5 Cara Islam Atasi Monopoli Kekayaan di Kalangan Umat Islam

Islam menentang keras praktik monopoli kekayaan

Islam memberlakukan prinsip memiliki perbedaan dalam keuntungan materi. Islam tidak menyetujui memiliki kekayaan sebagai monopoli individu tertentu.  

Melansir laman aboutislam.net, itulah mengapa aturan Islam dapat menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin. 

Islam ingin mencegah orang kaya menindas orang miskin, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.  

Semua ini akan membantu menciptakan stabilitas dan perisai terhadap permusuhan dan gesekan antara anggota masyarakat yang sama. 

Itulah sebabnya Islam dengan tegas mengutuk bahwa kekayaan harus berada di bawah kendali beberapa individu sehingga merugikan mayoritas. 

Beberapa langkah di bawah ini dapat mencegah sekelompok atau seseorang memonopoli kekayaan yaitu sebagai berikut: 

Pertama, melarang semua sarana investasi uang yang tidak sah, seperti riba atau bunga), monopoli kekayaan, transaksi penipuan, perdagangan yang melanggar hukum, dan sebagainya. 

Motif di balik pelarangan ini adalah untuk membatasi tindakan menginvestasikan uang agar tidak memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. 

Kedua, memerintahkan zakat (sedekah wajib) pada orang kaya untuk mengambil sebagian dari kekayaan mereka dan memberikannya kepada orang miskin.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

Sistem zakat, yang ditetapkan Islam, hanya untuk membantu orang miskin menemukan sarana rezeki melalui apa yang mereka terima dari zakat, baik dalam bentuk pembayaran tahunan atau dengan memberikan mereka keamanan finansial permanen.  

Ketiga, selain zakat, Islam juga memerintahkan orang kaya beberapa bantuan keuangan lainnya, seperti mengurus kerabat, memenuhi sumpah dan kewajiban agama dari penebusan (untuk pelanggaran hukum), dan al-udhiyah (atau kurban pada Idul Adha yang dianggap wajib oleh ahli hukum Hanafi).

Selain itu juga bertetangga yang baik dan menjaga hubungan kekerabatan, keramahan yang baik, memberi makan orang miskin, membantu yang kesusahan, melepaskan tahanan, memberikan perawatan medis bagi yang sakit dan membantu ketika terjadi bencana, seperti perang, kelaparan dan sebagainya. 

Keempat, aturan waris Islam juga merupakan cara tidak langsung untuk memiliki distribusi kekayaan yang adil. Juga memiliki fungsi yang sama berlaku untuk orang-orang yang tidak memiliki bagian dalam warisan seseorang. Ini wajib menurut beberapa sarjana Muslim awal berdasarkan firman Allah ﷺ surat Al Baqarah ayat 180: 

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” 

Kelima, selain itu, Islam memberikan keleluasaan kepada seorang pemimpin Muslim untuk melakukan intervensi dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dengan mendistribusikan sebagian dari milik umum kepada beberapa orang yang sangat membutuhkan bantuan. Ini jelas berbeda dengan perampasan harta, yang juga halal jika mengikuti tuntunan Islam. 

Kita memiliki contoh yang baik dalam diri Nabi Muhammad  ﷺ  dalam aspek ini. Kebetulan Nabi membagikan al-fay’ (yaitu rampasan perang yang diterima tanpa pertempuran) milik Bani Nadzir, hanya kepada Muhajirin idak termasuk Anshar kecuali dua orang Ansari yang kebetulan sangat miskin. 

Allah ﷻ menurunkan ayat Alquran untuk mendukung tindakan Nabi Muhammad ﷺ  Al-Hasyr ayat 7: 

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Harta rampasan fai’ yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Baca juga: Saat Tentara Salib Hancurkan Masjid Hingga Gereja di Alexandria Mesir

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”   

Sumber: aboutislam  

KHAZANAH REPUBLIKA

Manfaat Surat Al Jumuah untuk Dapatkan Kekayaan, Ini Caranya

Surat Al Jumuah juga mempunyai banyak manfaat untuk umat Islam

Salah satu keutamaan mengalamkan atau membaca surat Al Jumuah adalah untuk mendapatkan kekayaan. 

