suami

Wahai Suami, Segeralah Pulang ke Rumah

Apabila seseorang pergi safar ke luar, hendaknya dia segera pulang ke rumah apabila segala urusannya telah selesai. Agar istri dan keluarga di rumah tidak lama menunggu. Istri juga butuh dengan suami dan anak-anak juga butuh dengan bapaknya. Hendaknya hal ini menjadi perhatian para suami dan ayah, karena terkadang ada oknum yang sering safar dan keluar rumah mencari kebahagiaan sendiri tanpa memperhatikan anak dan istrinya.

Terdapat hadits yang menjelaskan hal ini, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أهْلِهِ

“Jika salah seorang dari kalian telah selesai dari tujuan/kebutuhan berpergiannya (safar), maka hendaknya dia kembali kepada keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini bahwa (segera) kembali ke rumah dan keluarganya itu agar dia tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat ketika safar di luar. Beliau rahimahullah berkata,

المقصود فى هذا الحديث استحباب تعجيل الرجوع إلى الأهل بعد قضاء شغله ولا يتأخر بما ليس له بمهم

“Maksud dari hadits ini adalah sunahnya menyegerakan kembali pulang ke keluarganya setelah menunaikan semua tugas (hajat). Hendaknya jangan menunda dengan melakukan hal yang bukan menjadi tugas (tujuan safar)” (Syarh Muslim, 13: 70).

Sebenarnya kebahagiaan sejati itu di rumah bersama keluarga, istri, dan anak-anaknya. Seseorang yang tidak bahagia di rumahnya, maka dia akan sulit bahagia di luar rumah. Sekiranya dia merasa bahagia, itu adalah kebahagiaan semu dan sebentar saja. Seorang muslim harus bahagia di rumahnya. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu hajar Al-Atsqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. Beliau rahimahullah berkata,

قال ابن حجر: وفي الحديث كراهة التغرب عن الأهل لغير حاجة، واستحباب استعجال الرجوع ولا سيما من يُخشى عليهم الضَّيعة بالغيبة، ولما في الإقامة في الأهل من الرَّاحة المعينة على صلاح الدِّين والدنيا

“Hadits ini menjelaskan makruhnya menjauh dari keluarga tanpa hajat. Sunnahnya adalah segera kembali, terlebih jika dikhawatirkan akan menyia-nyiakan keluarga selama dia pergi.  Segera pulang dan tinggal bersama keluarga akan memberikan rasa tenang/lapang yang dapat menjaga kemaslahatan agama dan dunia” (Fathul Bari, 6: 10).

Syaikh Musa Syahin Lasyin menjelaskan juga bahwa dengan segera kembali ke keluarga dan rumah, dia akan terlepas dari kesusahan selama safar. Meskipun di zaman ini safar cukup mudah dengan berbagai kemudahan sarana dan prasarana transportasi. Akan tetapi tetap saja bahwa yang namanya safar itu sulit dan kurang nyaman. Syaikh Musa Syahin Lasyin berkata,

وإذا قضى أحكم حاجته التي سافر من أجلها فليعجل العودة إلى أهله، ليتخلص من عذاب السفر، وليريح أهله

“Apabila salah seorang dari kalian telah menunaikan hajatnya ketika safar, hendaknya segera kembali ke keluarganya agar segera terlepas dari kesusahan safar dan menyenangkan keluarganya” (Fathul Mun’im, 7: 200).

Safar adalah bagian dari azab sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ

Safar itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga secara umum dan menimbang adab dan tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Ketika suami keluar rumah (tidak harus safar), hendaknya segera pulang ke rumah apabila hajatnya telah selesai. Misalnya, apabila sudah selesai pergi kajian dan tidak ada urusan penting, hendaknya segera pulang. Jangan sampai setelah kajian, malah dilanjutkan dengan majelis kopi (ngobrol) bersama teman-temannya, sedangkan istrinya menunggu di rumah. Bagaimanapun juga, istri dan anak kita adalah yang paling berhak mendapatkan kebaikan kita. Sebelum orang lain merasakan manfaat dari kita berupa akhlak dan bantuan, hendaknya kita pastikan bahwa anak dan istri kita adalah orang yang paling pertama merasakan manfaat tersebut. Oleh karena itu, orang yang terbaik adalah orang yang paling baik terhadap istri dan anak-anaknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR At-Tirmidzi. Lihat As-Shahihah no 284).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku” (HR At-Tirmidzi. Lihat As-Shahihah no 285).

Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata menjelaskan hadits tersebut,

في ذلك تنبيه على أعلى الناس رتبة في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان خير الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب النفع ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من ذلك فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرا ما يقع الناس في هذه الورطة، فترى الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعهم نفسا وأقلهم خيرا، وإذا لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه وكثر خيره، ولا شك أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق، نسأل الله السلامة

“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang paling tinggi kebaikannya dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat, dan penolakan mudharat (bahaya). Jika seorang lelaki bersikap demikian, maka dia adalah orang yang terbaik. Namun jika keadaannya adalah sebaliknya, maka dia telah berada di sisi yang lain, yaitu sisi keburukan.

Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini. Engkau melihat jika seorang pria bertemu dengan istrinya, maka dia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan paling sedikit kebaikannya. Namun jika dia bertemu dengan orang lainmaka dia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang sikap pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang demikian kondisinya, maka dia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah” (Nailul Authar 6: 245-256).

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id