Moskow Jadi Kota Muslim Terbesar di Eropa

Jumlah muslim di Moskow mencapai 1,5 juta saat ini.

Masjid Sobornaya di Ibukota Rusia, Moskow kerap dipadati jemaah ketika perayaan Idul Fitri setiap tahunnya. Tetapi, tahun ini ada yang berbeda dari ikon masjid di bekas negara Uni Soviet ini.

Masjid di Rusia yang merayakan Idul Fitri 1436 Hijriah pada Sabtu, 18 Juli 2015, kini menampung jumlah jemaah hingga 60.000 orang. Jumlah yang sangat besar untuk negara berlatar komunis.

Jumlah tersebut menjadi penanda umat Islam tengah berkembang di sana. Bahkan, Moskow yang dulu tidak ramah terhadap umat Islam, kini menjadi rumah bagi sebagian besar Muslim Rusia.

“Moskow secara perlahan beradaptasi untuk menjadi kota muslim terbesar di Eropa, dan muslim secara bertahap beradaptasi dengan itu,” ujar Pengamat Politik Rusia, Alexei Malashenko kepada Al Jazeera, dikutip Dream.co.id dari onislam.net, Kamis, 23 Juli 2015.

Komunitas muslim mencatatkan pertumbuhan yang begitu cepat ketimbang agama lain di Moskow. Dari total 12,5 juta penduduk, pemeluk Islam di Rusia saat ini mencapai 1,5 juta penduduk.

Angka tersebut disumbang tidak hanya dari kelahiran keturunan keluarga muslim. Para mualaf yang tinggal di Moskow ikut menyumbang peningkatan jumlah penduduk muslim di sana.

Anastasiya Korchagina merupakan seorang mualaf wanita yang memutuskan untuk menutup auratnya. Gaya dia dan para muslimah lain ternyata mampu membuat sejumlah warga Moskow tertarik.

“Saya sering mendapat pujian tentang gaya berpakaian saya dan begitu cantiknya saya terlihat,” kata wanita yang mengubah nama pertamanya menjadi Aisha sejak memeluk Islam lima tahun lalu.

Dia pun mengaku tidak mengalami tindakan kekerasan dari warga sekitar lantaran keyakinannya. “Saya tidak pernah mengalami sikap buruk,” katanya.

Selain mereka yang berkumpul di Masjid Sobornaya, terdapat 180.000 muslim yang juga merayakan lebaran di Moskow. Mereka menjalankan salat Id di lima masjid lain.

Meski jumlah muslim bertambah, bukan berarti mereka tidak mengalami tekanan. Aparat keamanan Moskow bahkansampai menempatkan alat pendeteksi logam di pintu depan masjid dan memeriksa setiap jemaah yang akan salat Id.

Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Rusia yang belum memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah. Sejumlah larangan masih menghiasi kehidupan beragama umat Islam di Rusia.

“Jika Anda ingin salat di masjid, Anda harus masuk penjara,” ujar seorang muslim asal Derbent, Murad Abdullaev, 29 tahun.

Larangan menjalankan ibadah juga dialami para muslim di tempat kerja. Padahal, ibadah seperti salat dijalankan di waktu istirahat.

“Anda pergi salat saat bekerja, Anda pasti ditegur. Tapi ketika teman Anda merokok sambil beristihat, hal itu diabaikan,” kata Murad.

 

sumber: Dream

Wow….Jerman Tiba-Tiba Miliki 5 Juta Muslim

Lembaga Riset Pew Research Center mencatat, tingkat alami kenaikan populasi Muslim di Jerman berkisar 1,6 persen per tahun atau 77 ribu jiwa.  Berdasarkan proyeksi ini, populasi Muslim Jerman diperkirakan sebanyak 5,785 juta pada akhir 2015.

