Tahun Baru Islam dan Makna di Dalamnya

Bagaimana sejarah awal mula kalender hijriah hingga kemudian menjadi kalender Islam seperti sekarang? Berikut ini penjelasan asal usul dan sejarah lengkap, disertai kalender hijriah 1439 selama setahun.

Sejarah dan Asal Usul Kalender Hijriah

Tahukah Anda? Orang-orang Arab baik sebelum masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun pada masa beliau tidak memiliki angka tahun. Mereka biasa menamakan tahun dengan peristiwa besar yang terjadi di dalamnya.

Misalnya ada tahun yang disebut tahun gajah (amul fil) karena di tahun tersebut terjadi peristiwa pasukan gajah di bawah pimpinan Abrahah yang akan menghancurkan Ka’bah. Namun sebelum menjalankan misinya, mereka dihancurkan Allah dengan burung ababil. Maka kita pun mendengar ungkapan, Rasulullah lahir di tahun gajah. Maksudnya, tahun saat terjadinya peristiwa yang diabadikan Allah dalam Surat Al Fil tersebut.

Ada tahun yang disebut sebagai tahun fijar (amul fijar) karena saat itu terjadi perang fijar. Ada tahun yang disebut tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu. Ada tahun yang disebut amul huzni karena di tahun itu Rasulullah dan para sahabat bersedih setelah kehilangan dua orang yang berperan penting dalam dakwah yakni ummul mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib. Dengan meninggalnya dua pembela dakwah itu, tribulasi dan penindasan kaum kafir quraisy semakin menjadi-jadi.

Demikian tahun demi tahun berjalan tanpa angka. Hingga di tahun ketiga masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, datang satu masalah yang dialami oleh pejabat pemerintah. Ketiadaan angka tahun membuat sebagian pejabat pemerintah kesulitan.

Salah satunya adalah Gubernur Basrah Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengadukan kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, telah datang surat Anda kepada kami namun kami kesulitan menindaklanjutinya. DI surat tersebut tertulis bulan Sya’ban, namun kami tidak tahu apakah yang dimaksud adalah Sya’ban tahun ini atau Sya’ban tahun kemarin?”

Mendapati masalah ini, Umar merasa perlu menetapkan angka tahun. Beliau lantas meminta para sahabat mengusulkan penetapan tahun.

Ada yang mengusulkan mengikuti tahun romawi, namun usulan ini tertolak karena tahun Romawi terlalu jauh. Para sahabat kemudian mengusulkan penetapan tahun dengan pertimbangan yang terbagi dalam empat usulan. Pertama, kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Rasulullah. Kedua, kalender Islam dimulai dari tahun nubuwwah. Ketiga, kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Dan keempat, kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah.

Usulan pertama dan ketiga tidak diambil. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, sebagian sahabat berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran dan tahun nubuwah. Kedua, baik kelahiran maupun tahun nubuwah, keduanya adalah semata-mata anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada upaya atau perjuangan manusia (juhud basyari) sama sekali.

Usulan keempat juga tidak diambil. Alasannya, hal itu bisa mengulang kesedihan jika wafatnya Rasulullah dijadikan tahun pertama kalender Islam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Inilah tahun dimulainya peradaban baru Islam. Inilah tahun perubahan umat Islam dari yang semula tertindas di Makkah menjadi kekuatan di Madinah. Dan berbeda dengan kelahiran dan nubuwah Rasulullah yang sama sekali tak ada upaya manusiawi, hijrah merupakan perjuangan besar umat Islam yang dipenuhi dengan banyak sejarah pengorbanan (tadhiyah).

Maka ditetapkanlah tahun hijrah sebagai tahun pertama kalender Islam. Dan karenanya, penanggalan ini disebut sebagai penanggalan hijriah. Kalender hijriah.

Selanjutnya, bulan apa yang dijadikan bulan pertama tahun hijriah? Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan Muharram. Mengapa? Sebab sejak dulu orang Arab menganggap Muharram adalah bulan pertama. Kedua, umat Islam telah menyelesaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah. Ketiga, bulan Muharram merupakan bulan munculnya tekad hijrah ke Madinah setelah pada Dzulhijjah terjadi Baiat Aqabah II.

Hijrah dalam Al Quran

Seperti dijelaskan pada Sejarah Kalender Hijriah, kalender hijriah terkait erat dengan hijrah. Sebab tahun pertama kalender Islam ini dimulai dari tahun hijrah dan bulan pertama yakni Muharram merupakan bulan munculnya tekad hijrah ke Madinah. Maka spirit hijrah perlu dikuatkan kembali bertepatan momentum pergantian tahun hijriah.

Berikut ini ayat-ayat hijrah dalam Al Quran:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, (QS. Surat An-Nisa’: 97)

Ibnu Abbas dan Ibnu Abi Hatim menjelaskan, asbabun nuzul ayat itu terkait dengan orang-orang yang telah masuk Islam namun tidak mau hijrah. Mereka kemudian dipaksa bergabung dengan Pasukan Abu Jahad saat perang Badar lalu terbunuh saat perang badar. Mati dalam kondisi menjadi bagian pasukan kafir Quraiys. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Sayyid Qutb menjelaskan adanya asbabun nuzul yang lain. Bahwa ada sebagian orang yang telah masuk Islam, mereka tidak mau berhijrah. Sebagiannya kemudian meninggal di Makkah.

Ayat ini merupakan ancaman berat untuk orang-orang yang tidak mau berhijrah dari Makkah ke Madinah. Makkah yang saat itu merupakan Darul Kufr dan Madinah merupakan Darul Islam. Adapun setelah futuhnya Makkah, maka tidak ada kewajiban hijrah ke Madinah. La hijrata ba’dal fathi, sabda Nabi.

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’: 100)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218)

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfal: 74)

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. Surat At-Taubah: 20)

Empat ayat terakhir ini menunjukkan keutamaan hijrah. Bahwa orang yang berhijrah akan mendapati tempat yang luas dan rezeki yang banyak, ia akan mendapat rahmat Allah, ampunan dan kasih sayang-Nya.

Hakikat hijrah

Tentu kita menginginkan keutamaan-keutamaan hijrah di atas. Namun, bagaimana kita berhijrah sementara kondisi kita bukanlah kondisi Makkah-Madinah seperti saat para sahabat hijrah? Sementara Al Quran secara umum memerintahkan kita untuk berhijrah?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang hakikat hijrah.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah” (HR. Bukhari no.10)

Hijrah secara bahasa artinya adalah at tarku (meninggalkan). Hakikat hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang Allah.

Ketika menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa ada dua macam hijrah. Pertama adalah Hijrah zhahirah, yakni pergi meninggalkan tempat untuk menghindari fitnah demi mempertahankan agama. Kedua adalah Hijrah bathinah, meninggalkan perbuatan yang dibisikkan oleh nafsu amarah dan syetan.

Para ulama lainnya menjelaskan dengan istilah berbeda; Hijrah Makaniyah (hijrah tempat) dan Hijrah Maknawiyah (hijrah maknawi).

Inilah hijrah yang harus selalu kita lakukan. Hijrah maknawiyah. Bagaimana kita berupaya selalu meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita terus menyempurnakan hijrah dari kufur menuju iman (terutama dilakukan oleh saudara kita yang mualaf). Hijrah dari syirik menuju tauhid. Hijrah dari nifaq menuju istiqomah. Hijrah dari maksiat menuju taat. Serta hijrah dari haram menuju halal. Wallahu a’lam bish shawab.

 

BERSAMA DAKWAH