Ini Asal Mula Tradisi Membangunkan Sahur

JAKARTA — Ada beragam tradisi memeriahkan dan menghidupkan Ramadhan di berbagai dunia Islam. Sebagiannya, atau nyaris keseluruhannya, memang belum pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi, tak jadi soal. Ini soal tradisi dan budaya yang berangkat dari kearifan lokal.

Unik, sekaligus mengundang ketertarikan lintas generasi. Tiap daerah memiliki tradisi masing-masing. Ikhtiar sederhana masyarakat lokal untuk memberi keistimewaan bulan suci itu. Salah satu tradisi klasik di Timur Tengah adalah membangunkan sahur. Di Indonesia, sejumlah daerah mengenalnya dengan grebek sahur.

Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan al-muskhirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel yang berbeda-beda sesuai dengan karakter lokal tiap-tiap negara. Liriknya, berisikan ajakan dan seruan bangun sahur.

Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq yang berkuasa di Mesir pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-muskhirati pertama.

Ini karena pada 238 H, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur. Ia melakukannya dengan berjalan kaki.

Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat. Dan kini, profesi ini tak lagi menarik. Mulai tergeser dengan suara alarm, atau pekikan keras dari pengeras suara di masjid.

sumber: Republika Online

Cerita Mualaf Filipina Pertama Kali Puasa

Ninamhel Marquez (28 tahun) adalah seorang wanita asal Filipina yang menikah dengan seorang pria asal Uni Emirat Arab (UEA). Dia dibesarkan sebagai seorang Kristen dan baru menjadi  Mualaf – agama suaminya – pada November 2014.

Tahun ini merupakan pertama kalinya Ninamhel melaksanakan puasa. Awalnya, dia khawatir bagaimana bisa menahan lapar dan haus di siang hari. Alhamdulillah, Ninamhel mengaku sepekan pertama puasanya berlangsung lancar.

“Aku lumayan khawatir sebelumnya, apalagi suasana hatiku sering berubah ketika perut kosong. Alhamdulillah, ketika berpuasa, rasa itu tidak ada sebab aku mencoba melakukannya seperti yang diperintahkan Allah. Allah pasti membantu dan mempermudah kita melakukannya,” kata Ninamhel, dilansir dari the National, Rabu (24/6).

Ninamhel menyadari bahwa Allah memerintahkan Muslim berpuasa supaya ikut merasakan penderitaan orang miskin yang tetap bertahan hidup berhari-hari tanpa makanan. Puasa juga mengajarkan seseorang bagaimana mengendalikan emosi, saling membantu sesama, hingga akhirnya mendapatkan berkah dari Allah.

Wanita cantik ini merasa memeluk Islam membuatnya merasa seperti bayi yang baru saja lahir. Setelah berpuasa selama beberapa hari ini, Ninamhel merasa tubuhnya semakin sehat, ringan, dan semakin dekat kepada Allah.

“Setelah aku berdoa dan meminta kepada Allah, mengejutkan, permintaan itu akhirnya dikabulkan cepat atau lambat karena Allah Maha Pemurah. Tidak ada batas kemurahan hati-Nya,” kata Ninamhel.

sumber: Republika Online

Begini Awal Mula Bangsa Arab Mengenal Puasa 30 Hari

Puasa 30 hari sebulan penuh sebelumnya tidak populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut al-Qalaqasyandi dalam Nihayat al-Irb fi Ma’rifat Ansab al-Arab, penduduk jazirah Arab mengenal tradisi berpuasa sebulan penuh itu selama penjajahan Nabonidus penguasa Babilon (berkuasa selama 556-539 sebelum Masehi) terhadap wilayah Taima, yang merupakan kawasan di Jazirah Arab.

Lambat laun, ritual berpuasa menjadi bagian tak terlepaskan dari kebiasaan arab jahiliyah, meski dengan istilah yang tak sama. Arab jahiliyah menyebut Ramadhan dengan sebutan natiq yang berarti puasa. Ada juga yang mengistilahkan Ramadhan dengan Ramdha’ akibat cuaca panas yang berlangsung selama puasa tersebut.

