NASA Pernah Sembunyikan Temuannya Tentang Malam Lailatul Qadr

Eramuslim.com – Malam Lailaitul Qadar pada dasarnya menajdi malam rahasia bagi Allah SWT, namun ternyata fakta – fakta di balik malam Lailatul Qadar ini telah dibuktikan oleh Badan Nasional Antariksa Amerika (NASA).

Malam Lailatul Qadar merupakan salah satu malam yang paling dinantikan di bulan Ramadhan ini. Malam Lailatul Qadar menjadi malam yang paling istimewa dan paling indah dibandingkan malam seribu bulan dan menjadi malam dimana Al-Quran diturunkan.
Malam Lailatul Qadar ini ditetapkan ketika 10 malam terakhir Ramadhan.

Selama ini umat Islam mempercayai kebenaran adanya malam Lailatul Qadar karena bersumber dari Al-Quran dan hadist. Namun faktanya, malam Lailatul Qadar ini juga bisa diprediksikan oleh Badan Nasional Antariksa Amerika (NASA).

Melalui sejumlah fakta ilmiah, NASA membuktikan tanda – tanda hadirnya malam lailatul Qadar sesuai dengan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam Al-Quran dan Al-Hadist.

Nabi Muhammada SAW mengatakan jika malam lailatul Qadar itu hadir di malam – malam ganjil . Rasulullah SAW juga mengatakan ketika malam Lailatul Qadar itu hadir maksa suhu dibumi berada dalam kondisi yang sedang, pada malam hari tidak terlihat bintang, serta pada pagi harinya udara matahari bersinar cerah namun tidak terasa panasnya.

Dalam semua ungkapan Rasulullah SAW itu , NASA telah membuktikan semuanya terkait ciri – ciri fisik tersebut. Kepala Lembaga Mukjizat Ilmiah Al- Quran dan Sunnah di Mesir, Dr. Abdul Basith As-Sayyid mengatakan jika sekitar 12 tahun lalu NASA pernah menemukan ciri dari malam Lailatul Qadar sesuai yang diungkapkan Nabi Muhammad SAW.

Pada saat membuktikan tanda – tanda malam Lailatul Qadar yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW itu , Badan Nasional Antariksa Amerika menemukan bahwa pada suatu malam terjadi fenomena aneh karena tidak ada meteor yang jatuh ke atmosfer bumi serta suhu udara sedang. Padahal pada malam-malam biasa, jumlah meteor yang jatuh ke atmostfer bumi sekitar 20 meteor. Selain itu, NASA juga menemukan bahwa matahari begitu bersinar cerah namun tidak ada radiasi cahaya sekalipun.

Semua fakta yang di dapatkan oleh pihak NASA ini memang sengaja bagi mereka untuk tidak mempublikasikan fakta – fakta ini , bahkan NASA sering mendapat kritikan dari para pakar Islam karena kerap menyembunyikan fakta-fakta kebenaran tentang Al-Qur’an.

Dan dengan pembuktian dari pihak NASA ini kita sebagai umat Islam harus lebih bersyukur telah terlahir di dunia sebagai pilihan umat Nabi Muhammad SAW yang memiliki banyak kisah menakjubkan di dunia.(rz)

Inilah Hikmah Berpuasa

Puasa di dalam Islam mengandung banyak hikmah atau ajaran-ajaran untuk meningkatkan nilai-nilai manusia dan mem­pertinggi mutunya yang paling penting adalah sebagai berikut:

1. Melatih manusia memiliki sifat khasyyah (takut) kepada Allah, baik secara rahasia, maupun terang-terangan, karena tiada yang mengawasi orang yang berpuasa itu kecuali Allah.

Ia meninggalkan syahwatnya terhadap makanan yang lezat, minuman yang segar dan lain-lain sebagainya, karena semata- mata melaksanakan perintah Allah, dan tunduk kepada petunjuk agamanya, untuk berpuasa sebulan lamanya.

2. Memecahkan ketajaman syahwat, dan menjadikan jiwa dapat menguasai syahwatnya, sesuai dengan petunjuk agama. Apabila seorang selalu menuruti keinginan nafsu syahwatnya, maka ia telah menjadi budak dari nafsu syahwatnya.

