Pasangan suami-istri tunanetra ini berjualan kerupuk dan buah

Takkan Lari Rezeki Dikejar

INI  kisah ruhani dari seorang sopir angkot, mikrolet. Sudah sehari penuh ia berkeliling kota mencari penumpang.

Dari satu terminal ke terminal lain yang jaraknya lebih dari 5 km itu penumpangnya yang nyangkut tidak lebih dari satu dua orang. Ia mengeluh karena bahan bakarnya makin susut, sementara uang setoran juga belum ia dapatkan. Setengah furstasi, ia memutuskan untuk menghentikan kendaraanya di tengah perjalanan, sambil melepas lelah.

Tanpa disangkanya sama sekali serombongan orang mendekatinya dan bermaksud mencarter menuju ke suatu tempat. Sesampai di sana, sekumpulan orang yang sama telah menunggunya dengan sedikit berceloteh.

“Kenapa sih bang, kok lama sekali,” kata salah seorang di antara mereka yang telah merasa penat menunggu angkutan yang juga tak kunjung muncul. Pak Sopir masih belum bisa menjawab selain dengan untaian senyum demi senyum. Rasa lelah yang membalut seluruh persendiannya seperti sirna seketika.

Itulah rezeki. Kedatangan dan kepergiannya sering sulit sekali untuk dipahami. Ketika datang ia mengalir begitu deras laksana air bah yang datang melimpah.

Membendungnya bahkan terasa sulit. Bergerak sedikit saja, dengan melakukan pekerjaan yang tidak berbilang memakan banyak energi dan pikiran, semuanya serba menghasilkan uang.

Ibarat orang berjalan, baru bergerak sedikit ke depan keuntungan didapatkan, bergeser sedikit ke kanan laba sudah menunggu. Begitu pula ketika menoleh ke kiri di sana yang ada rezeki melulu.

Sebaliknya, bila Allah menghendaki menutup kran rezeki itu, meskipun kerja keras sudah kita lakukan sedemikian rupa, badan terasa pegal semua, otot-otot menjadi linu, tulang-tulang terasa ngilu dan otakpun sangat amat lelahnya, rezeki yang ditunggu-tunggu mengalir hanya satu dua saja.

Tidak cuma itu. Allah juga masih menguji dengan tambahan ujian yang lain dengan sakitnya keluarga, kehilangan, dan bentuk musibah lainnya.

Tidak Perlu Gengsi

Nabi menghapuskan semua pikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja. Bahkan beliau sangat menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk bekerja apa saja agar dirinya tidak menggantungkan keperluannya kepada orang lain.

Pesan Nabi justru agar kita tidak menjadi rendah diri dengan jalan berusaha. Agar kita punya martabat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari no. 2074).

Banyak ragam jenis pekerjaan di dunia ini. Manusia tinggal memilih dan melakukannya sesuai dengan kemampuannya.

Berdagang, menjadi pegawai ataupun karyawan bukanlah pekerjaan hina, selama pekerjaan tersebut tidak dipenuhi dengan cara yang haram, membantu perbuatan haram, atau bersekutu dengan haram. Bercocok tanam juga pekerjaan mulia. Sembari menunggu keuntungan kita bahkan dapat bersedekah, seperti yang disampaikan Rasulullah,

Dari Anas  bahwa Nabi ﷺ bersabda:

٧. اَ ْلاَوَّلُ : هَنْ اَنَسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ,, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرُسُ غَرْسًا اَؤيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرُ اَؤاِنْسَانٌ اَؤبَهِيْةٌ اِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةُ

”Seorang mulim yang menanam atau menabur benih, lalu ada sebagian yang dimakan oleh burung atau manusia, ataupun oleh binatang, niscaya semua itu akan menjadi sedekah baginya.“ (HR: Imam Bukhari)

Jika demikian halnya tidak dibenarkan kalau kita menggenggam tangan dan berasyik-asyik dengan kemalasan. Kaum muslimin semestinya tampil sebagai orang yang paling sibuk di lingkungannya di mana dia tinggal dan bekerja.

Muslim tidak seharusnya tampil dengan format yang sebaliknya. Kita punya motivasi hidup yang berlandaskan kemuliaan. Agar dalam hidup ini tidak ada celah yang dibiarkan kosong karena pengangguran.

Setiap saat irama hidup yang dijalani termotivasi oleh program pengabdian. Termasuk di dalamnya adalah berusaha dan bekerja keras secara maksimal.

Rasulullah ﷺ membenci para penganggur, karena bukan saja membuat pemandangan tidak indah, tapi akan membuat hati menjadi keras keji dan membeku.

Imam Ahmad pernah ditanya : Apa pendapatmu mengenai orang yang duduk-duduk di rumahnya atau masjid dan ia berkata “Aku tidak akan bekerja biarlah rizqi menghampiriku.” Beliau menjawab : Orang itu bodoh, tidakkah ia mendengar hadits Nabi :

إِنَّ اللهَ جَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي

“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah bayang-bayang tombak-ku.” (HR Ahmad).

Dan tatkala menceritakan burung maka Nabi menyebutkan :

تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang”. (HR: Turmudzi).

Beliau menyebutkan bahwa burung itu pagi-pagi terbang untuk mencari rizki. Dan Para sahabat berdagang, baik yang di darat maupun yang di laut dan ada yang bekerja di kebun kurma dan mereka itu semua adalah panutan (kita). (Ihya Ulumuddin).

Urwah bin Zubar ketika ditanya “Apakah yang paling jelek di dunia ini?”, Ia menjawab : “Al-Bithalah” (menganggur). [Az-Zuhd Li Abi Dawud] Dan dalam hadits disebutkan :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ

“Sesungguhnya Allah mencintai mukmin yang bekerja.” (HR: Thabrani).

Tuhan tidak akan pernah terlambat dalam memberi jatah rezeki kepada hamba-Nya. Ia tidak akan pernah lalai dalam memberikan bekal-bekal kehidupan kepada kekasih-Nya. Itu semua karena kehadiran semua makhluk di muka bumi ini adalah bukan karena kehendak mereka, melainkan karena kehendak-Nya dan karena ke-Mahabesaran-Nya.

Bumi yang luas ini bukan saja gudangnya pekerjaan tapi juga wadahnya rezeki untuk manusia melangsungkan kehidupannya. Rezeki akan habis bila jatah hidup manusia yang Allah berikan juga telah habis masanya. Kran karunia-Nya akan dihentikan seiring dengan habisnya masa pengabdian makhluk kepada Sang Pencipta. Jumlah jatah napasnya seimbang dengan jatah rezekinya. Itulah ke-Mahaadilan Allah yang diberikan kepada setiap makhluk-Nya.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan ke dalam benakku bahwa jiwanya tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencahariaanmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Abu Dzar dan al Hakim).*

HIDAYATULLAH