Ada 5.068 ribu Muslim pada akhir 2014, ditambah 640 ribu migran yang telah tiba di Jerman, dikombinasikan dengan peningkatan alami sebesar 77 ribu jiwa. Jumlah ini berpotensi membentuk Jerman sebagai negara dengan populasi Muslim tertinggi di Eropa, lebih tinggi dari Prancis.

“Kami tiba-tiba memiliki 5 juta Muslim,” kata Thomas Volk, seorang ahli Islam dari Konrad Adenauer Foundation, sebuah lembaga think tank yang berkaitan dengan Partai Merkel, Christian Democratic Union (CDU), dilansir dari Reuters.

Kendati menyimpan beberapa kekhawatiran dan gegar budaya, Kepala Kajian Islam Universitas Munster, Mouhanad Khorcide, menilai ini bisa menjadi “keberuntungan.” “Islam di Jerman akan menemukan keragaman,” kata Khorcide.

Corak Mazyek pun memprediksi bahwa ledakan demografi ini akan berpengaruh pada corak keagamaan Muslim Jerman.  “Islam bercorak Arab akan menjadi lebih tampak dan Muslim Jerman akan semakin berwarna,” kata Aiman Mazyek.

Menurut seorang akademisi keturunan Suriah kelahiran Jerman, Lamya Kaddor, Islam di tengah masyarakat Suni Suriah bersifat “konservatif dan terbuka.” Mereka terbiasa hidup di tengah masyarakat multiagama. Hal ini karena komposisi agama- agama di Suriah.

“Ada banyak agama berbeda, Kristen, Drize, Alewites, dan Syiah. Agama tidak pernah dikedepankan. Mereka sangat toleran,” kata Kaddor dalam sebuah wawancara. Kaddor yakin Muslim Suriah dapat mengintegrasikan diri dengan mudah di tengah-tengah komunitas Muslim Jerman.

Radikalisasi Sebagian pihak masih menyimpan kekhawatiran terhadap radikalisasi yang mungkin akan menguat di tengah masyarakat, mengingat masuknya orang-orang yang tidak familiar dengan nilai-nilai Barat.  Pemuda-pemuda migran yang masih gegar rawan menjadi incaran kelompok radikal.

Namun, Kementerian Dalam Negeri menepis hal itu. Mereka menegaskan proporsi hal itu sangat kecil dan tidak ada alasan untuk khawatir.

Menurut pengamat Islam dari Bertelsmann Foundation, Yasemin El Menouar, risiko ini juga tereliminasi oleh fakta bahwa banyak pengungsi itu melarikan diri dari kelompok-kelom pok radikal di Suriah atau Irak.

“Mereka yang hidup di tengah kekejaman rezim Bassar Al Assad atau ISIS tidak ingin mendengar pembicaraan tentang pejuang Islam,” kata Khorcide. Ia berpendapat, tantangan utama terletak pada integrasi sosial para pengungsi.

Sejauh ini Pemerintah Merkel menyatakan penerimaan yang baik terhadap imigran Muslim. Ia berulang kali mengingatkan para pengungsi untuk menghormati prin sip- prinsip kebebasan masyarakat dan supremasi hukum. Merkel juga mendesak sesama warga untuk menunjukkan toleransi bagi umat Islam. “Islam telah menjadi ba gian dari Jerman,” kata Kanselir Jerman itu.

Namun, mengingat gerakan antimigran pernah memenangkan kursi di beberapa pemilu legislatif pada 1990-an setelah Jerman menerima gelombang pengungsi, Thomas Volk menyarankan Merkel harus memulai debat publik yang luas untuk mela wan prasangka terhadap Muslim.

“Kami harus berhati-hati. Kelompok populis bisa mengubah pengungsi menjadi isu yang menguntungkan mereka,” kata dia.

Kala itu, Jerman menampung sejumlah besar pengungsi dari bekas negara Yugoslavia yang dilanda perang. Teriakan garang partai sayap kanan baru redup dengan adanya hukum suaka pada tahun 1993.

