Waspadai Bahaya Lisan, Gunakan untuk Berzikir

NABI Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. (Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kepada hal yang makruh atau haram. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, semestinya dia tahu akan bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:

Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qaaf: 18)

Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa zikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju neraka pun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’, kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik. Sebaliknya jika tidak, hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir.

Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114)

Orang-orang sufi yang tekun menggunakan mulutnya untuk berzikir daripada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin bahwa manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan karena lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi. Perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu?“Hasan Al Bashri lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya. Setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapa pun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita.“ Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati.”

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.

Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar-peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah, dan kebenaran. Tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan di mana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itu pun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman:

Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (Al-Nahl: 125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya’ apabila lawan berkata ‘tidak’, dan berkata ‘tidak’ apabila lawan berkata ‘ya’.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter’ yang tidak pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang. Di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan hasil yang baik bahkan disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘men-skor’ pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Al Quran yang berlangsung antara Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan Yahudi dan Nashara, bahkan dengan kaum musyrikin, menjadi contoh untuk dipelajari, dari segi akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam surah Saba’ ayat 24-26, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.” Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar, dan Dia-lah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.”

Debat Nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi para dai yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan Nabi. Mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Bahaya Lisan, penulis: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali)

 

HIDAYATULLH