Imam at-Thabari dalam tafsirnya, menggambarkan bagaimana masyarakat Arab penyembah berhala malaksanakan puasa. Lazimnya puasa pada umumnya, mereka juga menahan makan dan minum serta berhubungan intim, termasuk juga berpuasa dari berbicara apapun. Al-Maqdisi dalam al-Bud’u wa at-Ta’rikh menambahkan, sebelum Islam datang, selama berpuasa Suku Quraisy juga kerap ‘bersemedi’ (tahannuts) selama berpuasa.

Ibn an-Dadim dalam al-Fihrist menyatakan tradisi berpuasa Ramadhan konon telah populer di kalangan Kaum Sabian yang tinggal di utara Irak. Mereka berpuasa sebulan penuh tiap tahun sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa bulan yang mereka sebut dengan Sin. Tidak hanya berpuasa mereka juga mempersembahkan hewan kurban kepada Sin.

Menurut Abu al-Fida Ibnu Katsir dalam al-Mukhtashar fi Tarikh al-Basyar, Kaum Sabian berpuasa selama 30 hari, jika berdasarkan penanggalan bulan, hari tersebut tidak penuh 30, maka mereka akan berpuasa 29 hari. Puasa mereka bermula dari seperempat malam terakhir hingga terbenamnya matahari.

Selain puasa mereka, ungkap Ibnu Katsir, juga memiliki ritual shalat jenazah tanpa sujud dan ruku’. Pada pengujung berakhirnya puasa mereka selama sebulan, imbuh Ibn al-Jauzi dalam Talbis al-Iblis, Sabian menghadiahkan sembelihan kurban untuk dewa mereka. Dalam istilah Ibnu Nadim, perayaan mereka setelah menunaikan puasa sebulan penuh itu disebut dengan Id al-Fithr.

 

 

sumber: Republika Online

Dhaif, Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah

MUNGKIN karena kurang tidur atau memang doyan, puasa sering kali diisi oleh aktivitas tidur bagi sebagian besar orang Islam yang sedang menjalankan ibadah satu bulan ini. Alasannya, ada hadist-nya lho. Benarkah?

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain: “Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan Ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

sumber: IslamPos

 

Keutamaan Shalat Shubuh

Shubuh adalah salah satu waktu di antara beberapa waktu, di mana Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk mengerjakan shalat kala itu. Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (Qs. Al-Isra’: 78)

Betapa banyak kaum muslimin yang lalai dalam mengerjakan shalat shubuh. Mereka lebih memilih melanjutkan tidurnya ketimbang bangun untuk melaksanakan shalat.  Jika kita melihat jumlah jama’ah yang shalat shubuh di masjid, akan terasa berbeda dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada waktu shalat lainnya.

Keutamaan Shalat Shubuh

Apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh, niscaya ia akan dapati banyak keutamaan. Di antara keutamaannya adalah

(1) Salah satu penyebab masuk surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّة

Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)

(2) Salah satu penghalang masuk neraka

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634)

(3) Berada di dalam jaminan Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 163)

(4) Dihitung seperti shalat semalam penuh

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim no. 656)

(5) Disaksikan para malaikat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ

 “Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no.632)

Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Shubuh

Padahal banyak keutamaan yang bisa didapat apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh. Tidakkah kita takut dikatakan sebagai orang yang munafiq karena meninggalakan shalat shubuh? Dan kebanyakan orang meninggalkan shalat shubuh karena aktivitas tidur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Cukuplah ancaman dikatakan sebagai orang munafiq membuat kita selalu memperhatikan ibadah yang satu ini.

Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua, terkhusus bagi para laki-laki untuk dapat melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto

sumber: Muslim.or.id

Rasul Suka Basahi Kepala saat Puasa

Apa hukumnya bagi orang berpuasa yang mandi demi mendinginkan badan? Seperti diriwayatkan dari kitab Hadist Shahih Al Bukhari bab ‘Mandinya Orang Puasa’, Ibnu Umar pernah membasahi kain lalu ditutupkan ke tubuhnya dalam keadaan puasa.

Sementara, Asy Sya’bi masuk kolam (kamar mandi) dalam keadaan puasa. Al Hasan berkata boleh berkumur dan berdingin-dingin bagi orang puasa. Semua teladan baik itu dibenarkan oleh Al Hafizh dalam ‘Al Fatah’ (4/153-154).

