Apakah Suntik dan Bekam Membatalkan Puasa?

ADA sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa.

Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajmain.

Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:

a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan”.

b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa”.

c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).

Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja.

Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

Selain itu, pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan.

Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan.

Namun wallahu alam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

[Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc]

 

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301815/apakah-suntik-dan-bekam-membatalkan-puasa#sthash.9qPMyfvF.dpuf

Hukum Mencicipi Rasa Masakan ketika Puasa

ADA sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa.

Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajmain.

Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu anhu dalam sebuah atsar:

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini.

Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama. Wallahu alam bish-shawab. [Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301808/hukum-mencicipi-rasa-masakan-ketika-puasa#sthash.FvPaz27q.dpuf

Sahkah Puasa tapi Tidak Salat?

ORANG yang meninggalkan salat dengan sengaja hukumnya kufur akbar. Puasa dan ibadah-ibadah lainnya tidak sah sampai ia bertobat kepada Allah Subhanahu wa Taala. Hal ini berdasarkan firman-Nya,

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Anam: 88)

Dan berdasarkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang lain semakna.

Sebagian ulama menyatakan, bahwa hal itu tidak menyebabkan kafir dan puasa serta ibadah-ibadah lainnya tidak batal jika ia masih mengakui kewajiban-kewajiban tersebut, ia hanya termasuk orang-orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan.

Yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun mengakui kewajibannya. Hal ini berdasarkan banyak dalil, di antaranya adalah sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu)

Dan sabda beliau,

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan keempat penyusun kitab Sunan dengan isnad shahih dari hadits Buraidah bin al-Hushain al-Aslami radhiallahu anhu)

Al-Allamah Ibnul Qayyim telah mengupas tuntas masalah ini dalam tulisan tersendiri yang berjudul “Shalat dan orang yang meninggalkannya”, risalah beliau ini sangat bermanfaat, sangat baik untuk merujuk dan mengambil manfaatnya.

[Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1/Syaikh Ibnu Baz/Abdurrazaq Hasan]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301181/sahkah-puasa-tapi-tidak-salat#sthash.87uXzi7M.dpuf

Mencium dan Memeluk Istri di Bulan Puasa, Batalkah?

ADA sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa.

Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadan-cetakan pertama dari penerbit Adhwaa As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajmain.

Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda dalam sebuah hadis sahih yang artinya:

“Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadis hasan sahih.” Dan disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)

[Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301824/mencium-memeluk-istri-di-bulan-puasa-batalkah#sthash.upmgfs8c.dpuf

 

Baca juga: Mencium Pasangan dalam Keadaan Puasa

Menjadi Ihsan

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mendapat pelajaran penting tentang makna iman, Islam, dan ikhsan dari Malaikat Jibril yang mendatangi beliau dengan menjelma menjadi manusia biasa.

Secara berurutan, Nabi menjawab pertanyaan ujian Malaikat Jibril. Apa yang disebut iman? Nabi menjawab, ”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, percaya akan adanya perjumpaan dengan Allah, percaya kepada para rasul, dan percaya adanya hari kebangkitan.” Apa yang disebut Islam? Nabi menjawab, ”Islam adalah engkau menghamba kepada Allah dan tidak menyekutukannya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan.”

Apa arti ihsan? ”Engkau beribadah kepada Allah dengan kondisi seolah-olah engkau melihatnya dengan mata. Jika tidak, yakinilah bahwa Allah sedang melihatmu,” demikian jawab Nabi. (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Iman, Islam, dan ihsan adalah satu kesatuan komponen agama Islam yang tak terpisahkan. Ketiga komponen tersebut seharusnya terintegrasi secara berimbang dalam keberislaman seorang Muslim. Dan pengurutan seperti itu bukanlah kebetulan. Iman didahulukan karena ia adalah pokok dari Islam. 

