Berdoa kepada Allah

Renungan dari dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Mahadekat. Aku akan mengabulkan doa orang yang meminta ketika dia menyeru/berdoa kepada-Ku. Oleh sebab itu, hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku dan beriman kepada-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّكُمْ ليسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهو معكُمْ

“Sesungguhnya kalian tidaklah menyeru/berdoa kepada Zat yang tuli ataupun tidak hadir (tidak melihat). Sesungguhnya yang kalian seru adalah Yang Maha Mendengar lagi Mahadekat, sementara Dia (Allah) senantiasa bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syekh Abdullah Al-Ghunaiman hafizhahullah menjelaskan,

لأصم: الذي لا يسمع، والغائب: لا يبصر، ومعنى ذلك أن الله سميع بصير، فالذي تدعونه سميعاً بصيراً، يسمعكم وإن أخفيتم الذكر، ويراكم ولا يخفى عن نظره شيء، لا في بواطنكم ولا في ظواهركم؛ لأن نظر الله جل وعلا لا يحجبه حائل

“Yang tuli maksudnya adalah yang tidak bisa mendengar, sedangkan gaib/tidak hadir di sini maksudnya adalah tidak melihat. Artinya bahwa Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Zat yang kalian seru itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dia bisa mendengar kalian walaupun kalian lirihkan zikir. Dan melihat kalian dan tidak ada sedikit pun yang tersembunyi dari pandangan-Nya, baik itu urusan batin maupun lahir. Karena sesungguhnya pandangan Allah tidak terhalangi oleh sesuatu apa pun.” (Syarh Aqidah Wasithiyah)

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan perkataan Nabi Shalih kepada kaumnya,

فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ

“Maka, mintalah ampunan kepada-Nya dan bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan doa.” (QS. Hud: 61)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada suatu perkara yang lebih mulia bagi Allah Ta’ala daripada doa.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 3370.)

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Doa adalah hakikat dari ibadah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 3372.)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu, beliau membaca ayat,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahanam dalam keadaan hina.’ (QS. Ghafir: 60)” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 1856)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 3373.)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya ketika dalam keadaan sempit dan susah, hendaklah dia memperbanyak doa ketika dalam keadaan lapang.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 3382)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan senantiasa bersama-Nya selama dia berdoa kepada-Ku.’ ” (HR. Muslim no. 2675)

Fakirnya kita di hadapan Allah

Di antara perkara penting yang ditanamkan dalam akidah Islam adalah keyakinan tentang fakirnya segenap makhluk di hadapan Allah. Allahlah Yang telah menciptakan segala sesuatu. Allah Mahakaya, sementara setiap makhluk butuh kepada-Nya.

Allah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلْفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلْغَنِىُّ ٱلْحَمِيدُ

Wahai manusia, sesungguhnya kalian semua adalah fakir/miskin dan butuh kepada Allah, dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Bagaimana tidak? Sementara kita adalah makhluk ciptaan-Nya. Dia yang memberikan segala bentuk nikmat dan kemudahan bagi kita sejak kita berada di rahim ibu hingga terlahir dan berkembang menjadi dewasa. Tidak bisa satu detik pun kita terlepas dari bantuan dan pertolongan-Nya.

Dari sini, kita mengetahui bahwa orang yang mulia adalah orang yang diberi taufik dan pertolongan oleh Allah, sedangkan orang yang hina adalah yang ditinggalkan oleh Allah akibat keangkuhan dan penyimpangannya dari jalan Allah. Oleh sebab itu, Allah menyebut para nabi dan orang-orang saleh sebagai orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya. Sebab, semua kebaikan yang mereka raih adalah anugerah dan bentuk kasih sayang Allah kepada mereka.

Orang yang menyadari hal ini, maka dia akan selalu tunduk beribadah kepada Allah. Merasa butuh bantuan dan pertolongan-Nya di setiap waktu dan kesempatan. Dia berdoa kepada Allah dengan penuh harap dan cemas. Dia mengharapkan rahmat Allah dan takut akan azab-Nya. Dia murnikan ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya.

Allah berfirman menceritakan sosok Musa ‘alaihis salam yang berkata,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Wahai Rabbku, sesungguhnya aku terhadap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku, maka sungguh aku berada dalam keadaan fakir/sangat membutuhkannya.” (QS. Al-Qashash: 24)

Kita adalah hamba Allah. Maka, kita wajib tunduk dan patuh sepenuhnya kepada Allah. Wajib mengikuti perintah dan larangan Allah. Inilah hakikat dari penghambaan kepada Allah. Perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya.

Allah menceritakan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Bani Isra’il,

إِن تَكۡفُرُوۤا۟ أَنتُمۡ وَمَن فِی ٱلۡأَرۡضِ جَمِیعࣰا فَإِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِیٌّ حَمِیدٌ

“Jika kalian kafir dan juga seluruh yang ada di bumi, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 8)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, maslahat ibadah tidaklah kembali kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan mereka dan tidak juga ibadah-ibadah mereka. Seandainya mereka semua kafir, maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah sama sekali. Dan seandainya mereka semua taat, maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa di dalam kerajaan-Nya.” (Da’watu At-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hal. 8)

Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya dalam kebaikan.

***

Selesai disusun ulang di Masjid Jami’ Al-Mubarok YAPADI Donotirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul.

Ahad, 8 Muharram 1446 H

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/96430-berdoa-kepada-allah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Kedustaan Fenomena “Cek Khodam” Menurut Pandangan Syariat

Akhir-akhir ini, fenomena “cek khodam online” ramai dibicarakan di media sosial. Praktisi spiritual mengklaim dapat melihat bentuk atau jenis jin khodam yang mendampingi seseorang hanya dengan mengetahui nama mereka, bahkan melalui siaran langsung (live). Layanan ini sering kali berbayar. Namun, bagaimana pandangan syariat tentang fenomena ini? Berikut penjelasannya.

