PADA zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan sangat kaya mempunyai seorang anak laki-laki. Katanya kepada anaknya, “Ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau ahli warisku, dan nanti wariskan kepada anak-cucumu. Harganya mahal, bentuknya indah, dan juga memiliki kemampuan untuk membuka pintu kekayaan.”
Beberapa tahun kemudian, si Kaya itu mempunyai anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah dewasa, ayahnya memberi pula cincin serupa, disertai nasihat yang sama. Hal yang sama juga terjadi atas anak laki-lakinya yang ketiga, yang terakhir.
Ketika si Tua sudah meninggal dan anak-anaknya menjadi dewasa, masing-masing mengatakan keunggulannya sehubungan dengan cincin yang dimilikinya. Tak ada seorangpun yang bisa memastikan cincin mana yang paling berharga.
Masing-masing anak mempunyai pengikut, yang menyatakan cincinnya memiliki nilai dan keindahan lebih unggul. Namun kenyataan yang mengherankan adalah bahwa pintu kekayaan itu selama ini masih juga tertutup bagi pemilik cincin itu, juga bagi pengikutnya terdekat. Mereka tetap saja meributkan hak yang lebih tinggi, nilai, dan keindahan sehubungan dengan cincin tersebut.
Hanya beberapa orang saja yang mencari pintu kekayaan si Tua yang sudah meninggal itu. Tetapi cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis juga. Meskipun disebut kunci, cincin-cincin itu tidak bisa langsung dipergunakan membuka pintu kekayaan.
Sudah cukup kalau diperhatikan saja, salah satu nilai dan keindahannya tanpa rasa persaingan atau rasa sayang yang berlebihan. Kalau hal itu dilakukan, orang yang melihatnya akan bisa mengatakan tempat kekayaan itu, dan dapat membukanya dengan hanya menunjukkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun memiliki nilai lain: tak ada habisnya.
Sementara itu para pembela ketiga cincin itu mengulang-ngulang kisah leluhurnya tentang manfaatnya, masing-masing dengan cara yang agak berbeda.
Kelompok pertama beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta itu. Yang kedua berpikir bahwa kisah itu hanya ibarat saja. Yang ketiga menafsirkannya sebagai kemungkinan membuka pintu ke arah masa depan yang dibayangkan sangat jauh dan terpisah.
Catatan
Kisah ini, yang oleh beberapa pihak dianggap mengacu ke tiga agama: Judaisme, Kristen, dan Islam, muncul dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam Gesta Romarzorum dan karya Boccacio Decameron.
Versi di atas itu konon merupakan jawaban salah seorang guru Sufi Suhrahwardi, ketika ditanya mengenai kebaikan pelbagai agama. Beberapa penanggap beranggapan ada unsur-unsur dalam kisah ini yang menjadi sumber karya Swift, Tale of a Tub, ‘Kisah sebuah Bak mandi.’