Tiga Khasanah Warisan Nabi Akhir Zaman

Rasulullah shalallallahu ‘alaihi wasallam Muhammad bin ‘Abdillah sang khaatamil anbiyaa wal mursalin, adalah harta karun peradaban yang tak ternilai. Seorang Nabi akhir zaman yang tak pernah lekang oleh waktu dan tak akan mengenal kata punah sepanjang sejarah.

Tiga warisan utama Nabi, mencakup di dalamnya persoalan; ‘aqidah, syari’ah, mu’amalah dan akhlaq/tazkiyatun nafs, yang tersemat pada wajah dan wijhah (pandangan)nya menjadi sinar yang tak pernah padam menyinari bumi.

Apabila dicermati dengan seksama, warisan yang dimaksud mencakup beberapa hal:

Pertama, warisan berupa pedoman [manhajan, minhaajan]; yaitu tatanan, aturan, atau sistem yang dijalankan oleh Rasulullah shalallahu  ‘alaihi wasallam. Dengan merujuk al-Qur’an [QS. Al-Maidah/5 : 48] dan as-Sunnah [hadits tentang dua perkara yang ditinggalkan Nabi] sebagai rujukan utamanya,  maka sumber  utama ini melahirkan sumber hukum [syari’ah], pandangan hukum [fiqih] dan aturan hukum [qaanuun] di samping masalah keyakinan [teologis, ‘aqidah].

Kedua,  warisan berupa semangat [juhuudan]; yaitu kesungguhan dalam memberikan bimbingan dan ajaran, menjaga dan mengawal agama, serta ketundukkan dan kepasrahan kepada Rabb-nya.

Amaliah kesungguhan dalam membela agama disebut jihad, sedangkan amaliah kesungguhan dalam mencurahkan segenap kemampuan intelektual disebut ijtihad. Adapun amaliah kesungguhan dalam munajat dan penyerahan atas kekurangan diri dan pengagungan Dzat yang serba Maha disebut mujaahadah. Upaya maksimal dalam menunjukkan kesungguhan dalam segala hal ini, Allah Subhanahu Wata’ala isyaratkan dalam kalamNya:  “Dan bersungguh-sungguhlah kamu [di jalan Alloh] dengan sebenar-benarnya …”  (QS. Al-Hajj/22 : 78).

Ketiga, warisan berupa keteladanan [uswatan, qudwatan]; yaitu perilaku, adab dan cerminan kehidupan ideal yang meliputi: keagamaan yang bersifat ritual [ibadah mahdhah] dan para ulama menyebutnya dengan qurbah, yakni ibadah yang bernuansa taqarrub langsung seperti halnya thaharoh, shalat, zakat, shaum, hajji dan lain-lain.

Sedangkan yang bersifat fungsional [ghair mahdhah], para ulama menyebutnya dengan tha’ah/taat, yakni kepatuhan terhadap segala yang dicintai oleh Nabi. Apabila dilakukan merupakan keutamaan dan berpahala dan apabila tidak  dilakukan, maka hilang keutamaan dan tidak mendapatkan pahala, seperti halnya makan, minum, berpakaian dan lain-lain. Adapun hal-hal yang manusiawi dan terjadi pada diri Nabi, para ulama menyebutnya dengan jibiliyyah, seperti halnya rasa sedih, rasa senang, bahagia, lapar, cemburu dan lain-lain. Allah jalla wa ‘alaa berfirman:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا (٢١)

“Sungguh ada bagi kalian pada peribadi Rasulullah itu suri tauladan yang baik …” (QS. Al-Ahzaab/33 : 21)

Semua itu menunjukkan, bahwa Nabi akhir zaman mewariskan pada ummatnya khazanah yang sangat melimpah.

Dari khazanah inilah lahir peradaban [hadhaarah] dan kebudayaan [tsaqaafah], yang apabila keduanya tidak dibimbing dengan risaalah Ilaahiyah, maka yang terjadi adalah petaka kehancuran.

Semoga goresan singkat ini menjadi pemantik dalam menyingkap kedalaman khazanah warisan Nabi akhir zaman. Aamiin … Rabbanaa zidnaa ‘ilman warzuqnaa fahman,*/ H.T. Romly Qomaruddien. Penulis adalah anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam  Komisi ‘Aqidah

HIDAYATULLAH

Khutbah Jumat: Menemukan Kembali Warisan Rasulullah ﷺ

Sebuah kisah sahabat mengingatkan kita tentang pentingnya memburu warisan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad, apakah warisan tersebut?

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani bahwa pada suatu pagi, Abu Hurairah pergi ke sebuah pasar. Di situ beliau melihat sebagian orang tenggelam dalam aktivitas bisnis. Mereka asyik melakukan transaksi jual-beli. Abu Hurairah ingin mengingatkan mereka agar tidak sibuk dalam masalah duniawi saja dengan melupakan urusan akhirat. “Wahai penghuni pasar, alangkah lemahnya kalian.”

Mereka bertanya penasaran, “Apa maksudmu, wahai Abu Hurairah?” “Itu, warisan Rasulullah sedang dibagikan sementara kalian masih di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana untuk mengambil jatah kalian?” “Di mana?” Abu Hurairah menjawab: “Di masjid.”

Maka mereka keluar dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menjaga barang mereka sampai mereka kembali. Setelah para penghuni kembali dari masjid, Abu Hurairah bertanya, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Abu Hurairah, kami telah datang ke masjid, kami masuk ke dalamnya tapi tidak ada yang dibagi.”
Abu Hurairah bertanya, “Apa kalian tidak melihat seseorang di masjid?” Mereka menjawab, “Kami melihat orang-orang yang shalat, membaca Al-Qur’an, dan orang yang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian, itulah warisan Muhammad ﷺ.

