Kiamat dan Waktu

Waktu bagi kebanyakan orang hanyalah sebatas tanda pengingat ketika saat jam kantor. Pengingat masuknya waktu salat, pembeda antara siang dan malam, atau sebagai tanda bergantinya tahun demi tahun yang selalu dirayakan.

Namun, sebenarnya waktu jauh dari sekadar pengingat hal-hal yang diungkapkan di atas. Apa itu? Yaitu pengingat akan dekatnya hari kiamat. Hari berakhirnya kehidupan di alam semesta. Mengapa demikian?

Hal ini terungkap ketika kita mencoba menelaah penggunaan kata-kata al-Waqt dalam Alquran yang sering dikaitkan dengan terjadinya peristiwa hari kiamat. Jadi, al-Waqt dalam Alquran lebih menunjukkan kepada hari kiamat.

Kata al-Waqt hanya dipakai dua kali dalam Alquran, yaitu terdapat pada QS al-Hijr ayat 38 dan QS Shad ayat 81 dalam bentuk kalimat yang sama, Ilaa yaumi al-Waqti al-Ma’luum yang artinya sampai waktu yang telah ditentukan. Tak lain, ini merupakan tanda permulaan hari kiamat.

Dengan demikian, hari kiamat adalah hakikat waktu itu sendiri yang mengingatkan kita kiamat telah dekat. Ada masanya di pengujung perjalanan hidup kita di dunia ini akan bertemu dengan kiamat.

Bagaimana tidak? Semakin bertambahnya waktu hari kiamat semakin dekat, bumi semakin tua, hanya tinggal menunggu waktu hancurnya saja, begitu juga umur kita yang semakin lama semakin tua. Semua itu menunjukkan kiamat itu benar adanya.

Logikanya, makanan yang kita makan memiliki masa kedaluwarsa, tumbuh-tumbuhan, hewan, juga manusia akan melewati masanya, yaitu kematian. Begitu juga jagat raya ini, memiliki masa akhir, yaitu kiamat. Jadi, semua pasti ada akhirnya.

Hidup hanyalah sementara, tidak selamanya. “Allah telah menciptakan kamu sekalian dalam keadaan lemah, lalu menjadikan kamu dari keadaan lemah itu menjadi kuat, lalu menjadikan dari keadaan kuat itu lemah dan beruban.” (QS al-Ruum [30]: 54).

Manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT tentang apa yang telah mereka perbuat selama ini. Tidak heran, pertanyaan mendasar yang dilontarkan pada hari kiamat adalah tentang waktu.

Dari Muadz bin Jabal, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak akan bergeser sepasang kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga ia ditanya empat perkara; bagaimana umurnya ia habiskan, bagaimana waktu muda ia gunakan, bagaimana harta bendanya didapatkan dan dibelanjakan, dan apa yang telah dikerjakan dengan ilmunya.” (HR Thabrani dengan sanad yang sahih).

Jadi, sudah siapkah kita bertemu dengan hari kiamat? Untuk itu, sudah saatnya kita instrospeksi diri kita, sudah sampai di mana amalan kita? Ke mana saja umur kita habiskan?

Manfaatkalah waktu yang ada sebelum waktu itu berlalu, betapapun panjangnya umur manusia di dunia ini, sesungguhnya ia tetap pendek, selama penutup hidup adalah kematian. Seorang penyair berkata, “Jika akhir usia adalah kematian, tidak ada bedanya panjang atau pendeknya usia itu.”

 

Oleh: Hayat Hidayat

sumber: Republika Online

Ayo Cerdas dengan Memanfaatkan Waktu Sesuai Syariat Islam

Oleh karena itu, siapa mengatur dirinya dengan waktu-waktu langit, niscaya tidak akan banyak masalah atau keluhan dalam hidupnya

BANGA Arab mengenal waktu adalah pedang. Sedangkan Bangsa Barat menetapkan waktu adalah uang. Dan, sebagaimana yang terjadi di masa kini, basis penetapan nilai akan sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk uang bergantung pada durasi waktu.

Contoh sederhana, seseorang ingin menghubungi keluarganya menggunakan handphone, maka berapa pulsa yang dibutuhkan bergantung pada berapa lama ia berbicara.

