Obat Hasud atau Iri Dengki Menurut al-Ghazali

Sifat hasud atau iri dengki merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari oleh umat muslim. Ulama banyak membahas perihal betapa tercelanya sifat hasud ini. Lantas, adakah obat hasud ini? Rasulullah sendiri sudah menyampaikan bahayanya sifat ini:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ لْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Dari sahabat Anas ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda sifat hasud itu memakan pahala kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Sunan Ibnu Majah, 2 :1408)

Berikut ini 5 obat hasud atau iri dengki menurut al-Ghazali yang dikutip dalam kitabnya Bidayatu al-Hidayah (h. 128-129) :

Pertama, senantiasa mengikuti petunjuk agama dalam menjauhi sifat hasud atau iri dengki. Kembali kepada Allah dalam melaksanakan segala sesuatu sesuai aturannya serta adab kepada-Nya. Sehingga ia dapat mengalahkan sifat tercela tersebut dalam dirinya dan bisa berpindah dari sifat yang hina itu.

Kedua, akal berpikir bahwa hasil dari sifat hasud itu merupakan sifat iri yang hanya membuat ia tidak puas, alhasil membuatnya memandang rendah sifat hasud tersebut. Dengan demikian akal dapat mengalahkan sifat hasud itu, sehingga sifat hina tersebut tunduk karena kecerdasan akal.

Ketiga, menolak kerusakan atau mudharat yang diakibatkan oleh sifat  hasud atau iri dengki serta menjaga diri dari bekas dari sifat tersebut. Dari sini seseorang bisa mengetahui  bahwa sifat hasud ataupun iri dengki hanya membuat ia lebih jauh dari tujuannya untuk menjadi lebih baik.

Keempat, memandang bahwasanya manusia lari (menghindari) dan menjauhi sifat hasud atau iri dengki ini. Sehingga hal itu membuat seorang hamba takut akan dimusuhi ataupun mendapat celaan dari mereka manakala memiliki sifat hina tersebut. Alhasil seorang hamba akan senantiasa berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi.

Kelima, pasrah kepada takdir yang sudah ditentukan Allah serta tidak menyalahi ketentuan-Nya. Anugerah yang didapat orang lain merupakan ketentuan dari Allah. Dari sini kita akan mulai menerima apapun kehendaknya sehingga hal itu dapat mengurangi sifat hasud atau iri dengki kepada orang lain.

Nah, itulah obat dari sifat hasud atau iri dengki yang disampaikan oleh imam Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Kata adalah Kematangan

Imam al-Haramain al-Juwaini, ulama terpandang masa itu, gusar dengan kecakapan ilmu sang murid sekaligus asistennya kala mengajar di Madrasah Naisabur. Sang murid baru saja membuahkan telaahnya dalam karya berjudul al-Mankhul.

Karya inilah yang membuat terkesima al-Juwaini sampai dengan nada gusar—tentu sembari bercanda—berujar pada sang murid, “Engkau telah menguburkanku sedangkan aku masih hidup! Tidak sabarkah engkau menunggu hingga aku meninggal?”

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, sang murid, tentu wajar patut berbangga. Sayang, bangganya berkawankan besar kepala. Abu Hasan Abdul Ghafir bin Ismail al-Farisi memberikan kesaksian perangkai al-Ghazali, “Perangainya kurang terpuji, selalu memandang rendah kepada orang lain karena angkuh dan sombong dengan kecerdasan, kemahiran berbicara dan pangkat yang dimilikinya.”

Demikian dicatat Majid Irsan Kaylani (2000) dalam telaah emasnya soal kiprah al-Ghazali, Hakadha Zahara Jailu Salahu al-Din wa Hakadha ’Adat al-Quds. Riwayat kebesaran kepala al-Ghazali tersebut berlangsung saat usia mudanya. Kelak ketika bersua Fadhil bin Muhammad al-Farmadzi, perubahan drastis terjadi dalam diri al-Ghazali. Besar kepalanya berubah menjadi sikap tawadhuk.

Perkembangan umur seseorang sering jadi penanda kedewasaan berpikir (juga bersikap). Sering kali kecerdasan pikiran tak seiring kematangan jiwa bestari. Letupan emosi ringan meruahkan amarah. Dus, kecerdasan yang dimiliki sering kali ringkih saat hasrat amarah tak bisa dibendung hadir dengan kata-kata. Bisa hadir dengan sombong, antikritik, atau arogansi bersikap. Semua ini lebih mungkin dihadirkan pada mereka yang punya “modal”, semisal kecerdasan atau kekayaan jabatan.