Selanjutnya, iman di dalam hati menjadi tidak bermakna jika tidak dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yang diimplementasikan dalam Islam. Agama Islam pada diri seorang Muslim harus dibenarkan dengan hati (iman) dan dipraktikkan dengan perbuatan (Islam).

ihsan adalah penyatuan dari iman dan Islam. Artinya, seseorang tidak akan bisa melihat Allah SWT, jika tidak percaya akan Mahawujud-Nya, serta tidak mengamalkan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Ihsan bisa diraih jika iman dan Islam telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Sebab, iman tidak bermakna tanpa Islam. Dan Islam tanpa iman akan rapuh.

Namun, ada sebagian ulama yang mendahulukan Islam, kemudian iman, dan ihsan. Alasannya adalah karena Islam adalah amalan lahir yang rasional, sedangkan iman adalah amalan batin yang suprarasional. Dan ikhsan adalah puncak pencapaian dari keduanya dan melampaui keduanya.

Kenapa ihsan diakhirkan? Hal itu menjadi isyarat bahwa ia adalah hal yang sulit dilakukan. Jika Islam terbatas pada lahiriah, iman terbatas pada batiniah, maka ikhsan tidak terbatas pada keduanya, karena berusaha memfokuskan kesadaran kita akan Allah SWT setiap saat. 

Oleh Juman Romarif

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat

 

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallamyang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.

Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullahmengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya(3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib(2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar(4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallamterdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah(2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalamMizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalamFathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir diMu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa(11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalamSilsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi RabbunaJalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***

Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

3 Waktu Terkabulnya Doa di Bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan yang sangat istimewa ini, selain nilai ibadah dilipatgandakan, doa-doa yang dilambungkan pun mudah diterima.

Namun tahukan Anda, ada waktu-waktu mustajab untuk berdoa di bulan Ramadan? Pada waktu-waktu itulah doa-doa mudah dikabulkan.

Menurut para ulama, ada beberapa waktu waktu utama terkabulnya doa di bulan Ramadan. Yaitu pada waktu sahur, saat berpuasa, dan saat berbuka.

1. Waktu sahur
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, “Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, no. 1145 dan Muslim, no. 758).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur mudah dikabulkan.” (Fath Al-Bari, 3: 32).

2. Saat berpuasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan orang yang berpuasa untuk memperbanyak doa demi urusan akhirat dan dunianya, juga ia boleh berdo’a untuk hajat yang ia inginkan, begitu pula jangan lupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin secara umum.” (Al-Majmu’, 6: 273)

3. Ketika berbuka puasa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Doa orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526, 3598 dan Ibnu Majah no. 1752. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7: 278) disebutkan bahwa kenapa doa mudah dikabulkan ketika berbuka puasa yaitu karena saat itu, orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

sumber: Thayyiba

Tips Menjaga Kualitas ASI Selama Berpuasa

Selama sebulan penuh memenuhi kewajiban berpuasa ramadhan memiliki banyak manfaat selain dari segi rohani untuk kesehatan juga memiliki banyak manfaat untuk anda.Puasa ramadhan dapat mengatasi beberapa gangguan kesehatan dalam pengendalian stress seperti penyakit hipertensi, kasdiovaskular, kanker dan juga ginjal.

Selama anda menjalankan puasa lebih kurang 14-15 jam tidak mendapatkan suplai makanan dari luar. Sehingga pada waktu itu cadangan energi dapat digunakan ketika anda melakukan aktivitas. Secara keseluruhan puasa sangat menguntungkan bagi yang menjalankannya. Keuntungan berpuasa terkadang ingin anda raih ketika anda sedang menyusui.

Bagaimana dengan manfaat berpuasa untuk anda yang sedang menyusui? Apakah manfaat yang didapat sama dengan yang laiinya? Jelas saja ibu menyusui mempunyai perbedaan baik dari segi kebutuhan nutrisi dan juga aktivitas. Sehingga banyak pertimbangan dalam melakukan puasa ramadhan, meskipunn agama kita telah memberikan sebuah kelonggaran untuk anda yang sedang menyusui untuk tidak berpuasa.

 

Kebutuhan gizi anda yang sedang menyusui sangat menjadi dua kali lipat dikarenakan makanan yang anda konsumsi diperlukan dalam produksi asi selain itu juga dalam masa pemulihan kesehatan anda pasca melahirkan. Proses menyusui adalah proses yang alami untuk memenuhi kecukupan gizi bayi. Anda memang diharuskan untuk memberikan asi untuk memberikan daya tahann tubuh bayi dengan baik. Kandungan asi mampu menyediakan gizi yang jauh lebih baik dari susu formula. Bisakah berpuasa selama menyusui? Tentu bisa, manfaat secara rohani dan jasmani akan anda dapatkan ketika anda memutuskan berpuasa walaupun sedang menyusui tetapi pertimbangan kesehatan harus anda perhatikan.Cara terbaik adalah berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Cara menjaga kualitas ASI selama anda berpuasa adalah sebagai berikut :

1.  Cukupi Kebutuhan Cairan Tubuh

Anda menahan asupan makan dan minum selama 14 jam dalam sehari akan tetapi sangat penting untuk memperhatikan kembalinya nutrisi di waktu sahur dan berbuka apalagi untuk anda yang menyusui. Selain cairan sangat diperlukan tubuh ternyata juga sangat berperan dalam kualitas asi. Selama bulan puasa asupan terbatas cara yang terbaik untuk anda adalah dengan memenuhi asupan cairan diwaktu berbuka dan sahur untuk tetap menjaga kualitas asi.

2.  Kurangi Konsumsi Olahan Ketika Sahur

Memilih menu sahur kebanyakan menu yang praktis dan tidak heran jika menu olahan sangat menjadi favorit anda. Ketika sedang menyusui kurangi konsumsi olahan karena kandungan kimia seperti bahan pengawet dan MSG tinggi akan mengurangi kualitas susu. Sebaiknya siasati dengan membuat menu sahur yang sederhana dari bahan yang alami.

3.  Pilih Cemilan Sehat Ketika Berbuka

Ketika berbuka puasa terlintas beberapa makanan yang mengundang selera. Bagi anda yang sedang menyusui makanan berbuka apapunpada dasarnya memberikan manfaat akan tetapi selektiflah, sehingga dengan makanan sehat dapat memberikan kualitas air susu terbaik untuk bayi anda. Hindari cemilan yang berada dipinggir jalan yang beresiko tinggi tercemar asap kendaraan bermotor.

4.  Sementara Tinggalkan Seafood

Ada beberapa jenis makanan hasil laut yang harus anda hentikan terlebih dahulu konsumsinya yang diduga mengandung mercury berlebih selain tidak baik untuk kesehatan juga mempengaruhi kualitas asi anda. Jenis ikan laut yang mengandung banyak merkuri seperti kerang, ikan asap dll.

5.  Tingkatkan Konsumsi Sayuran Hijau

Sayuran hijau akan membantu anda dalam mengatasi masalah pencernaan selama bulan puasa. Bagi ibu menyusui sayuran hijau dapat meningkatkan produksi asi. Perhatikan pula cara anda memasak, mencuci dengan bersih untuk menghindari pestisida yang menempel.

 

Sumber : Tips Menjaga Kualitas ASI Selama Berpuasa – Bidanku.com http://bidanku.com/tips-menjaga-kualitas-asi-selama-berpuasa#ixzz4AokbpAtA

KH As’ad Humam, Pelopor Metode Cepat Membaca Al Quran

Tak banyak yang mengetahui siapa pria yang ada di sampul buku Iqro. Kyai Haji As’ad bin Humam, atau K.H. As’ad Humam, yang membuat cara cepat belajar Al Qur’an.

Pria kelahiran Yogyakarta, 1933 ini wafat di Yogyakarta, 2 Februari 1996, pada usia 63 tahun. Dia merupakan pelopor salah satu metode cepat belajar membaca Al Qur’an (qira-ah) yang populer sebagai metode Iqro.

Dikutip dari Wikipedia, pria yang bernama asli hanya As’ad dari ayah bernama H. Humam Siraj. Masa mudanya dijalani di Kotagede, Yogyakarta.

Menginjak remaja As’ad mengalami gangguan fisik berupa pengapuran dini di bagian tulang belakang sehingga selanjutnya ia tidak mampu bergerak secara wajar.

Ia mewarisi darah pedagang, dan profesinya sebelum aktif dalam pengajaran qira-ah adalah pedagang perhiasan imitasi di Pasar Beringharjo,Yogyakarta.

Profesi ini kemudian membawanya berkenalan dengan K.H. Dahlan Salim Zarkasy, yang mengajaknya aktif ke dunia pendidikan Islam.

As’ad membantu K.H. Dahlan Salim memberi pelajaran membaca Al-Qur’an kepada para santri dengan metode Qiroati yang dikembangkan K.H. Dahlan.

Untuk memperbaiki, sering As’ad memberi catatan untuk perbaikan metode tersebut.

Karena K.H. Dahlan seringkali tidak berkenan menerapkan masukan darinya, As’ad mengembangkan kelompok belajar eksperimental menggunakan metode kembangannya, dibantu oleh Tim Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Mushalla (AMM)Yogyakarta.

Hasil eksperimennya ini kemudian dimantapkan sebagai metode Iqro, yang sangat populer sebagai cara belajar praktis membacaAl Qur’an.

Metode ini dirangkum dalam enam jilid kitab berukuran saku yang mudah dibawa ke mana-mana, dan bersifat interaktif (siswa belajar dan mengevaluasi sendiri, dengan pengajar menunjukkan pengucapan yang benar).

Demikian populernya metode ini, sehingga dipergunakan hingga ke Malaysia. (*)

 

sumber: Aceh Tribun News

Doa Ramadhan Hari Ketujuh

Memasuki hari ketujuh Ramadhan ini,  berikut rangkaian doa yang disampaikan oleh motivator juga seorang tokoh pembangunan karakter yang mendirikan ESQ Leadership Center, Ary Ginanjar Agustian.

Doa Ramadhan Hari Ketujuh

Ya Allah Ya Rahmaan Ya Rahiim
Kami angkat tangan kami memohon kepadaMu….
Kami tundukkan kepala dan hati kami berharap kepadaMu….

Ya Allah hanya Engkau sebaik-baik tempat berlindung…
Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang…..
Ya Allah jadikan mata kami cahaya……

Ya Allah jadikan wajah kami cahaya…
Ya Allah jadikan telinga kami cahaya..
Ya Allah jadikan atas dan bawah kami cahaya…
Ya Allah jadikan kiri dan kanan kami cahaya..

Ya Allah..
Jangan biarkan kemilau dunia ini menghalangi kami untuk memasuki surgaMu….
Jangan biarkan keindahan dunia menghentikan langkah kami menuju firdausMu…
Teguhkanlah hati kami….
Kokohkanlah kaki kami…

Cukupkanlah hati kami dengan AsmaMu Yang Agung….
Angkat kefakiran hati kami..
Angkat kebodohan akal kami..
Angkat kemunafikan hati kami..
Terima amal ibadah kami..
Ridhoi setiap pekerjaan kami..

Ya Allah….
Bantulah aku untuk berpuasa dan shalat malam ..
Serta jauhkan aku dari kesia-siaan dan perbuatan dosa…
Anugrahi aku di dalamnya dengan dawamnya ingat padaMu…
Dengan taufikMu wahai yang menunjuki orang tersesat….

Ya Allah Ya Rahmaan Ya Rahiim
Sampaikanlah shalawat dan salam kami kepada Nabi Muhammad SAW…
Sampaikanlah cinta dan rindu kami kepada Nabi Muhammad SAW…..

 

 

sumber: Republika Online