Sebelum mualaf, Yohanes sempat mengalami mimpi buruk yang menggelisahkan.
Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan, cahaya petunjuk Ilahi mungkin saja datang tidak hanya sekali. Dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, seorang insan memang memerlukan tuntunan menuju jalan yang lurus (shirat al-mustaqim).
Yohanes Wahyu Kusnaryo merasakan karunia tersebut. Kepada Republika, ia mengaku bersyukur karena Allah Ta’ala menghendakinya agar kembali kepada kebenaran. Sebab, dirinya sebelum itu selalu menganggap remeh perkara keimanan dan ketakwaan.
Wahyu, demikian sapaan akrabnya, bukanlah Muslim sejak lahir. Lelaki kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut dibesarkan dengan latar belakang Katolik. Barulah setelah beranjak dewasa, dua kalimat syahadat diucapkannya. Itu pun dipandangnya sebagai proses belaka untuk dapat menikah dengan seorang Muslimah.
Pernikahan itu berlangsung dengan didahului dinamika. Sebelum tanggal akad nikah ditentukan, Wahyu telah berdiskusi dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya itu. Perbedaan keyakinan memang sempat menjadi persoalan dalam hubungan keduanya. Maka menjelang akad nikah, Wahyu meyakinkan wanita pujaan hatinya itu bahwa dirinya akan mengalah.
Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP.
“Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP (identitas) saja,” ujar pria yang kini berusia 34 tahun tersebut.
Ikrarnya untuk menjadi seorang Muslim diucapkan di Masjid Condro Kiranan pada 26 Juni 2011. Wahyu mengakui, saat itu keislamannya masih pada taraf permukaan. Dalam arti, dia belum sungguh-sungguh memahami apa hakikat dan konsekuensi dari iman dan Islam yang dipilihnya.
Apalagi, kenang Wahyu, pada waktu itu geliat keislaman agaknya belum seperti sekarang. Tidak begitu banyak lembaga atau takmir masjid yang memiliki fokus untuk penguatan iman kalangan mualaf. Ia sendiri tidak berminat kala itu untuk mencari ustaz atau guru yang dapat membimbingnya.
Maka, Wahyu menjalani rutinitas nyaris seperti dahulu masih non-Muslim. Memang, ia mengetahui adanya kewajiban, semisal shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau berzakat. Akan tetapi, semua ibadah wajib itu ditinggalkannya. Kalau ada yang dilaksanakan, itu pun seingatnya saja.
Malahan, kira-kira dua bulan sejak menikah, Wahyu terjerumus dalam dunia malam. Ia cenderung mudah tertarik pada lingkungan jahiliah, yakni gemar memuaskan hawa nafsu semata. Gaya hidupnya sangat jauh dari prinsip-prinsip Islami. Shalat ditinggalkannya. Minuman keras tak ragu ditenggaknya.
Puncaknya, Wahyu kemudian menjadi seorang pecandu narkoba. Pergaulan yang tidak baik mempengaruhinya sehingga gemar mengonsumsi barang haram tersebut. Kalau sedang sakau, ia sering tergeletak tak berdaya di dalam rumahnya. Keadaan itu membuat orang-orang di sekitarnya merasa miris.
Pada suatu siang, Wahyu merasakan pusing yang teramat sangat sesudah memakai narkoba. Ia pun tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi sedang berada dalam satu ruangan yang terbakar.
“Biasanya jika bermimpi, tidak akan terasa apa pun di badan kita. Tetapi ini aneh, saat di ruangan yang terbakar, saya terasa panas dan sakit sekali, dari ujung kaki hingga kepala. Seketika saya terbangun dan mengucapkan istighfar,” tutur dia.
Wahyu mengenang, istighfar adalah lafal yang saat itu seumur-umur jarang diucapkannya. Maka, spontanitasnya dalam beristighfar membuatnya tertegun. Setelah mencuci muka, dirinya kembali duduk dalam kesunyian.
Yang tergambar dalam benaknya hanyalah kematian. Sebagai orang beriman, dia pun meyakini adanya kehidupan sesudah mati, serta surga dan neraka. Bayangan tentang ruangan yang terbakar dalam mimpinya barusan otomatis mengantarkan imajinasinya ke perkara siksa neraka. Ketakutan menghantuinya.
Bagaimanapun, dalam kondisi demikian pikiran dan jiwanya kembali tenang. Sebab, suara azan terdengar dari arah masjid di dekat rumah. Lafaz Allah yang diucapkan sang muazin membuatnya tersadar.
Maka, berulang kali Wahyu menggumamkan istighfar. Sesudah itu, lisannya mengucapkan asma Allah berulang kali. Ibadah zikir ini baru kali itu dilakukannya dengan kesungguhan hati.
Sejak saat itu, Wahyu berkomitmen untuk meninggalkan segala maksiat yang telah dilakukannya termasuk obat-obatan terlarang. Wahyu mulai belajar shalat, rajin ke masjid ketika azan sudah berkumandang.
Wahyu kembali ke titik nol. Dia mempelajari shalat dari teman di shaf depan. Dimulai dengan menghafal gerakan-gerakan dan bacaan shalat.
Wahyu bersyukur, proses hijrahnya ini dipermudah oleh Allah SWT. Di masjid, dia bertemu banyak orang-orang baik.
