Memahami Mabrur

Rasulullah SAW bersabda, Umrah ke umrah berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya. Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga.” (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349). Dalam hadis lainnya Nabi SAW bersabda, Jihad yang paling utama bagi kamu (kaum perempuan) adalah haji mabrur.” (HR Bukhari).

Setiap jamaah haji yang menunaikan rukun Islam kelima pasti mendambakan predikat haji mabrur. Secara bahasa, ‘mabrur’ yang berasal dari bahasa Arab didapat dari kata barra-yaburru-barran, yang artinya taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap disebutkan, al-birru berarti ketaatan, kesalehan, atau kebaikan. Sedangkan, mabrur berarti haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT.

Ibadah haji dinilai mabrur apabila memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata menghadap ridha Allah SWT. Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib, bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.

Ketiga, biaya, baik untuk ibadah haji, biaya perjalanan, maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, diperoleh dengan cara yang halal. Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.

Haji mabrur juga dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib, dan rukunnya, dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan kemaksiatan. Yang dimaksud dengan haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud.

Banyak ulama menyatakan ciri-ciri dari haji mabrur. Menurut para ulama, ciri yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga, juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya dan semangat membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkat setelah pulang dari ibadah haji.

Derajat kemabruran akan dicapai seorang jamaah apabila melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, serta mengerjakannya dengan ikhlas.

Mereka yang meraih predikat haji mabrur juga senang membaca Alquran dan gemar shalat berjamaah. Salah satu tanda kemabruran haji, menurut para ulama, seorang jamaah melakukan apa yang telah dilakukan selama menunaikan haji. Kualitas haji mabrur terletak pada hati. Seorang haji mabrur hatinya selalu khusyuk. Ketika khusyuk, Allah selalu hadir di hatinya. Ia selalu sadar akan kehadiran Allah SWT.

 

IHRAM

Falsafah Madu dan Darah di Era Kekhalifahan Utsmaniyah

Ajaran Islam memang tidak memisahkan secara tegas antara kekuasaan dan politik. Meski tidak mengharuskan adanya pendirian ‘negara’, Islam memang tetap memberikan arti sangat penting posisi sebuah kekuasaan di mana ada pihak rakyat yang harus menaatinya dan sebuah pemimpin negara yang harus menjalankan amanahnya dengan adil dan lurus.

Selama masa kekuasaan Otoman Turki (Kekhalifahan Usmaniyah), yang meguasai sebagian atau setengah Eropa, sebagian Asia, dan sebagian Asia selama 600 tahun, arti penting kekuasaan yang bisa menghadirkan madu (kesejahteraan) dan darah (penderitaan) telah begitu disadari sekaligus dipraktikan.

Jejak istiah ‘madu’ dan ‘darah’dalam kekuasaan Usmaninyah tercatat dalam pemberian nama sebuah wilayah dari kekuasaan mereka di bagian selatan Benua Eropa yang membentang dari Bosnia, Spanyol, hingga wilayah selatan Prancis. Pada masa lalu, wilayah itu oleh para khafilah atau penguasa tersebt disebut sebagai wilayah ‘Balkan’: wilayah ‘madu’ (Bal) dan ‘darah’ (kan).

Menurut peminta sejarah keturunan Turki yang tinggal di Belanda, Hasan Turki, gabungan kata ‘madu’ (Bal) dan ‘darah’ (kan) itulah yang dipakai para khalifah Usmaniyah sebagai sarana pengingat bahwa kekuasaan (politik) itu bukan hal yang main-main atau senda-gurau. Ini  karena melalui kekuasaan nasib dan hidup banyak manusia dipertaruhkan.

Pada era kekhalifahan itu, karena sadar secara sepenuhnya bahwa kekuasaan mempunya kekuatan dahsyat, para khalifah Usmaniyah tidak pernah memakai sarana ini untuk menyebarkan agama atau kepercayaan bagi rakyatnya. Mereka  menyadari kepercayaan tidak bisa dipaksakan, meski dengan ancaman dan todongan senjata.