Caranya adalah dengan membaca surat Al Jumuah satu kali kemudian membaca doa berikut ini 70 kali, yaitu:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan barang yang halal hingga aku tidak butuh kepada yang haram dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tidak butuh kepada selain-Mu.” (HR Turmudzi).

Dalam buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an” karya Muhammad Zaairul Haq dijelaskan bahwa jika amalan di atas dilakukan akan segera mendapatkan kekayaan yang luas dan berkah. 

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar disebutkan sebuah riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca doa:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ 

pada hari Jumat sebanyak 70 kali, maka dia tidak akan mendapati Jumat berikutnya, kecuali Allah membuatnya kaya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar, menurut Zaairul Haq, juga disebutkan bahwa doa di atas baik sekali diamalkan pada Jumat atau setiap selesai melaksanakan sholat sebanyak 70 kali. 

Disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan amalan seperti itu, maka Allah akan menyelesaikan utangnya walaupun utang tersebut setinggi gunung Uhud.

Selain itu, keutamaan lainnya mengamalkan surat Al Jumuah adalah bisa menghilangkan rasa waswas yang ditimbulkan kejahatan setan. 

Caranya dengan istiqomah membaca surat Al Jumuah setiap hari. Ini dijelaskan  Imam Syafii dalam kitab ad-Durr an-Nazhim fi Khawash al-Qur’an al-‘Azhim

KHAZANAH REPUBLIKA

Arti Penting Harta dalam Islam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Islam sangat menghargai apapun yang bermanfaat bagi manusia, termasuk diantaranya harta. Diantara buktinya, bisa kita lihat dalam kajian seputar dharuriyat al-khmas (5 hal yang mendesak), yang menjadi maqasid as-Syariah (tujuan dasar syariah). Diantara 5 hal yang mendesak adalah hifdzul mal (menjaga harta). Karena itu, harta dalam islam tidak boleh disia-siakan. Karena itu, Allah mencela setiap tindakan penyia-nyia-an terhadap harta, seperti sikap mubadzir atau israf (boros).

Namun perlu kita pahami, anjuran menghargai harta tidak sama dengan motivasi mengejar harta dan dunia. Bisa saja seseorang mengejar harta, namun di saat yang sama dia menggunakan harta itu untuk pemborosan yang sia-sia. Dan bahkan, kebanyakan mereka yang rakus dunia, hartanya dihamburkan untuk kehidupan glamor yang sia-sia…

Selanjutnya kita akan melihat bagaimana semangat islam dalam menghargai harta,

[1] Harta disebut al-khoir

Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan. Dan ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan eutan al-Khoir.. diantaranya,

Firman Allah,

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Manusia itu terhadap harta sangat rakus (QS. al-Adiyat: 8)

Juga firman Allah,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ

Diwajibkan kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (QS. al-Baqarah: 180)

Ibnu Abdil Barr mengatakan,

والخير ههنا المال، لا خلاف بين أهل العلم في ذلك

Al-khoir di sini maknanya adalah harta, tidak ada perbedaan penndapat diantara ulama dalam tafsir ini. (at-Tamhid, 14/295).

Kemudian Ibnu Abdil Bar menyebutkan 4 ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-khoir: 2 ayat di atas, lalu QS. Shad: 32, dan QS. an-Nur: 33.

Mengapa disebut al-Khoir?

Khoir artinya baik, lawannya kata Syarr, yang artinya keburukan. Sehingga jangan sampai, karena salah dalam menggunakan, al-khoir (kebaikan) berubah menjadi as-Syarr (keburukan).

Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul,

المال في الأصل قوام العباد في أمر دينهم، به يصلون ويصومون ويزكون ويتصدقون، فالأبدان لا تقوم إلا بهذا المال، وأعمال الأركان لا تقوم إلا بهذا المال…فهذا المال على ما وصفنا حقيق أن يسمى خيراً لأن الخيرات به تقوم

Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa, zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan hanya bisa terlaksana dengan harta… karena itu, harta dengan semua karakter yangkita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak kebaikan bisa terlaksana dengan harta. (Nawadir al-Ushul, 4/91).

[2] Harta disebut mal Allah (harta dari Allah)

Allah perintahkan agar kita membantu orang yang membutuhkan harta, terutama budak yang ingin merdeka.

Allah berfirman,

وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ

Berikanlah kepada mereka harta Allah yang telah Allah berikan kepada kalian. (QS. an-Nur: 33).