Keberadaan Jin dalam Islam

Kisah tentang keberadaan jin dimulai saat Allah Ta’ala menciptakan Nabi Adam ‘alaihis salam. Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, tetapi Iblis menolak karena kesombongan. Allah berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam.’ Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur (sombong) dan dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Setelah berhasil menggoda Adam dan Hawa sehingga mereka keluar dari surga, Allah berfirman:

“Lalu keduanya (Adam dan Hawa) digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari tempat yang sebelumnya mereka tempati (yaitu surga). Kami berfirman, ‘Turunlah kalian (yaitu Adam, Hawa, dan Iblis)! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di muka bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.'” (QS. Al-Baqarah: 36)

Jin Qarin yang Mendampingi Manusia

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa setiap manusia memiliki qarin dari kalangan jin dan malaikat. Namun, qarin Rasulullah masuk Islam dan hanya memerintahkan kebaikan. Dari sini kita belajar bahwa jin qarin umumnya berusaha menyesatkan manusia.

Jin Khodam: Mitos atau Fakta?

Khodam berarti “pembantu,” dan istilah “jin khodam” sering digunakan untuk jin yang diklaim membantu manusia. Namun, dalam Al-Quran, Nabi Sulaiman ‘alaihis salam memohon kepada Allah agar diberikan kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapapun setelahnya, termasuk kekuasaan atas jin. Allah Ta’ala mengabulkan doa ini, sehingga hanya Nabi Sulaiman yang diberi kemampuan menundukkan jin, dan tidak ada manusia lain yang memiliki kemampuan ini.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak ingin mengendalikan jin karena mengingat doa Nabi Sulaiman. Jadi, jika ada orang yang mengklaim memiliki jin khodam, sebenarnya manusia itu yang melayani jin, bukan sebaliknya. Jin bisa saja membantu manusia untuk memperkuat ketergantungan dan peribadatan kepada jin tersebut.

Bisakah Kita Melihat Jin Qarin?

Al-Quran menyebutkan bahwa manusia tidak dapat melihat jin. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

Namun, jin bisa menampakkan diri dalam rupa lain. Oleh karena itu, klaim seseorang yang mengatakan bisa melihat jin qarin adalah kebohongan dan penipuan.

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/96569-kedustaan-fenomena-cek-khodam-dalam-tinjauan-syariat.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Skenario Netanyahu dalam Pembunuhan Ismail Haniyah

Pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyah adalah bentuk kegagalan penjajah ‘Israel’ memenangkan perang dan mengalahkan pejuang Hamas

Oleh: Pizaro Gozali Idrus

KEPALA Biro Politik Hamas Ismail Haniyah gugur usai rudal ‘Israel’ menghantam ruangan tempatnya menginap di Teheran, Iran pada Rabu (31/7/2024).

Banyak analisa berkelindan di balik pembunuhan ini yang bermuara pada pertanyaan: Apa motif utama ‘Israel’ membunuh Haniyah di Teheran di tengah upaya gencatan senjata yang masih terus berlangsung.

Seperti diketahui usai gagal menaklukan Hamas, Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu telah mengatur ulang arah strateginya. Jika sebelumnya Netanyahu fokus melawan Brigade Izzudin AlQassam di  Gaza yang gagal dimenangkannya, kini Netanyahu mulai fokus menyasar tokoh-tokoh pemimpin utama Hamas yang tinggal di luar Gaza.

Tindakan ini dilakukan Netanyahu untuk menciptakan narasi kemenangan palsu di tengah popularitasnya yang terus merosot. Netanyahu benar-benar dalam posisi sulit karena gagal mencapai tujuan politik untuk memusnahkan Hamas dan menggulingkannya dari kekuasaan di Gaza.

Tidak hanya itu, Netanyahu juga gagal membebaskan tawanan ‘Israel’ lewat operasi militer, kecuali hanya beberapa orang, yang semakin meningkatkan tekanannya di dalam negeri.

Alih-alih membawa sandera pulang, Netanyahu justru terlibat pada pembantaian mengerikan yang menewaskan lebih dari 40.000 warga Gaza.

Oleh karena itu, pembunuhan Haniyah adalah bentuk keputusasaan Netanyahu atas kegagalan militernya menaklukan Hamas dan meningkatnya tekanan internasional.

Haniyah dibidik karena dia merupakan mastermind dari gerakan Hamas paska Syeikh Ahmad Yassin dan Dr. Abdul Aziz Rantisi. Pada Mei 2017, Haniyah dipilih oleh Dewan Syura Hamas sebagai pemimpin biro politik untuk menggantikan Khaled Mesy’al, yang telah memegang jabatan tersebut sejak tahun 1995.

Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada tanggal 31 Januari 2018 bahwa mereka menambahkan nama Haniyah ke dalam daftar “teroris”.

Faktor lainnya adalah merusak kesepakatan gencatan senjata yang telah disusun negara AS, Qatar, dan Mesir. Netanyahu jelas tidak ingin melihat perang ini berakhir.

Dia tidak pernah peduli terhadap nasib sandera apakah hidup ataupun mati. Jika perang berakhir tanpa kemenangan yang kadung telah dijanjikan, maka akan ada penyelidikan yang dapat membuatnya dimintai pertanggungjawaban dan digulingkan dari kekuasaan.

Keputusasaan Netanyahu pada akhirnya bermuara pada jalan untuk melebarkan perang ke kawasan dan menarik kembali dukungan AS kepada ‘Israel’. Dia jelas tidak ingin diatur oleh kerangka gencatan senjata oleh Biden.

Tepukan tangan kongres AS saat Netanyahu adalah pesan kepada Washington dia akan terus mengobarkan perang.

Analisa menarik juga disampaikan oleh Direktur Center for Islam and Global Affairs (CIGA) Sami Al Arian. Menurutnya, pembunuhan Haniyah adalah cara penjajah untuk meredupkan pengaruh Biden yang secara politis berkepentingan untuk mengakhiri perang ‘Israel’ di Gaza karena kepentingan pemilu AS, dalam posisi yang sulit.

Targetnya adalah memenangkan Partai Republik dalam pertarungan elektoral melawan Partai Demokrat. Biden memang kini dalam situasi yang sangat sulit sebagai imbas dukungan tanpa syaratnya selama ini kepada penjajah.