Sesungguhnya seorang remaja putri dari Banyuwangi yang beberapa tempo ini menyita perhatian publik media sosial dengan ulasan soal isu keagamaan contoh betapa kebijakan menghadapi usia perkembangan masih relevan. Tetap diperlukan bagi kita agar mengerem potensi dari rahim umat agar tidak kebablasan dan jatuh sebagai musuh Islam pada waktunya kelak. Serupa peran al-Farmadzi saat mendapati potensi amat besar al-Ghazali. Ada kalangan lain yang senang dengan uraian sang remaja karena menguntungkan pandangan pemikirannya.

Uraiannya kelihatan hebat, tapi sebenarnya biasa saja karena muncul bukan dari sebuah perenungan matang. Informasi yang ada diseleksi sesuai mekanisme berpikirnya; berpikir saat ini yang mungkin berkembang. Ia belum beranjak hebat serupa al-Ghazali, sehingga tidak perlu berlampauan menghadapinya. Usia dan potensinya perlu diarahkan pada jalur keilmuan semestinya selaku muslim beradab.

Justru yang kadang dahi publik berkernyit patut adalah bilamana mendapati sosok berpengaruh dan sudah sepuh masih mengumbar kata-kata “menyalak” serupa remaja yang mencari perhatian. Tanpa data, apalagi perenungan mendalam, mudah membuat vonis. Masjid kampus dilabel radikallah; menonton tayangan asusila lebih mendinglah karena mengundang istighfar. Dan sayangnya, sang sosok bukan sekali dua kali berujar dangkal. Padahal, titel tinggi dan sebutan ulama terhormat dari mana-mana sudah didapuk. Sayang, dewasa berpikirnya belum hadir. Hasrat menilai pihak lain yang tidak sepakat dengannya mencerminkan krisis adab selaku anutan umat di kelompoknya.

Imam al-Ghazali muda memang pernah besar kepala. Kata-katanya begitu pongah. Tapi itu kemudian diganti dengan untaian hikmah. Bukan lisan meremehkan atau merendahkan yang hadir, apatah lagi al-Ghazali sudah semakin naik posisinya selaku teladan bagi banyak anak didiknya.

Perkembangan umur seseorang dan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya mestilah bisa beriringan. Kalaupun pernah masuk dalam kontroversi, ini bukan selalu akhir perjalanan seseorang. Siapa tahu sekadar minimnya informasi. Atau ingin mencuri sensasi sebagai tipikal gairah usia muda para peniti ilmu. Nah, yang repot kalau usia sudah uzur tapi masih setia memerlukan sensasi ataupun kontroversi agar diperhatikan kepentingannya. Padahal, ujaran-ujaran semacam itu hanya merendahkan bobot kecerdasan sejati yang dimilikinya.

Repotnya, hari ini banyak orang yang mendakwa diri pengamat atau kaum akademisi tapi mudah asbun mengulas sesuatu. Berkomentar asal demi salurkan dengki kelompok. Mirip seorang pejabat publik yang tanpa risih mengomentari kejadian bom di Jakarta beberapa hari lalu tanpa melihat kedudukannya. Asalkan dengki punya celah penyaluran, kata-kata merusak persatuan anak bangsa diumbar. Akal dan kesadaran posisinya diruntuhkan olehnya. Hanya oleh kata dalam cuitan biadabnya.

 

Oleh Yusuf Maulana, Kurator pustaka lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

REPUBLIKA

Para Kesatria di Taman Sejarah

Dunia Islam banyak melahirkan sederet tokoh-tokoh Muslim yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah Islam. Masing-masing memiliki kemampuan dan kompetensi yang spesifik dalam bidang keilmuan. Ada pakar hadis, pakar tafsir, ahli fikih, tokoh sufi, sang jenderal, wanita salehah, dan lain sebagainya.

Selain itu, ada juga tokoh Muslim yang dikenal dengan berbagai penemuannya, seperti Ibnu Sina (Avicenna) dengan ilmu kedokterannya, Al-Ghazali dengan ilmu kesufiannya, Ibnu Rusyd (Averroes) dengan filsafat, Aljabar dengan ilmu matematika, Al-Biruni dengan ilmu astronominya, dan lain-lainnya.

Kemampuan dan keilmuan mereka itu sudah tak diragukan lagi. Mereka sangat terkenal di dunia Barat. Kisah-kisah mereka itu dapat ditelusuri dalam berbagai buku sejarah dan kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama salafiyah (masa lalu).

Namun demikian, ada pula tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam dunia Islam yang tak banyak disebut dalam berbagai literatur sejarah itu. Padahal, mereka juga memiliki kontribusi yang besar dalam sejarah Islam. Kalaupun disebutkan, sedikit sekali kisah mereka diceritakan.