Allah menyebut harta dalam ayat di atas dengan mal Allah (harta Allah). Agar kita memahami bahwa harta itu amanah yang diberikan Allah kepada kita, sehingga jangan sampai harta itu disia-siakan.

[3] Orang bodoh menurut al-Quran – mereka yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar

Allah melarang kita memberikan harta kepada orang bodoh, meskipun itu miliknya. Sehingga bagi orang bodoh, harta itu harus ada yang menjaganya. Allah berfirman,

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا

janganlah kamu serahkan kepada orang-orang bodoh, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu). (QS. an-Nisa: 5)

Disebut sufaha’ (bodoh) karena belum sempurna akalnya. Mereka adalah orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar. Sehingga orang kaya yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar, dia termasuk kategori bodoh menurut al-Quran.

[4] Larangan israf dan tabdzir

Allah menyebut pelaku tabdzir sebagai temannya setan. Dan Allah tidak mencintai orang yang suka israf (boros). Allah berfirman,

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Janganlah melakukan tindakan tabdzir, sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan. (QS. al-Isra: 26-27).

Allah juga berfirman,

وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros. (QS. al-An’am: 141).

Apa Beda Israf (boros) dengan Tabdzir?

Saya sebutkan kesimpulan Ibnu Abidin,

أن الإسراف: صرف الشيء فيما ينبغي زائداً على ما ينبغي، والتبذير: صرف الشيء فيما لا ينبغي

Al-Israf: menggunakan harta untuk sesuatu yang benar, namun melebihi batas yang dibenarkan. Sedangkan tabdzir: menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/759).

Anda makan dengan hidangan berlebihan, itu israf. Sementara ketika anda menggunakan harta untuk maksiat, itu tabdzir.

[5] Penggunaan harta akan dihisab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa harta akan dihisab. Tidak hanya dihisab untuk bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga dihisab terkait bagaimana cara menggunakannya.

Anda bisa menjamin harta yang anda dapatkan halal. Tapi itu belum cukup. Ada tugas yang kedua, yaitu bagaimana menggunakan harta itu untuk sesuatu yang benar.

Dalam hadis dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ … وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ…

Kaki seorang hamba di hari kiamat tidak akan bergeser sampai dia ditanya tentang (beberapa hal, diantaranya) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia gunakan… (HR. Turmudzi 2602, ad-Darimi 546 dan statusnya hasan)

[6] Maksimalkan untuk mendukung taqwa.

Harta ketika dipegang oleh orang yang tidak memiliki taqwa bisa berpotensi bahaya. Karena itu, beliau menyarankan, siapa yang siap kaya, harus siap bertaqwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ

Tidak masalah adanya kekayaan bagi orang yang bertaqwa. (Ahmad 23158 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Bahkan sampaipun ketika kita hendak memberikan harta ke orang lain, upayakan memilih orang yang bertaqwa.

Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

Jangan mengambil teman dekat kecuali orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa. (HR. Ahmad 11337 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa kita dilarang memberi makan orang yang tidak bertaqwa. Kita boleh memberi makan orang kafir, sebagaimana Allah memuji muslim yang memberi makan tawanan. Dan tawanan bagi para sahabat adalah orang kafir.

Allah berfirman,

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Mereka memberi makanan yang paling dia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (QS. al-Insan: 8)

Lalu apa makna hadis ini?

Sebagian ulama – seperti Imam Ibnu Baz, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dan yan lainnya – memahami, maksud dari hadis ini adalah perbanyaklah berteman dekat dengan orang yang bertaqwa. Karena ketika hartamu lari keluar, penerimanya adalah kawan dekatmu.

Ketika menerima harta kita adalah orang yang rajin menghafal al-Quran, maka harta yang kita berikan kepada mereka akan berubah menjadi amalan hafalan al-Quran. Demikian pula ketika harta itu kita berikan kepada orang soleh lainnya.

Demikian, Allahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://pengusahamuslim.com/6510-arti-penting-harta-dalam-islam.html

Tiga Cincin Warisan Pembuka Pintu Kekayaan

PADA zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan sangat kaya mempunyai seorang anak laki-laki. Katanya kepada anaknya, “Ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau ahli warisku, dan nanti wariskan kepada anak-cucumu. Harganya mahal, bentuknya indah, dan juga memiliki kemampuan untuk membuka pintu kekayaan.”