 

 

sumber: Republika Online

Islam, Agama Terbesar Kedua di Italia

Silaturahim yang digelar komunitas Muslim Italia diperoleh satu fakta penting.  Muslim Italia menjadi komunitas agama terbesar di Italia. Alhamdulillah.

“Dari angka Badan Statistik Nasional Italia, diketahui bahwa saat ini terdapat 1.7 juta jiwa Muslim,” ucap Izzedin Elzir, Imam Uni Organisasi Muslim Italia (UCOII), seperti dilansir onislam.net, Rabu (12/1).

Elzir mengungkap ada lebih dari 700 masjid lebih. Yang menggembirakan, komunitas Muslim menyumbang 4-5 persen PDB Italia. “Ini menandakan Islam merupakan nilai tambah bagi Italia,” ucapnya.

Melihat fakta itu, Elzir menyayangkan apabila Islam belum diakui secara resmi oleh Italia. Namun, Elzir meminta Muslim Italia tidak berkecil hati karena secara de facto Islam telah diakui.

Ahli Hukum Islam, Universitas Orientale Naples, Agostino Cilardo menilai tidak adanya pengakuan terhadap komunitas Muslim tercermin dari minimnya representasi komunitas Muslim. Ambil contoh saja, tidak ada organisasi Islam yang diakui secara resmi. “Tidak ada yang bisa berbicara atas nama Muslim Italia,” ucap dia.

Menurut Cilardo, efek dari hal itu komunitas Muslim tidak memperoleh dana khusus dari wajib pajak yang diperoleh agama lain, seperti Yahudi dan Buddha.

Harus diakui, belum sepenuhnya masyarakat Italia menerima Islam. Ini terlihat dari penolakan terhadap rencana Perdana Menteri Italia, Enrico Letta membangun sebuah museum seni Islam di Venesia.  Begitu pula rencana pembangunan masjid yang kerap gagal diwujudkan.

 

sumber: Republika Online

Umat Islam saleh, warga Inggris baik

Sejak peristiwa 7 Juli 2005, pemerintah Inggris mulai berusaha menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan Inggris kepada para pelajar Muslim Inggris, tanpa menanggalkan iman mereka.

Kepentingannya adalah agar warga Muslim Inggris tidak terlibat dalam paham-paham radikal yang membuat empat pemuda Muslim Inggris melakukan pengeboman di negara mereka sendiri.

Di kota Bradford, Inggris Utara, seorang pemuda keturunan Pakistan lulusan Universitas Oxford bernama Sajid Hussain menyusun kurikulum kewarganegaraan Inggris untuk sekolah umum dan madrasah.

Bradford merupakan salah satu kota tujuan para pendatang Muslim yang datang dari Pakistan pada 1950-an dan 1960-an.

Pemerintah Inggris mendatangkan mereka untuk bekerja di pabrik-pabrik tekstil.

Sekitar 16% populasi Bradford yang berjumlah sekitar 500.000 jiwa adalah warga Muslim, yang sebagian besar berasal dari Pakistan.

Karena populasi warga Muslim lebih muda dari warga Inggris pada umumnya, persentase siswa Muslim di Bradford lebih besar lagi, yaitu 30% lebih.

Silabus ini menekankan perlunya partisipasi dalam kehidupan masyarakat, untuk bekerja sebagai relawan, ikut dalam proses politik, dalam pemilihan umum.

Sajid Hussain

Sejak tutupnya industri tekstil di Bradford, perekonomian kota ini merosot . Entah ada kaitan langsung atau tidak, tahun 2001 kota ini dilanda kerusuhan yang bersifat SARA.

Kerusuhan yang lebih kecil juga pernah terjadi tahun 1995. Jauh sebelumnya, ketika buku Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdie diterbitkan pada tahun 1989, Bradford menjadi pusat pembakaran buku itu.