Demikian pula dalam hal konsultasi dengan pakar, semua berbasis waktu. Satu jam sekian, satu hari sekian dan seterusnya. Prinsipnya waktu adalah penentu.

Akan tetapi, ada yang mungkin terlewat dari bahasan umat Islam, yaitu tentang betapa pentingnya waktu-waktu langit. Waktu-waktu yang tidak mungkin bisa dipahami oleh seorang manusia pun, melainkan bersumber dari ajaran Islam.

Waktu-waktu langit dimaksud adalah waktu Fajar, Dhuha, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Lail (malam hari). Dan, Allah tidak jarang dalam penekanannya terhadap sesuatu yang urgen menggunakan sumpah-Nya dengan waktu.

Menariknya, waktu-waktu langit itu sangat berkorelasi dengan perubahan kondisi cahaya di langit. Waktu Fajar misalnya, yang Allah juga jadikan sumpah dalam Surat Al-Fajr ayat pertama, adalah waktu perubahan langit dan alam secara drastis, yakni hilangnya kegelapan dan bermulanya cahaya terang benderang.

Dengan kata lain, waktu Fajar adalah waktu urgen yang umat Islam mesti memanfaatkannya dengan baik. Apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan di waktu fajar?

Pertama, bangun lebih dini. Siapa tidur di waktu Fajar besar kemungkinan matahari akan mendahului jadwal bangun seseorang.

Mengingat waktu ini adalah waktu dimana malaikat malam dan siang berkumpul, maka Rasulullah Shallalallahu Alayhhi Wasallam pun memberikan keteladanan setiap hari dengan bersegera tidur di awal malam. Amalan tersebut membuktikan badan Rasulullah lebih sehat, dan sholat di waktu Fajar bisa dilaksanakan secara maksimal.

Kemudian, bagi yang memiliki jiwa pembelajar, bangun lebih awal akan memungkinkannya memiliki waktu cukup untuk taqarrub dan tadabbur hingga tiba waktu Fajar, sehingga pagi hari baginya adalah masa dimana iman dan ilmunya terjaga, bahkan terasah dan kian menguat. Terlebih jika waktu tersebut juga diisi dengan memohon ampunan kepada-Nya.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Al-Dzariyat [51]: 18).

Dari sisi kesehatan, Muslim yang bisa mengisi waktu Fajar akan memiliki beberapa keuntungan. Mulai dari adanya space waktu untuk bisa berolahraga, belajar hingga menyiapkan hal-hal penting, terutama sarapan pagi, sehingga tidak ada istilah tidak sempat sarapan.

Selain itu, bangun lebih pagi ternyata menghindarkan seseorang dari serangan depresi. Sebuah studi di Jerman pada tahun 2013 menyebutkan bahwa mereka yang cenderung tidur terlalu larut dan sulit bangun pagi memiliki risiko depresi yang tinggi.

Kedua, sholat sunnah Fajar. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud sholat sunnah Fajar adalah sholat sunnah qabliyah, yang keutamaannya (sekalipun sunnah) menegasikan segala macam kebanggaan manusia akan kekayaan alam semesta.

Dua roka’at Fajar (sholat sunnah qabliyah Subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.”(HR. Muslim).

Untuk memotivasi umatnya, Rasulullah pun tidak pernah mau ketinggalan mengerjakan sholat sunnah Fajar ini.

“Nabi tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga shalat sunnah dua rakaat sebelum Subuh.” (HR. Muslim).

Ini baru uraian tentang satu saja dari waktu-waktu langit yang ada. Bagaimana jika seluruh waktu-waktu langit itu diisi sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan? Lail (waktu malam) misalnya, sungguh ada keutamaan yang tidak Allah berikan di waktu lainnya.

Oleh karena itu, siapa mengatur dirinya dengan waktu-waktu langit, niscaya tidak akan banyak masalah atau keluhan dalam hidupnya.

Sungguh dampak paling nyata pun, berupa kesehatan, kecerdasan dan kebahagiaan akan memancar dalam kehidupan. Oleh karena itu, masihkah kita akan bermain-main dengna waktu. Padahal Allah telah jelaskan jenis-jenis waktu dan bagaimana memanfaatkannya agar bahagia dunia akhirat?

Ada Alasan Mengapa Setiap Muslim Dilarang Sia-Siakan Waktu

Imam Syafii Radhiyallohu Anhu (RA) berkata, “Seandainya Allah SWT hanya menurunkan surat Al-Ashr, maka itu sudah menjadi cukup bagi manusia untuk merenungkannya dalam menjalani hidupnya.”

Habib ‎Abdurahman Al-Habsy menerangkan sanad hadist Imam Syafii RA, bisa diartikan dengan suatu keadaan kehidupan dunia yang antara lain adalah pasar. Di dalam pasar ada orang yang mendapat untung ada juga yang merugi.

“Terlalu banyak Allah bersumpah atas nama waktu. Allah telah memberikan kita modal umur, jangan sampai modal itu habis sebelum keuntungan diraih,” katanya kepada ROL, Selasa (11/8).

Menurut Habib Abdurahman, seluruh gerak kita bisa menuju kerugian dan kehancuran atau bahkan masuk pada kebahagiaan. Namun orang yang sadar tidak akan menyia-nyiakan setiap detik dari kehidupannya.
“Ia mengisi nafasnya dengan sesuatu yang dapat menguntungkannya di rumah abadi kelak,” ujarnya,

Habib Abdurahman menyampaikan Allah SWT memberikan kita 86.400 detik dalam sehari. Jadi saat dalam waktu sebanyak itu berapa detik yang kita pakai secara special untuk ibadah kepada Allah.

Dalam Hadis Qudsi Allah berfirman; “Janganlah kalian mencela zaman, karena Allah telah berfirman.
“Aku adalah zaman, malam dan siang milik aku (Allah) Aku menjadikannya baru dan berlalu. Dan Aku mengganti para penguasa dengan penguasa yang baru.” Disampaikan hadis riwayat Ahmad.

 

sumber: Republika Online

Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu

Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah

DALAM banyak riwayat hadits disebutkan usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak lama.Berkisar sekitar 60-70 tahun.

Itu pun sudah tua: rambut mulai memutih, gigi mulai habis, pendengaran perlahan berkurang, dan tenaga mulai melemah.

Berbeda dengan usia umat Nabi sebelumnya yang panjang. Karena sedikitnya tempo usia umat Nabi Muhammad itu, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memuliakan diri dengan ilmu dan ibadah.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wassallam berkata: “Umur umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit dari mereka yang melampauinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Karenanya jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu akan terbuang sia-sia. Dan, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Dia akan pergi selamanya dengan segala kenangannya: baik kenangan yang penuh penyesalan atau kebahagiaan. Manusia harus memanfaatkan waktu. Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik yang akan jadi mulia.

Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Kita lebih banyak bermain daripada belajar. Kita lebih banyak bersendagurau daripada berfikir. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk duniawi daripada ukhrowi. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dosa ketimbang memupuk pahala. Nauzubillah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kealpaan kita. Aamiin.

Nasehat Al Ghazali

Ada nasihat penting yang disampaikan Imam Al Ghazali terkait waktu. Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah. Coba bayangkan, jika rata-rata usia umat manusia di jaman Nabi Muhammad ini sekitar 60 tahun dan waktu yang digunakan untuk tidur sekitar 8 jam dalam sehari.

Seperti diketahui, kebanyakan orang—terutama di Indonesia—tidur mulai pada pukul 20.00 malam dan bangun sekitar pukul 05.00 pagi.

Iya kalau bangun tidur jam 05.00 pagi. Pasalnya, tidak sedikit di antara kita yang masih suka bangun tidur di atas jam 05.00 hingga ada yang telat dan tertinggal shalat shubuh.Nauzubillah!

Nah, kalau misalnya, rata-rata tidur 8 jam sehari itu dikali dengan masa usia rata-rata manusia yang mencapai 60 tahun, maka setidaknya kita menghabiskan masa 20 tahun untuk hanya tidur. Saya ulangi lagi: kita menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk tidur!

Sekarang, kita hitung lagi berapa banyak waktu yang kita manfaatkan untuk ibadah. Jika 20 tahun kita manfaatkan untuk tidur, maka sisa 40 tahun. Coba bayangkan berapa waktu untuk ibadah, berapa lama untuk belajar menuntut ilmu, dan berapa tahun waktu yang dihabiskan untuk main-main dan mencari kehidupan duniawi! Tentu jawabnya berbeda-beda. Tergantung pribadi masing-masing. Sebab, biasanya, manusia punya jadwal hidup (life schedule) masing-masing.