Jika menekan ‘Israel’, Biden harus berhadapan dengan kemarahan kelompok lobi pro-Zionis dan dapat membuat mereka menarik dukungannya di Pemilu.

Sementara membantu ‘Israel’ hanya akan membawanya ke dalam perang yang lebih luas dan menggerus elektoralnya di depan para pemilih.

Harus dicatat: setelah perang AS membawa bencana di Afghanistan dan Irak, publik Amerika sangat tidak tertarik untuk terlibat dalam perang baru di Timur Tengah.

Netanyahu jelas ingin memberikan pesan dukungannya kepada mantan Presiden Donald Trump, sekutu setia yang memberikan ‘Israel’ semua yang diinginkannya selama masa jabatannya, mulai dari memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem Baitul Maqdis, perjanjian Abraham Accord, hingga membawa empat negara Arab meneken normalisasi dengan ‘Israel’.

Memperluas perang di Timur Tengah, memperpanjang genosida di Gaza, dan menimbulkan ketidakpastian dalam gencatan senajata hanya akan membuat Wakil Presiden Kamala Harris, lebih mungkin dikalahkan dalam pemilu November.

Sebab ketidakstabilan di Timur Tengah hanya akan merugikan pemerintahan yang sedang berkuasa dan membuat kerja-kerja petahana tidak efektif.*

Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue. Kandidat Ph.D pada Center for Policy Research USM Malaysia. Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute

HIDAYATULLAH

Ketika Nasab Tak Menjamin Surga: Hikmah dari Kehidupan Zainul Abidin dan Fenomena Golongan Ba’alawi di Indonesia

Dalam pandangan Islam, Allah SWT menilai hamba-hamba-Nya berdasarkan kualitas iman dan ketakwaan mereka, bukan dari garis keturunan. Prinsip ini menegaskan bahwa nasab seseorang tidak akan menyelamatkannya pada hari kiamat. Kisah inspiratif dari kehidupan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai Zainul Abidin, cicit Rasulullah SAW, adalah contoh nyata dari prinsip ini.

Kualitas Iman dan Ketakwaan di Atas Nasab

Zainul Abidin, yang juga dikenal sebagai “hiasan para ahli ibadah,” merendahkan diri di hadapan Allah SWT meskipun memiliki garis keturunan mulia. Dia merasa bahwa perasaan kurang dalam beribadah, terutama dalam shalat, bisa menjadi penghalang keselamatannya di akhirat. Kekhawatirannya adalah menjadi bagian dari orang-orang yang lalai dalam shalat, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ma’un ayat 4:

Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.

Penghayatan mendalam Zainul Abidin ini menunjukkan bahwa bahkan orang dengan nasab mulia pun tidak kebal dari introspeksi dan perbaikan diri. Ia sadar bahwa nasab tidak menjamin keselamatan, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 99:

Kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu.

Fenomena Golongan Ba’alawi di Indonesia

Fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia, yang mengaku sebagai keturunan Rasulullah SAW, sering kali dikaitkan dengan nasab mereka sebagai tanda kehormatan dan kemuliaan. Namun, sebagaimana yang diajarkan oleh Zainul Abidin, memiliki nasab dari Rasulullah SAW bukanlah jaminan untuk mendapatkan surga. Yang lebih penting adalah kualitas iman dan ketakwaan yang dimiliki.

Dalam masyarakat Indonesia, golongan Ba’alawi sering dihormati karena dianggap sebagai ahli waris keilmuan dan spiritualitas dari Rasulullah SAW. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu, terlepas dari nasabnya, harus berusaha untuk menjaga iman dan amal shalihnya. QS. Al-Anbiya ayat 28 menegaskan:

Mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa syafaat hanya diberikan kepada mereka yang diridhai Allah, bukan semata-mata berdasarkan garis keturunan.

Pelajaran Penting dari Kehidupan Zainul Abidin

Zainul Abidin menekankan bahwa rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, seperti yang tercantum dalam QS. Al-A’raf ayat 56:

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Kisah Zainul Abidin memberikan pelajaran penting bahwa meskipun seseorang memiliki garis keturunan yang mulia, amalan saleh dan ketakwaan tetap menjadi kunci utama untuk mendapatkan ridha Allah dan syafaat Rasulullah SAW. Fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia mengingatkan kita bahwa kehormatan nasab harus diiringi dengan tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian iman dan berkontribusi positif kepada masyarakat.

Kesimpulan

Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, atau Zainul Abidin, adalah teladan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan penuh ketakwaan dan kerendahan hati. Kisahnya dan fenomena golongan Ba’alawi di Indonesia menegaskan bahwa nasab tidak bisa menjamin surga. Hanya iman dan amal saleh yang dapat mengantarkan kita ke jalan yang benar. Semoga kita semua bisa meneladani sikap tawadhu Zainul Abidin dan golongan Ba’alawi yang berfokus pada peningkatan kualitas iman dan ibadah. Aamiin.

sumber : Islam digest Republika

Keutamaan Bulan Rabiul Awal dan Manfaat Ibadah Umroh di Bulan Maulid

Bulan Rabiul Awal, bulan ketiga dalam kalender Hijriah setelah Muharram dan Safar, dikenal sebagai bulan Maulid, merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid ini penting bagi umat Islam, karena merupakan momen untuk mengenang dan merayakan kelahiran manusia yang paling mulia di muka bumi.

Keutamaan Bulan Rabiul Awal

Bulan Rabiul Awal sangat istimewa karena di dalamnya terdapat peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut jumhur ulama, Nabi lahir pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah—tahun di mana pasukan Raja Abrahah menyerang Ka’bah dengan gajah, tetapi dihancurkan oleh burung Ababil atas kuasa Allah.