Hingga satu hari dipertemukan dengan mualaf center Yogyakarta dan diajak untuk ikut menjadi relawan. Dia ikut membantu menangani mualaf yang butuh bantuan sepertu konflik dengan keluarga non-Muslim hingga konflik proses pemakaman mualaf.
Setelah satu tahun hijrah, Allah memberikan rezeki. Wahyu mendapat hadiah umrah dari hamba Allah yang dermawan. Akhir 2018, dia berangkat ke Jakarta karena travel umrahnya berada di kota tersebut.
Dia pun bertemu dengan komunitas garasi hijrah yang memiliki program hapus tato. Karena mereka tahu, Wahyu memiliki tato dan akan berangkat umrah maka mereka memberikan layanan hapus tato secara cuma-cuma.
Takdir Allah berkata lain. Ternyata, perusahaan biro perjalanan umrah yang akan melayaninya bermasalah. Alhasil, ia pun batal berangkat umrah. Karena tak ada pilihan lain, dia lantas kembali ke Yogyakarta.
Komunitas Garasi Hijrah mendengar kabar tersebut. Para sahabatnya di sana kembali mencarikan donatur agar Wahyu bisa berangkat ke Tanah Suci. Upaya ini kemudian mewujud kenyataan.
Allah merestuinya untuk menjadi tamu-Nya di Baitullah. Dua bulan sejak kegagalannya pergi ke Tanah Suci, yakni pada Februari 2019, Wahyu akhirnya berangkat umrah.
Hingga saat itu, dia tidak 100 persen gembira. Ia dihantui “mitos” bahwa Tanah Suci menjadi tempat pembalasan dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim.
“Sempat ketakutan mendengar cerita sebelumnya bahwa di Tanah Suci kita merasakan balasan dari perbuatan. Karena, saat kita berbuat dosa, maka sesampainya di Tanah Suci akan dibalas. Apalagi saya waktu itu merasa banyak melakukan dosa,” kenangnya.
Wahyu bersyukur, ketakutan dan kegelisahannya itu ternyata tidak terjadi. Bahkan, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Mualaf tersebut mendapatkan rizki yang tak terduga sejak sebelum keberangkatan.
Ketika di Bandar Udara Soekarno-Hatta, ada seorang hamba Allah yang tidak dikenal memberinya uang dengan mata uang riyal yang jumlahnya sangat banyak. Ketika Wahyu belanjakan di Saudi pun tidak habis dan sampai di Indonesia sisa uang tersebut masih sangat banyak.
Hanya saja, ada beberapa orang Arab yang marah kepada saya karena tato yang belum hilang seluruhnya. Dia menghina Wahyu dan mengharamkan tindakan Wahyu dengan mentato tubuhnya.
Wahyu hanya tersenyum menanggapi hinaan itu, tapi dia tak berhenti menghinanya. Baru setelah pembimbing umrah yang mengerti bahasa Arab menjelaskan bahwa dia baru saja hijrah, orang tersebut meminta maaf dan berdoa untuknya.
Umrah kali itu diniatkan Wahyu untuk memanjatkan doa segala keinginanya. Salah satunya adalah agar keluarganya bisa mengikuti jejaknya untuk mualaf dan hijrah.
Karena ibunya telah meninggal dunia satu tahun setelah Wahyu bersyahadat, kini harapannya ada pada sang ayah. Wahyu berharap ayahnya dapat membuka hatinya untuk Islam.
Sepulang umrah, Wahyu memutuskan untuk pindah rumah dari Kota Yogyakarta ke Bantul. Ayahnya pun mengikutinya karena Wahyu merupakan anak tunggal.
Ayahnya perlahan tertarik dengan Islam karena melihat perubahan perilaku Wahyu yang semakin baik. Dahulu menjadi anak nakal kini berubah menjadi anak yang saleh.
Ayahnya kemudian membuka hati dan mengucapkan syahadat tepat 8 Januari 2020. Belum genap dua bulan menjadi Muslim, Allah memanggilnya Maret 2020.
“Mungkin bapak tertarik Islam karena melihat perilaku saya yang menjadi lebih baik,” jelas dia.
Tak hanya ayahnya, temannya yang mendengar Wahyu kini telah berubah mulai tertarik dan bertanya-tanya. Awalnya teman ini masih berdebat dan membela agama sebelumnya.
Bahkan dia yang juga menjadi teman nakal selama 15 tahun mengajak Wahyu kembali ke dunia hitam ternyata tak berhasil. Malah terlihat Wahyu semakin khusyuk beribadah. Tak lama temannya ini meminta untuk dibimbing bersyahadat.
Sembari berdakwah, Wahyu juga masih perlahan belajar mengaji. Dia bertemu dengan hamba Allah keturunan Arab dan mengetahui dia mualaf. “Saat itu saya ditunjuk menjadi imam. Karena khawatir, saya kemudian bercerita jika saya mualaf dan tidak lancar membaca Alquran,” jelas dia.
Sejak saat itu, pengusaha keturunan Arab tersebut mengajaknya untuk belajar mengaji di rumah. Sebelum lockdown, dia mengundang ustaz dan membiayai ustaz tersebut untuk mengajarkan Wahyu mengaji.
Wahyu mengaji empat kali dalam sepekan. Namun karena pandemi Covid-19, mengaji tatap muka pun dihentikan. Saat ini Wahyu sudah bisa membaca Alquran meskipun belum terlalu lancar.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI