewujudkan cita-citanya untuk pergi ke Tanah Suci dari hasil ’’bersahabat’’ dengan tumpukan sampah.
Radiudin memang tidak bisa berangkat bersama istrinya, Maryati. Namun, dia yakin sang istri menyusulnya pergi ke Tanah Suci pada waktu yang berbeda. Apalagi, Maryati adalah salah seorang yang mendukungnya pergi berhaji.
’’Istri saya selalu memberikan semangat. Saat saya pesimistis karena sulit mencari uang, dia meyakinkan saya bahwa Allah Maha Pengasih,’’ ucapnya. Bahkan, dia mengakui, sang istri sangat memerhatikan dan lebih memilih untuk mengirit uang belanja daripada dirinya tidak bisa menyetor cicilan ongkos haji.
Menurut Radiudin, kekuatan sedekah mengalahkan tantangan ekonominya yang sulit. Meski hanya membawa pulang uang seadanya, kewajiban bersedekah tetap dia keluarkan. Sebab, dia yakin sedekah merupakan cara terbaik untuk memperlancar rezeki. (ai/JPG)