Pada waktu Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukan Bosnida dan Herzegofina (28 Juni1463), penguasa Turki ini tidak memaksakan warga di wilayah itu untuk melakukan ‘konversi’ atau perpindahan agamanya ke Islam. Masyarakat di wilayah itu tetap dijamin kepercayaan untuk menjalankan ibadahnya sebagai penganut ‘Kristen Bogemil’ (Aliran Kristen yang tidak mengikuti Kristen Ortodoks atau Katolik Roma).

Tak hanya tidak mengusik kepercayaan agamanya dari warga di sana, Sultan Al Fatih malah mendirikan gereja di wilayah itu agar mereka bisa beribadah dengan nyaman. Di pihak lain, sebelumnya di ibu kota negara, di Istambul, juga sudah didirikan bangunan gereja bagi warga yang menganut agama tersebut.

Uniknya, setelah gereja didirikan maka tak berapa lama kemudian, para penganut ‘Bogemil’ itu pada sebuah hari menjelang shalat Jumat mereka beramai-ramai mengikrarkan syahadat. Mereka kala itu merasa menjadi Muslim itu adalah sebuah jalan kedamaian dan kesejahteraan.

Sikap ini juga muncul sebagai akibat keputusan Sultan Al Fatih untuk membagikan kepemiikan tanah kepada rakyat di wilayah Balkan yang selama ini diperlakukan oleh ‘penguasa agama’ sekadar sebagai orang yang menumpang hidup dan bekerja mengelola sebuah lahan pertanian.

Maka di situlah arti dari kesadaran bahwa sebuah kekuasaan bisa menghadilan ‘madu’ dan ‘darah’ bagi rakyat yang tinggal di sebuah era pemerintahan.

 

REPUBLIKA ONLINE

Ketika Nabi SAW Tertawa Lihat Setan Muntah-muntah

HARI itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang duduk menyaksikan seorang laki-laki tengah makan. Tiba-tiba Rasulullah tertawa. Tentu sebagian sahabat heran mengapa beliau tertawa. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa beliau baru saja melihat setan muntah-muntah akibat sebuah bacaan singkat.

Bacaan apakah itu? Bacaan itu tidak lain adalah basmalah. Ketika seseorang makan dan tidak membaca basmalah, setan ikut makan bersamanya. Setan turut menikmati makanan itu dengan lahapnya. Namun, ketika di tengah-tengah makan orang tersebut ingat bahwa dirinya belum membaca basmalah, lalu ia membacanya saat itu setan pun memuntahkan seluruh makanan yang tadi ia makan.

Abu Daud meriwayatkan sabda Rasulullah tersebut dalam Sunan-nya:

“Dari Umayyah bin Makhsiy -yakni salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk, ada seorang laki-laki yang makan dan ia tidak membaca basmalah hingga makanannya hampir habis tinggal satu suapan. Lalu ketika ia memasukkan suapan itu ke mulutnya ia (ingat dan) membaca “Bismillahi awwalahu wa aakhirahu”. Nabi shallallahu alaihi wasallam lantas tertawa. Kemudian beliau bersabda: “Syetan masih terus makan bersamanya, tapi ketika ia membaca Basmalah, syetan langsung memuntahkan apa yang ada di perutnya.” (HR. Abu Daud)

Demikianlah dahsyatnya bacaan Basmalah. Kita dianjurkan untuk membaca basmalah dalam memulai segala perbuatan yang baik. Termasuk makan. Dengan membaca basmalah, sesungguhnya kita tengah mencanangkan niat beramal saleh. Dengan niat beramal saleh ikhlas karena Allah, perbuatan-perbuatan yang asalnya berhukum mubah menjadi berpahala bagi kita.

Dari hadits ini, para ulama juga mengajarkan, jika kita lupa membaca basmalah ketika hendak makan dan baru ingat ketika di tengah-tengah makan, hendaklah kita segera membacanya dengan menambahkan awwalahu wa aakhirahu sehingga menjadi

Artinya: dengan nama Allah di awalnya dan di akhirnya.

Dan syetan dari golongan jin yang tadinya ikut makan bersama kita akan muntah-muntah. Meskipun kita tidak pernah bisa melihatnya. Wallahu alam bish shawab. [bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2378350/ketika-nabi-saw-tertawa-lihat-setan-muntah-muntah#sthash.l4OiOrhm.dpuf

Kalimat Pendek yang Bisa Menghindari Api Neraka

NERAKA adalah tempat terburuk dan penuh rasa sakit. Diperuntukkan buat mereka yang hidup bergelimang dengan dosa di dunia. Penuh kobaran api yang panasnya sungguh dahsyat.

Batu yang dilemparkan ke dalamnya baru akan mencapai dasarnya 70 tahun kemudian. Bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Serta minuman buat para penghuninya adalah air kental yang berbau busuk dan membakar.

Sebagai manusia yang beriman tentunya kita tidak akan pernah mau dijerumuskan ke dalam neraka karena dosa-dosa yang telah dilakukan. Rasulullah saw pun tidak pernah rela umatnya menjadi bahan bakar neraka. Oleh karenanya Rasulullah saw seringkali bicara dalam nada tarhib (peringatan) kepada para sahabat agar berhati-hati dengan amalan-amalan ahli neraka yang akan menjerumuskan mereka kepada siksa.

Selain itu Rasulullah SAW banyak memberikan cara kepada umatnya agar terhindar dari lubang yang sangat dalam itu. Salah satunya dengan doa perlindungan seperti yang ada pada sebuah hadits hasan berikut ini.

Dari Alharits bin Muslim Attamimi ra, ia berkata: Nabi saw bersabda kepadaku: “Apabila kamu selesai salat Subuh maka ucapkanlah sebelum berbicara: “Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka (Allahumma ajirni minannar)”, tujuh kali; karena sesungguhnya jika kamu meninggal pada harimu itu niscaya Allah menulis bagimu perlindungan dari api neraka, dan apabila kamu selesai salat Magrib maka ucapkanlah sebelum berbicara, “Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka (Allahumma ajirni minannar)”, tujuh kali; karena sesungguhnya jika kamu meninggal pada malammu itu niscaya Allah menulis bagimu perlindungan dari api neraka.”

Dalam kitab Almuntaqa min Kitab Attarghib wa Attarhib Lil Mundziri karya Dr. Yusuf Alqaradhawi, disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Nasai, lafaz ini baginya, dan Abu Dawud dari Alharits bin Muslim dari bapaknya Muslim bin Alharits. Alhafizh Almundziri berkata: “Ia benar, karena Alharits bin Muslim adalah tabii. Abu Zarah dan Abu Hatim Arrazi mengatakannya.” Catatan kaki dalam kitab itu tertulis: Alhafizh berkata, “Ia adalah hadis hasan (sumber yang lain sama yakni Syarh Alazhar, hal.68).”

Hadits ini mengajarkan kepada kita beberapa hal. Pertama, berlindung dari api neraka dapat dengan berdoa menggunakan kalimat yang pendek dan bisa dihafal dengan mudah serta tidak membutuhkan waktu yang lama. Langsung pada tujuan dan sasarannya. Tidak seperti kebanyakan doa pada manusia zaman sekarang yang bersajak-sajak dan berlebihan.

Kedua, Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku istikamah. Bahwa doa ini menuntut kepada pembacanya untuk dibaca setiap hari dan malam. Cukup membacanya sebanyak tujuh kali setelah salat Subuh dan Magrib.

Ketiga, sifat menepati janji melekat pada semua nabi dan tentunya Rasulullah SAW. Manusia mulia ini memberikan jaminan bahwa Allah akan melindungi dari api neraka jika si pembaca kalimat ini meninggal di hari atau malam itu.Semoga kita terhindar dari siksa api neraka.

 

[bersamadakwah]

Bangunan Tertinggi di Dunia, Jeddah Tower, Selesai 2019

Proyek pengerjaan bangunan tertinggi di dunia, Jeddah Tower, di Arab Saudi diperkirakan akan selesai pada akhir 2019. Pangeran Saudi mengakui ada sedikit keterlambatan dalam pembangunan gedung dibanding jadwal semula.

Menara tersebut memiliki tinggi ‎hampir 3.000 kaki dan lebih tinggi dari Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab. Jeddah Tower akan berdiri satu kilometer memanjang ke atas. Bangunan akan menampilkan teras berlantai kaca dengan ketinggian 610 meter.

“Proyek ini tertunda, tapi akan dibuka pada 2019,” ujar Pangeran Alwaleed bin Talal kepada AFP, baru-baru ini.‎ Dia mengepalai Kingdom Holding Company yang berafiliasi dengan Jeddah Economic Company untuk mengembangkan puncak menara.