Silabus Kewarganegaraan

Sajid Hussain adalah bekas guru sekolah menengah yang sekarang menjadi konsultan pendidikan.

Dia mencetuskan ide untuk menyusun kurikulum kewarganegaraan praktis.

Sajid kemudian mendirikan sebuah yayasan bernama Nasiha atau nasehat, di rumah orang tuanya di Bradford. Salah satu materi dalam modul pelajarannya adalah tentang budi pekerti.

Sajid selalu mendasarkan pelajarannya dengan ayat-ayat Al Qur’an karena gaya penyampaian semacam ini disukai oleh para imam dan guru madrasah.

Lewat silabus kewarganegaraan praktis ini, Sajid ingin mencapai tujuan yang lebih besar. Agar anak-anak keturunan Pakistan ini lebih terlibat dalam kehidupan masyarakat Inggris secara keseluruhan.

“Silabus ini menekankan perlunya partisipasi dalam kehidupan masyarakat, untuk bekerja sebagai relawan, ikut dalam proses politik, dalam pemilihan umum.”

“Kami juga memberi pesan kepada anak-anak muda Muslim agar mereka lebih bersahabat dengan anggota masyarakat dari komunitas lain dan agama lain,” kata Sajid Hussain.

Kemudian dia menambahnya dengan teknik-teknik pengajaran modern yang seringkali tidak dikuasai para guru madrasah.

Kewarganegaraan merupakan agenda ummat Islam. Kalau pemerintah mendorong hal ini, kami dukung.

Dr Musharraf

Sekarang silabus ini sudah dipakai oleh 400 sekolah umum dan madrasah di Inggris Utara.

Perasaan Kebangsaan

Tidak semua kalangan Islam sreg dengan gagasan pemerintah Inggris ini. Ada yang merasa bahwa golongan Islam diperlakukan beda dan harus diajar soal kewarganegaraan akibat ulah segelintir orang.

Akan tetapi Dr Musharraf Hussain -seorang imam sekaligus kepala sekolah Islam di kota Nottingham- berpendapat pendidikan kewarganegaraan merupakan agenda penting bagi kaum Muslim Inggris.

“Kewarganegaraan menyangkut hak dan kewajiban kita. Kita harus mengajar anak-anak kita tentang hak mereka sebagai warga negara Inggris. Sekolah saya sudah 10 tahun mengajarkan kewarganegaraan.”

“Kewarganegaraan merupakan agenda ummat Islam. Kalau pemerintah mendorong hal ini, kami dukung,” kata Dr Musharraf, yang juga menjadi ketua UK-Indonesia Islamic Advisory Group untuk Inggris.

Lepas dari keinginan pemerintah Inggris untuk memperkuat perasaan kebangsaan, peneliti dari Pusat Studi Islam Universitas Oxford, Dr Tahir Abbas, yakin bahwa penguatan etos pendidikan di kalangan Muslim keturunan Pakistan, merupakan solusi jangka panjang untuk menyamakan status ekonomi ekonomi mereka.

“Masalah pendidikan harus beres, karena pendidikan merupakan tiket menuju pekerjaan dan masa depan yang lebih baik.”

“Di Inggris Utara dan sebagian wilayah Inggris Tengah ada masalah besar karena banyak anak-anak keturunan Pakistan yang tidak lulus sekolah menengah. Ini bisa membuat mereka tertinggal seumur hidup,” kata Tahir Abbas.

Prestasi pendidikan anak-anak keturunan Pakistan di Inggris memang lebih rendah dari komunitas yang lain.

 

sumber: BBC

Muslim AS Jadikan Amerika Lebih Islami dari Negara Islam

Sejak awal Desember lalu, calon Presiden dari Partai Republik, Donald Trump menjadikan Muslim dan Islam sebagai bahan panas kampanye politiknya. Namun, di bawah tekanan Islamophobia dan kebencian terhadap Islam terus memburuk, muslim AS memberikan balasan yang berbeda.