Rabiul Awal juga dikenal sebagai bulan Maulid atau Maulud. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajib an Tushahhah menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah tradisi yang baik dan tidak termasuk dalam kategori masalah ibadah yang dipersoalkan keabsahannya. Tradisi ini memiliki manfaat besar, termasuk meneladani perilaku Nabi, membaca Al-Qur’an, dzikir, tahlil, serta mempelajari sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Cara Memperingati Maulid Nabi

Imam al-Suyuthi mengajarkan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah aktivitas positif yang mendatangkan pahala. Umat Islam dianjurkan untuk memperingati kelahiran Rasulullah SAW dengan cara:

  1. Membaca Al-Qur’an: Menghafal dan membaca ayat-ayat suci untuk mendapatkan keberkahan dan menambah keimanan.
  2. Memberi Makan dan Bersedekah: Berbagi dengan sesama sebagai bentuk syukur atas kelahiran Nabi.
  3. Mengungkapkan Pujian kepada Nabi: Membaca karya-karya seperti Maulid al-Barzanji, Maulid Diba’, Simtuth Durar, yang mengandung pujian dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
  4. Mengadakan Majelis Ilmiah: Mengadakan kajian dan ceramah tentang kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Ibadah Umroh di Bulan Maulid

Bulan Rabiul Awal juga merupakan waktu yang sangat tepat untuk melaksanakan ibadah umroh. Melakukan umroh pada bulan Maulid memiliki nilai spiritual yang tinggi karena bertepatan dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Ibadah umroh di bulan Maulid bukan hanya menambah keberkahan dan spiritualitas, tetapi juga memberikan kesempatan untuk merenung dan meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Manfaat melakukan umroh di bulan Maulid meliputi:

  • Meningkatkan Spiritualitas: Momen perayaan Maulid membawa kedekatan emosional dan spiritual dengan Rasulullah SAW, dan umroh pada waktu ini meningkatkan pengalaman spiritual tersebut.
  • Mendapatkan Keberkahan: Melaksanakan ibadah umroh di bulan yang mulia ini diyakini mendatangkan pahala dan keberkahan tambahan.
  • Memperkuat Ikatan dengan Nabi: Menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan ibadah umroh sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.

Larangan dalam Memperingati Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi seharusnya dihindari dari segala bentuk kemaksiatan. Menurut al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, perbuatan yang haram atau makruh dalam perayaan Maulid harus dihindari untuk menjaga keutamaan dan kesucian acara tersebut.

Kesimpulan

Bulan Rabiul Awal, sebagai bulan Maulid, adalah waktu yang penuh berkah dan keutamaan. Memperingati Maulid Nabi dengan cara yang benar dan melakukan ibadah umroh pada bulan ini dapat mendatangkan manfaat spiritual yang besar dan memperkuat hubungan kita dengan Nabi Muhammad SAW.

sumber rujukan: LIPUTAN6

Doa Mustajab yang Diamini Malaikat: Keistimewaan Doa untuk Sesama

Doa adalah senjata utama bagi seorang Muslim dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Salah satu doa yang sangat istimewa adalah doa yang langsung diamini malaikat, yang memiliki peluang besar untuk dikabulkan. Bagaimana cara memperoleh doa yang mustajab ini? Mari kita pelajari lebih dalam berdasarkan pandangan para ulama dan hadis-hadis Rasulullah ﷺ.

Doa Mustajab Menurut Kitab Al-Adzkar

Dalam kitab Al-Adzkar min Kalami Sayyidi al-Abrar, halaman 642, Imam Nawawi rahimahullah mengutip dua hadis yang menggambarkan betapa istimewanya doa seorang Muslim untuk saudaranya yang tidak mengetahuinya.

Hadis pertama, dari Abu al-Dardak, Rasulullah ﷺ bersabda:

ما مِن عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ، إلَّا قالَ المَلَكُ: وَلَكَ بمِثْلٍ.

Artinya: “Tidaklah seorang hamba Muslim mendoakan sesama saudaranya tanpa sepengetahuan yang didoakan, kecuali malaikat berdoa: ‘Dan kamu juga memperoleh doa yang kamu panjatkan.’”

Hadis kedua, dari Ibnu ‘Umar ra., Rasulullah ﷺ bersabda:

أَسْرَعُ الدُّعَاءِ إِجَابَةً دَعْوَةُ غاَئِبٍ لِغَائِبٍ.

Artinya: “Doa yang paling cepat terkabul adalah doanya orang Muslim yang saling berjauhan (sama-sama gaib).”

Keutamaan Doa untuk Sesama Muslim

Imam Nawawi juga mencatat bahwa sebagian ulama salaf, ketika ingin berdoa untuk diri mereka sendiri, justru memohon doa yang sama kepada sesama Muslim. Ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan spiritual dalam Islam dan pentingnya saling mendoakan, meskipun kita tidak bersama secara fisik. Ayat Al-Quran juga menekankan pentingnya mendoakan orang lain, seperti yang tercantum dalam QS. Ibrahim ayat 41:

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُࣖ.

Artinya: “Ya Tuhan kami, ampunilah aku kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari kiamat.”

Manfaat Doa yang Diamini Malaikat

Dari penjelasan di atas, ada dua keistimewaan utama dari doa seorang Muslim untuk saudaranya yang jauh:

  1. Doanya akan terkabul: Doa yang tulus dari seorang Muslim untuk saudaranya memiliki kekuatan luar biasa, terutama karena didasari niat yang ikhlas dan kebaikan.
  2. Diamini oleh malaikat: Setiap kali seorang Muslim mendoakan kebaikan untuk saudaranya, malaikat akan turut mendoakan hal yang sama bagi dirinya.

Kesimpulan

Sebagai seorang Muslim, penting untuk selalu mendoakan kebaikan bagi sesama, meskipun terpisah oleh jarak. Dengan mengamalkan doa-doa ini, kita tidak hanya membantu saudara kita tetapi juga memperoleh doa yang didukung oleh malaikat. Betapa beruntungnya kita jika senantiasa mendoakan kebaikan untuk orang lain dan mendapatkan balasan yang sama dari Allah SWT. Semoga kita bisa mengamalkannya dengan konsisten. Aamiin.