Misalnya, siapakah wanita yang menjadi gurunya dari kaum para pria, jenderal terbesar dalam sejarah Islam, raja terbesar sedunia, laksamana yang alim, para penguasa yang memiliki kesempurnaan dalam memerintah, para penyair cinta suci, hakim yang teliti, dan ulama sejati dari Damaskus. Lalu, ada budak yang menjadi raja, pencetus peringatan Maulid Nabi SAW, tokoh kamus, dan ulama yang juga pejuang dari Marakesy (Maroko).

Kisah-kisah mereka yang heroik dan mengagumkan itu bisa dijadikan pelajaran bagi umat dewasa ini. Syekh Ali Ath-Thonthowi, seorang ulama Al-Azhar, merangkum kisah-kisah mereka itu dalam kitab Rijaal Min At-Tarikh (Para Kesatria di Taman Sejarah).

Para Kesatria di Taman Sejarah ini telah memberikan bukti kemampuan dan kehebatan mereka dalam mewarnai sejarah perjalanan Islam. Mereka adalah orang-orang yang jujur, ikhlas, dan senantiasa mengamalkan ajaran Islam dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab.

Sumber: Pusat Data Republika/Syahruddin El Fikri

Pemikiran Wasathiyah Al Ghazali pada Kaum Muslimah

Syeikh Muhammad Al Ghazali merupakan seorang ulama Islam yang hidup di akhir abad ke-20. Pemikiranya wasathiyah (moderat) dalam memandang peran muslimah dalam kehidupan.

“Al Ghazali merupakan penentang paham liberalis, dan dia seorang pendukung gerakan wasathiyah,” cetus dosen Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Dr. Wail Ali Sayyid dalam seminar internasional Moderasi Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/9).

Wail Ali menjelaskan, Al Ghazali memiliki 60 tulisan pemikiran Islam. Salah satunya tentang kedudukan muslimah dalam kehidupan sehari-hari.

“Islam tidak pernah membatasi muslimah dalam bekerja, muslimah dapat bekerja dimanapun asalkan mereka tetap mengetahui batasan-batasan dalam Islam dan menjaga akhlak Islam,” ujar Wail Ali memaparkan pemikiran Al Ghazali.

Dia kemudian menceritakan saat Rasulullah SAW berperang, para istri beliau pun ikut berperang. Ada pula yang menjadi juru masak di medan perang, dan ada pula yang memberikan fatwa-fatwa, seperti yang dilakukan oleh Aisyah RA.

Belajar dari hal tersebut, Wail Ali menegaskan bahwa seorang muslimah tidak dilarang untuk berpartisipsi aktif di masyarakat.

Dia juga menyebutkan bahwa hadis yang menganjurkan seorang muslimah untuk shalat di rumah adalah hadis dhaif. Dia merujuk kepada Syeikh Muhammad Al Ghazali yang memperbolehkan muslimah untuk shalat berjamaah di masjid.

“Jadi saya sepakat jika Syeikh Al Ghazali dikatakan promoderat, karena dia mendukung kebebasan muslimah untuk bekerja dan beribadah. Keterbelakangan seorang muslimah sebenarnya hanya karena suaminya yang tidak mengizinkannya. Jika dia dizinkan, maka dia akan lebih maju lagi,” tegasnya.

 

sumber: Republika Online

 

4 Golongan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Ghazali, manusia yang paling buruk ia selalu merasa mengerti, padahal ia tidak tahu apa-apa

ADALAH Syeikh Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Sang Hujjatul Islam (julukan ini diberikan karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah) ini sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam.

Al Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan;

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu).

Orang ini bisa disebut ‘alim = mengetahui. Kepada orang ini yang harus kita lakukan adalah mengikutinya. Apalagi kalau kita masih termasuk dalam golongan orang yang awam, yang masih butuh banyak diajari, maka sudah seharusnya kita mencari orang yang seperti ini, duduk bersama dengannya akan menjadi pengobat hati.

“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,” ujarnya.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu).

Untuk model ini, bolehlah kita sebut dia seumpama orang yang tengah tertidur. Sikap kita kepadanya membangunkan dia. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan gak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu alias sadar diri kalau dia tidak tahu).

Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang Tidak Tahu (tidak berilmu), dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu).

Menurut Imam Ghazali, inilah adalah jenis manusia yang paling buruk. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya. Manusia seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing, di kelompak manakah kita berada. Semoga Bermanfaat.*/Kholili Hasib

sumber: Hidayatullah

Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu

Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah

DALAM banyak riwayat hadits disebutkan usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak lama.Berkisar sekitar 60-70 tahun.

Itu pun sudah tua: rambut mulai memutih, gigi mulai habis, pendengaran perlahan berkurang, dan tenaga mulai melemah.