Pemimpin komunitas muslim muda New Jersey, Mahmoud Mahmoud mengatakan, hubungan Muslim dan non-Muslim di Amerika sebenarnya jauh lebih baik dari negara-negara Muslim yang ada di dunia.

“Saya setuju pendapat Imam Feisal Abdul Rauf (pemimpin dan pendiri Komunitas Amerika untuk Kemajuan Muslim), bahwa Muslim AS mampu membuat Amerika lebih Islami dari pada negara-negara muslim dunia,” katanya dilansir VOA, Rabu (13/1). (Pameran Kebudayaan Islam Digelar di Museum Anak New York).

“Anda lihat nepotisme di sana (Negara mayoritas Muslim), korupsi mejalela, hak perempuan yang kurang dihargai, kemiskinan di mana-mana dan ketidakadilan sosial,” katanya. Muslim AS masih bisa mengekspresikan dirinya secara bebas, menjadi lebih relijius walaupun kini di bawah tekanan Islamophobia.

Di salah satu kesempatan, Imam Faeisal menanggapi komentar Trump yang ingin menutup akses Muslim ke Amerika. Feisal mengatakan, AS dan dunia Muslim tidak bisa dipisahkan. AS memiliki kepentingan besar dan dunia Muslim menduduki seperempat dari populasi dunia.

Presiden AS, Barack Obama pada Selasa (12/1) lalu, ikut menentang provokasi kebencian terhadap Muslim dan Islam. “Ketika politisi AS kini menghina Muslim, itu tidak membuat kita lebih aman. Itu tindakan yang salah,” kata Obama. Karena itu, kata dia, ajakan untuk membenci Islam tidak menjadikan AS menjadi lebih baik.

 

sumber: Republika Online

Indahnya Toleransi Antarumat Bergama di Trinidad & Tobago

Trinidad & Tobago, sebuah negara kepulauan penghasil minyak di kawasan Karibia, bisa disebut sebagai negeri yang ramah bagi kaum Muslimin. Meski mayoritas penduduk negara itu beragama Nasrani, namun tingkat toleransi mereka terhadap umat Islam terbilang tinggi.

Berdasarkan catatan Pew Research Center, jumlah Muslim yang mendiami Trinidad & Tobago pada 2000 mencapai 78 ribu jiwa atau sekira 6,6 persen dari total penduduk negara itu. Mayoritas dari mereka bermukim di Pulau Trinidad.

Kini, setelah 15 tahun berlalu, populasi umat Islam di Trinidad & Tobago diperkirakan meningkat menjadi 100 ribu jiwa, atau sekitar delapan persen dari total penduduknya. Catatan tersebut sekaligus menempatkan Islam sebagai agama terbesar ketiga di negeri Karibia itu, setelah Kristen dan Hindu.

Model toleransi yang diterapkan Pemerintah Trinidad & Tobago dalam kehidupan beragama, layak menjadi contoh bagi negara-negara mayoritas non-Muslim lainnya.

Di sana, umat Islam tidak sekadar memperoleh kebebasan dalam menjalankan ibadah. Lebih dari itu, Hari Raya Idul Fitri—yang merupakan hari besar Islam—bahkan ditetapkan sebagai salah satu hari libur nasional di negara kepulauan itu.

Umat Islam di Trinidad & Tobago juga dilibatkan secara aktif oleh pemerintah setempat ketika mengambil berbagai keputusan politik. Seperti pada pertengahan tahun lalu misalnya, Perdana Menteri Kamla Persad-Bissessar sengaja menggelar pertemuan dengan sejumlah komunitas Muslim di negeri itu.

Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membahas jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2015 yang tepat, supaya tidak berhimpitan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan 1436 H. Dengan begitu, kaum Muslimin diharapkan dapat melaksanakan ibadahnya secara maksimal selama bulan suci itu.

 

sumber: Republika Online