5 Motivasi Agar Semakin Semangat Berangkat ke Tanah Suci

Segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menjadikan rumah suci-Nya sebagai ladang pahala dan tempat yang aman bagi umat manusia. Tempat di mana hati seorang mukmin senantiasa tertambat kepadanya. Sampai-sampai mereka rela meninggalkan kampung halaman dan sanak saudara demi berangkat dan beribadah di sekitarnya. Menabung rupiah demi rupiah demi mewujudkan cita-cita menginjakkan kaki di bukit safa dan marwa, berdesak-desakan berjalan perlahan untuk melaksanakan tawaf mengelilingi baitullah yang menjadi saksi bisu peradaban manusia dan sejarah Islam yang penuh kemuliaan ini.

Tanah suci ini dinisbatkan oleh Allah sebagai rumah-Nya serta Allah Ta’ala amanatkan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk menjaganya dan mempersilahkannya bagi siapa saja yang ingin beribadah, tawaf, rukuk, dan sujud kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang rukuk dan sujud.(QS. Al-Hajj: 26)

Layaknya seseorang yang sedang mengejar impiannya untuk bisa diterima di sebuah perusahaan ternama, ia membutuhkan motivasi dan dorongan. Maka, seorang mukmin pasti juga membutuhkan motivasi dan dorongan yang kuat untuk mewujudkan impiannya berangkat ke tanah suci.

Saudaraku, berikut ini adalah beberapa motivasi yang semoga semakin menguatkan niat kita dan semangat kita untuk melaksanakan haji dan umrah ke baitullah yang penuh kemuliaan ini.

Pertama: Haji dan umrah wajib dilaksanakan sekali seumur hidup

Haji dan umrah merupakan dua ibadah agung yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala dilaksanakan sekali seumur hidup bagi siapapun yang telah memenuhi syaratnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali ‘Imran: 96-97)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Maksud ayat ini adalah sempurnakanlah kedua ibadah tersebut. Di dalam ayat tersebut, digunakan kata perintah yang menunjukkan wajibnya haji dan umrah.

Kewajiban haji dan umrah juga berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri beliau bertanya kepadanya,

هل على النِّساءِ مِن جِهادٍ؟ قال: نعمْ، عليهنَّ جِهادٌ لا قِتالَ فيه؛ الحجُّ والعُمرةُ.

“Wahai Rasulullah, apakah wanita juga wajib berjihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji dan umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 2901 dan Ahmad no. 25322)

Jika wanita saja diwajibkan umrah dan berhaji karena itu adalah jihad bagi mereka, maka begitu pula dengan pria.

Kedua: Allah Ta’ala sesuai persangkaan hamba-Nya

Betapa dahsyatnya keikhlasan dalam berdoa dan betapa agungnya sebuah kejujuran dan sangka baik kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat).’” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)

Saat seorang hamba berprasangka baik bahwa Allah Ta’ala akan mengabulkan niat dan keinginannya untuk berangkat haji dan umrah, maka dengan izin Allah dan kehendak-Nya, Ia akan mengabulkannya sesuai dengan persangkaan hamba-Nya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Betapa banyak kita saksikan, orang-orang yang Allah Ta’ala karuniakan rezeki berlimpah, namun hatinya tidak terketuk untuk mengunjungi baitullah, melaksanakan ibadah haji dan umrah. Sedangkan sebaliknya, mereka yang ikhlas memohon kepada Allah Ta’ala dengan hatinya, jujur di dalam kerinduannya kepada-Nya, Allah mampukan untuk berangkat haji dan umrah dengan jalan yang tidak disangka-sangka. Sungguh Allah Maha Mendengar terhadap semua doa yang dipanjatkan hamba-Nya.

Ketiga: Ketahuilah! Haji dan umrah adalah ibadah yang sarat akan keutamaan dan faedah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya, selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)

Di hadis yang lain yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran (karat) besi, emas, dan perak. Dan tidak ada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga.” (HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2631, dan Ahmad no. 3669)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga bersabda,

مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ.

“Barangsiapa melakukan haji karena Allah ‘Azza wa Jalla tanpa berbuat keji dan kefasikan, maka ia kembali (tanpa dosa) sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350)

Saudaraku, cukuplah tiga hadis di atas sebagai penyemangat bagi diri kita untuk semakin giat berdoa, berusaha, dan menabung agar dimampukan oleh Allah Ta’ala untuk melaksanakan kewajiban haji dan umrah yang mulia ini.

Jaminan pengampunan dosa kecil saat selesai melaksanakan rangkaian umrah, jaminan rezeki dan terhindarkan dari kefakiran, serta kembalinya keadaaan seseorang layaknya bayi yang baru dilahirkan tentu merupakan dambaan siapapun dari kita.

Keempat: Besarnya keutamaan dan pahala salat di masjidil haram dan masjid nabawi

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 salat di masjid lainnya selain Masjidilharam. Salat di Masjidilharam lebih utama daripada 100.000 salat di masjid lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1406 dan Ahmad no. 14694)

Bayangkan! Salat satu kali saja (salat Zuhur misalnya) di Masjidilharam, maka keutamaanya seperti salat 100.000 kali di masjid lainnya, dan itu setara dengan salat lima waktu selama 20.000 hari di masjid selainnya.

Sungguh, ini merupakan keutamaan dan kesempatan besar bagi siapapun yang Allah Ta’ala berikan kesempatan untuk berangkat haji maupun umrah. Sebuah kesempatan yang tak ternilai harganya. Karena dengan keutamaan tersebut, Allah berikan kita kesempatan untuk menyempunakan dan menambal kekurangan-kekurangan yang ada dalam ibadah kita sehari-hari.

Kelima: Makkah dan Madinah adalah sebaik-baik tempat di muka bumi yang bisa kita kunjungi

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

وَلا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِي، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

Tidaklah pelana itu diikat (yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan dalam rangka ibadah ke suatu tempat), kecuali ke tiga masjid: Masjidilharam, masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjidilaqsa. (HR. Bukhari no. 1864 dan Muslim no. 8270)

Dan dari Jabir radhiyallahu ’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّ خَيْرَ ما رُكِبَتْ إليه الرَّواحِلُ مَسجِدي هذا والبَيْتُ العَتيقُ

“Sesungguhnya sebaik-baik tunggangan yang dinaiki untuk suatu perjalanan adalah ke Masjidku ini dan ke Baitul Atiq (Masjidilharam).” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 3: 350 dan Ibnu Hibban, 4: 495)

Belum lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakan kota Madinah agar diberi limpahan keberkahan oleh Allah Azza wa Jalla. Di antara doa beliau,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنَا

“Ya Allah! Berilah kepada kami keberkahan pada buah-buahan kami dan berilah kepada kami keberkahan pada kota Madinah kami! Limpahkanlah keberkahan untuk kami pada setiap sha’ dan mud (takaran timbangan) yang kami dapatkan.” (HR. Muslim no. 1373)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai salah satu tamunya yang  diundang oleh Allah untuk beribadah langsung di rumah-Nya, baitullah yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Amin ya Rabbal ‘alamin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87997-5-motivasi-agar-semakin-semangat-berangkat-ke-tanah-suci.html

Fikih Taysir Mudahkan Pelaksanaan Haji

Dibutuhkan kajian fikih yang komprehensif untuk memudahkan haji.

Dalam aspek manasik dan penyelenggaraan haji, sikap moderasi dinilai sangat diperlukan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Hilman Latief saat membuka Kegiatan Orientasi Penguatan Moderasi Beragama Bagi ASN Ditjen PHU Angkatan III.

Dalam paparannya, ia menyebut keberagaman latar belakang dari masing-masing jamaah haji bisa menjadi salah satu faktor munculnya perbedaan sudut pandang, utamanya dalam memahami masalah-masalah fikih dalam berhaji.

“Secara khusus dalam penyelenggaraan haji juga kita masih punya banyak PR. Karena itu saya setuju sekali dengan moderasi dalam manasik haji, karena untuk haji pun ada orang yang membawa jamaah kepada titik-titik ekstrim yang mungkin agak berat buat mereka,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika pada Rabu (20/9/2023).

Hilman lantas menyebut, untuk mencapai kesempurnaan ibadah mungkin juga tidak mudah, hanya karena itu yang sesuai dalam fikih yang diyakininya. Karena itu, ke depan memang moderasi itu diperlukan sekali.

Menurutnya, perlu keseriusan dalam membahas moderasi dalam berhaji, khususnya dalam manasiknya. Indonesia dengan jumlah jamaah 221 ribu, yang punya kepentingan untuk memberikan kemudahan pada jamaahnya, perlu berbicara tentang Fikih Taysir, yakni kemudahan-kemudahan berhaji secara lebih serius.

Pada kesempatan yang sama, Hilman juga mengingatkan agar setiap ASN dapat membentengi diri dengan paham-paham yang moderat, terlebih lagi menjelang tahun pemilu.

“Ini yang menjadi PR bagi Kementerian Agama, apalagi saat ini menjelang tahun pemilu, sekarang jadi sangat mungkin muncul isu-isu SARA menjelang Pilpres,” lanjut dia.

Oleh karena itu, ia mengajak jajarannya agar membentengi diri dengan satu konsep yang kuat sebagai pegawai di PHU dan aparat negara (ASN). Setiap pihak disebut memiliki tanggung jawab untuk menjaga amanah dari peran kita sebagai ASN.

“Cara kita memandang masalah-masalah yang ada di sekitar kita, itu juga harus mencerminkan sikap seorang ASN,” kata Hilman.

Kegiatan Orientasi Penguatan Moderasi Beragama Bagi ASN Ditjen PHU Angkatan III ini diikuti oleh 50 ASN di lingkungan Ditjen PHU dan UPT Asrama Haji. Peserta akan dibekali materi-materi terkait Moderasi Beragama oleh para fasilitator dari Tim Pokja (Kelompok Kerja) Moderasi Beragama Kementerian Agama RI. 

IHRAM

Amalan Sunnah Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Berikut ini adalah amalan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw untuk meraih kemuliaan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Di bulan ini yang di dalamnya terdapat banyak keutamaan. Dzulhijjah disebut banyak keutamaan karena ada banyak amalan yang disunnahkan pada bulan tersebut. 

Di antara amalan yang dianjurkan pada bulan itu adalah ibadah haji bagi yang mampu melakukannya; shalat Idul Adha dan ibadah kurban bagi yang mampu. Anjuran ini bahkan datang dari Allah Swt. yang diabadikan di dalam Al-Quran surat </span><i><span style="font-weight: 400;">Al-Anam ayat 28;

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Artinya; “Dan supaya mereka menyebut Asma Allah di hari-hari yang telah diketahui.” (QS. Al-An`am ayat 28).

Selain itu Rasulullah Saw juga memberikan anjuran dalam hadist bahwa di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah kita hendaknya memaksimalkan zikir dan amal ibadah lainnya. Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad;

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ.

Artinya; “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah), karenanya perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya,” (HR Ahmad).

Dan bahkan Rasulullah Saw bersabda bahwa keutamaan sepuluh hari pertamah bulan Dzulhijjah itu melebihi keutamaan jihad. Sebagaimana dalam hadist;

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَا العَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ؟» قَالُوا: وَلاَ الجِهَادُ؟ قَالَ: «وَلاَ الجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.

Artinya; “Dari Nabi Muhammad ﷺ, Beliau bersabda:  ‘Tak ada amal yang lebih utama daripada yang dilakukan di hari hari ini.’  Para sahabat berkata: ‘Tidakkah jihad juga?’  Rasulallah menjawab: ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang pergi memerangi musuh dengan jiwa dan hartanya kemudian kembali tanpa membawa apa pun’,” (HR Muslim).

Nah, mengenai amalan yang hendaknya dilanggengkan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Adzkar An-Nawawi;

واعلم أنه يستحب إكثار من الأذكار في هذا العشر زيادة على غيره ويستحب من ذلك في يوم عرفة أكثر من باقى العشر.

Artinya; “Ketahuilah bahwa disunnahkan memperbanyak zikir pada sepuluh awal Dzulhijjah dibanding hari lainnya. Dan di antara sepuluh awal itu memperbanyak zikir pada hari Arafah sangat disunnahkan.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa amal Sunnah yang hendaknya dilakukan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah berpuasa dan memperbanyak membaca tahmid, tasbih,dan tahlil

Demikian penjelasan mengenai amalan sunnah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Ibadah Haji, Antara Keinginan Dan Kebutuhan

Ibadah haji secara syar’i hukumnya wajib. Tetapi hukum wajibnya tidak bersifat mutlak karena hanya ditujukan kepada mereka yang telah mampu. Dilihat dari ilmu ekonomi, ibadah haji adalah kebutuhan bagi mereka yang telah mampu dan karenanya harus dipenuhi. Bagi mereka, pemenuhan kebutuhan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci tidak mengganggu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya karena mereka memang memiliki rezeki yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Ayat Tentang Kewajiban Haji

Oleh karena itu sangat jelas dinyatakan bahwa ibadah haji adalah wajib bagi orang-orang yang telah mampu sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Ali Imran, ayat 97, sebagai berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Artinya: “Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Namun demikian kewajiban menunaikan ibadah haji hanyalah sekali dalam seumur hidup sebagaiamana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian ibadah haji maka tunaikanlah haji kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Sedangkan bagi mereka yang belum mampu, ibadah haji hanyalah keinginan sehingga tidak wajib dipenuhi. Artinya daripada mereka direpotkan oleh keinginan beribadah haji dengan bersusah payah memaksakan diri menabung hingga mengabaikan kewajiban yang sudahada di depan mata, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar berupasandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi diri sendiri dan segenap anggota keluarganya, mereka lebih baik dan wajib hukumnya menyibukkan diri pada upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut sebagai kewajiban syarí dan sosial.

Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut telah terpenuhi, mereka bisa meningkatkan status keinginan beribadah haji menjadi azam atau keinginan kuat. Mereka yang telah memiliki keinginan kuat untuk beribadah haji, tentu akan terdorong untuk menabung sebagian penghasilannya agar bisa menunaikan ibadah haji. Ketika tabungan telah mencapai sejumlah tertentu yang setara dengan ongkos naik haji (ONH) dan biaya-biaya lainnya, maka keinginan kuat tersebut meningkat menjadi kebutuhan.Pada tingkat ini mereka wajib menunaikan ibadah haji dan karenanya harus dipenuhi.

Kebutuhan dan Keinginan

Pengetahuan tentang perbedaan antara kebutuhan dan keinginan menurut ilmu ekonomi sebagaimana diuraikan di atas adalah penting sebab dengan pemahaman yang benar kita bisa bersikap bijak dalam memahami rukun Islam kelima tersebut. Jangan sampai terjadi kita memaksakan diri mengejar ibadah haji padahal sebetulnya belum wajib hukumnya karena belum mampu. Ibarat shalat, waktunya belum masuk tetapi sudah melakukannya. Shalat serperti ini sudah pasti tidak sah. Sedangkan haji seperti ini bermasalah setidaknya secara akhlak karena mengabaikan kewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga. Bukankah sangat ironis apabila orang tua berangkat ibadah haji, sementara anak-anaknya dibiarkan tidak bersekolah dan kesehatannya memburuk tidak ditangani secara serius karena alasan biaya.

Ibadah haji seperti itu secara hukum agama sulit dibenarkan. Di dalam ilmu agama juga dikenal konsep fiqih al-aulawiyyat atau fiqih prioritas sebagaimana digagas oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dari Mesir. Dijelaskan oleh beliau dalam pengantar kitabnya berjudul “Fi fiqihil Aulawiyyat”, halaman 9, tentang maksud fiqih prioritas sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan fiqih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan dalil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu dan diterangi oleh akal.”

Jadi, fiqih prioritas pada intinya adalah menekankan urutan pelaksanaan kewajiban atau beban sesuai dengan tingkatan hukumnya. Berdasarkan pada prinsip ini sesuatu yang hukumnya fardhu ain harus diutamakan daripada sesuatu yang hukumnya fardhu kifayah. Sesuatu yang hukumnya wajib harus didahulukan daripada sesuatu yang hukumnya sunnah. Sesuatu yang manfaatnya besar dan luas harus didahulukan daripada sesuatu yang manfaatnya kecil dan terbatas, dan seterusnya. Atau dalam bahasa ekonomi, pemenuhan atas kebutuhan harus didahulukan daripada pemenuhan atas keinginan. Inilah yang disebut skala prioritas dalam ilmu manajemen.

Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi memberikan contoh dalam masalah ini bahwa ibadah haji bagi orang-orang yang telah melaksanakannya tidak wajib melaksanakan kembali pada tahun-tahun berikutnya.Bagi mereka ibadah haji berikutnya sudah turun tingkatan hukumnya, yakni tidak wajib. Bagi orang-orang seperti itu juga berlaku fiqih prioritas dimana mereka harus lebih mengutamakan ibadah lain yang hukumnya wajib daripada melakukan ibadah haji atau umrah kesekian kali yang hukumnya hanya sunnah.

Dalam kaitan itu, Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengkritik orang-orang kaya yang sering melakukan ibadah hajidan umroh ke Tanah Suci, tetapi pada saat yang sama mereka abai terhadap fakta bahwa di masyarakat masih banyak orang miskin Muslim. Tidak sedikit dari mereka berpindah agama karena tidak mendapatkan pertolongan dari saudara-saudara Muslim yang kaya. Orang-orang kaya itu sebetulnya wajib hukumnya berjihad di jalan Allah dengan menggunakan hartanya untuk mencegah pemurtadan di antara orang-orang miskin Muslim tersebut, misalnya dengan memberikan beasiswa untuk bersekolah, mengikuti kursus ketrampilan atau menyediakan modal yang cukup untuk bekerja.

Di sisi lain, kita melihat beberapa orang dari kalangan ekonomi lemah melaksanakan ibadah haji dengan sebelumnya menabung selama bertahun-tahun. Hal ini tentu tidak menjadi masalah dan bahkan baik selama dalam menabung itu mereka tidak mengabaikan kawajibannya membiayai pendidikan anak-anak, mengobati di antara anggota keluarga yang sakit dan sebagainya, termasuk kewajiban sosial yakni iuran-iuran di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Atau mereka memang sudah tidak memiliki tanggungan apa-apa terkait kewajibannya sebagai orang tua sekaligus kepala keluarga.

Namun, jika kegiatan menabung untuk ibadah haji ternyata menjadikan anak-anak tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang cukup dan kesehatan yang memadai, hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip fiqih prioritas. Bagaimanapun mencari ilmu hukumnya wajib, dan orang tua wajib hukumnya mengusahakan biaya sekolah bagi anak-anaknya, disamping kewajiban lain yakni menafkahi dan mengobatkan mereka yang sakit.

Dalam kondisi seperti itu ibadah haji tidak wajib bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah. Mereka harus memprioritaskan terlaksananya kewajiban-kewajiban yang nyata-nyata ada di depan mata dan hukumnya wajib, yakni kewajiban memberikan nafkah, membiayai pendidikan dan kesehatan mereka sebagaimana disebutkan di atas. Setelah semua kewajiban itu terpenuhi, mereka dapat meningkatkan upayanya untuk dapat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci dengan semua potensi yang mereka miliki.

Jika ternyata tidak mampu, tentu tidak menjadi masalah karena ibadah haji memang hanya diwajibkan bagi yang telah mampu. Mereka tetap mendapat pahala dari keinginan atau niatnya menunaikan ibadah haji tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Rasululullah shallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi sebagai berikut:

نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

Artinya: “Niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya.”

Hadits lain yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim berbunyi sebagaimana penggalan berikut:

Artinya: “Maka barang siapa memiliki keinginan atau berniat melakukan sesuatu kebaikan lalu tidak jadi melaksanakannya, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya satu kebaikan sempurna.”

Sekali lagi, ibadah haji wajib hukumnya. Namun demikian Allah tidak bermaksud membebani hamba-hamba-Nya dengan mewajibkan rukun Islam kelima itu kecuali sebatas kemampuan masing-masing. Allah subhanu watala berfirman-Nya di dalam Al-Qurán, Surat Al-Baqarah, Ayat 286 sebagai berikut:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.”

Hal senada juga ditegaskan dalam Surah Al Maidah, ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: “Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.”

Kedua ayat tersebut hendaknya menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menyikapi kewajiban-kewajiban agama sebagaimana dirumuskan dalam Rukun Islam, khususnya kewajiban beribadah haji ke Tanah Suci di Makkah al-Mukarramah, Saudi Arabia, yang memang membutuhkan biaya yang sangat banyak dan kemampuan fisik yang tidak bisa dianggap enteng. Ibadah haji memang tidak terlepas dari kedua hal ini.

ISLAMKAFFAH

Lima Amalan yang Pahalanya Setara dengan Ibadah Haji

Haji merupakan amalan ibadah yang paling utama setelah jihad di jalan Allah Ta’ala. Amal ibadah yang membutuhkan harta, kesehatan, dan persiapan yang matang untuk melaksanakannya. Terlebih lagi di Indonesia, haji membutuhkan masa tunggu yang tidaklah sebentar. Di sebagian daerah, bahkan kita dapati memiliki masa tunggu sampai 30 tahun lamanya.

Tidak mengherankan bila kita sering mendengar seseorang telah Allah Ta’ala panggil dan Allah wafatkan terlebih dahulu, sedangkan ia belum sempat melaksanakan haji yang didambakannya. Selain faktor masa tunggu yang lama, kondisi badan yang tak lagi prima, dan keterbatasan harta, juga menjadi penghalang seseorang sehingga ia belum dimampukan untuk melaksanakannya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya telah mensyariatkan beberapa amal ibadah yang jika dilakukan oleh seorang hamba, maka pahalanya dapat menyamai pahala haji ataupun umrah. Amalan-amalan yang perlu untuk kita ketahui, lalu kita amalkan. Sehingga bisa menjadi tabungan amal kita di akhirat nanti.

Perlu kita garis bawahi, maksud dari amalan-amalan yang setara dengan ibadah haji ini adalah setara dalam hal pahala dan balasan, bukan pada pengesahan, pencukupan, dan pengguguran kewajiban sebuah ibadah. Kewajiban haji tidak akan gugur dari seseorang yang telah mampu serta tidak memiliki penghalang, meskipun ia telah melakukan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan ibadah haji ini.

Saat seseorang benar-benar sudah tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena adanya penghalang, baik itu karena sakit, adanya wabah, ataupun penghalang-penghalang lainnya, maka melakukan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala ibadah haji ini lebih ditekankan untuk dilakukan. Lalu, amalan apa saja yang akan memberikan seorang hamba pahala yang setara dengan pahala ibadah haji ini?

Pertama: Niat yang tulus untuk menunaikan ibadah haji

Niat yang tulus memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah seorang hamba. Diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا مع النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ في غَزَاةٍ، فَقالَ: إنَّ بالمَدِينَةِ لَرِجَالًا ما سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا، إلَّا كَانُوا معكُمْ؛ حَبَسَهُمُ المَرَضُ. وفي رواية: إلَّا شَرِكُوكُمْ في الأجْرِ

“Kami berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu peperangan. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang kalian tidaklah menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu (yakni sama-sama memperoleh pahala). Mereka itu terhalang oleh sakit (maksudnya uzur karena sakit, sehingga andaikan tidak sakit pasti ikut berperang).’”

Dalam salah satu riwayat dijelaskan, “Melainkan mereka (yang tertinggal dan tidak ikut berperang) berserikat denganmu dalam hal pahala.” (HR. Muslim no. 1911)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat keutamaan niat untuk melakukan kebaikan. Dan sesungguhnya bagi siapapun yang berniat ikut berperang ataupun melakukan amal kebaikan lainnya, lalu ia mendapati uzur yang menghalanginya (dari melakukan amal tersebut), maka ia tetap mendapatkan pahala atas apa yang telah ia niatkan.” (Syarh Shahih Muslim)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal yang semakna,

من سألَ اللَّهَ الشَّهادةَ صادقًا بلَّغَه اللَّهُ منازلَ الشُّهداءِ وإن ماتَ علَى فراشِه

“Barangsiapa memohon dengan jujur kepada Allah agar mati syahid, maka Allah akan sampaikan ia kepada kedudukan para syuhada walaupun ia mati di atas ranjangnya.” (HR. Abu Dawud no. 1520)

Sungguh Allah Ta’ala tidak akan membiarkan niat tulus yang datang dari seorang dalam hal ibadah dan amal. Allah Ta’ala menilai seseorang berdasarkan apa yang ada di hatinya dan apa yang diniatkannya.

Kedua: Menjaga salat lima waktu secara berjemaah di masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن خرَجَ مِن بيتِه متطهِّرًا إلى صلاةٍ مكتوبةٍ، فأجْرُه كأجرِ الحاجِّ المُحرِمِ، ومَن خرَجَ إلى تسبيحِ الضُّحى لايُنصِبُه إلَّا إيَّاهُ، فأجْرُه كأجرِ المُعتمِرِ، وصلاةٌ على أثَرِ صلاةٍ لا لَغْوَ بينَهما كتابٌ في عِلِّيِّينَ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk salat wajib berjemaah, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji dan sedang berihram. Dan siapa saja yang keluar untuk salat sunah Duha yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan (yang melakukan) salat setelah salat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang saleh).” (HR. Abu Daud no. 558)

Baca juga: Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?

Ketiga: Umrah di bulan Ramadan

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baru saja kembali dari hajinya, beliau bertanya kepada Ummu Sinan Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha,

ما مَنَعَكِ مِنَ الحَجِّ؟

“Apa yang menghalangimu untuk menunaikan haji?”