Sementara, dalam kitab shahih yang dikeluarkan oleh Abu Daud (2365), Rasulullah malah suka menyirami kepalanya dalam keadaan puasa dari haus atau panas. (Sumber: Berpuasa seperti Rasulullah terbitan Gema Insani)

sumber: Republika Online

Hikmah Larangan Jual Beli Saat Shalat Jumat

Apa ada hikmah dari larangan jual beli saat shalat Jumat?

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa larangan di sini adalah untuk jual beli padahal hati begitu tertarik sekali untuk melakukannya. Untuk pekerjaan lainnya yang juga melalaikan hati dari ibadah, itu pun diperintahkan untuk ditinggalkan.

Hikmah dari meninggalkan larangan jual beli disebutkan dalam ayat di atas,

ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).

Syaikh As Sa’di menerangkan mengenai ayat di atas, “Ayat tersebut menunjukkan akan hikmah besar dari meninggalkan larangan. Kebaikan yang diperoleh karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas ibadah shalat Jumat. Shalat Jumat ini adalah kewajiban yang sangat penting. Kita diperintahkan untuk meraih kebaikan dan pahala di dalamnya. …. Di antara hikmah penting dari menghadiri shalat Jumat adalah kita diperintahkan untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia.”

Beliau rahimahullah juga menerangkan, “Di antara bentuk kebaikan yang diraih dari menghadiri shalat Jumat dan meninggalkan jual beli kala itu, di situ ada bentuk mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu kita. Dengan demikian, itu tanda benarnya iman orang tersebut. Tanda bahwa orang tersebut benar-benar ingin kembali pada Rabbnya. Dan tentu saja siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik. Sedangkan, siapa yang mendahulukan hawa nafsunya dari ketaatan pada Allah, sungguh ia benar-benar rugi dalam urusan akhiratnya. Ditambah, ia pun akan merasakan rugi di dunia. Nah itulah yang menjadi keutamaan yang besar bagi siapa saja yang meninggalkan urusan dunia hingga shalat Jumat selesai.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 139).

Syaikh As Sa’di di kitab lain menuturkan, “Sesuatu di sisi Allah tentu lebih baik dan lebih kekal. Karenanya jika seseorang mendahulukan urusan dunia daripada urusan ibadahnya, tentu ia benar-benar merugi. Jika ada yang melanjutkan jual beli saat shalat Jumat, ia sangka akan raih keuntungan, namun sebenarnya yang ada adalah kerugian yang nyata.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).

Baca Larangan Jual Beli Saat Shalat Jumat.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Taisir Al Lathifil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Selesai disusun di hari Jumat penuh berkah, 5 Safar 1436 H di Darush Sholihin

Yang senantiasa mengharapkan bimbingan Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Artikel Rumaysho.Com

Keutamaan Sedekah Hari Jumat

Hari Jum’at merupakan hari yang paling utama dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Bagi ummat muslim, hari Jumat merupakan hari yang mulia.

Karena memang pada hari itu terdapat banyak manfaat yang akan didapat oleh kaum muslimin apabila melakukan amalan kebajikan pada hari tersebut.

Dan hari Jum’at juga termasuk penghulu semua hari, di dalamnya Allah azza wa jalla melipatgandakan kebaikan, menghapus keburukan, mengangkat derajat, mengijabah doa, menghilangkan duka, dan menunaikan hajat-hajat yang besar.

Betapa mulianya hari Jumat, sehingga Allah Ta’ala memuliakan orang yang beramal sholih pada hari tersebut; termasuk sedekah. Sedekah hari apa pun sangat utama. Namun, khusus hari Jumat, Allah memberinya pahala “lebih”. Pasalnya, hari Jumat merupakan hari yang utama dalam Islam hari raya mingguan umat Islam.

“Sesungguhnya sedekah pada hari Jum’at itu memiliki kelebihan dari hari-hari lainnya. Sedek
ah pada hari itu dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti sedekah pada bulan
Ramadhan jika dibandingkan dengan seluruh bulan lainnya.” (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad).

“Dan sedekah pada hari itu (Jumat) lebih mulia dibanding hari-hari selainnya”. (HR Ibnu Khuzaimah).

Sekian sedikit keutamaan sedekah di hari Jumat. Semoga kita di kuatkan untuk selalu bersemangat dalam melakukan amalan-amalan kebaikan dan InsyaAllah menjadi amalan yang Gusti Allah muliakan dan dikekalkan pahalanya. Allahu’alam.

 

sumber: BMH Jogja