Berikut ini tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Menafsirkan ayat suci Al-Qur’an bukanlah aktivitas yang bisa dilakukan secara sembarangan. Jika upaya untuk memahami kalam Ilahi ini tidak dilandasi dengan ilmu, justru berpotensi menjadi salah tafsir. Di antara beberapa penyebab kesalahan tafsir adalah asal ambil ayat dan dipahami secara harfiah atau letterlijk.
Salah Satu Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an, Dr. H. Muchlis Muhammad Hanafi menyoroti secara serius persoalan ini. Ia memberikan contoh jika seseorang asal memahami ayat dengan harfiah atau melalui terjemahan belaka, tanpa melihat konteks yang melingkupi turunnya ayat yang dipahami.
Misalnya dalam QS. At-Taubah [9]: 29 berikut ini:
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah) dengan patuh dan mereka tunduk.” (QS. At-Taubah [9]: 29)
Ayat tersebut, jika hanya mengandalkan terjemahan dan pemahaman harfiah saja maka akan ditemukan kata perintah yang sangat ekstrem, yaitu perangilah. Bagi Muchlis Hanafi, ini jika dipahami sepotong-potong bisa betul-betul terjadi peperangan tanpa pandang bulu.
Orang yang ekstrem karena salah memahami ayat tersebut bisa saja melihat orang-orang kafir (bukan muslim) sedang jalan di pasar, di tempat wisata, dan lainnya lalu dia bunuh. Ini mungkin terjadi karena memahami ayat secara parsial (secara sepotong-sepotong).
Padahal, jika mau menilik kitab tafsir ada penjelasan terkait konteksnya. Misalnya dalam Hasyiyah Al-Shawi ala Tafsir Jalalain (penjelasan atas Kitab Tafsir Jalalain oleh Syekh Shawi Al-Maliki).
Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa konteks turunnya At-Taubah ayat 29 ini merespon adanya perang Tabuk, suatu perang yang diluncurkan oleh Kekaisaran Bizantium Romawi Timur terlebih dahulu untuk membalas dendam atas kekalahan mereka saat peperangan Mu’tah awal abad ketujuh.
Ini menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah langkah defensif (pertahanan), bukan ofensif (penyerangan).
Mengingat Kejamnya Ibnu Muljam terhadap Ali bin Abi Thalib
Muchlis Hanafi kemudian berpindah kepada QS. Al-Maidah [5]: 44 berikut:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah [5]: 44).
Bagi Hanafi, ayat ini jika tidak dipahami dengan holistik dan penuh pertimbangan dengan basis keilmuan, maka akan menganggap siapapun yang tidak menerapkan hukum Allah maka mereka adalah orang kafir, dan jika kafir maka halal darahnya. Seseorang dengan pemahaman seperti ini melihat Indonesia pasti sebagai negara thaghut, dan harus diganti dengan asas Islam/ khilafah.
Pemahaman seperti ini padahal sangat parsial, secara konteks saja ayat tersebut berbicara mengenai orang Yahudi yang kafir dan tidak berpegang pada kitab suci mereka. Hal ini terdapat dalam Tafsir Al-Thabari.
Selain itu, definisi mengenai hukum Allah ini terjadi perbedaan. Ada yang menyebut bahwa hukum Allah adalah hukum yang dinisbahkan kepada firman Allah, ada juga yang menyebut ijtihad hukum yang dipegang oleh manusia untuk kemaslahatan atau maqasid syariah. Dari ragam definisi tersebut, ada kelompok yang sejak era klasik Islam menggebu dengan pemahaman mereka sendiri, mereka adalah kelompok Khawarij.
Salah satu tokoh Khawarij adalah Ibnu Muljam, sosok yang membunuh Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Ibnu Muljam dan kawannya yang lain melihat Ali bin Abi Thalib sebagai orang kafir dan halal darahnya, karena menerima arbitrase/tahkim dari Muawiyah yang ia nilai menyalahi hukum Allah.
Pemahaman yang parsial dan harfiah ini kemudian menjadikannya sosok yang penuh amarah dan kebencian. Padahal, ia dikenal sebagai orang yang hafal Al-Qur’an dan rajin beribadah. Hingga suatu saat shalat subuh pada 17 Ramadhan 40 H/661 M, Ibnu Muljam rela membunuh Ali bin Abi Thalib.
Contoh tersebut merupakan kejadian nyata yang perlu dipertimbangkan. Betapa fatalnya penafsiran seseorang atas suatu ayat yang asal ambil saja dan dipahami dengan harfiah. Semoga kita terhindar dari pemahaman yang demikian.
Demikian penjelasan terkait tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.