Alwaleed pertama kali mengumumkan rencana pembangunan Jeddah Tower pada Agustus 2011. Saat itu, dia mengatakan, proses pembangunan memakan waktu 36 bulan sejak dimulainya konstruksi. Pada November 2014, Alwaleed mengatakan bangunan tersebut akan selesai pada 2018.

Gedung pencakar langit ini dibangun dengan biaya awal sebesar 4,6 miliar Riyal Saudi. Jika selesai pada 2019 seperti yang direncanakan, Jeddah Tower akan mencapai ketinggian yang belum pernah ada sebelumnya. Total biaya yang akan dikeluarkan pembangunan tersebut diperkirakan mencapai 75 miliar Riyal saudi.

Awalnya Saudi menginginkan merencanakan tinggi menara tersebut 1,6 kilometer. Namun geologi daerah tersebut terbukti tidak sesuai untuk menara setinggi itu. Desain Jeddah Tower diciptakan oleh arsitek Amerika Serikat Adrian Smith, yang juga merancang Burj Khalifa. Dia menggabungkan banyak fitur struktural dan estetika yang unik.

Pemimpin proyek tersebut adalah Pangeran Arab Saudi Alwaleed bin Talal. Jeddah Tower disebut-sebut sebagai ikon penting, dan secara budaya akan melambangkan kekayaan dan kekuasaan Saudi. Pada 31 Desember 2016, pembangunan menara sudah mencapai 38 lantai.

 

IHRAM

“Aduh …, Seandainya Jarak Masjid itu Lebih Jauh!”

Meskipun shalat berjamaah di masjid itu sangat besar keutamaannya, nyatanya masih banyak Muslim laki-laki yang merasa berat untuk melaksanakannya. Dengan berbagai alasan, mereka lebih memilih  mengerjakannya secara sendirian di rumah atau di ruang kantor.

Demikian pula, meskipun balasan pahala dan manfaat sedekah itu luar biasa (dalam salah satu ayat Alquran, Allah menyebutkan ganjaran sedekah itu sampai 700 kali lipat, bahkan tak terbatas), nyatanya masih banyak Muslim yang enggan bersedekah alias bakhil.

“Terhadap mereka yang enggan shalat fardhu berjamaah di masjid dan bakhil untuk bersedekah, kisah Sya’ban berikut ini semoga jadi inspirasi  untuk selalu menegakkan shalat fardhu berjamaah di masjid dan memperbanyak sedekah,” ujar Ustadz Taufiqurrohman saat mengisi pengajian guru Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) di Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/5).

Ustadz Taufiqurrohman menjelaskan, Sya’ban merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang selalu aktif shalat fardhu berjamaah bersama dengan Rasulullah. Pada suatu Shubuh, Sya’ban tidak hadir.

Rasulullah bertanya, ke manakah Sya’ban? Apakah ia sakit? “Sahabat tidak ada yang tahu. Ketika Rasulullah SAW bertanya, adakah yang tahu rumah Sya’ban, salah seorang sahabat mengacunkan tangannya. Akhirnya Rasulullah minta diantar ke rumah Sya’ban. Beliau datang ke rumah Sya’ban bersama dengan para sahabat yang lain,” tutur Taufiqurrohman.

Namun ternyata rumah Sya’ban sangat jauh dari Masjid Nabawi. Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga akhirnya 3,5 jam, barulah Rasulullah SAW tiba di rumah Sya’ban. “Subhanallah, berarti setiap hari Sya’ban memerlukan waktu tujuh jam untuk pulang-pergi dari rumah ke masjid,” tutur Taufiqurrohman.

Sesampainya Rasulullah di rumah Sya’ban, beliau ditemui oleh istri Sya’ban. Ketika Rasulullah SAW menanyakan di manakah Sya’ban, wanita itu mengatakan bahwa Sya’ban telah wafat tadi malam.

Akhirnya Rasulullah SAW dan para sahabat mengurus jenazah Sya’ban hingga selesai dikuburkan. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat hendak pulang, istri Sya’ban bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, tadi malam sebelum meninggal, tiba-tiba Sya’ban berteriak tiga hal sebagai berikut, ‘Seandainya bisa lebih jauh, seandainya aku berikan yang lebih bagus, seandainya aku berikan semuanya’. Apakah maksudnya,  ya  Rasulullah?”

Rasulullah tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ia membacakan Surah Qaf ayat 22, yang artinya, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Lalu Rasulullah SAW menjelaskan, menjelang wafatnya Sya’ban diperlihatkan oleh Allah SWT balasan akan amal perbuatannya.

Pertama, mengenai jarak yang harus ditempuhnya dari rumah ke masjid untuk melaksanakan shalat fardhu berjamaah. Jarak tersebut harus ditempuh pulang pergi tujuh jam. Saat mengetahui betapa besar pahala yang Allah berikan, Sya’ban pun berseru, “Seandainya bisa lebih jauh.” “Artinya, kalau seandainya jarak rumah-masjid itu lebih jauh, niscaya Sya’ban bisa mendapatkan pahala yang lebih besar lagi. Itulah yang disesali oleh Sya’ban,” tutur Taufiqurrohman.

Kedua, istri Sya’ban mengatakan kepada Rasulullah, setiap pergi ke masjid untuk shalat Shubuh berjamaah, Sya’ban selalu mengenakan dua lapis baju. Baju yang lebih bagus dia pakai di sebelah dalam. Baju yang lebih jelek dia pakai sebagai baju luar. Ketika ada orang yang kedinginan memerlukan baju, Sya’ban membuka baju luar tersebut dan memberikannya kepada orang yang membutuhkan itu. “Itulah yang disesali oleh Sya’ban. Seandainya aku berikan yang lebih bagus. Setelah mengetahui pahala kebaikan yang dia terima dari sedekah baju tersebut dia merasa menyesal kenapa tidak memberikan baju yang lebih baik,” papar Taufiqurrohman.

Satu hal lagi, keluarga Sya’ban merupakan keluarga sederhana. Makanan mereka hanyalah roti kering yang harus direndam dulu agar bisa dimakan. Suatu saat Sya’ban akan menikmati roti tersebut ketika datang peminta-minta kepadanya. Dia membagi dua roti tersebut, dan memberikan separohnya kepada peminta-minta.

“Nah, ketika dia mengetahui betapa besar pahala sedekah itu, ia menyesal mengapa hanya memberikan separoh. Dia pun berteriak, ‘Seandainya aku berikan semua’. Subhanallah, orang yang saleh dan diperlihatkan kepadanya balasan apa yang akan diterima di akhirat nanti, masih menyesali amalnya yang  menurut dia masih kurang. Bagaimana dengan kita? Sudah seharusnya kita berlomba-lomba untuk beramal saleh, antara lain selalu berusaha menegakkan shalat fardhu berjamaah di masjid dan memperbanyak sedekah,” tutur Ustadz Taufiqurrohman.

 

REPUBLIKA ONLINE

 

Baca juga:

Keutamaan Sholat berjamaah selama 40 Hari Berturut-turut Tanpa Terlewatkan Takbirotul Ihrom Bersama Imam

Berjamaah Menuju Jannah

Ingin Jauh dari Kemiskinan dan Keberkahan Melimpah? Perbanyak Bacaan Ini

Ada banyak amalan yang konon bila dilakukan akan menghindarkan pelakunya dari kefakiran dan akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Apalagi, jika amalan tersebut dilakukan pada Sya’ban ketika Allah SWT mengangkat amalan-amalan kita.

Menurut Syekh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki dalam kitabnya Madza fi Sya’ban, amalan tersebut adalah membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. (Allahummu shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad). Banyak sekali riwayat yang mengungkap keutamaan dan keistimewaan membaca shalawat kepada Baginda Rasul.

Riwayat Samurah bin Jundub yang dinukilkan oleh Abu Na’im al-Ashfahani mengisahkan, suatu ketika seorang sahabat datang ke Rasulullah dan bertanya tentang amalan apa yang paling disukai Allah. “Perkataan jujur dan menyampaikan amanat,” jawab para Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Shalat malam dan puasa ketika musim panas,” jawab Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Banyak berzikir dan membaca shalawat untukku karena ini akan menghindarkan kefakiran darinya,” ungkap Rasulullah.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Jika seseorang dari kalian menjadi imam, hendaknya mempersingkat bacaan, karena bisa jadi (makmum) ada yang sudah tua, sakit, dan lemah,” pesan Rasul.

Riwayat lain dari Sahal bin Sa’ad mengisahkan suatu saat seorang sahabat datang ke Rasulullah mengadukan impitan ekonomi dan kemiskinan yang menderanya.

Lalu Rasulullah berpesan kepadanya, ”Jika memasuki rumahmu, ucapkanlah salam ada atau tidak ada orang di dalam, kemudian bacalah shalawat lalu baca surah al-Ikhlas sekali.”

Sahabat tersebut lantas mempraktikkan amalan yang diberikan Rasulullah tersebut. Beberapa waktu kemudian, sang sahabat diberikan harta melimpah, bahkan ia akhirnya mampu berbagi dengan tetangga-tetangganya.

 

REPUBLIKA ONLINE

Ayah dan Ibu Kekasihku

Mari belajar menghadirkan sudut pandang Rasulillah ﷺ, bukan hanya pengetahuan tapi juga rasa; dalam setiap isi dada, kata-kata, dan perilaku kita.

 

Oleh: Salim A Fillah

 

JIKA  beliau ﷺ bicara tentang insan yang amat dicintainya, “Dia di neraka”, dapatkah sejenak kita bayangkan apa yang dirasanya saat kalimat itu bergema?

Jika suatu kali Al Musthafa ﷺ yang memang tak diizinkan berdusta harus mengatakan pada seorang sahabat yang bersedih, “Ayahku dan Ayahmu di neraka”, untuk menunjukkan tenggangrasa terdalam dari jiwanya yang lembut, dapatkah kita sejenak menempatkan hati ini ke dalam dada beliau ﷺ?

Dan jika perbedaan pendapat para ‘ulama tentang siapa yang dimaksud “Ayah” dalam hadits itu kita jadikan sebagai sumber perpecahan padahal beliau ﷺ berharap dapat menyambut dan menghulurkan minum pada semua ummat di telaganya, apa kiranya yang akan beliau ﷺ katakan?

Kumohon, hentikan.

Dengan penuh cinta Imam An Nawawi dan para ‘ulama lain telah mengajukan hujjahnya . Jika benar bahwa kedua orangtua Rasulillah ﷺ di dalam neraka, maka bukankah yang benar tak selalu harus diungkit senantiasa?

Bukankah Abu Dzar benar ketika memanggil Bilal, “Hai anak budak hitam!”? Tapi bukankah dia ditegur Sang Nabi ﷺ dengan tudingan ke wajah, “Kau, dalam dirimu masih terdapat jahiliah?” Dan Abu Dzarpun menyungkur ke tanah, menaburkan pasir ke wajah, serta meminta Bilal menginjak kepalanya, yang tentu ditolak oleh si kebanggaan Habasyah.

Sebagaimana pula dengan penuh ta’zhim Imam As Suyuthi telah berpanjang menjelaskan masa fatrah dan kedudukan surgawi Ayah-Bunda Rasulillah ﷺ. Dan bahwa sebagaimana Azar ternyata adalah Paman Ibrahim, tak dapat tempatkah ta’wil bahwa “Ayah’” di dalam hadits itu adalah orang yang membesarkan Al Musthafa sejak dia ditinggal Kakeknya, yang memanggilnya “Anakku” dan lebih mencintai beliau dibanding putra-putra kandungnya, yang melindunginya dengan segala punya?

Kumohon hentikan. Di kala hujjah sudah bertemu hujjah, sesungguhnya hujat tiada lagi mendapat tempat. Perbedaan ini jangan menghalangi kita dari ilmu, ‘ulama, dan mencintai guru-guru.

Apalagi ini tentang Ayah-Ibu Kekasihku.

Bukan, bukan karena engkau berpegang pada sesuatu yang benar lalu engkau tercela. Sebab memang yang benar lebih berhak untuk dihiasi akhlaq mulia. Izinkan aku sejenak mengajakmu berkaca, kepada para salafush shalih dalam menakar cinta.

“Sungguh keislamanmu wahai Paman Rasulillah ﷺ”, ujar ‘Umar kepada ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib saat mereka bersua menjelang Fathu Makkah, “Lebih aku cintai dari keislaman Al Khaththab ayahku.”

Ini bukan karena cintanya pada sang Ayah kurang; ini semata sebab ‘Umar mengukur sikapnya dari hati manusia yang paling dicintainya, Muhammad ﷺ. ‘Abbas adalah Paman yang paling mengasihi Rasulullah setelah Abu Thalib.

“Wahai Ayahanda”, ujar ‘Abdullah ibn ‘Umar kepada bapaknya kelak, “Mengapa bagian Usamah ibn Zaid kautetapkan lebih banyak daripada bagian Ananda, padahal kami berjihad bersama di berbagai kesempatan?”

“Karena”, ujar Sayyidina ‘Umar sembari tersenyum sendu, “Ayah Usamah, Zaid ibn Haritsah, lebih dicintai Rasulullah ﷺ daripada Ayahmu.” Lagi-lagi ‘Umar mengukur sikapnya dari hati yang paling dia muliakan, hati Muhammad ﷺ.

Di kala Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dan Masjidil Haram, Abu Bakr datang menuntun ayahnya kepada beliau. Ketika Sang Nabi ﷺ melihat Abu Quhafah yang sepuh lagi telah buta, beliau bersabda, ‘Ya Aba Bakr, kenapa engkau tidak silakan ayahmu duduk di rumah dan aku sajalah yang datang pada beliau?’

“Ya Rasulallah”, jawab Ash Shiddiq, “Ayahku lebih berhak berjalan kepadamu daripada engkau datang kepadanya’. Rasulullah ﷺ mendudukkan Abu Quhafah di depan beliau, mengusap dadanya, dan bersabda kepada-nya, ‘Masuk Islamlah’. Abu Quhafah pun masuk Islam.

Tepat di saat Abu Quhafah menghulurkan tangan untuk berjanji setia pada Rasulillah ﷺ, Abu Bakr malah menangis. Sesenggukan sedunya hingga mengguncang bahu. Semua yang hadir bertanya-tanya. Bukankah di hari itu, Abu Bakr harusnya berbahagia menyaksikan keislaman ayahnya? Bukankah suatu kesyukuran besar menyaksikan orang yang kita kasihi dibuka hatinya oleh Allah untuk menerima hidayah?

Namun Ash Shiddiq yang agung berkata pada Sang Nabi ﷺ, “Demi Allah. Aku lebih suka jika tangan Pamanmu ya Rasulallah, menggantikan tangannya, lalu dia masuk Islam dan dengan begitu Allah membuatmu ridha.”

Paman yang dimaksud tentulah Abu Thalib. Dia yang telah memberikan seluruh daya upaya di sisa usianya untuk membela dakwah keponakan tersayangnya, namun hidayah tak menjadi haknya. Betapa mengerti Abu Bakr akan isi dada Rasulillah ﷺ. Sahabat sejati, selalu mengukur sikapnya dari hati sang kekasih.

Lalu kini, jika kita menyebut-nyebut dengan santainya tentang neraka atau surgakah orang yang disayanginya, tak hendakkah kita sejenak bertanya, “Di mana kita dari Adab Abu Bakr dan ‘Umar itu dalam menakar cinta?”

Mari belajar menghadirkan sudut pandang Rasulillah ﷺ, bukan hanya pengetahuan tapi juga rasa; dalam setiap isi dada, kata-kata, dan perilaku kita. Inilah jalan sunnah yang penuh cinta.*

diambil di FB: Salim A Fillah dan Twitter: @salimafillah

 

HIDAYATULLAH.com

Ali Taher: Harga Umrah tidak Rasional Sangat Kental Penipuan

IHRAM.CO.ID, TANGERANG — Ketua Komisi VIII DPR RI M.Ali Taher Parasong menilai, promo umrah yang harganya tidak rasional sangat kental unsur penipuan. Karenanya, dia mengimbau, masyarakat agar tidak mudah tergiur promo tersebut.
“Faktor utama penipuan kalau begitu itu. Rasional-nya kan Rp 25-30 juta, nah ini hanya belasan juta. Jadinya, selalu ada penundaan, selalu ada yang tidak beres lah,” kata Ali saat dihubungi Republika.co.id, Senin (15/5).

Dia menegaskan, semua management travel umrah untuk tidak lagi main-main dalam masalah haji atau umrah. Karena hal tersebut menyangkut ibadah umat kepada Allah SWT.

Menurut Ali, pemerintah harus gencar melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kinerja travel umrah. Lalu, pihak travel umrah punharus selalu kooperatif dan terbuka, jika ada permasalahan yang menimpa travel tersebut.

“Jangan bicara soal bisnis melulu. Ibadah orang yang paling utama. Hak-haknya harus dipenuhi, harus menjamin keamanan dan kenyamanan umat dalam beribadah,” ucap dia.

Ali mengatakan, permasalahan travel umrah ini menjadi kegelisahan bersama. Sehingga, semua komponen masyarakat harus berperan dan bertindak jika ditemukan permasalahan demikian.

Redaktur : Agus Yulianto
Reporter : Gumanti Awaliyah

Mana yang Lebih Berbahaya, Syi’ah atau Khawarij?

Syiah dan Khawarij merupakan dua sekte yang muncul secara bersamaan dalam satu waktu bahkan dari sumber yang sama. Meski demikian di antara keduanya ada kesamaan dalam sebagian perkara dan ada perbedaan dalam beberapa perkara lainnya.

Seorang pemerhati dunia Syiah yang berasal dari Mesir, Abdul Malik bin Abdurrahman as Syafi’i dalam bukunya al Fikr at Takfiri ‘Inda as Syi’ah Haqiqah am Iftira’ (Pemikiran Mudah Mengkafirkan Dalam Syiah: Nyata atau Mengada-ada?) menyatakan,  “Syiah dan Khawarij berkolaborasi dalam menebarkan ide-ide takfir dan dalam memusuhi kaum muslimin. Hanya saja kalangan Khawarij melakukan takfir secara terang-terangan dan terbuka. Seperti mereka menyatakan inilah akidah kami. Lain halnya dengan kalangan Syiah yang menyembunyikan pemikiran takfirnya dan tidak memunculkannya di hadapan kaum muslimin. Padahal buku-buku otoritatif mereka penuh dengan riwayat yang begitu mudah mengkafirkan kaum muslimin.”

Meski demikian, ada beberapa poin kesamaan antara Khawarij dan Syiah. Di antaranya, mereka sama-sama berpandangan ekstrem, pola pikir yang pendek, dangkal dalam pemahaman agamanya, mudah mengkafirkan kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka, menolak hadits yang shahih meskipun mutawatir, taklid kepada para tokoh dan lain-lain.

Kemudian muncul pertanyaan, manakah yang paling berbahaya antara Syiah dan Khawarij? Jika ditelusuri lebih lanjut kesamaan dan perbedaan antara kedua sekte tersebut maka dapat dipastikan bahwa Syiah jauh lebih berbahaya dari pada kalangan Khawarij.

Di antara karakteristik kalangan Khawarij adalah memerangi kaum muslimin dan membiarkan kaum paganisme. Sementara kalangan Syiah senantiasa membantu kaum kafir dalam memerangi kaum muslimin, mereka tunduk kepada kaum kafir dan mereka menjadi mitra kaum kafir. Sikap kalangan Syiah ini sebagaimana yang bisa kita lihat baik di Iran, Iraq, Lebanon, Yaman, Indonesia dan negara-negara lainnya. Kalangan Syiah begitu mesra berdampingan dengan kaum kafir dari kalangan Yahudi, Nashara, dan sekte-sekte sesat.

Kalangan Khawarij generasi awal mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin ‘Ash. Sementara kalangan Syi’ah mengkafirkan seluruh sahabat kecuali hanya segelintir. Kalangan Syiah mengkafirkan para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan dan istri-istri Nabi.

Pengkafiran terhadap sosok-sosok yang mulia bisa dilihat dalam ritual Idul Ghadir yang telah lalu dan bisa ditemukan juga nanti dalam ritual Asyura mereka di bulan Muharram.

Dengan demikian, Syiah lebih berbahaya dari pada Khawarij, penyimpangan mereka lebih banyak dari pada penyimpangan Khawarij. Kelompok Syiah dipenuhi dengan kemunafikan dan ini tidak ditemukan dalam Khawarij dan pengkafiran yang mereka lakukan pun jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan vonis kafir yang dilakukan kalangan Khawarij.

Yang jelas, kita berlindung dari dua sekte yang menyimpang ini, dan tidak bisa berharap banyak dari mereka dalam meninggikan kalimat Allah di muka bumi.

 

KIBLAT