Bisa dibayangkan jika perhari kita habiskan berapa lama hanya untuk bermain atau sekedar bersendau gurau. Berapa lama waktu dihabiskan untuk membaca al-Quran, berzikir, dan belajar. Padahal, waktu itu terus berjalan dan tidak akan kembali. Waktu juga ibarat pedang tajam yang apabila tidak digunakan untuk memotong sesuatu dengan baik, maka pedang waktu tersebut akan memotong kita bahkan memutilasi kita perlahan-lahan.

Karenanya, yang membedakan kualitas kemuliaan seseorang adalah dari pemanfaatan waktu. Kalau waktunya habis dengan kerja-kerja intelektual, spiritual, dan kebermanfaatan kolektif maka dia akan menjadi pribadi yang mulia. Karenannya, seseorang akan jadi mulia dengan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar dan senantiasa berzikir pada Allah. Seseorang juga akan jadi mulia dan terhormat bila menghabiskan malam-malam yang gelap gulita itu dengan belajar, dan shalat tahajud.

Seperti kata pepatah Arab di atas: “Man tholabal ‘ula sahiral layali” (Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka seringlah bergadang pada malam hari).

Bergadang di situ tentunya bukan untuk sesuatu yang semu dan tidak manfaat. Seperti main, menonton film sepanjang malam, melihat pertandingan bola, dan hang out hingga larut malam. Tapi, bergadang di situ adalah dengan melakukan kerja-kerja spiritual dan intelektual: belajar dan beribadah.

Ada banyak kisah orang sukses yang memanfaatkan waktunya. Dan, hampir semua orang sukses adalah orang yang memanfaatkan waktunya dengan baik.

Sebaliknya, orang gagal adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Waktu-waktu yang dimanfaatkan orang beriman itu seharusnya seperti yang dilakukan para sahabat dan pejuang jaman Rasulullah. Di mana pada siang hari mereka seperti singa di padang pasir yang berjuang tanpa lelah sedangkan malam harinya dihabiskan dengan beribadah seperti rahib-rahib.

Orang besar dan sukses adalah mereka yang memanfaatkan waktunya dengan baik. Dia tidak mau ada waktu—semenit saja—yang terbuang tanpa kebaikan dan kemanfaatan.

Imam Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).

“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.”

Al Quran Surat al ‘Ashr 1-3: mengingatkan; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati dalam supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”*

sumber: Hidayatullah.com

Menghargai Sebuah Waktu

Ketika kita membahas tentang sebuah masa atau kehidupan di dunia ini maka, kita tidak akan lepas oleh sesuatu yang menamakan dirinya waktu. Mulai dari sekecil apapun aktivitas kita di dalamnya selalu dikaitkan dengan waktu. Berkaitan dengan masa hidup manusia, perjalanan waktu merupakan pertambahan umur dan sekaligus pengurangan umur. Umur manusia itu adalah terbatas. Jika mur manusia berkurang, maka kesempatan hidup pun semakin sempit dan pendek. Jadi, apabila kita tidak bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan, maka semakin sulit kita untuk kembali membangun dan mengembangkan potensi.

Karena hidup sangat dibatasi oleh waktu. Dan manusia pasti mengalami titik kematian, kemudian meninggalkan dunia yang temporal ini.  Perenungan jujur kepada realita ini, menyadarkan kita bahwa dunia hanya persinggahan sementara. Hari ini kita ada, tapi esok semua akan berlalu.

Dimulai ketika manusia terlahir. Dari seorang ibu yang melahirkan bayi, hingga tumbuh besar menjadi anak-anak, remaja dan kemudian beranjak dewasa. Semuanya terangkum dalam akumulasi waktu ketika usia seseorang mulai menumpuk dan akal mulai sering terpakai untuk menganalisa berbagai macam hal. Justru pada titik ini, banyak orang yang tidak menyadari dan menghayati tentang berharganya sebuah waktu. Setiap kali kita membuka mata pada hari yang baru, pada pergantian bulan dan tahun yang baru, secara sadar atau tidak, manusia terseret ke dalam sebuah rangkaian perjalanan waktu, dimana sebuah perjalanan ini tidak bisa dihentikan. Dan setiap detik-detik waktu adalah perjalanan suatu masa yang permanen dan tidak akan pernah terulang lagi.