Hadirin Rahimakumullah

Riwayat di atas memberi banyak pelajaran berharga tentang pentingnya memburu warisan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad. Bukan harta, uang, kendaraan, rumah, atau dinar yang menjadi warisan. Tapi warisan itu berupa mengerjakan shalat, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari halal-haram.

Warisan pertama adalah shalat. Shalat merupakan tiang agama. Shalat menjadi amal yang pertama kali dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Rasul menggambarkan seorang mukmin yang menunaikan shalat wajib seperti orang yang mandi sebanyak lima kali dalam satu hari. Ia akan selalu berada dalam keadaan bersih, bersih dari noda dan kotoran, dosa-dosanya rontok seiring bacaan dan gerakan shalatnya.

Dalam shalat ada komunikasi dan dialog dengan Tuhan, momentum untuk menumpahkan segala asa dan perasaan, bersimpuh sujud, memohon petunjuk, dan hidayah-Nya. Dinamakan shalat, kata Habib Alwi bin Shahab, karena ia adalah shilah (penghubung) antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalatnya terputus, maka hubungan seorang hamba dengan Tuhannya menjadi terputus juga.

Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang meremehkan waktu-waktu shalat, ada yang menunda dalam melaksanakannya, tidak bersungguh-sungguh, hanya sekadar menggugurkan kewajiban, dan bahkan sampai pada taraf meninggalkannya. Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan, “Di antara perbuatan yang bisa menyebabkan kematian yang buruk (su`ul khatimah) adalah meninggalkan shalat.”

Jama`ah Shalat Jum`at

Warisan kedua Rasulullah adalah membaca Al-Qur`an. Al-Qur`an merupakan kitab rujukan utama. Tidak ada satu kitab pun di dunia ini yang lebih indah susunan kata-katanya, jelas dalam memberikan keterangan, mencakup segala aspek, bersih dari tangan-tangan jahil, melebihi Al-Qur`an.

Hanya saja, seiring berjalannya waktu, membaca Al Qur`an semakin terpinggirkan, kalah riuh oleh asyiknya bermain game online atau mendengarkan musik. Anak-anak kita lebih pandai melantunkan lirik-lirik lagu dan lincah menggerakkan jari-jemari untuk bermain game.

Di sisi lain, orang tua lebih sibuk untuk membuat putra-putri mereka sukses di dunia daripada memikirkan kehidupan mereka selepas mereka hidup dunia ini. Al-Qur`an menjadi perhatian hanya di masa bangku sekolah dasar, itupun cukup di TPQ. Sementara itu, para orang tua tidak merasa bersalah ketika mereka tidak memberi contoh membaca Qur`an karena ketidakmampuannya.

Selepas sekolah dasar, anak-anak tak lagi berhasrat atau tidak dimotivasi untuk memperdalam Al Qur`an. Mereka dikondisikan untuk lebih fokus dengan materi pelajaran yang tidak seimbang antara kebutuhan spiritual dan intelektual. Sayidina Abdulah bin Mas`ud pernah berkata, “Jika kalian menginginkan ilmu, maka sebarluaskan Al-Qur`an sebab di dalamnya tersimpan ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.”

Ma`syiral Muslimin Rahimakumullah

Warisan ketiga adalah mengetahui status halal-haram. Warisan terakhir ini memberi hikmah kepada kita tentang pentingnya mengenal status halal-haramnya suatu barang, makanan, atau perbuatan yang akan kita lakukan. Sikap kehati-hatian dalam halal-haram tampak dari sikap Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Suatu hari, usai kembali dari pasar beliau meminum segelas susu. Beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikit pun tentang asal-usul segelas susu tersebut.
Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, “Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?”

Dengan rasa kaget Abu Bakar bertanya, “Memangnya susu ini dari mana?” Pembantunya menjawab, “’Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang. Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar. Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.”

Mendengar itu, Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya tanpa tersisa sedikit pun. Beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum, lalu berkata, “Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela. Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari sumber yang haram maka neraka adalah tempat yang pantas baginya.”

Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah

Ketiga warisan Nabi yaitu menunaikan shalat, membaca Al-Qur`an, dan mengetahui hal-hal yang halal dan haram, merupakan warisan yang harus kita jaga dengan sungguh-sungguh. Shalat tepat pada waktunya dengan berjama`ah, membaca Al Qur`an sesuai tajwid lalu berusaha memahami dan mengamalkannya, dan mengetahui status halal-haram pada suatu barang dengan tepat dan teliti.

Jika warisan duniawi begitu disukai meski bersifat sementara, yang akan sirna seiring berlalunya waktu, maka tiga warisan di atas harus lebih kita utamakan dari masa ke masa, karena ketiga warisan ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :
فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.
وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

HIDAYATULLAH

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu

RASA malu itu warisan para nabi. Artinya, telah diajarkan oleh para Nabi sebelum kita. Dari Abu Masud Uqbah bin Amr Al-Anshary Al-Badry radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari, no. 3483)

Penilaian Hadits Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mutamar dari Ribiy bin Hirasy dari Abu Masud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Masud. Yang mengatakan demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zurah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Masud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga. (Lihat Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255, Ibnu Rajab Al-Hambali, Darul Hadits Al-Qahirah)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut: Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu. “Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)

Yang dimaksudkan dengan adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112). Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al Quran, As Sunnah (hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207)

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yag besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

 

INILAH MOZAIK