Perempuan tersebut menjawab,

أبو فُلَانٍ -تَعْنِي زَوْجَهَا- كانَ له نَاضِحَانِ، حَجَّ علَى أحَدِهِمَا، والآخَرُ يَسْقِي أرْضًا لَنَا

“Bapak si fulan, yang ia maksud suaminya, memiliki dua ekor unta yang salah satunya sering digunakan untuk menunaikan haji, sedangkan unta yang satunya lagi digunakan untuk mencari air minum buat kami.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

فإنَّ عُمْرَةً في رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً -أوْ حَجَّةً مَعِي-.

“Umrah pada bulan Ramadan sebanding dengan haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863 dan Muslim no. 1256)

Keempat: Zikir setelah salat

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

جاءَ الفُقَراءُ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فقالوا: ذَهَبَ أهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأمْوالِ بالدَّرَجاتِ العُلا، والنَّعِيمِ المُقِيمِ يُصَلُّونَ كما نُصَلِّي، ويَصُومُونَ كما نَصُومُ، ولَهُمْ فَضْلٌ مِن أمْوالٍ يَحُجُّونَ بها، ويَعْتَمِرُونَ، ويُجاهِدُونَ، ويَتَصَدَّقُونَ، قالَ: ألا أُحَدِّثُكُمْ إنْ أخَذْتُمْ أدْرَكْتُمْ مَن سَبَقَكُمْ ولَمْ يُدْرِكْكُمْ أحَدٌ بَعْدَكُمْ، وكُنْتُمْ خَيْرَ مَن أنتُمْ بيْنَ ظَهْرانَيْهِ إلَّا مَن عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وتَحْمَدُونَ وتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاةٍ ثَلاثًا وثَلاثِينَ، فاخْتَلَفْنا بيْنَنا، فقالَ بَعْضُنا: نُسَبِّحُ ثَلاثًا وثَلاثِينَ، ونَحْمَدُ ثَلاثًا وثَلاثِينَ، ونُكَبِّرُ أرْبَعًا وثَلاثِينَ، فَرَجَعْتُ إلَيْهِ، فقالَ: تَقُولُ: سُبْحانَ اللَّهِ، والحَمْدُ لِلَّهِ، واللَّهُ أكْبَرُ، حتَّى يَكونَ منهنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاثًا وثَلاثِينَ.

“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, ‘Orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan nikmat yang tiada hingga. Mereka (orang-orang kaya) salat sebagaimana kami salat, puasa sebagaimana kami puasa. Namun, mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad, serta bersedekah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya menjadi terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir salat sebanyak tiga puluh tiga kali.’

(Abu Hurairah mengatakan), “Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.’” (HR. Bukhari no. 843)

Kelima: Menghadiri majelis ilmu dan mengajarkannya

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن غدا إلى المسجدِ لا يُرِيدُ إلَّا أن يتعلَّمَ خيرًا أو يُعلِّمَه كان له كأجرِحاجٍّ تامًّا حجَّتُه

“Barangsiapa berangkat ke masjid, tidak ada yang ia inginkan kecuali untuk mempelajari satu kebaikan atau mengetahui ilmunya, maka ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna.” (HR. Thabrani 8: 111 dan dihukumi hasan sahih oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih At-Targib)

Semoga Allah Ta’ala menuliskan kita sebagai salah satu hamba-Nya yang diberi kesempatan untuk berhaji dan mengunjungi rumah-Nya yang penuh dengan kemuliaan, menakdirkan kita untuk menjadi salah satu manusia yang bisa merasakan nikmatnya wukuf di padang Arafah, berjalan-jalan di antara tenda-tenda Mina, dan merasakan langsung atmosfer Makkah yang penuh kerinduan.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84818-lima-amalan-yang-pahalanya-setara-dengan-ibadah-haji.html

Ibadah Haji, Gaya Hidup Instan Kita, dan Refleksi Syariati

Haji bukan sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik prosesi haji.

“Tak akan raih kemuliaan siapapun yang tak menyentuh kesulitan

Barang siapa ingin kehormatan tanpa bersusah payah maka ia akan nihil”

(Shafiyuddin al-Hilli, 750 H)

Ali Syari’ati. Nama cendekiawan kelahiran 1933 di Mazinan, Iran, itu tak lagi asing. Pemikirannya dikenal progresif. Gagasannya merupakan refleksi dari ragam problematika yang dihadapi masyarakat Iran ketika itu. Syari’ati mencetuskan teori yang tak lazim di masanya: kodifikasi antara prinsip Islam yang tradisionalis dan filsafat Barat modern.

Sikapnya dikritik, juga dipuja. Dalam waktu singkat, ceramah dan kuliahnya menyedot perhatian publik. Tetapi, progresivitas pemikirannya dianggap ancaman. Kalangan tradisonalis yang mendominasi menganggap keberadaannya sebagai ancaman. Syariati dicekal. Pernah pula dijebloskan ke penjara. Hingga pada 19 Juni 1977 ia wafat terbunuh. Muncul spekulasi, agen-agen SAVAK pendukung Ayatullah Khumaini berada di balik tragedi tersebut.

Syari’ati meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa. Sebagian besar karangannya tentang filsafat. Salah satu karyanya yang monumental ialah buku berjudul Hajj (pilgrimage).

Buku yang banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa itu berisi tentang refleksi, kritik, dan sebuah konklusi dari seorang Syari’ati, perihal subtansi ibadah haji. Baginya, haji adalah sebuah aksi yang berkesinambungan, tak terhenti pada tumpukan teori di atas kertas. Haji juga penuh dengan simbol, bukan sebatas ritual.

Jangan-jangan, seperti kekhawatiran seorang qadi asal Kufah yang hidup pada tahun 70-an Hijriyah, Syuraih al-Qadhi, sedikit sekali mereka yang benar-benar pergi dengan berniat haji, banyak yang hanya niat berwisata. Begitu banyak para pengamal kebajikan, tetapi sedikit sekali yang tulus mencari ridha-Nya.

Dalam refleksi Ali Syariati, seperti termaktub dalam al-Faridhal al-Khamisah (terjamah lain dalam bahasa Arab), ibadah haji bukan hanya sekadar ibadah ritual dengan memakai ihram, melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran), sai (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah), melempar jumrah (dengan batu kerikil ke tiang Jamarah), wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah, lalu bertahalul (memotong rambut). Menurutnya, seorang manusia penting untuk memahami fungsi dan perannya masing-masing. Manusia sebagai khalifah di muka bumi berkewajiban melaksanakan segala amanah yang diberikan oleh Allah, termasuk dalam melaksanakan ibadah haji. Bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik setiap prosesi ibadah haji.

Syariati juga menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebab, itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah haji, yakni menggapai haji mabrur.