Beberapa tahun kemudian, si Kaya itu mempunyai anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah dewasa, ayahnya memberi pula cincin serupa, disertai nasihat yang sama. Hal yang sama juga terjadi atas anak laki-lakinya yang ketiga, yang terakhir.

Ketika si Tua sudah meninggal dan anak-anaknya menjadi dewasa, masing-masing mengatakan keunggulannya sehubungan dengan cincin yang dimilikinya. Tak ada seorangpun yang bisa memastikan cincin mana yang paling berharga.

Masing-masing anak mempunyai pengikut, yang menyatakan cincinnya memiliki nilai dan keindahan lebih unggul. Namun kenyataan yang mengherankan adalah bahwa pintu kekayaan itu selama ini masih juga tertutup bagi pemilik cincin itu, juga bagi pengikutnya terdekat. Mereka tetap saja meributkan hak yang lebih tinggi, nilai, dan keindahan sehubungan dengan cincin tersebut.

Hanya beberapa orang saja yang mencari pintu kekayaan si Tua yang sudah meninggal itu. Tetapi cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis juga. Meskipun disebut kunci, cincin-cincin itu tidak bisa langsung dipergunakan membuka pintu kekayaan.

Sudah cukup kalau diperhatikan saja, salah satu nilai dan keindahannya tanpa rasa persaingan atau rasa sayang yang berlebihan. Kalau hal itu dilakukan, orang yang melihatnya akan bisa mengatakan tempat kekayaan itu, dan dapat membukanya dengan hanya menunjukkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun memiliki nilai lain: tak ada habisnya.

Sementara itu para pembela ketiga cincin itu mengulang-ngulang kisah leluhurnya tentang manfaatnya, masing-masing dengan cara yang agak berbeda.

Kelompok pertama beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta itu. Yang kedua berpikir bahwa kisah itu hanya ibarat saja. Yang ketiga menafsirkannya sebagai kemungkinan membuka pintu ke arah masa depan yang dibayangkan sangat jauh dan terpisah.

Catatan

Kisah ini, yang oleh beberapa pihak dianggap mengacu ke tiga agama: Judaisme, Kristen, dan Islam, muncul dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam Gesta Romarzorum dan karya Boccacio Decameron.

Versi di atas itu konon merupakan jawaban salah seorang guru Sufi Suhrahwardi, ketika ditanya mengenai kebaikan pelbagai agama. Beberapa penanggap beranggapan ada unsur-unsur dalam kisah ini yang menjadi sumber karya Swift, Tale of a Tub, ‘Kisah sebuah Bak mandi.’

 

MOZAIK

Kekayaan Bisa Dangkalkan Iman dan Tanduskan Jiwa

SYEIKH Abu Nashr as-Sarraj Abu Yaqub an-Nahrajuri berkata, “Saya mendengar Abu Yaqub as-Susi berkata: Ada seorang fakir datang kepada kami, saat itu kami sedang berada di ar-Rajan. Sementara itu, Sahl bin Abdullah juga berada di sana. Lalu si fakir tersebut berkata pada kami, “Kalian adalah orang-orang yang biasa memberi bantuan. Saat ini kami sedang ditimpa bencana.”

Maka Sahl bin Abdullah berkata, “Dalam daftar bencana telah tercatat sejak Anda memperlihatkan masalah ini. Lalu apa bencana itu?” la menjawab, “Dibukakan pada kami pintu dunia, dan aku gunakan hanya untuk diri sendiri tanpa peduli pada keluarga dekatku. Hingga saya kehilangan iman dan kondisi spiritual.” Sahl berkata kepada Abu Yaqub, “Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?” Abu Yaqub menjawab, “Bencana dalam kondisi spiritualnya lebih berat daripada bencana dalam imannya.” Lalu Sahl berkata, “Orang seperti Anda yang pantas mengatakan ini.”

Dikisahkan dari Khair an-Nassaj -rahimahullah -yang berkata: Aku pernah masuk di sebagian masjid. Ternyata di situ ada seorang fakir yang aku mengenalnya. Ketika melihatku ia langsung merangkulku dan menangis sembari berkata, “Wahai syekh kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Lalu aku bertanya, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan?” la tetap berkata, “Wahai syekh, kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Aku pun mengulangi pertanyaan, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan itu?” la menjawab, “Aku telah kehilangan bencana, kemudian setelah itu dibarengi dengan kesehatan (afiat). Sementara engkau tahu, bahwa hal ini adalah cobaan yang sangat berat.” Khair an-Nassaj berkata: Si fakir itu telah dibukakan sedikit kenikmatan dunia.

“Jika berbagai kenikmatan telah melimpah pada salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia menangisi pada dirinya. Sebab la telah menempuh jalan yang tidak ditempuh orang-orang saleh.”

Saya mendengar al -Wajihi – rahimahullah – berkata: Bunan al-Hammal dibawakan uang sejumlah seribu dinar yang dituangkan di depannya. Kemudian Bunan berkata pada orang yang menuangkan uang tersebut, “Bawalah kembali dan ambillah uang itu. Demi Allah, andaikan di atas uang tidak ada tulisan nama Allah niscaya sudah aku kencingi. Kemilaunya telah banyak menipuku.”

Al Wajihi berkata: Suatu ketika Bunan al-Hammal diberi kenikmatan duniawi berupa uang empat ratus dinar. Saat itu ia sedang tidur. Mereka meletakkannya di atas kepalanya. Kemudian Bunan mimpi seakan-akan ada orang berkata, “Barang siapa mengambil dunia lebih dari kadar yang secukupnya maka Allah akan membutakan mata hatinya.” Kemudian ia terbangun, dan hanya mengambil empat daniq, sementara sisanya ia tinggalkan.

Saya mendengar Ibnu `Ulwan -rahimahullah – berkata: Ada beberapa orang membawakan uang tiga ratus dinar untuk Abu al-husain an-Nuri. Mereka telah menjual barang-barangnya untuk mendapatkan uang tersebut. Setelah menerima uang itu an-Nuri duduk di atas jembatan Sarat sambil melemparkan dinar-dinar tersebut satu demi satu ke dalam air, dan berkata, “Wahai Tuanku, dengan dinar ini Engkau ingin menipuku jauh dari-Mu.”

Dikisahkan dari Jafar al-Khuldi – rahimahullah – yang berkata: Ibnu Zairi, salah seorang sahabat al-Junaid telah dibukakan sedikit kenikmatan duniawi sehingga la terputus dengan kaum fakir. Suatu ketika la datang kepada kami, sementara di pakaiannya terdapat kantong berisikan dirham yang cukup banyak. Ketika melihat kami dari kejauhan ia, berkata, “Wahai sahabat-sahabat kami, jika kalian sangat bangga dengan kefakiran, sementara kami bangga dengan kekayaan lalu kapan kita bisa bertemu?” Akhirnya ia melemparkan seluruh uang di kantongnya kepada kami.

Abu Said al-A`rabi berkata: Ada seorang pemuda menemani Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi. Kemudian selama beberapa waktu la menghilang dari al-Qalanisi. la kembali dari pengembaraannya setelah terbukakan pintu dunia dan mendapatkan harta. Kemudian kami berkata kepada al-Qalanisi, “Apakah Anda mengizinkan kami untuk datang mengunjunginya?” la menjawab “Tidak, sebab la berteman dengan kita dalam kondisi fakir. Andaikan la tetap pada kondisi semula, seyogyanya kami akan pergi mengunjunginya. Tapi apabila la kembali dari pengembaraannya dalam kondisi seperti ini maka ia yang wajib mengunjungi kami”

Abu Abdillah al-Hushri – rahimahullah – mengisahkan bahwa Abu Hafsh al-Haddad – rahimahullah – tinggal di Ramalah. la membawa dua potong pakaian usang yang di tengah-tangahnya ada uang seribu dinar. la tinggal di sana selama dua, tiga atau empat hari, dimana la tidak mau makan dari uang tersebut. Uang tersebut la berikan pada para fakir sampai habis.

Al-Hushri – rahimahullah – berkata: Di saat-saat krisis pangan kami pernah keluar bersama asy-Syibli mencari sesuatu untuk anak-anaknya. Kemudian kami masuk ke rumah seseorang dan orang itu memberinya sejumlah dirham. Kemudiankami keluar dan di kantongku telah penuh dengan dirham. Setiap berjumpa orang-orang fakir kami berikan uang itu hingga hanya tersisa sedikit. Aku berkata kepada asy-Syibli, “Tuan, anak-anak di rumah sedang kelaparan!” la balik bertanya kepadaku, “Lalu apa yang mesti aku lakukan?” Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, baru aku membeli sedikit makanan dengan sisa dirham tersebut dan kuberikan kepada anak-anaknya.