Berbeda dengan usia umat Nabi sebelumnya yang panjang. Karena sedikitnya tempo usia umat Nabi Muhammad itu, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memuliakan diri dengan ilmu dan ibadah.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wassallam berkata: “Umur umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit dari mereka yang melampauinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Karenanya jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu akan terbuang sia-sia. Dan, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Dia akan pergi selamanya dengan segala kenangannya: baik kenangan yang penuh penyesalan atau kebahagiaan. Manusia harus memanfaatkan waktu. Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik yang akan jadi mulia.

Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Kita lebih banyak bermain daripada belajar. Kita lebih banyak bersendagurau daripada berfikir. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk duniawi daripada ukhrowi. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dosa ketimbang memupuk pahala. Nauzubillah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kealpaan kita. Aamiin.

Nasehat Al Ghazali

Ada nasihat penting yang disampaikan Imam Al Ghazali terkait waktu. Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah. Coba bayangkan, jika rata-rata usia umat manusia di jaman Nabi Muhammad ini sekitar 60 tahun dan waktu yang digunakan untuk tidur sekitar 8 jam dalam sehari.

Seperti diketahui, kebanyakan orang—terutama di Indonesia—tidur mulai pada pukul 20.00 malam dan bangun sekitar pukul 05.00 pagi.

Iya kalau bangun tidur jam 05.00 pagi. Pasalnya, tidak sedikit di antara kita yang masih suka bangun tidur di atas jam 05.00 hingga ada yang telat dan tertinggal shalat shubuh.Nauzubillah!

Nah, kalau misalnya, rata-rata tidur 8 jam sehari itu dikali dengan masa usia rata-rata manusia yang mencapai 60 tahun, maka setidaknya kita menghabiskan masa 20 tahun untuk hanya tidur. Saya ulangi lagi: kita menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk tidur!

Sekarang, kita hitung lagi berapa banyak waktu yang kita manfaatkan untuk ibadah. Jika 20 tahun kita manfaatkan untuk tidur, maka sisa 40 tahun. Coba bayangkan berapa waktu untuk ibadah, berapa lama untuk belajar menuntut ilmu, dan berapa tahun waktu yang dihabiskan untuk main-main dan mencari kehidupan duniawi! Tentu jawabnya berbeda-beda. Tergantung pribadi masing-masing. Sebab, biasanya, manusia punya jadwal hidup (life schedule) masing-masing.

Bisa dibayangkan jika perhari kita habiskan berapa lama hanya untuk bermain atau sekedar bersendau gurau. Berapa lama waktu dihabiskan untuk membaca al-Quran, berzikir, dan belajar. Padahal, waktu itu terus berjalan dan tidak akan kembali. Waktu juga ibarat pedang tajam yang apabila tidak digunakan untuk memotong sesuatu dengan baik, maka pedang waktu tersebut akan memotong kita bahkan memutilasi kita perlahan-lahan.

Karenanya, yang membedakan kualitas kemuliaan seseorang adalah dari pemanfaatan waktu. Kalau waktunya habis dengan kerja-kerja intelektual, spiritual, dan kebermanfaatan kolektif maka dia akan menjadi pribadi yang mulia. Karenannya, seseorang akan jadi mulia dengan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar dan senantiasa berzikir pada Allah. Seseorang juga akan jadi mulia dan terhormat bila menghabiskan malam-malam yang gelap gulita itu dengan belajar, dan shalat tahajud.

Seperti kata pepatah Arab di atas: “Man tholabal ‘ula sahiral layali” (Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka seringlah bergadang pada malam hari).

Bergadang di situ tentunya bukan untuk sesuatu yang semu dan tidak manfaat. Seperti main, menonton film sepanjang malam, melihat pertandingan bola, dan hang out hingga larut malam. Tapi, bergadang di situ adalah dengan melakukan kerja-kerja spiritual dan intelektual: belajar dan beribadah.

Ada banyak kisah orang sukses yang memanfaatkan waktunya. Dan, hampir semua orang sukses adalah orang yang memanfaatkan waktunya dengan baik.

Sebaliknya, orang gagal adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Waktu-waktu yang dimanfaatkan orang beriman itu seharusnya seperti yang dilakukan para sahabat dan pejuang jaman Rasulullah. Di mana pada siang hari mereka seperti singa di padang pasir yang berjuang tanpa lelah sedangkan malam harinya dihabiskan dengan beribadah seperti rahib-rahib.

Orang besar dan sukses adalah mereka yang memanfaatkan waktunya dengan baik. Dia tidak mau ada waktu—semenit saja—yang terbuang tanpa kebaikan dan kemanfaatan.

Imam Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).

“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.”

Al Quran Surat al ‘Ashr 1-3: mengingatkan; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati dalam supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”*

sumber: Hidayatullah.com