Bila ibadah haji berhasil dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan syarat dan rukunnya, niscaya dirinya akan menjadi seorang Muslim yang baik, patuh, dan taat dalam menjalankan ibadah. Di sinilah, tegas Syariati, pentingnya seorang Muslim memahami dan mengambil manfaat dari manasik haji.

Maka, tibalah tahapan puncak, sebuah tingkatan klimaks yang diteladankan Ibrahim AS yaitu berqurban. Prosesi berqurban tersebut terlampaui usai ritual-ritual transendental. Peneguhan tauhid kala bertawaf, menyelami perjuangan Hajar ketika sa’i, lalu ‘merasakan’ kehadiran Adam ketika menuju Arafah. Di Padang itu, tebersitlah akan arti dan kedudukan manusia di hadapan-Nya.

Qurban hanyalah simbol dari berserah diri yang sempurna. ‘Ismail’ manakah yang hendak Anda qurbankan? Apakah gelar, profesi, harta, status sosial? Atau apakah yang hendak Anda sucikan? Bagi Syari’ati, bukan perkara mudah membatasi dan memutuskan perkara apa yang hendak dipurifikasi. Syari’ati hanya memberikan batasan, apa pun yang membuat iman lemah, maka “sembelihlah”. Segala hal yang melenakan dari kewajiban, tanggung jawab, dan kebaikan, maka jauhkanlah. Begitulah hakikat kurban.

Syari’ati meletakkan pemahaman akan pentingnya prioritas. Mengedepankan hak-hak ilahi ketimbang maslahat duniawi. Ikhtiar yang demikian lebih sulit. Sebab, kondisi itu akan menimbulkan dialektika kepentingan. Tarik ulur hasrat. Hasilnya akan sangat menentukan. Siapa memilih dunia, maka ia telah kalah dalam pertempuran besar.

Melawan hawa nafsu. Bahkan, pertarungan ‘kepentingan’ itu dalam konteks Ibrahim AS, nabi yang dikenal sebagai Bapak Agama Samawi itu, sangat kompleks. Ia sangat mendambakan seorang putra selama berpuluh-puluh tahun.

Dan, anak yang dinanti itu justru diperintahkan Allah untuk dikurbankan. Bagi Syari’ati pula, pelaksanaan qurban, bentuk dari penyempurnaan hakikat berserah diri dan keikhlasan yang sebenarnya. Tetap jaga agar tak tergelincir. Sebab, terpeleset dari tangga kemuliaan itu berarti petaka yang sangat disesalkan.

Sebagai bagian tak terlepaskan dari ritual haji, qurban adalah simbol dari kontinuitas kesalehan. Kebaikan tak boleh terhenti lantaran risalah Islam berselaras dan dinamis dengan kehidupan. Qurban meneguhkan arti pentingnya pengorbanan dalam hidup. Mengikis ego pribadi, sektoral, dan komunal. Hidup adalah soal pengorbanan. Sejauh mana komitmen berusaha dan tidak berputus asa, tak pamrih memberi dan bukan hanya menerima.

Maka, dalam konteks keindonesiaan, sangat tepat bila spirit berqurban itu diterapkan. Hidup berbangsa dan bernegara bukan hanya didasari semangat transaksional an sich. Pola ini, tentu hanya akan membudayakan paradigma menerima dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini jauh dari filosofi berkurban.

Bagi seorang sastrawan abad ke-7 Hijriyah, Shafiyuddin al-Hilli, kejayaan yang hakiki diperoleh dari rangkaian proses, bukan budaya instan. Kegemaran akan perilaku instan hanya menyisakan manusia-manusia dengan watak instan. Kaya secara instan, kepintaran yang instan sekaligus prematur, dan paradigma yang serba instan. Atau, barangkali hidup yang instan pula.  

Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id

KHAZANAH REPUBLIKA

Khotbah Jumat: Memaknai Kembali Ibadah Haji

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya ketakwaan kepada Allah merupakan kunci dan pondasi kebahagiaan dan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. At-Talaq: 4)

Ketahuilah wahai saudaraku, beribadah dan beramal adalah hak Allah Ta’ala atas hamba-Nya. Di dalam perkara ibadah, kita dituntut untuk menjalankannya dan menaatinya walaupun kita tidak mengetahui rahasia dan hikmahnya. Akan tetapi, itu bukan menjadi penghalang bahwa bisa saja sebagian hikmah dan rahasia tersebut akan diketahui ketika melaksanakannya.

Di antara buah dan hasil dari sebuah amal ibadah adalah perbaikan akhlak. Akhlak yang baik akan membentuk pribadi muslim yang mulia, sehingga cahaya dan keindahan Islam ini terpancar dan tersebar di bumi Allah yang luas ini.

Di antara syiar dan identitas agama Islam adalah ibadah haji. Bagi seorang muslim, haji merupakan sekolah yang penuh akan faedah dan pelajaran. Suatu permisalan yang sempurna akan pelatihan bagi jiwa dan pembentukan karakter bagi seorang muslim. Bagaimana tidak? Haji merupakan ibadah sekali seumur hidup, penyempurna agama, dan penutup rukun Islam. Pada musim haji inilah Allah Ta’ala turunkan ayat,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah:3)

Ibadah haji merupakan simbol persatuan dan tolong menolong. Tidak ada bedanya antara si kaya dan si miskin. Karena semuanya berpenampilan sama dan diperintahkan untuk melakukan prosesi ibadah yang sama. Apa yang membedakan di antara mereka? Takwa kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala. Sungguh di dalam ibadah haji terdapat banyak sekali keutamaan dan dampak positif, baik yang bermanfaat bagi kejiwaan kita maupun yang bermanfaat untuk perekonomian kita. Allah berfirman,

وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ   لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan oleh-Nya kepada mereka berupa hewan ternak. Maka, makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 27-28)

Ma’asyiral Muslimin, jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.

Untuk mencapai derajat yang tinggi dan sukses di dalam menjalankan ibadah haji ini, ada beberapa hal yang selayaknya diperhatikan seorang muslim, terkhusus bagi mereka yang akan melaksanakannya:

Pertama: Haji merupakan dedikasi penuh seorang hamba untuk Rabb-Nya. Oleh karenanya, sebelum melaksanakannya, hendaknya ia bertobat kepada Allah dengan tobat yang jujur, berlepas diri dari segala macam kemaksiatan, baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Serta meminta pihak yang teraniaya untuk menghalalkan (memaafkan) perlakuan buruk yang pernah dilakukan kepadanya atau memberi kesempatan untuk membalas dengan perbuatan yang sepadan dan mengembalikan hak-hak kepada para pemiliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

 مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa pernah berbuat zalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, hendaknya meminta orang tersebut menghalalkan dirinya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini, sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki amal saleh, maka akan diambil amal saleh darinya sebanding dengan perbuatan kezalimannya. Apabila tidak memiliki amal saleh, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya.” (HR. al-Bukhari no. 2269)

Kedua: Berusaha dan bersemangat untuk berangkat haji dengan harta dan bekal yang halal, tidak mengandung syubhat atau bahkan keharaman. Karena harta yang haram akan mengurangi keberkahan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa berhaji dengan harta yang haram akan membuat haji kita tidak sah sehingga tidak menggugurkan kewajiban.

Namun, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama bahwa berhaji dengan uang dan harta haram tetap sah dan menggugurkan kewajiban. Akan tetapi, pelakunya tetap berdosa karena menggunakan dan memanfaatkan harta yang haram. Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah, salah satu ulama bermazhab syafi’i,

إذا حج بمال حرام، أوراكباً دابة مغصوبة أثم وصح حجه، وأجزأه عندنا، وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدري، وبه قال أكثر الفقهاء، وقال أحمد: لا يجزئه، ودليلنا أن الحج أفعال مخصوصة، والتحريم لمعنى خارج عنها

“Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendaraan hasil merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (Syafiiyah), bahwa haji merupakan amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar.”  (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7: 62)

Ketiga: Orang yang hendak melaksanakan haji hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik. Tidak merasa lebih tinggi dari saudara semuslimnya hanya karena memiliki kedudukan, pangkat, ataupun banyaknya harta. Meluruskan niatnya, bahwa tujuan satu-satunya ia berhaji adalah mengharapkan wajah Allah Ta’ala dan surga-Nya serta mengharapkan agar Allah Ta’ala menghapuskan dosa-dosanya. Allah Ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Keempat: Saat melaksanakannya, seorang muslim dituntut untuk berlemah lembut dan mengasihi saudara muslim lainnya, berusaha untuk membuat nyaman saudaranya, serta menghindarkan diri dari mengganggu dan menyakiti mereka. Lihatlah bagaimana Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu agar memperhatikan orang-orang yang lemah di saat berhaji,

يا عمرُ إنكَ رجلٌ قويٌّ لا تزاحِم على الحَجَرِ فتؤذِيَ الضعيفَ إنْ وجدتَّ خَلْوَةً فاستَلِمْهُ وإلا فاسْتَقْبِلْهُ فهَلِّلْ وَكَبِّرْ

“Wahai Umar, kamu adalah lelaki yang kuat. Maka janganlah berdesakan di Hajar Aswad, karena akan menyakiti orang yang lemah. Jika kamu mendapati (hajar aswad) kosong, ciumlah dia. Dan jika tidak, menghadaplah kearahnya sambil bertahlil dan bertakbir.” (HR. Ahmad no. 190 dan At-Thabari dalam Musnad Ibnu Abbas no. 106)

Kelima: Sepulangnya dari tanah suci, orang yang telah melaksanakan haji hendaknya berhati-hati dari berbicara dan menjawab pertanyaan tanpa ada landasan ilmu. Merasa sudah pintar dan paham akan agama, lalu ia bermudah-mudahan di dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Padahal jelas ia bukan orang yang berhak untuk berfatwa atau bahkan ia sama sekali bukan orang yang ahli di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ : 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim No. 2674)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala. Ibadah haji ke Baitullah Al-Haram walaupun ia berada di urutan terakhir pada hadis rukun Islam, namun sesungguhnya ia mencakup semua aspek peribadatan. Terkandung di dalamnya unsur rohani sebagaimana di dalam salat. Terkandung juga kesabaran dan rasa berat sebagaimana di dalam ibadah puasa. Diperlukan usaha dan harta sebagaimana dalam perkara zakat. Sungguh seakan-akan ibadah haji ini merupakan bentuk latihan untuk semua macam peribadatan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan pahala dan balasan yang besar bagi siapa yang mampu melaksanakannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa yang berhaji ke Ka’bah, lalu tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521)

Jika saja mereka yang berangkat haji tidak mendapatkan sesuatu kecuali hal ini, maka itu sudah cukup. Nikmat mana lagi yang lebih besar dari terhapusnya dosa-dosa dan dibukanya lembaran baru untuk kita. Untuk memperoleh keutamaan ini, wajib baginya untuk menghindarkan diri dari terjatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang berhaji, baik itu menyibukkan diri dengan keluar masuk pusat perbelanjaan tanpa ada kebutuhan dan hanya menghabiskan waktu saja, atau bahkan bermudah-mudahan dalam perkara salat dan meninggalkan salat jemaah.

Jemaah yang berbahagia. Marilah kita berdoa semoga Allah Ta’ala menerima ibadah haji seluruh kaum muslimin, menjadikan haji mereka haji yang mabrur, haji yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa mereka. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan kesempatan bagi yang belum berhaji untuk bisa berhaji ke tanah haram. Menunaikan kewajiban yang Allah tuliskan ini dengan perasaan yang penuh kegembiraan dan pengagungan akan syiar Islam yang mulia ini. Amiin Yaa Rabbal Aalamiin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76532-khotbah-jumat-memaknai-kembali-ibadah-haji.html

Yuk Catat Syarat-Syarat Haji

Pertama kalinya setelah dua tahun pandemi Covid-19, ibadah haji akan digelar untuk jamaah internasional. Kerajaan Arab Saudi sudah mengumumkan kuota jamaah dari setiap negara, termasuk Indonesia 100.051 jamaah yang terdiri dari 92.825 haji reguler dan 7.226 haji khusus.

Ibadah haji dilaksanakan pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari di bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar Hari Raya Kurban. Apabila ada yang melaksanakan ihram dengan niatan haji selain pada periode tersebut, maka ibadahnya menjadi umroh. Sebab, sepanjang tahun merupakan waktu pelaksanaan umroh.

Sama seperti ibadah lain, haji juga memiliki syarat haji. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam buku Rahasia Haji dan Umroh terbitan Turos, syarat haji ada dua, yaitu Islam dan dilaksanakan sesuai waktunya.

Adapun syarat-syarat terhitungnya haji sebagai haji Islam (haji fardu) ada lima. Yakni, Islam, merdeka, balig, berakal, dan dilaksanakan sesuai waktunya. Ketika anak kecil atau hamba sahaya melaksanakan ihram lalu anak kecil itu menginjak balig dan hamba sahaya dimerdekakan ketika berada di Arafah atau Muzdalifah lalu kembali ke Arafah sebelum terbtit fajar, maka haji mereka termasuk haji fardu. Karena haji adalah wukuf di Arafah.

Sementara itu, syarat terhitungnya haji sebagai haji sunah dari orang yang berstatus merdeka dan balig adalah setelah bebas tanggungannya dari haji fardu. Yang didahulukan adalah haji fardu, haji qadha’ bagi orang yang merusak ibadah hajinya saat wukuf, haji nadzar, haji badal, dan haji sunah.

Sedangkan syarat yang mewajibkan haji ada lima, yaitu balig, Islam, berakal, merdeka, dan mampu. Apabila seseorang sudah melaksanakanh haji fardu, dia juga wajib melaksanakan umroh fardu.

Mampu dalam syarat ini terbagi menjadi dua. Pertama, mampu secara langsung, seperti sehat jasmani rohani dan mampu menyelenggarakan perjalanan (perjalanan yang aman dan lancar). Lalu mampu karena hartanya cukup dengan membawa perbekalan dan meninggalkan nafkah untuk mereka selama masa ibadahnya serta melunasi semua utangnya.

Syarat kedua, yaitu kemampuan orang lumpuh dengan hartanya yang cukup. Yakni, dengan membiayai orang untuk melaksanakan haji dengan mengatasnamakan dirinya setelah orang itu selesai menunaikan haji Islamnya. Dia cukup membiayai keberangkatannya. Siapa saja yang sudah mampu, maka wajib melaksanakan ibadah haji.

IHRAM

Luas Tanah Haram di Makkah tak Pernah Berubah, Begitu dengan Kemuliannya

Pebimbing ibadah haji Ustadz Imam Khoiri mengatakan, luas tanah haram Arab Saudi tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Meski saat ini tanah haram sudah banyak gedung-gedung mewah seperti halnya kota metropolitan.

“Tanah haram itu terbatas dan dari dulu batasnya seperti itu, meskipun Makkah sekarang sudah berubah menjadi metropolitan dengan gedung yang sangat banyak, hotel yang megah-megah tapi tanah haram tetep arah utara sekitar 7 km selatan 13 km, ke timur 25 km ke barat 25 km,” kata Usadz Imam Khoiri saat menyampaikan tausiyah subuh kepada peserta bimbingan teknis (Bimtek) PPIH Arab Saudi, di Masjid Al-Mabrur Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (21/5/2022).

Ustadz Imam Khoiri menyampaikan sampai hari ini, batas tanah haram itu masih di batasi dengan tiang-tang pancang semacam patok-patok, mengelilingi tanah haram. Patok-patok itu dibuat untuk membatasi tanah haram dan bukan tanah haram. 

“Itu yang dulu ditetapkan sama nabi sampai sekarang,” katanya.

Ustadz Khoiri mengatakan, dengan adanya patok atau pembatas, bisa memudahkan menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Misal dilarang membunuh, merusak tanaman dan perusakan-perusakan lainnya.

“Di tanah haram itulah kemudian berlaku ke tentuan dilarang orang disitu untuk membunuh binatang dilarang di situ untuk merusak,” katanya.

Ustadz Imam Khoiri mengatakan, di tanah haram ada Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dua tempat ini merupakan tempat yang mulia dan dimuliakan. 

“Itu adalah tempat-tempat mulia yang menjadi tujuan rombongan yang akan kita layani,” katanya.

Untuk itu para petugas harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada para jamaah. Karena jamaah haji bukan orang biasa, karena pada saat itu posisinya dia sebagai tamu Allah SWT.

“Maka berapa jamaah haji ini satu rombongan tidak biasa, itu rombongan yang luar biasa. Maka masya Allah para pelayannya kita semua juga orang orang yang luar biasa,” katanya.

IHRAM

Pria Muslim Inggris Pilih Berjalan Kaki Menuju Makkah untuk Haji

Seorang pria Muslim asal Inggris, Adam Muhammed, berangkat untuk ziarah haji ke Makkah dengan berjalan kaki. Awal pekan ini ia telah sampai di Silivri, barat laut Turki.

Perjalanan tersebut ia beri nama ‘Peace Journey’. Beberapa pengemudi di jalan menunjukkan dukungan terhadap dirinya, yang kini ditemani anjing liar sejak bertemu di wilayah Serbia. 

Dilansir di Daily Sabah, Sabtu (29/1), warga negara Inggris keturunan Irak ini berangkat dari Inggris pada Agustus 2021. Perjalanan tersebut ia mulai dengan tujuan untuk memerangi semua kejahatan. Di ruas jalan raya D-100 Silivri, beberapa pengendara menunjukkan dukungan dengan mendorong gerobak PKL beroda tiga miliknya. 

Ditemani oleh temannya yang berbulu, Muhammed memiliki target mencapai Arab Saudi sebelum periode haji, dengan melewati Suriah dan kemudian Yordania 35 hari setelah melewati Turki. Muhammed disebut akan melakukan perjalanan ke Suriah melalui Istanbul, Izmit, Yalova, Bursa, Eskişehir, Burdur, Antalya, Mersin dan Hatay. 

“Saya adalah seorang keturunan Irak yang telah tinggal di Inggris selama 25 tahun. Saya memulai perjalanan saya pada 1 Agustus tahun lalu. Saya berharap saya akan tiba tepat waktu untuk ziarah berikutnya,” ujar dia. 

Ia menyebut ada suara kuat di dalam dirinya yang mengatakan jika ia bisa pergi ke Makkah dengan berjalan kaki jauh dari rumah. Ia merasa tidak bisa mengabaikan suara yang membara di dalam dirinya, seperti gunung berapi. 

Tak hanya itu, ia juga menyebut sangat mengagumi Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Ia mengatakan ingin bertemu dengannya ketika datang ke Istanbul, serta berharap ia akan menyediakan waktu untuknya. 

Muhammed menambahkan ia bersiap untuk perjalanan kaki ini selama dua bulan dan sejauh ini sebuah organisasi Inggris membantunya. 

Muhammed bukanlah orang pertama yang berjalan kaki ke Makkah dari Inggris. Seorang pria Inggris bernama Farid Feyadi juga melakukan perjalanan serupa dari London pada 2020, dengan tujuan menghilangkan prasangka kesalahpahaman di media Barat tentang Islam. 

Perjalanan pria yang berbakti ini telah menarik perhatian luas di Turki. Seorang warga lokal bernama Metin Ulukoç menyebut ia melihat cerita tentang Muhammed di internet dan kemudian memutuskan untuk menemani upayanya. 

Warga negara Turki lainnya bernama Mehmet Dikme juga menawarkan dukungan kepada Muhammed dalam perjalanannya di antara kota Tekirdağ dan Istanbul. 

Sumber: dailysabah  

IHRAM