Dengan menyadari bahwa durasi (rentang waktu) umur manusia sangat terbatas, maka adalah sebuah kebodohan besar jika manusia membuang waktunya dengan hal yang tidak bernilai. Sebab di dalam ruang waktu tersimpan kesempatan yang harus kita isi dengan keseimbangan pencapaian kebutuhan, baik jasmani (dunia) maupun rohani (akhirat). Untuk mencapai keseimbangan, terdapat 2 kelompok yang perlu kita perhatikan:

Pertama, untuk golongan masyarakat yang hanya sebatas ingin memenuhi kebutuhan hidup, tanpa berkeinginan lain yang lebih. Kebanyakan dari mereka banyak sekali melewatkan kesempatan untuk bisa mencapai posisi yang lebih tinggi. Baginya asal sudah bisa memenuhi kebutuhan primer, ya sudah. Tanpa perlu memikirkan, bagaimana bisa menciptakan sebuah piramida kehidupan, dan kita bisa berdiri di atasnya. Kelompok pertama ini, tergolongkan pada orang-orang yang tidak menghargai waktu dalam hidupnya. Hal ini tentu sangat disesalkan.

Kedua, adalah orang-orang yang berambisi besar, menjadi yang paling hebat. Tanpa dibarengi perlengkapan kebutuhan spiritual yang membawa kita pada pencapaian kebutuhan rohani (akhirat). Sekalipun orang ini dikelompokkan pada golongan orang yang rajin. Yang jelas, sebagian besar dari masyarakat ini, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai yang paling atas. Tanpa perlu menengok lebih jauh, di manakah kedalaman makna atas yang sebenar-benarnya. Yakni ketinggian kedudukan yang baik nilainya menurut kita dan juga baik di hadapan Allah SWT. Golongan masyarakat ini pun, termasuk orang-orang yang tidak bisa menghargai waktu. Sebab tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada, agar menjadi manusia yang menuju sempurna. Berhasil di dunia, dan juga di akhirat. Sayang sekali bukan.

Sebagai bahan perenungan saja, kelompok orang yang tidak menghargai waktu lambat laun bisa membawa manusia itu sendiri pada keterpurukan hidupnya. Bahkan pada kehancuran suatu bangsa. Kenapa urusan diri pribadi bisa meluas pada kelompok yang lebih besar? Sebab bangsa yang besar terbentuk dan terbangun dari sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mengkombinasikan semuanya menjadi sebuah kondisi yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan akhirat yang terimplementasikan dalam sebuah pemanfaatan waktu dan kesempatan yang menghampirinya.

Oleh sebab itu, marilah kita berintrospeksi diri. Sudahkah kita memanfaatkan kesempatan dalam satu kali kesempatan hidup ini? Agar hidup yang kita nikmati, bisa termanfaatkan waktunya secara maksimal. Tanpa secelah waktu yang terlewat dengan sia-sia dan percuma.

Tetap pandangan lurus ke depan. Penuh visi dan misi, agar memacu kita menjadi manusia yang hebat. Hebat di dunia dan hebat di mata Allah SWT. Berusahalah mencapai setinggi-tingginya derajat. Jangan pernah putus asa untuk menjadi lebih baik. Karena tak ada kata terlambat untuk sebuah proses menuju peningkatan hidup yang lebih baik. Sebagai penutup, jadilah individu yang bisa menghargai waktu. Insya Allah, predikat manusia yang menuju sempurna bisa tercapai. Amin.

Semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini bisa memberikan manfaat sekaligus sebagai bahan perenungan tentang segala yang pernah dan sedang kita lakukan sampai pada usia kita sekarang.

 

sumber: Dakwatuna

 

——————————————————————————
Buat Anda yang sudah mendaftar Haji, segera download aplikasi Android ini untuk mengetahui Jadwal keberangkatan Anda ke Tanah Suci.
Download di sini!
——————————————————————————