Dikisahkan dari Abu Jafar ad-Darraj -rahimahullah- yang berkata: Suatu ketika guru aku keluar untuk bersuci. Sementara itu aku mengambil tempat yang la gunakan untuk menyimpan barang-barangnya dan kuperiksa. Ternyata kutemukan loggam perak kira-kira senilai empat dirham. Aku bingung dengan barang ini. Sementara itu dalam beberapa hari aku tidak makan apa-apa. Ketika la pulang aku berkata padanya, “Dalam tempat tuan menyimpan barang-barang, aku temukan logam perak. Sementara pada saat itu aku dalam kondisi kelaparan.”

Lalu ia bertanya padaku, “Wah! Anda ambil barang itu? Tolong kembalikan!” kemudian setelah itu la berkata lagi padaku, “Silakan ambil uang itu, dan silakan Anda membelikannya sesuatu!” Kemudian aku bertanya, “Atas Nama Tuhan Yang engkau sembah, ada apakah dengan uang perak itu?” la menjawab, “Allah tidak pernah memberiku rezeki sedikit dari dunia, baik logam kuning maupun logam putih selain logam perak tersebut. Aku ingin berwasiat agar logam perak tersebut dikubur bersamaku saat aku mati. Sehingga ketika hari Kiamat tiba aku ingin mengembalikannya pada Allah swt. dan kukatakan, `Wahai Tuhanku, inilah sedikit dunia yang Engkau berikan padaku.”

Wazir al-Mutadh pernah memberi uang kepada Abu al-Husain an-Nuri -rahimahullah- sehingga ia mau membagikannya kepada kaum Sufi. Kemudian an-Nuri menuangkan uang itu dalam sebuah rumah dan ia kumpulkan para Sufi di Baghdad. la berkata kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang memerlukan sesuatu silakan masuk rumah ini dan ambil apa yang la inginkan.”

Maka di antara mereka ada yang mengambil seratus dirham, ada yang mengambil lebih banyak, ada yang kurang dari seratus dan ada pula yang tidak mengambil apa-apa. Ketika dirham-dirham itu habis dan tidak tersisa sedikit pun maka an-Nuri berkata kepada mereka, “Jauhnya kalian dari Allah sesuai dengan kadar banyaknya kalian mengambil uang tersebut. Sedangkan dekatnya kalian dengan Allah sesuai dengan kadar kalian meninggalkan uang tersebut.”

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338223/kekayaan-bisa-dangkalkan-iman-dan-tanduskan-jiwa#sthash.pn2U3VTs.dpuf

Mensyukuri Nikmat Allah Berupa Kekayaan (3)

Firman Allah Ta’ala,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah: 245)

Ibnul Qayyim Rahimahullah menerangkan, “Allah menamakan infak ini dengan sebutan pinjaman yang baik, untuk memberi dorongan kepada jiwa dan membangkitkan hasrat untuk memberi. Ketika orang yang berinfak mengetahui bahwa hartanya akan kembali lagi kepadanya, tentu akan membuat jiwanya suka dan mudah baginya untuk mengeluarkan hartanya.

Jika orang yang memberi pinjaman mengetahui, bahwa orang yang meminjam adalah orang yang baik dan selalu menepati janjinya, tentu akan membuat jiwanya terasa lapang sehingga ia senang dalam membantunya.

Jika ia mengetahui, bahwa orang yang meminjam akan menggunakan uang pinjamannya untuk berdagang, dan mengembangkannya hingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, maka pinjaman yang ia berikan akan membuat jiwanya lebih terasa tenang.

Jika ia mengetahui, bahwa dengan berinfak akan menjadikannya mendapatkan tambahan anugerah dan karunia Allah Ta’ala, berupa pahala yang lain dari selain pahala ‘pinjaman’ itu sendiri, maka sesungguhnya pahala itu merupakan bagian yang agung dan karunia yang mulia.

