Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggarakan Ibadah Haji dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. MK berpandangan bahwa melakukan ibadah haji lebih dari sekali tidak melanggar konstitusi.
Menurut majelis hakim, sistem penyelenggaraan ibadah haji yang diatur undang-undang sudah tepat. MK juga menegaskan WNI yang ingin naik haji 2 kali tak perlu diberatkan dengan syarat-syarat.
“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta.
Dalam pertimbangan Majelis Hakim MK Anwar Usman, UU Nomor 13 Tahun 2008, sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Di mana aturan tersebut dilakukan setelah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan kuota haji kepada semua negara, termasuk Indonesia.
“Dengan adanya kebijakan tersebut pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun lalu, telah menerapkan pendaftaran haji dan memungkinkan adanya daftar tunggu. Kebijakan tersebut, untuk menerapkan prinsip keadilan dalam setiap penyelenggaran haji,” ujar Anwar.
Terkait gugatan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yakni menyetor dana ibadah haji terlebih dahulu Rp 25 juta kepada Badan Pengelola Keuangan Ibadah Haji (BPKIH), juga bukan merupakan pelanggaran norma konstitusi. Sebab, dengan BPKIH, maka ada yang menjamin hak uang setoran tersebut, baik melalui bank atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Uang setoran itu disimpan di bank syariah dan telah dijamin oleh LPS. Sehingga tidak mungkin akan disalahgunakan,” ucap Majelis Hakim Wahidudin Adams.
2 Warga menggugat UU N0 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta supaya WNI yang sudah naik haji harus ditambah syarat-syaratnya, bila ingin naik haji kedua kalinya atau dipersulit. Alasannya, karena kuota haji bagi WNI terbatas dan membatasi hak umat Islam yang ingin menjalankan kewajibannya untuk pertama kali. (Rmn/Mut)