BINCANG SYARIAH

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina yang Menginspirasi

Bismillah.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, seorang ulama besar dari Palestina, dikenal luas oleh para penimba ilmu di seluruh dunia. Dengan mazhab Hanbali sebagai pijakan, beliau mengikuti metode fikih Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Lahir pada tahun 541 H, Ibnu Qudamah meninggalkan warisan ilmiah yang berharga, seperti kitab al-‘Umdah, al-Kafi, dan al-Mughni, yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam ilmu fikih Islam.

Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi, dengan gelar Muwaffaquddin atau al-Muwaffaq, yang berarti “orang yang diberi taufik”. Ayahnya, Syekh Ahmad, adalah seorang ulama yang mulia, yang menjadi guru pertama bagi Ibnu Qudamah. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Qudamah diasuh dan dibimbing oleh kakaknya, Abu Umar Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi, yang juga seorang ulama terkenal.

Pada usia 10 tahun, Ibnu Qudamah pindah dari Palestina ke Damaskus karena tekanan dari kaum salibis. Di sana, beliau melanjutkan studi agama hingga kemudian melakukan rihlah ilmu ke Baghdad pada tahun 561 H bersama sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi. Di Baghdad, Ibnu Qudamah menghabiskan empat tahun menimba ilmu, hingga menjadi ahli dalam berbagai bidang seperti fikih, hadits, nahwu, lughoh, dan hisab.

Tidak hanya ahli dalam fikih, Ibnu Qudamah juga dikenal sebagai seorang imam dalam akidah Islam. Beliau menulis karya-karya monumental untuk membela akidah yang lurus dan memurnikan keyakinan umat Islam. Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya adalah kitab Itsbat Shifatil ‘Uluww dan Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad, yang menjelaskan sifat-sifat Allah dan pandangan Ahlus Sunnah terhadap sahabat Nabi radhiyallahu ’anhum.

Keilmuan Ibnu Qudamah diakui oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Tidaklah masuk ke negeri Syam setelah al-Auza’i seorang yang lebih menguasai ilmu fikih daripada Syekh al-Muwaffaq.” Ibnu Katsir rahimahullah menyebut beliau sebagai ‘Syekhul Islam’, sebuah gelar yang menandakan kedalaman ilmu dan kewibawaan dalam agama. Para ulama lain seperti adz-Dzahabi dan Ibnu Sholah juga mengakui keunggulan ilmu Ibnu Qudamah.

Ibnu Qudamah sangat menghormati ulama terdahulu seperti Imam Ahmad, Imam Syafi’i, dan al-Auza’i rahimahumullah. Beliau sering mengutip pandangan mereka dalam kitab Lum’atul I’tiqad, menunjukkan bahwa akidah para imam yang empat sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat. Hal ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjauhi ilmu kalam yang sering kali menyimpang dari ajaran asli Islam.

Karya-karya Ibnu Qudamah seperti Lum’atul I’tiqad terus mendapat perhatian dari ulama masa kini, termasuk Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan Syekh Dr. Shalih al-Fauzan. Syekh Abdurrazzaq al-Badr juga telah mengkaji kitab ini, dengan rekamannya tersedia secara online.

Penutup

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah adalah seorang ulama besar yang berperan penting dalam menyebarkan dan mempertahankan akidah Islam. Semoga kita semua diberi taufik oleh Allah untuk melanjutkan perjuangan beliau, menyebarkan akidah Islam yang murni di tengah umat. Aamiin.

Sumber: https://muslim.or.id/96872-ibnu-qudamah-al-maqdisi-pejuang-aqidah-dari-palestina.html

Serahkan Semua Masalahmu kepada Allah

Musibah dan benacana adalah di antara sebab yang Allah datangkan agar orang-orang yang sombong itu kembali menuju Allah Ta’ala. Kesombongannya menjadi hancur dan patah berkeping-keping. Ada seseorang yang puas dengan pencapaian dirinya dengan gemerlap dunia, merasa sombong dan tidak butuh kepada Allah, lalu Allah turunkan sakit stroke sehingga dia pun tidak berdaya, tidak bisa apa-apa. Inilah cara Allah agar orang-orang yang sombong itu kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, jika Allah menginginkan keburukan, maka Allah biarkan dia dengan kesombongan dan keangkuhannya.

Oleh karena itu, setiap kita mendapati sebuah ujian, maka pikirkanlah hal ini. Jangan hanya memikirkan apakah masalah itu selesai atau tidak (belum) selesai. Akan tetapi, renungkanlah, jangan-jangan selama ini kita mengandalkan kecerdasan, insting, logika, dan keangkuhan kita? Padahal, Allah Ta’ala ingin agar kita menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, menggantungkan diri kepada Allah. Kita merasa kerdil dan lemah di hadapan Allah Ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

فإن العارفين كلهم مجمعون على أن التوفيق أن لا يكلك الله تعالى إلى نفسك والخذلان أن يكلك الله تعالى إلى نفسك فمن أراد الله به خيرا فتح له باب الذل والانكسار ودوام اللجأ إلى الله تعالى والافتقار إليه ورؤية عيوب نفسه وجهلها وعدوانها ومشاهدة فضل ربه وإحسانه ورحمته وجوده وبره وغناه وحمده

“Sesungguhnya para ulama (yang mengenal Allah) seluruhnya sepakat bahwa taufik adalah ketika Allah Ta’ala tidak menyerahkanmu kepada dirimu sendiri. Dan khudlan (keterpurukan, lawan dari taufik, pent.) adalah ketika Allah Ta’ala menyerahkanmu kepada dirimu sendiri (Allah jadikan manusia bersandar kepada dirinya sendiri, pent.). Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan membukakan baginya pintu kehinaan, kerendahan hati, dan terus-menerus berlindung kepada Allah Ta’ala serta merasa butuh kepada-Nya, melihat cacat dan kebodohan dirinya serta kejahatannya, dan menyaksikan keutamaan Tuhannya, kebaikan-Nya, rahmat-Nya, kemurahan-Nya, kebaikan-Nya, kekayaan-Nya, serta pujian kepada-Nya.” (Al-Wabil Ash-Shayyib, 1: 11)

Kunci dari setiap masalah yang kita hadapi adalah adanya taufik dari Allah Ta’ala. Kalau Allah memberikan taufik, selesailah masalah kita, Allah berikan solusi dari masalah yang kita alami. Allah Ta’ala akan selesaikan masalah-masalah itu dari arah yang tidak kita sangka-sangka dan tidak kita duga-duga. Kita berusaha berjalan di dalam koridor syariat. Ketika syariat menunjukkan ke arah kanan, maka kita berjalan ke kanan, meskipun perasaan kita ingin melangkah ke kiri. Bulatkanlah takad, lalu bertawakal kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Renungkanlah petunjuk Allah di atas. Setelah seorang hamba membulatkan tekad, apa yang Allah perintahkan? Apakah Allah perintahkan untuk mengandalkan logika, intuisi, dan perasaan kita semata? Tidak. Akan tetapi, Allah perintahkan hamba tersebut untuk bertawakal kepada Allah. Hal ini karena manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً

“Dan manusia itu diciptakan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)

Setinggi apapun IQ dan sebanyak apapun pengalaman dan skill kita, Allah jelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam kondisi lemah. Renungkanlah kisah Fir’aun, orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Namun, ketika dia mengejar Nabi Musa ‘alaihis salaam, dia memilih untuk masuk ke dalam lautan yang telah dibelah oleh Nabi Musa ‘alaihis salaam. Padahal, orang yang cerdas tentu akan berpikir, kalau Nabi Musa mampu membelah lautan, tentu dia juga akan mampu menutupnya kembali. Akan tetapi, demikianlah ego Fir’aun, dia tetap masuk ke dalam lautan mengejar Nabi Musa, sehingga pada akhirnya dia pun tenggelam di lautan dengan segala kesombongannya.

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk kepada kita untuk membaca doa ini di setiap pagi dan petang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ

Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu, Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihlii sya’ni kullah, walaa takilnii ila nafsii tharfata ‘ain.’ (Wahai Dzat Yang Mahahidup dan Yang Maha berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu, aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walaupun hanya sekejap mata).”(HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wal-Lailah no. 48)

Sekali lagi, kunci dari setiap masalah adalah bertawakal kepada Allah. Dan awal dari mimpi buruk kita adalah ketika kita bertumpu dan bersandar kepada diri kita sendiri.

***

@24 Dzulhijah 1445/ 1 Juli 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/96039-serahkan-semua-masalahmu-kepada-allah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Berlindung dari Doa yang Tidak Dikabulkan

Di antara tidak dikabulkan doa seseorang adalah berdoa untuk perbuatan dosa, memutuskan tali silaturrahim dan tergesa-gesa

KITA diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari doa yang tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu perlu diterangkan penyebab tidak terkabulkannya doa.

Dari dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah ﷺbersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR: Muslim)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَعِ

(HR: at-Tirmidzi, 3482, Abu Daud, 1549, an-Nasai, 5470).  

Pada bab ke-9 ini fokus pada pembahasan berlindung dari doa yang tidak dikabulkan.

دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Doa yang tidak dikabulkan”

Di antara tidak dikabulkan doa adalah:

Sebab Pertama: Harta Haram

Harta yang dimakannya berasal dari sumber yang haram. Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya berkata: Rasulullah ﷺbersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : (( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا )) وَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟

“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (QS: al-Mu’minun: 51) dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (QS: al-Baqarah: 172) kemudian Rasulullah ﷺmenyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa,‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR: Muslim).

Sebab Kedua: Hati yang Lengah Berdzikir

Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ  

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR: at-Tirmidzi dan al-Hakim. Di dalam hadist terdapat perawi yang bernama Shalih al-Murri, salah seorang ahli zuhud.

Menurut adz-Dzahabi orangnya termasuk matruk (ditinggalkan). Berkata al-Bazzar: Orang ini sibuk dengan ibadahnya, sehingga tidak menghafal hadits. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini Gharib.  

Sebagian ulama, seperti Ibnu Rajab di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menyimpulkan dari hadist di atas, bahwa salah satu syarat diterimanya doa adalah hadirnya hati ketika berdoa.

Bahkan Ibnu al-Qayyim di dalam al-Jawab al-Kafi mengibaratkan doa dari hati yang tidak hadir atau hati yang lemah, seperti busur yang sudah rusak sehingga anak panah yang keluar darinya sangat lemah melesatnya.

Sebab Ketiga: Tidak Serius dalam Berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺbersabda,

 لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ ، ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، ارْزُقْنِي إِنْ شِئْتَ، وَليَعْزِمْ مَسْأَلَتَهُ، إِنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ ، لاَ مُكْرِهَ لَهُ

“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan: ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki, dan rahmatilah aku jika Engkau berkehendak, dan berilah aku rezeki jika Engkau berkehendak’. Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam meminta, karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.” (HR: al-Bukhari)

Larangan mengucapkan ‘insya Allah’ ketika berdoa sebagaimana yang disebutkan hadits di atas, karena dua alasan:

Pertama, mengesankan bahwa orang yang berdoa tidak membutuhkan apa yang dia minta. Padahal kenyataannya tidak begitu. Dan ini bertentangan dengan prinsip tauhid, bahwa setiap hamba sangat membutuhkan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua, mengesankan bahwa Allah kadang memberi sesuatu karena terpaksa, bukan karena kehendak-Nya sendiri.  (‘Abdullah al-Gunaiman, Syarah Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari: 2/256)

Inilah dua kesan yang tidak baik, manakala seseorang mengucapkan ‘insya Allah’ di dalam doa-doanya, sehingga ucapan seperti ini dilarang. Oleh karena itu di akhir hadits disebutkan bahwa: “karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.”

Pertanyaannya, bagaimana dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyebutkan;

عن ابن عباس رضي الله عنهما؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل على أعرابي يعوده، قال: وكان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل على مريض يعوده قال: لا بأس طهور إن شاء الله فقال له: لا بأس طهور إن شاء الله قال: قلت: طهور؟ كلا، بل هي حمى تفور – أو تثور – على شيخ كبير، تُزِيرُهُ القبور. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: فنعمْ إذًا.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ mengunjungi seorang Badui yang sedang sakit. Dan setiap mengunjungi orang sakit, beliau mengucapkan: ‘Tidak apa, insya Allah menjadi penghapus dosa’. Begitu juga beliau ucapkan kepada orang Badui tersebut. Sang Badui pun berkata: ‘Penghapus dosa? Sekali-kali tidak, penyakit (yang saya derita) ini berupa panas bergejolak yang menimpa orang tua lanjut usia, yang mengantarkannya ke alam kubur.’ Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda: ‘Iya, kalau begitu’.” (HR: al-Bukhari)

Jawabannya:

Konteks hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma  di atas adalah pernyataan dan pemberitaan. Oleh karena itu, disunnahkan menambah di akhirnya dengan lafadh ‘insya Allah’. Adapun konteks hadist yang kita bicarakan sebelumnya adalah doa, sehingga dilarang untuk disisipi dengan lafadh ‘insya Allah’.

Perbedaaan keduanya bisa diperjelas dengan contoh di bawah ini:

Bila seseorang mendoakan kepada temannya dengan berkata: “Mudah-mudahan Allah merahmatinya” atau “Mudah-mudahan Allah menyembuhkannya dari berbagai penyakit”, maka tidak boleh menambahinya dengan lafadh ‘insya Allah’.

Sebaliknya jika dia menyatakan untuk temannya: “Dia akan sembuh, insya Allah” atau “Dia akan menjadi ahli surga, insya Allah”, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan.

Sebab Keempat: Berdoa untuk Maksiat

Ini sesuai dengan hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ)

“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga (pilihan); (1) segera dikabulkan permohonannya, (2) disimpan permohonannya (diberikan) di Akhirat, (3) dipalingkan dengan doa itu keburukan sebesar apa yang dia minta. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa’. Beliau bersabda, ‘Allah akan memperbanyak’.” (HR: Ahmad. Al-Mundziri di dalam at-Targhib wa at-Tarhib menyatakan sanadnya jayyid. Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;

لا يزال يُستجابُ للعبد ما لم يدعُ بإثم، أو قطيعةِ رَحِمٍ، ما لم يستعجل))، قيل: يا رسول الله، ما الاستعجال؟ قال: ((يقول: قد دعوتُ، وقد دعوتُ، فلم أرَ يستجيبُ لي، فيستحسر عند ذلك ويَدَعُ الدعاء

“Doa seseorang di antara kalian, senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturahim dan tidak tergesa-gesa. Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasulullah ﷺmenjawab, ‘Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan; ‘Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan’.’ Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.” (HR: Muslim).

Sebab Kelima: Tidak Tergesa-gesa dalam Berdoa

Tergesa-gesa di dalam doa ada dua macam, yang terpuji dan yang tercela.

(a) Tergesa-gesa yang terpuji, yaitu meminta dipercepat sesuatu yang diminta. Karena ini masuk dalam katagori bersungguh-sungguh  di dalam berdoa dan sangat berharap kepada pertolongan Allah dan rahmat-Nya. Ini sesuai dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi Muhammad ﷺ berdoa ketika meminta hujan;

اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا ، مَرِيئًا ، مَرِيعًا ، نَافِعًا ، غَيْرَ ضَارٍّ ، عَاجِلًا ، غَيْرَ آجِلٍ . قَالَ : فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ)

“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, yang menolong, mudah, menyuburkan, bermanfaat, tidak memberikan madharat, yang segera dan tidak terlambat.” Maka turunlah hujan lebat kepada mereka.” (HR: Abu Daud. Hadist ini dishahihkan an-Nawawi di dalam al-Adzkar  hlm. 230)

(b) Tergesa-gesa yang tercela dan dilarang, yaitu merasa tidak sabar dengan keterlambatan terkabulnya doa yang dia panjatkan, marah dengan kondisi yang dirasakan, seakan-akan tidak ridha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.

Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda,

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ ، يَقُولُ : دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

“Doa di antara kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa dengan mengatakan: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum dikabulkan’.” (HR: al-Bukhari dan Muslim)

Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;

لا يزال يُستجابُ للعبد ما لم يدعُ بإثم، أو قطيعةِ رَحِمٍ، ما لم يستعجل))، قيل: يا رسول الله، ما الاستعجال؟ قال: ((يقول: قد دعوتُ، وقد دعوتُ، فلم أرَ يستجيبُ لي، فيستحسر عند ذلك ويَدَعُ الدعاء

“Doa seseorang diantara kalian, senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturrahim dan tidak tergesa-gesa.” Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasulullah ﷺmenjawab, ‘Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan, ‘Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan’. Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.” (HR: Muslim).

Sebab Keenam: Berlebihan dalam Berdoa

Berlebihan dalam berdoa disebut al-I’tida. Larangan berlebihan di dalam berdoa merujuk kepada firman Allah,

ادْعُوا رَبَّكُمْ  تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS: Al-A’raf: 55).

Al-Mu’tadin pada ayat di atas diartikan berlebihan di dalam berdoa.  Berlebihan di dalam berdoa terbagi menjadi beberapa bagian:

Pertama, Berdoa kepada selain Allah

Kedua, Berlebihan di dalam menyebut lafadh doa, seperti: 

a) Terlalu merinci doa sampai pada hal-hal yang kecil dan remeh, seperti meminta HP merk Samsung yang terbaru, atau meminta mobil Rubicon warna hitam metallic.

Ini sesuai dengan hadist ‘Abdullah bin al-Mughaffal bahwasanya ia mendengar anaknya berdoa,

 اللهم إني أسألك القصر الأبيض عن يمين الجنة إذا دخلتها ، فقال : أي بنيّ سل الله الجنة وتعوذ بالله من النار ، فإني سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول : إنه سيكون في هذه الأمة قوم يعتدون في الطهور والدعاء.

“Ya Allah, saya minta kepadamu istana yang berwarna putih di sebelah kanan Surga, jika saya masuk ke dalamnya.” Maka berkatalah bapaknya, “Wahai anakku, cukuplah engkau meminta kepada Allah surga dan meminta perlindungan dari api neraka karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah ﷺbersabda, ‘Sesungguhnya akan ada pada umatku suatu kaum yang berlebih-lebihan di dalam bersuci dan berdoa’.” (Hadits Shahih. HR: Abu Daud)

b) Terlalu berlebihan dan memaksakan penggunaan doa yang puitis yang dibuatnya sendiri.