3. Melatih diri bersifat kasih sayang, sehingga terdorong untuk melakukan perbuatan sosial, seperti memberikan sedekah kepada fakir miskin. Memberi bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana, karena ia ketika merasakan kelaparan, teringat kepada orang-orang yang menderita kelaparan, atau orang-orang yang tertimpa musibah.

4. Menimbulkan rasa cinta kepada keadilan, dan persamaan derajat umat manusia, dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak. Dalam pelaksanaan ibadah puasa ini, terlihat persamaan antara orang-orang kaya dengan fakir miskin, dan antara penguasa dengan rakyat jelata, dalam melaksanakan satu kewajiban agama.

5. Membiasakan umat untuk hidup teratur dan bersatu, menghindari sifat sombong dan iri hati. Mereka memulai ibadah puasanya di dalam satu waktu, dan mereka berbuka dalam satu waktu pula. Mereka sama-sama menunggu waktu dengan kesabaran, dan tidak seorang pun mendahului orang lain di dalam berbuka itu.

6. Membersihkan usus atau alat pencerna, daripada zat-zat yang berbahaya dalam perut, seperti zat lemah dan sebagainya; dan menghilangkan zat-zat yang mengendap di dalam tubuh, mengeringkan kelembabannya, dan menghancurkan lemak yang dapat berbahaya terhadap jantung

 

sumber: Repubika Online

Refleksi Puasa dan Tantangan Berperilaku Jujur

Oleh: Khusnul Hidayah*

Alkisah diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu….”

Dengan lantang si gembala menjawab “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya” kata sipegembala

“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala” lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan “Lalu, di mana Allah?”

Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
“Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak”

Kisah di atas banyak menjadi inspirasi ketika bercerita tentang  gambaran pribadi yang amanah, jujur menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi. Berkebalikan dengan  cerita di atas, pada tanggal 9 Juli yang lalu Transperency Internasional Indonesia merilis Global Corruption Barometer 2103 yang menginformasikan 5 lembaga publik terkorup di Indonesia, yakni Kepolisian, parlemen, peradilan, Partai politik dan Pejabat Publik.  Ironis memang, lima lembaga yang disebutkan di atas sejatinya adalah pengemban amanah utama dalam pengelolaan negara, akan tetapi realitasnya tidak menggambarkan citra yang mereka sandang.

Berpuasa, utamanya di Bulan Ramadhan, sejatinya adalah kawah candradimuka melalui disiplin yang kuat selama satu bulan penuh bagi pribadi muslim untuk mengimplementasikan nilai-nilai amanah, dan kejujuran guna meretas sebelas bulan yang lain. Selain menahan dari nafsu makan-minum, biologis juga menahan nafsu tamak dan serakah, Refleksi  terpenting dalam ibadah shaum adalah kujujuran diri kepada Allah SWT.

Selama 1 bulan, setiap individu Muslim tidak peduli kaya, miskin, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan, dituntut untuk bersikap jujur kepada Tuhan karena ini adalah ibadah yang sangat pribadi antara manusia dengan Rabbnya. Bisa jadi orang tersebut berbohong mengatakan puasa kepada orang lain dan lingkungannya untuk menjaga wibawa padahal sejatinya tidak. Dia bisa berbohong kepada orang lain namun tidak pada Tuhan.

Kejujuran yang diajarkan dalam berpuasa akan melahirkan perilaku Ihsan, perilaku agar manusia ikhlas beramal semata kepada Allah. Sebagaiman Nabi SAW pernah ditanya jibril perihal pengertian ihsan? maka jawab Beliau: “Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya, namun Dia tetap melihatMu (HR Bukhari).

Menghadirkan Wajah  Tuhan ketika Ramadhan berlalu?

Sudah jamak dilihat ketika ramadhan usai, maka individu pun tak lagi mengenal wajah Tuhannya bahkan menjauh dari perilaku ihsan. Mereka yang terbiasa berperilaku korupsi, suap dan perilaku tidak jujur lainnya akan kembali mengulang kebiasaanya, tak berbekas sedikitpun hikmah kesalehan yang dilakukannya selama berpuasa. Semestinya nilai-nilai kejujuran dapat diimplementasikan dalam pola gerak keseharian kehidupan baik selama ramadhan dan setelah ramadhan usai.

