Modal Dakwah: Senyum Manis dan Wajah Berseri

DI antara bentuk akhlak mulia yang diajarkan dalam Islam adalah bermuka manis di hadapan orang lain. Bahkan hal ini dikatakan oleh Syaikh Musthofa Al Adawi menunjukkan sifat tawadhu seseorang. Namun sedikit di antara kita yang mau memperhatikan akhlak mulia ini. Padahal di antara cara untuk menarik hati orang lain pada dakwah adalah dengan akhlak mulia.

Lihatlah bagaimana akhlak mulia ini diwasiatkan oleh Lukman pada anaknya, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).

Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat tersebut, “Janganlah palingkan wajahmu dari orang lain ketika engkau berbicara dengannya atau diajak bicara. Muliakanlah lawan bicaramu dan jangan bersifat sombong. Bersikap lemah lembutlah dan berwajah cerialah di hadapan orang lain” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 11: 56).

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri” (HR. Muslim no. 2626).

Begitu pula dengan wajah ceria dan berseri akan mudah menarik hati orang lain ketika diajak pada Islam dan kepada kebaikan. Senyum manis adalah di antara modal ketika berdakwah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia” (HR. Al Hakim dalam mustadroknya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Jarir, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menghalangiku sejak aku memberi salam dan beliau selalu menampakkan senyum padaku” (HR. Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 2475). Wajah berseri dan tersenyum termasuk bagian dari akhlak mulia. Ibnul Mubarok berkata bahwa makna husnul khulq (akhlak mulia), “Wajah berseri, berbuat kebaikan (secara umum) dan menghilangkan gangguan”. Dinukil dari Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi rahimahullah.

Sedangkan orang yang berakhlak mulia disebutkan dalam hadits dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai di antara kalian dan yang paling dekat duduk denganku di hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 2018. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Namun wajah berseri ini tidaklah setiap saat dan tidak ditujukan pada setiap orang. Ketika menghadapi orang yang lebih pantas dimarahi (bukan diberi senyuman), juga di hadapan orang kafir maka kita tidak menyikapi seperti itu sebagaimana diterangkan oleh Ash Shonani dalam Subulus Salam. Juga amat bahaya jika seorang gadis memberi senyuman kepada laki-laki karena godaannya amat besar.

Ya Allah, berikanlah kami anugerah dengan akhlak yang mulia dan selalu berwajah ceria di hadapan saudara-saudara kami. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

INILAH MOZAIK

Rasulullah: Silaturahim Inti Dakwah Islam

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)

Mukadimah

Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.

Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin Abasah As-Sulami radhiyallahu anhu berkata:

Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam Amr bin Abasah, no. 1927)

An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)

Makna Silaturahim

Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata dan . Kata adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata – , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: ” yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)

Adapun kata , Ibnu Manzhur berkata: ” adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul Arab)

Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.

Penjelasan Ayat

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”

Setelah Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Taala mengatakan:

“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”

Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.

Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.

“(Dan kepada) karib kerabat.”

Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

“(Dan kepada) anak-anak yatim.”

Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.

“(Dan kepada) orang-orang miskin.”

Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.

“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”

Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.

Demikian juga dengan:

“Tetangga yang jauh.”

Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

“(Dan kepada) teman sejawat.”

Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.

Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.

“(Dan kepada) ibnu sabil.”

Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.

“(Dan kepada) hamba sahayamu.”

Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.

Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Taala dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Taala, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.

Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”

Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Taala.

“dan membangga-banggakan diri.”

Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sadi, hal. 191-192, cet. Darus Salam)

Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Yala Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu)

Targhib (Motivasi)

Allah Subhanahu wa Taala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:

1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.

Allah Subhanahu wa Taala mengatakan:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Rad: 21)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sadi rahimahullahu menyatakan:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”

Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Taala perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sadi, hal. 481, cet. Darus Salam)

Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Rad ini, Allah Subhanahu wa Taala memberitahukan:

“Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): Salamun alaikum bima shabartum. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu anhu:

“Seseorang berkata: Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)

2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.

Dari Salman bin Amr radhiyallahu anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata:

“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)

3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)

 

Tarhib (Ancaman)

Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:

1. Laknat Allah Subhanahu wa Taala dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim

Allah Subhanahu wa Taala mengatakan dalam surat Ar-Rad ayat 25:

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”

Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muthim radhiyallahu anhu, bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)

2. Dijadikan buta dan tuli

Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)

Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan. Allah mengatakan: Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu? Ar-Rahim mengatakan: Ya. Allah menyatakan: Itu bagimu.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]

3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat

Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)

Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas

Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya misalnya tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, dari beliau Shallallahu alaihi wa sallam:

“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}

Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu alam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)

Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Taala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Masud radhiyallahu anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam:

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathiatiha, no. 6472)

Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim

Allah Subhanahu wa Taala telah berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu menjelaskan: “Artinya, Allah Subhanahu wa Taala tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”

Abul Fida` Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:

“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya: Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Ya, berbuat baiklah kepada ibumu.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)

Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya. Wallahul hadi ila sawa`is sabil. [Al-Ustadz Abu Awanah Jauhari, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Dasar-Dasar Penetapan Produk Halal

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal bagi sebuah produk. Keberadaan sertifikasi halal sangat membantu umat Islam untuk memastikan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi atau barang yang digunakan dapat dipastikan kehalalannya.

Namun, tahukah Anda dasar-dasar apa yang digunakan oleh LPPOM MUI dalam mengeluarkan fatwa halal? MUI melalui komisi fatwa pernah mengeluarkan tentang penetapan produk halal, yakni pada 2009.

Alquran surah al-Baqarah (2): 168 adalah rujukan MUI pentingnya mengeluarkan fatwa. Ayat tersebut ber bunyi, Hai sekalian manusia!Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh nyata bagimu,.

Kemudian surah al-Baqarah (2):172 juga menjadi rujukan dari MUI. Ayat tersebut berbunyi Hai orang yang beriman! Makan lah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada- Nya kamu menyembah,. MUI juga merujuk kepada ayat Alquran lainnya, yaitu al-Maidah (5): 88 dan an-Nahl (16):114. Surat-surat Alquran tersebut merupakan ayat yang mengharuskan manusia mengonsumsi yang halal.

Selain itu, MUI merujuk kepada be berapa alquran kehalalan makhluk Allah secara umum. Seperti surah al- Baqarah (2): 29 yang berbunyi Dia- lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..,.

Firman Allah tentang beberapa jenis makanan (dan minuman) yang diharamkan juga menjadi rujukan dari MUI. Di antaranya surah al-Baqarah (2): 173 yang berbunyi Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,.

Hadis-hadis nabi yang berkaitan dengan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi juga menjadi rujukan MUI. Di antara hadis riwayat Muslim, yaitu Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas;dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat(syubhat, samar- samar, tidak jelas halal-haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia menye lamatkan agama dan harga dirinya.

Selain Alquran dan hadis, MUI juga merujuk kepada kaidah-kaidah fikih, di antaranya yang berbunyi Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram. Pedoman dasar dan rumah tangga MUI periode 2000-2005 juga menjadi dasar mengapa MUI harus mengeluarkan fatawa tentang produk halal.

 

REPUBLIKA

Siapakah Ya’juj dan Ma’juj?

Dalam Alquran Surah al-Kahfi ayat 94 diyatakan bahwa keduanya adalah kaum yang suka berbuat kerusakan di muka bumi. Ya’juj dan Ma’juj merupakan dua istilah yang selalu disebut bersamaan.

Kedua istilah tersebut dapat ditemu kan dalam Alquran, hadis, dan juga kitab-kitab suci terdahulu. Pertanya annya, siapakah Ya’juj dan Ma’juj itu se sungguhnya? Dari mana mereka berasal?

Sampai hari ini, suku bangsa yang di sebut Ya’juj dan Ma’juj masih menimbulkan perdebatan.
Ada yang menyebut mereka sebagai bangsa Tartar, Mongol, Cina, dan sebagainya. Ada pula yang menganggap Ya’juj dan Ma’juj sebagai nenek moyang bangsa Turki.

Namun demikian, identitas mereka sesungguh- nya hanya Allah SWT yang tahu. Ibnu Katsir menerangkan, Ya’juj dan Ma’juj adalah keturunan Adam AS. Silsilah mereka dikatakan berasal dari keturunan Yafits bin Nuh AS.

Dalam Alquran dikisahkan, Ya’juj dan Ma’juj diisolasi oleh tembok atau benteng logam yang dibangun Zulkarnain. Meski mereka masih berasal dari jenis manusia, Ya’juj dan Ma’juj mempunyai ciri khas yang membuat mereka tampak berbeda dari manusia pada umumnya.

Dalam satu hadis Nabi SAW disebutkan, Ya’juj dan Ma’juj memiliki muka yang lebar, mata yang kecil (sipit), dan warna putih di rambut atas mereka. Bentuk wajah mereka dikatakan mirip perisai (HR Imam Ahmad).

Mereka juga nyaris tidak memiliki kemampuan untuk memahami bahasa atau perkataan yang dituturkan manusia. Ketika pada masanya, Ya’juj dan Ma’juj akan berhasil menghancurkan dinding besi pembatas yang telah dibangun oleh Zulkarnain.

Mereka akan turun dari pegunungan dengan cepat dan tergesa-gesa karena sudah tidak sabar untuk membuat kerusakan di muka bumi. Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitab kumpulan fatwanya menu liskan, Ya’juj dan Ma’juj akan muncul di akhir zaman, yaitu setelah keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa bin Maryam AS.

Jumlah Ya’juj dan Ma’juj juga terbilang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari tempat persembunyiannya, seakan-akan terlihat seperti air bah yang mengalir. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disir- atkan bahwa populasi manusia biasa dibandingkan dengan Ya’juj dan Ma’juj adalah 1:999 (satu berbanding sembilan ratus sembilan puluh sembilan).

Sementara, hadis yang diriwayatkan oleh an-Nuwas RA mengungkapkan, ketika Allah SWT mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj dari tempat persembunyian- nya, mereka segera turun dengan cepat dari bukit-bukit yang tinggi.

Selanjutnya, gerombolan atau barisan pertama dari mereka melewati Danau Thabariyah dan kemudian meminum habis semua air dalam danau tersebut (HR Muslim 2937/110, at-Tirmidzi 2240 Abu Dawud 4321, Ibnu Majah 4075).

Allah SWT berfirman, Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan (apabila) sudah dekat kedatangan janji yang benar (kiamat), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang kafir. (Mereka berkata):
`Aduhai, celakalah kami, se sungguhnya kami adalah dalam kelalaian mengenai ini, bahkan kami adalah orang yang zalim’, (QS: al-Anbiya [21]: 96-97).

Lepasnya Ya’juj dan Ma’juj dari tempat persembunyian mereka merupakan salah satu tanda semakin dekat- nya hari kiamat. Ketika mereka menguasai dunia, tidak ada yang sanggup menghentikan mereka, termasuk kaum Muslimin yang pada saat itu hidup bersama Nabi Isa AS.

Untuk menghancurkan Ya’juj dan Ma’juj, Allah SWT mengirim sejenis ulat untuk menyerang leher mereka, sehingga menyebabkan mereka binasa. Mayat- mayat mereka lantas bergelimpangan dan bau busuk menyengat.

Untuk membersihkan itu semua, Allah SWT lalu mengirim burung-burung untuk mengangkuti mayat-mayat tersebut, serta mengirim hujan untuk membersihkan- nya.

 

REPUBLIKA

Sabda Nabi sebagai Solusi Soal Kemiskinan

ABDURRAHMAN, putra Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhuma, pernah menyampaikan sebuah kisah tentang para sahabat yang tinggal di Shuffah. Shuffah ialah sebuah tempat yang dahulu di zaman Rasul ada di belakang Masjid Nabawi. Digunakan sebagai tempat tinggal yang tidak layak untuk ditempati karena tidak ada dindingnya. Hanya beratap saja, kalau panas sangat panas cuacanya dan kalau dingin begitu menggigil.

Mereka menempati tempat itu. Dan tempat itu adalah tempat bagi para sahabat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Para sahabat yang datang ke Madinah tidak memiliki harta, tidak punya sanak saudara, dan tidak punya rumah di Kota Madinah. Mereka adalah orang-orang miskin, kata Abdurrahman. Suatu hari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, sebagai sebuah solusi bagi keadaan kemiskinan ini.

Apa sabda Nabi itu? Nabi mengatakan, siapa yang memiliki makanan untuk dua orang maka bawalah orang yang ketiga, dan siapa yang memiliki makanan untuk empat orang maka bawalah orang yang kelima bahkan orang yang keenam. Ini sebuah solusi, yaitu kebersamaan membawa saudaranya untuk makan bersama. Bahkan Nabi shalallahu alaihi wasallam menjamin, walau makanan itu hanya untuk dua orang dia akan cukup bertiga, maka bawalah orang yang ketiga. Walau makanan itu hanya cukup untuk empat orang, maka bawalah orang yang kelima dan keenam karena dia juga akan mencukupinya.

Malam itu, kata Abdurrahman, Abu Bakar membawa pulang tiga orang, dan Abdurrahman diamanahi oleh sang ayah untuk menjamu tamu yang berjumlah tiga orang itu. Abdurrahman berikut istrinya Abu Bakar yang ada di rumah diminta untuk menjamunya. Begitu Abu Bakar mengantarkan tamunya ke rumah, Abu Bakar kembali ke Rasulullah dan makan malam bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam. Sampailah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengantuk, baru Abu Bakar pulang.

Begitu sampai di rumah ternyata Abdurrahman bersembunyi. Dia takut, karena kalau sampai Abu Bakar tahu maka pasti marah. Dan benar Abu Bakar marah. Yang membuat Abu Bakar marah adalah tamunya belum makan. Bukan salah keluarganya. Keluarganya sudah menawarkan berkali-kali, tetapi tamunya tidak mau makan sampai Abu Bakar datang. Abu Bakar sempat bersumpah tidak mau menyentuh makanan itu. Tapi begitu tamunya mulai makan, ternyata ada keajaiban. Keajaiban itu sampai membuat Abu Bakar bertanya kepada istrinya, “Apa ini? Yaa ukhta Bani Firasy maa hadza?”

Istrinya menceritakan apa keajaiban itu. Ternyata setiap tamunya makan, tidak berkurang makanan itu. Ajaib! Justru bertambah tiga kali lipat makanan itu. Bahkan, esok paginya makanan itu dibawa ke Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dan makanan itu digunakan untuk menjamu 12 rombongan di hari itu. Subhanallah. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Maka marilah kita belajar. Kalau keberkahan sudah hadir, kalau keberkahan itu ada, yang sedikit pun akan mencukupi untuk banyak orang. Oleh karena itu, kalau ternyata ada sesuatu yang banyak tapi tidak mencukupi, maka perhatikan. Jangan-jangan hilang keberkahannya. Semoga apa yang kita miliki walau jumlahnya sedikit, mudah-mudahan diberkahi Allah. Karena jika yang sedikit itu diberkahi, maka cukup untuk kita. Ambil keberkahannya.

Wallahu alam bisshawab. [Ust. Budi Ashari, Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Allah tidak Memberikan Kemiskinan

BILA berkenan, isilah titik-titik di bawah ini. Mohon dijawab dengan jujur, sesuai dengan apa yang tersirat dan berkelebat cepat di dalam hati kita masing-masing.

1. Allah menciptakan TERTAWA dan …
2. Allah itu MEMATIKAN dan …
3. Allah menciptakan LAKI-LAKI dan …
4. Allah memberikan KEKAYAAN dan ……
Barangkali, mayoritas kita akan memberikan jawaban seperti ini:
1. MENANGIS
2. MENGHIDUPKAN
3. PEREMPUAN
4. KEMISKINAN

Marilah kita mencocokkan jawaban kita itu dengan apa yang telah Allah firmankan dalam rangkaian firman Allah SWT di Surat An-Najm (53), ayat: 43-45, dan 48. Semua pertanyaan di atas terjawab sebagai berikut:

“dan Dia-lah yang menjadikan orang TERTAWA dan MENANGIS.” (QS. 53:43).

“dan Dia-lah yang MEMATIKAN dan MENGHIDUPKAN.” (QS. 53:44).

“dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan LAKI-LAKI dan PEREMPUAN. ” (QS. 53:45).

“dan Dia-lah yang memberikan KEKAYAAN dan KECUKUPAN.” (QS. 53:48).

Ternyata jawaban kita umumnya hanya BENAR untuk pertanyaan no satu sampai 3. Jawaban kita untuk no 4 umumnya keliru, tak sesuai dengan firman Allah tersebut.

Jawaban Allah Ta’ala dalam Alquran sebagai antonym kekayaan bukanlah KEMISKINAN, tetapi KECUKUPAN.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala hanya menciptakan dan memberi KEKAYAAN serta KECUKUPAN kepada hamba-Nya. Bukan kemiskinan.
Bukankah ternyata yang menciptakan KEMISKINAN adalah diri kita sendiri? Hal ini bisa terjadi karena ketidakadilan ekonomi, atau mungkin kemalasan, bisa juga karena kemiskinan itu kita bentuk di dalam pola pikir kita sendiri dengan senantiasa berkeluh kesah dan membanding-bandingkan.

Jarang sekali orang menyadari bahwa mungkin saja mereka yang di dunia ini bermegah-megah, ujub dan takabur dengan kekayaannya, di akhirat nanti menjadi makhluk yang paling menyesali mengapa ia di dunia tidak amanah dalam menyikapi kekayaannya. Mengapa ia tak sadar, bahwa apa yang diterimanya itu tak lebih sekadar ujian? Mengapa matanya tak pernah terbuka bahwa sejatinya yang ia miliki adalah hibah, sadaqah, pemberian bantuan, atau apapun harta yang ia alirkan buat orang lain? Selebihnya hanya belenggu. Belenggu di dunia, rantai yang mengikatnya di akhirat.

Itulah hakikatnya, mengapa orang-orang yg senantiasa bersyukur; walaupun hidup pas-pasan ia akan tetap tersenyum dan merasa cukup, bukan merasa miskin.
Jadi, marilah kita bangun rasa keberlimpahan dan kecukupan didalam hati dan pikiran kita, agar kita menjadi hamba-Nya yang selalu BERSYUKUR.

 

INILAH MOZAIK

Rasulullah: Janganlah Sekali-kali Engkau Memimpin

KEPEMIMPINAN Rasulullah dalam segala aspek kehidupan tak dapat dipungkiri lagi. Apalagi urusan peperangan, beliau adalah panglima perang terbaik sepanjang masa, yang penuh dengan kemenangan gemilang namun sedikit menjatuhkan korban baik dari pihak sendiri maupun pihak musuh. Hal ini pula yang tertanam kokoh dalam jiwa para sahabat beliau.

Dikutip dari kisahmuslim.com, sebagian orang mengangkat orang lain menjadi pemimpin karena gelar akademik tinggi yang disandangnya. Ada pula yang mengangkat pemimpin karena pengetahuannya yang luas tentang agama. Tanpa menimbang kapasitasnya dari sisi leadership. Yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan dalam sebuah grup, kelompok, organisasi, dan sejenisnya. Bukan kepemimpinan agama seperti yang disebutkan Alquran:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS:As-Sajdah ayat: 24).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan antara Abu Dzar al-Ghifary dengan Amr bin al-Ash dan Khalid bin al-Walid. Padahal dari sisi ke-ulamaan tentu Abu Dzar jauh lebih unggul. Dari sisi ke-islaman, Abu Dzar lebih senior. Ia adalah orang yang pertama-tama menerima dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya ia memeluk Islam kurang lebih 20 tahun sebelum Khalid dan Amr. 20 tahun! Bukan waktu yang singkat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memuji Abu Dzar radhiallahu anhu, “Bumi tak akan diinjak dan langit tak akan menaungi seorang laki-laki yang lebih benar dialeknya daripada Abu Dzar.” (HR. Ibnu Majah No.152).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata tentang Abu Dzar, “Abu Dzar bagai sebuah wadah yang penuh dengan pengetahuan” (Tarikh Dimasq oleh Ibnu Asakir).

Tapi Abu Dzar tidak pernah diberikan kepemimpinan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau hidup di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam, Abu Bakar, Umar, dan wafat di masa pemerintahan Utsman. Tidak pernah sama sekali jadi pemimpin.

Pernah sekali Abu Dzar menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi pemimpin. Bukan karena ia tamak kepemimpinan. Tapi ia ingin lebih bermanfaat, menolong, dan berbagi untuk orang lain. Abu Dzar mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825).

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mencintai Abu Dzar. Tapi beliau memberikan pesan yang begitu jelas, jika ada dua orang, dia yang jadi pemimpin bukan engkau wahai Abu Dzar.

Pelajaran:

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di antara para pemimpin.

Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pandai membaca potensi para sahabatnya.

Ketiga: Orang yang berilmu agama memiliki kedudukan yang istimewa. Rasulullah tidak memberikan pujian kepada Khalid sebagaimana beliau memuji Abu Dzar, “aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku”.
Keempat: Kepemimpinan itu berat dan amanah.

Kelima: Leadership adalah bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu mencapai tujuan bersama. Terkadang hal ini tidak berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan. Syaratnya dia seorang muslim kemudian modal utamanya adalah integritas (jujur dan amanah).

Keenam: Ada orang-orang yang terlahir sebagai pemimpin. Ada orang-orang yang bisa dilatih jadi pemimpin. Dan ada orang-orang yang tidak bisa dilatih jadi pemimpin walaupun memiliki mentor sekelas Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.

Ketujuh: Banyak hal yang bisa digali dari perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum.

 

INILAH MOZAIK