Seseorang yang tidak tergerak hatinya untuk memberikan ‘pinjaman’ kepada Allah Ta’ala, adalah orang yang mempunyai penyakit kikir di dalam hatinya, dan rasa kurang percaya terhadap jaminan yang diberikan kepadanya, dan itu menunjukkan kelemahan imannya. Oleh karena itu, sedekah menjadi bukti kebenaran keimanan seseorang.”

Wahai para hamba Allah, bertakwalah kepada Allah, infakkanlah sebagian dari harta yang telah Dia berikan kepadamu, dan perbanyaklah sedekah secara tersembunyi, karena hal itu dapat memadamkan murka Allah.

Bantulah para janda, orang-orang yang membutuhkan pertolongan, anak-anak yatim, dan orang-orang yang berada dalam kesusahan. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para shahabatnya.

 

 

sumber: Fimadani1907462

Mensyukuri Nikmat Allah Berupa Kekayaan (2)

Kadangkala, Allah Ta’ala menjadikan banyak nikmat dan kebaikan itu, untuk memperdaya orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, sebagaimana yang telah kita dengar dari umat-umat terdahulu, juga kita saksikan menimpa umat-umat dan negara-negara sekarang ini, sebagaimana firman-Nya Ta’ala,

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذَاقَهَا اللهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat. (QS. An-Nahl: 112)

Hilang dan lenyapnya nikmat dari seseorang disebabkan oleh berbagai macam maksiat dan dosa yang dilakukannya, serta tidak adanya rasa syukur dan pujian kepada Allah Jalla wa ‘Ala Yang Maha Memiliki kebaikan dan karunia.

Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin selalu berusaha untuk mensyukuri nikmat, dengan mengetahui hak Allah Ta’ala dan hak-hak hamba-Nya yang berhubungan dengan nikmat tersebut.

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, ”Hendaklah seseorang mengambil   harta   dengan kemurahan jiwanya agar mendapatkan keberkahan padanya, tidak mengambilnya secara boros dan penuh keluh kesah, bahkan hendaknya harta yang ia miliki bagaikan toilet yang sewaktu-waktu ia butuhkan, tetapi tidak ada tempat sedikitpun di dalam hatinya, dan ketika berusaha mendapatkan harta ibarat ia membersikan toiletnya.”

Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah menuturkan, ”Hendaknya harta yang dimilikinya, ia pergunakan sesuai dengan kebutuhannya dalam posisi seperti keledai yang ia tunggangi, permadani yang ia duduki, bahkan seperti kamar kecil tempat ia membuang hajatnya, tanpa harus memperbudak dirinya, dimana ia suka mengeluh, apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat harta dia jadi kikir.”

 

sumber: Fimadani

Mensyukuri Nikmat Allah Berupa Kekayaan

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membagi rezeki dengan ilmu-Nya, memberi orang yang dikehendaki dengan hikmah-Nya, menahan pemberian dari orang yang dikehendaki dengan keadilan-Nya, dan menjadikan sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain. Firman Allah Ta’ala,

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Az-Zukhruf: 32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menuturkan,

“Kemiskinan pantas untuk banyak orang, sementara kekayaan tidak pantas kecuali untuk sedikit orang. Oleh karena itu, orang yang banyak masuk surga adalah orang-orang miskin; karena cobaan berupa kemiskinan lebih ringan, dan dua hal tersebut berupa kekayaan dan kemiskinan membutuhkan kesabaran dan rasa bersyukur.

Akan tetapi, ketika di dalam kesenangan terdapat ketenangan jiwa dan di dalam penderitaan terdapat hal-hal yang menyakitkan. Maka, yang utama adalah bersyukur ketika berada dalam kondisi senang dan bersabar di dalam kondisi menderita.”

Banyak ayat Al-Qur`an yang menjelaskan tentang ancaman terhadap kemewahan dan orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan, diantaranya firman Allah Ta’ala,

حَتَّى إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِمْ بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ

Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong. (QS. Al-Mu’minuun: 64)

Firman Allah Ta’ala tentang golongan orang-orang yang celaka,

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ

Sesungguhnya mereka sebelum itu (dahulu) hidup bermewah-mewah.(QS. Al-Waaqi’ah: 45)

Firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (QS. Al-Israa`: 16)

Firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

“Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, ‘Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan.” (QS. Saba`: 34)

 

sumber: Fimadani