  Untuk itu diperlukan penghayatan Ihsan dalam kehidupan yang bisa dicapai dengan menghadirkan wajah Allah dalam melakukan kesalehan individu maupun kesalehan sosial seperti dalam cerita anak gembala di atas. Kesalehan individu dilakukan dengan memelihara ibadah kita kepada Allah, seperti shalat, dzikir, dan ibadah lain yang berhubungan dengan Allah.  Sementara kesalehan sosial tercermin dari tanggungjawab sosial terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu yang merupakan simbol orang-orang lemah (al mustadz’afin) sebagai konsekuensi dari peribadatan kepada Allah.

Empati kepada kaum lemah ditujukan bukan karena pencitraan diri tapi semata-mata karena ingin mengharap RidhaNya. Disinilah relevansi ibadah puasa dalam Bulan Ramadhan menjadi sangat penting, karena lewat puasalah manusia diajarkan untuk jujur baik kepada diri sendiri, lingkungan  dan terutama kepada Allah dalam setiap amalnya. Kehilangan kejujuran akan mendatangkan kepemimpinan diri yang kurang amanah dan cenderung korup. Tipisnya jiwa amanah akan mengakibatkan tipisnya iman dan membuat orang mudah terjermbab dalam jurang korupsi.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UAD

dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ’Aisyiyah (LPPA)

sumber: Universitas Ahamad Dahlan

Thomas Jefferson: Presiden Amerika Pertama yang Difitnah karena Islam

“Kasihilah tetanggamu–manusia seperti dirimu sendiri–dan negaramu, lebih dari mengasihi dirimu sendiri,” tulis Thomas Jefferson sebelum kematiannya. Siapa kiranya “tetangga” yang dimaksudkan Jefferson dalam pesan yang belakangan jadi cetak biru bagi kelahiran negara dan bangsa Amerika yang begitu dicintainya?

Secara implisit Jefferson memasukkan warga Muslim dalam rumusan “Kaidah Emas” yang ditulisnya. Banyak orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada masa itu, namun telah banyak bukti menguatkan hal ini.

Pada 1776, Jefferson menulis di antara catatan pribadinya: “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Catatan itu ditulisnya beberapa bulan setelah ia menulis Deklarasi Kemerdekaan, ketika ia kembali ke Virginia untuk menyusun undang-undang baru bagi Amerika.

Jefferson mengadopsi preseden “hak-hak sipil” bagi Muslim dari traktat yang ditulis filsuf Inggris John Locke pada 1689, “A Letter Concerning Toleration”. Ide-ide Locke tentang toleransi terhadap Muslim dan Yahudi memicu serangan terhadapnya. Seorang kritikus mengecamnya karena memiliki “iman seorang Turki”, dan dia pun dituduh menyimpan Al-Quran yang oleh para pengecamnya disebut sebagai “Injil Muhammad”.

Selama berabad-abad, praktik memfitnah orang dengan cara menghubungkannya dengan Islam sangat umum dilakukan penganut Kristiani di Eropa. Dan praktik ini pun menyeberangi Samudera Atlantik sampai ke daratan Amerika.  Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai “kafir”–kata yang pada masanya berarti bukan  sekadar “tidak beriman”, melainkan juga “seorang Muslim”.

Dan seperti Locke, Jefferson memiliki sebuah Quran.

Jefferson yang waktu itu berusia 22 tahun membeli Quran pertamanya pada 1765 ketika sedang menempuh studi hukum di Williamsburg, Virginia. Sebuah surat kabar lokal mendokumentasikan pembeliannya atas Quran dua volume tersebut yang diterjemahkan seorang Inggris bernama George Sale. Pertama kali diterbitkan pada 1734, versi Sale adalah yang paling awal diterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. Di dalamnya tercakup 200 halaman “Wacana Awal ” yang berisi gambaran tentang keyakinan, ibadah dan hukum-hukum Islam.

Jefferson mungkin tertarik pada Quran sebagai kitab hukum, karena pada saat itu ia juga memesan banyak karya bahasa Inggris terkait yurisprudensi. Pastinya dia cukupsurprise membaca definisi penerjemah yang menyebut Nabi (Muhammad) sebagai “pemberi ketentuan hukum bagi orang-orang Arab”.

Meski Sale menyebut Islam sebagai “agama palsu”, dia juga memuji Nabi sebagai “pribadi yang indah, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”. Penerjemah juga menolak mendefinisikan Islam “disebarkan oleh pedang saja” dengan mengingatkan pembacanya bahwa orang Yahudi dan Kristen juga berperang atas nama agama mereka.

Para pengkritik menuduh Sale terlalu adil menggambarkan Islam, sehingga pengusaha misionaris Anglikan yang mempekerjakannya pun menolak hasil terjemahannya itu. Sale pun dianggap sebagai sebagai “setengah Muslim” oleh sejarawan Inggris Edward Gibbon pada 1788.

Jadi di kedua sisi Atlantik, mereka yang dinilai membela Islam atau penganutnya, sama-sama dikecam keras.

Lalu, apa yang ada dalam benak Jefferson mengenai Quran dan isinya? Dia tidak meninggalkan secuil pun catatan yang merekam pemikirannya tentang Kitab Suci Islam itu, mungkin karena memang dia tak pernah menulisnya, atau karena catatannya ikut musnah  saat rumah ibunya terbakar lima tahun kemudian. Akibat kebakaran itu, menurut Jefferson, dia kehilangan “semua kertas” dan “hampir semua buku”. Quran miliknya mungkin juga ikut terbakar, tapi kalaupun demikian, pasti dia membelinya lagi karena saat ini Quran milik Jefferson tersimpan rapi di Library of Congress. Di Quran itu, Jefferson menorehkan parafnya di halaman pertama jilid pertama.

Jefferson sendiri mengkritik agama (Islam) dalam debat politiknya di awal tahun 1776 menyebut agama “membelenggu kebebasan”, tuduhan yang juga ia lontarkan terhadap ajaran Katolik. Dia berpikir kedua agama tersebut itu mencampuradukkan agama dan negara tepat ketika ia ingin memisahkan mereka di Virginia.

Meskipun kritis terhadap Islam, Jefferson mendukung hak-hak para penganutnya, kebijakan yang dilakukannya juga untuk warga Yahudi dan Katolik–dalam hal ini dia bergerak melampaui pahlawannya, Locke, yang tidak bertoleransi kepada penganut Katolik dan Ateis.

Dalam buku Jefferson 1784 Notes on Virginia, dia mengungkapkan pandangannya tentang kaitan antara agama yang dianut tetangganya dengan negara: “Kekuasaan yang sah dari pemerintah mencakup kontrol atas tindakan-tindakan warga yang melukai orang lain. Tapi saya tidak terluka sedikitpun kalau tetangga saya bilang ada 20 tuhan maupun tidak ada tuhan.  Mereka tidak mencopet dompet saya atau mematahkan kaki saya.”

Dengan pernyataannya bahwa pemerintah tidak boleh mengganggu keyakinan spiritual warganya, secara tidak disadari Jefferson menunjukkan titik lemah kepada musuh-musuh politiknya. Bagi banyak orang, pernyataannya membuktikan bahwa dia bukan seorang Kristiani sejati.

Versi resmi Jefferson tentang Kaidah Emas, dikombinasikan dengan pandangan Locke tentang hak-hak sipil Muslim, dengan sangat nyata tergambar dalam autobiografinya pada 1821, di mana dia mengenang pertarungan terakhirnya untuk memenangkan rancangan undang-undangnya yang paling terkenal, the Statute of Virginia for Religious Freedom (Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama)–yang masih berlaku hingga kini.

Statuta itu menyatakan “Hak-hak sipil kita tidak bergantung pada pandangan keagamaan kita.” Meskipun usulan undang-undang Jefferson itu semula ditentang pada 1779, beberapa redaksionalnya dapat dinegosiasikan oleh James Madison dan akhirnya lolos disahkan pada 1786 saat Jefferson berada di Prancis.

Jefferson dengan gembira mencatat dalam autobiografinya bahwa upaya lawan-lawannya untuk mengubah redaksional dengan menambahkan “Yesus Kristus” di bagian pembukaan undang-undang tidak berhasil. Dan kegagalan tersebut menjadikan Jefferson semakin yakin untuk menegaskan maksudnya agar penerapan statuta itu berlaku “universal”. Dengan ini dia memaksudkan kebebasan beragama dan persamaan hak politik bukan hanya eksklusif bagi umat Kristiani–suatu keyakinan pada pluralisme agama yang juga diyakini Madison.

Jefferson menegaskan bahwa usulan awal undang-undangnya dimaksudkan untuk “mencakupkan perlindungannya terhadap Yahudi dan bukan Yahudi, Kristen  dan Muslim, Hindu, dan kaum kafir….”

Pada saat menulis kata-kata seperti itu pada 1821, Jefferson tentu menyadari konsekuensinya, yaitu dirinya sendiri akan dicap sebagai kafir. Menjelang kemenangannya yang tipis dalam pemilihan presiden pada 1800, dia mengaku pada seorang karibnya, “Betapa hebatnya upaya kita melampaui kemunafikan dalam politik dan agama ini, kawan.”

Jefferson bukanlah kandidat presiden terakhir yang dikecam dan difitnah gara-gara keterkaitannya dengan Islam, tapi dialah yang pertama.

Tragisnya, meskipun Jefferson menang memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama Amerika–para budak dari Afrika Barat–tidak memperoleh kebebasan yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu bahkan mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan kebenarannya saat ini. [Diterjemahkan secara bebas dari islamophobiatoday.com]

*) Denise A. Spellberg, pengajar sejarah dan studi Timur Tengah di University of Texas, Austin, penulis buku Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders.

 

sumber: Islam Indonesia

Puasa dan Gerakan Kejujuran

Oleh Dr HM Harry M Zein

 
“Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Puasa adalah perisai selama yang bersangkutan tidak merusak’. Lalu ada yang bertanya, ‘Dengan apa merusaknya?’ Jawab Rasulullah SAW. ‘Dengan berbohong atau bergunjing.” (Hadis Riwayat Abi Ubaidah RA)
Belum lama seorang kawan datang ke rumah. Dalam perbincangan santai, dia mengeluhkan, mengapa saat ini kejujuran menjadi hal yang paling sulit ditemukan. Sehingga menurut si kawan itu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal dan berharga.
Tidak salah kawan tersebut mengeluhkan hal tersebut. Mungkin kita sedikit sepakat bahwa saat ini sedikit sulit mencari orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran; jujur dalam berkata dan jujur dalam bertindak.
 
Namun tidak adil juga jika kita terus mengkritisi hingga memprotes terhadap kondisi. Mengubah masyarakat agar menjadikan nilai-nilai kejujuran dalam jujur berkata dan bertindak memang perkara mudah. Namun jika terus mengkritisi dan memprotes keadaan juga bukan suatu tindakan yang bijak.
 
Bulan Ramadan bisa menjadi moment penting untuk mengasah kejujuran perkataan dan tindakan. Lantaran puasa menjadi ibadah istimewa, maka puasa bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan rasa kejujuran.
 
Kita dapat saja makan dan minum seenak kita di tempat tempat yang tertutup dan sunyi yang tidak terlihat oleh siapapun. Akan tetapi karena kita sedang berpuasa maka kita, dalam kondisi apapun dan dalam cuaca apapun tidak akan mau melakukan perbuatan makan dan minum tersebut, walaupun tidak ada orang lain yang melihat. Kejujuran hati kitalah yang akan mengatakan “pasti Allah SWT melihat apa apa yang kita kerjakan”.
 
Karena orang yang berpuasa sadar betul bahwa ia sedang dilatih semua aktivitasnya pasti diketahui dan lihat oleh Allah SWT. Apabila kesadaran ketuhanan ini telah terbangun serta menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun dan terbentuk sifat yang amat mulia yakni “kejujuran”
Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT. (Innama buitstu liutammima makaarial akhlaq).
Seorang ulama menyatakan bahwa hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan.
Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa.  Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.
Ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.
Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan.
Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.
Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.
Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.
Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.
Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”.
Kita hanya bisa mengatakan bahwa kita telah menang dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan kalau kita mampu mengubah perilaku di dalam kehidupan keseharian kita selama sebelas bulan ke depan. Dari yang tidak jujur menjadi jujur, dari yang serakah menjadi suka berbagi, dan dari yang sombong menjadi rendah hati.
sumber: Republika Online

Puasa dan Kejujuran

Oleh : Agustianto
Dosen Pascasarjana UI

Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidak jujuran benar-benar telah menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia.

Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka di bumi ini. Kita lebih mudah mencari orang-orang pintar daripada orang-orang jujur. Keserakahan dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan hedonisme yang cendrung menghalalkan segala cara.

Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan . Sehingga kita sering mendengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan selalu diucapkan orang,”kalau jujur akan terbujur”,”kalau lurus akan kurus”,kalau ihklas akan tergilas”.

Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit korup dan ketidak jujuran.

Nabi muhammad Saw pernah mempredeksi, bahwa suatu saat nanti, diakhir zaman,manusia dalam mencari harta,tidak mempedulikan lagi mana yang halal dan mana yang haram. (HR Muslim).

Ramalan Nabi pada masa kini telah menjadi realitas sosial yang mengerikan, bahkan implikasinya telah menjadi patologi sosial yang parah, seperti menjamurnya korupsi, pungli, suap, sogok,uang pelicin dsb. Banyak kita temukan pencuri-pencuri berdasi melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam mengelola proyek. Manusia berlomba-lomba mengejar kekayaan dan kemewahan dunia secara massif, tanpa mempedulikan garisan-garisan syariah dan moralitas.

Era reformasi yang telah berlangsung lebih tujuh tahun, dengan tekad untuk memberantas segala bentuk kolusi,korupsi dan nepotisme, -bahkan telah ditetapkan lewat Tap MPR- belum menunjukkan tanda-tanda dan hasil yang mengembirakan,sebab, praktek kolusi,korupsi dan suap menyuap masih saja menjadi kebiasaan masyarakat kita . Untuk mengatasi dan mengurangi segala destruktip tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantap kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam puasa Ramadhan.

Puasa melatih kejujuran

Berbeda dengan sifat ibadah yang ada, puasa adalah ibadah sirriyah (rahasia). Dikatakan sirriyah, karena yang mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak, hanyalah orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah SWT.

Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur. Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah swt..

Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat seperti itu, takut puasa batal.

Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun sifat kejujuran.

Jika manusia jujur telah lahir, dan menempati setiap sektor dan instansi, lembaga bisnis atau lembaga apa saja, maka tidak adalagi korupsi, pungli, suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.

Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik dan terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Kejujuran juga menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran.

Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya, seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kezaliman terhadap hak orang lain.Ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya mengancam stabilitas sosial. Ketidak jujuran selalu berimplikasi kepada ketidakadilan. Sebab orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya.

Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang,, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah banyak disapaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkat bahwa, Rasulullah pernah didatangi oleh seorang pezina yang ingin taubat dengan sebenarnya. Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu,agar orang tersebut berlaku jujur dan tidak bohong

Syarat yang kelihatan sangat ringan untuk sebuah pertaubatan besar, tetapi penerapannya dalam segala aspek kehidupan sangat berat.Dan ternyata syarat jujur tersebut sangat ampuh untuk menghentikan perbuatan zina. Jika ia tetap berzina secara sembunyi-sembunyi, lalu bagaimana ia harus menjawab jika Rasulullah menanyainya tentang apakah ia masih berzina atau tidak.Untuk menghindari berbohong kepada Nabi, maka si pezina mengakhiri prilakunya yang dusta itu dan kemudian benar-benar bertaubat dengan penuh penghayatan.

Dari riwayat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kejujuran sangat signifikan dalam membersihkan prilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi, penipuan, manipulasi, suap-menyuap dan sebagainya.

Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah dari ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan riel dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran telah disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan kolusi terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja dibeking oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.

Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya malapetaka berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma. kejujuran dan semakin mekarnya kepalsuan dalam kehidupan bangsa kita.

Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan profetik keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat ditransformasikan untuk membongkar sangkar kepalsuan dan mem bangun kejujuran.

Ada yang secara pesimis berpendapat, bahwa membangun kejujuran pada era materialisme adalah suatu utopia (angan-angan) mengingat mengakarnya sifat ketidak jujuran dalam masyarakat dan bangsa kita. Sebagai orang beriman yang menyandang peringkat khairah ummah, sikap pesimis di atas harus dibuang jauh-jauh.Sebab gerakan amarma’ruf nahi mungkar yang dilandasi iman, harus tetap dilancarkan, agar konstelasi dunia ini tidak semakin parah.
PENUTUP

Realitas menunjukkan, bahwa kesemarakan ramadhan dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun ironisnya, bersamaan dengan itu penyimpangan dan ketidakjujuran masih berjalan terus. Padahal, suatu bulan kita dilatih dan didik untuk berlaku jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya. Bila selama satu bulan itu, orang-orang yang berpuasa benar-benar berlatih secara serius dengan penuh penghayatan terhadap hikmah puasa, maka pancaran kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa mereka. Kalau puasa Ramadhan yang dilakukan tidak melahirkan manusia-manusia jujur, berarti kualitas puasa orang tersebut masih sebatas lapar dan dahaga. Karena puasa yang dilakukan tidak memantulkan refleksi kejujuran. Kalau orang yang berpuasa, masih mau menerima suap dari orang-orang yang mencari pekerjaan, berarti kualitas ibadah orang tersebut masih sangat rendah. Kalau orang yang berpuasa, masih mau melakukan mark up dalam proyek, korupsi dan kolusi, berarti puasa yang dilakukan masih jauh dari tujuan puasa.

Kalau pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna,pungli,korupsi dan kolusi tetap menjadi kebiasaan, barang kali puasa yang dilakukan tidak didasari iman, tetapi mungkin ia melakukan puasa hanya karena mengikuti tradisi. Untuk mewujudkan manusia jujur, perlu peningkatan iman dan penghayatan kesadaran kehadiran Tuhan. Tanpa upaya ini, kejujuran tak kan lahir dari orang yang berpuasa.

 

sumber:Era Muslim

Keutamaan Sepuluh Hari Kedua Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dimana ia berkata bahwa Rasulullah SAW Bersabda :
 
“Awal bulan Ramadan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).”
 
Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu. Diceritakan bahwa Rasulullah SAW berkhutbah menjelang Ramadan, diantara isi khutbah baginda,
 
“Siapa saja yang memberi berbuka kepada orang yang shaum/puasa dengan seteguk susu, sebiji kurma, atau seteguk air, dan siapa yang mengenyangkan orang shaum, maka ALLAH akan memberi minum dari telaga dengan satu tegukan, yang menyebabkan tidak haus sampai masuk syurga. Inilah bulan, yang awalnya adalah Rahmah, Pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun Minan nar (pembebasan dari api neraka). Perbanyaklah melakukan 4 hal dalam bulan Ramadan.”

 

SETELAH  berhasil melalui fase pertama yang sudah pasti cukup berat karena tubuh dan pikiran berusaha beradaptasi dengan kondisi saat puasa, maka 10 hari kedua Ramadhan ini mungkin akan terasa lebih ringan karena akhirnya tubuh sudah mulai terbiasa dengan aktivitas puasa yang menuntut seseorang untuk tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga saat matahari terbenam.

Untuk keutamaan 10 hari kedua Ramadhan seperti yang disebutkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).”

Nah, pada fase kedua atau fase 10 hari kedua Ramadhan inilah Allah membukakan pintu magfirah atau ampunan yang seluas-luasnya.

Karenanya Jangan sampai kita melewatkan hari-hari penuh ampunan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dengan sia-sia. Pada waktu-waktu inilah saat yang paling tepat untuk memperbanyak doa serta memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lalu agar diampuni dan dibebaskan dari hukuman.

Perbanyaklah melakukan sholat malam, berdoa , tilawah quran, dan berdzikir karena pada 10 hari kedua Ramadhan ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengurangi dosa-dosa yang telah kita perbuat.

Dengan memohon ampunan dengan tulus dan bersungguh-sungguh serta bertobat dari hati yang terdalam Insya Allah pasti mendapatkan ampunan-Nya. [berbagai sumber]

sumber: Islampos.com