Ketiga, Berlebihan dalam menyelisihi adab dan etika berdoa.

Seperti mengeraskan suara ketika berdoa dalam sujud pada shalat jama’ah sehingga mengganggu yang lainnya, dan mengeraskan doa di tempat dan waktu yang tidak disunnahkan. Ini sesuai dengan firman Allah,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS: al-A’raf: 55)

Keempat, Berdoa untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh Allah, seperti berdoa yang berisi maksiat dan memutus tali silaturrahim sebagaimana yang sudah dibahas di atas.

Sebab-sebab tidak terkabulnya doa ketujuh:  Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hadist Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya  Rasulullah ﷺbersabda,

الّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنّ بالمَعْرُوفِ ، وَلَتَنْهَوُنّ عَنِ المُنْكَرِ ، أو لَيُوشِكَنّ الله أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَ تَدْعُونَهُ فَلا يَسْتَجِيبُ لَكُمْ .

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (Hadits Hasan. HR: at-Tirmidzi dan Ahmad)

Ini juga dikuatkan dengan hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ﷺbersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ لَكُمْ : مُرُوا بِالْمَعْرُوفِ ، وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ، قَبْلُ أَنْ تَدْعُونِي ، فَلا أُجِيبُكُمْ ، وَتَسْأَلُونِي فَلا أُعْطِيكُمْ ، وَتَسْتَنْصِرُونِي فَلا أَنْصُرُكُمْ 

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepada kalian semua, ‘Perintahkan kepada kebaikan dan cegahlah kemungkaran sebelum kalian berdoa kepada-Ku tetapi tidak Aku kabulkan, dan kalian meminta kepada-Ku tetapi tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku tetapi Aku tidak menolong kalian’.” (HR: Ahmad dan Ibnu Hibban). Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain Annajah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

9 Nama Setan Beserta Tugasnya Menurut Syekh Nawawi Al Bantani

Berikut penjelasan terkait 9 nama setan beserta tugasnya menurut Syekh Nawawi Al Bantani. Jika nenek moyang kita Nabi Adam dan siti Hawa tak terpedaya dengan taktik godaan setan, mungkin kita (umat manusia) sekarang sudah bersantai dan menikmati keindahan surga.

Namun skenario Tuhan berkata lain. Nenek moyang kita terpedaya dengan godaan setan sehingga kita berada di dunia dan menjalani segala hiruk pikuk ujian kehidupan. Dari kisah Nabi Adam dan Siti Hawa. Kita seharusnya selalu waspada terhadap tipu daya setan laknatullah agar tak kembali terjerumus dalam perangkapnya.

Allah dalam surahAl-A’raf ayat 27 sebenarnya telah memberi peringatan kepada manusia agar jangan sampai terperdaya kembali oleh godaan setan, seperti yang terjadi pada 2 moyang manusia, Adam dan Hawa.

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَاۗ اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya; Wahai anak cucu Adam, janganlah sekali-kali kamu tertipu oleh setan sebagaimana ia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua. Sesungguhnya ia (setan) dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak (bisa) melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu (sebagai) penolong bagi orang-orang yang tidak beriman.

Namun tak perlu khawatir Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab karyanya Nasoihul Ibad Syarah Al Munabbihat Ala Isti’dad Li Yaum Al Mi’ad memberi penjelasan dengan menukil perkataan sahabat Umar bin Khattab Ra. terkait nama-nama setan beserta tugasnya dalam menggoda manusia. Sehingga kita bisa minimam mengenal dan berusaha tidak terpedaya godaan setan.

Lebih lanjut, Imam Nawawi menjelaskan setidaknya ada 9 nama setan berserta tugasnya;

وقال عمر (رضي الله عنه): إن ذرية الشيطان تسعة: زليتون، ووثين، ولقوس وأعوان وهفاف، ومرة والمسوط، وداسم، وولهان. فأما زليتون فهو صاحب الأسواق فنصب فيها رايته وأما وثين فهو صاحب المصيبات؛ وأما أعوان فهو صاحب السلطان، وأما هفاف فهو صاحب الشراب، وأما مرة فهو صاحب المزامير، وأما لقوس فهو صاحب المجوس، وأما المسوط فهو صاحب الأخبار يلقيها فى أفواه الناس ولا يجدون لها أصلا؛ وأما الداسم فهو صاحب البيوت إذا دخل الرجل المنزل ولم يسلم ولم يذكر اسم الله تعالى أوقع فيما بينهم [بينهما] المنازعة حتى يقع الطلاق والخلع والضرب؛ وأما ولهان فهو يوسوس في الوضوء والصلاة والعبادات

Dari teks diatas sahabat Umar bin Khattab menyebutkan bahwa setan memiliki sembilan keturunan, dan masing-masing memiliki tugasnya tugasnya sendiri:

  1. Zalitun: Menggoda orang di pasar, menebar kecurangan.
  2. Wathin: Membawa musibah dan bencana.
  3. A‘wan: Menggoda para penguasa dan pemimpin.
  4. Haffaf: Menggoda orang lewat minuman keras.
  5. Marrah: Menguasai musik dan nyanyian yang melalaikan.
  6. Luqus: Menggoda orang yang menyembah api (Majusi).
  7. Masut: Menyebarkan berita palsu dan gosip.
  8. Dasim: Menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga, khususnya ketika seseorang masuk rumah tanpa memberi salam atau menyebut nama Allah.
  9. Walhan: Membuat orang ragu-ragu dalam wudhu, salat, dan ibadah lainnya.

    Dengan memahami peran dan tugas sembilan setan ini, semoga kita dapat lebih siap menghadapi setiap tantangan godaan setan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian, penjelasan terkait 9 Nama Setan Beserta Tugasnya Menurut Syaikh Nawawi Al Bantani, semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH