Rasulullah: Silaturahim Inti Dakwah Islam

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)

Mukadimah

Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.

Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin Abasah As-Sulami radhiyallahu anhu berkata:

Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam Amr bin Abasah, no. 1927)

An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)

Makna Silaturahim

Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata dan . Kata adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata – , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: ” yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)

Adapun kata , Ibnu Manzhur berkata: ” adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul Arab)

Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.

Penjelasan Ayat

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”

Setelah Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Taala mengatakan:

“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”

Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.

Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.

“(Dan kepada) karib kerabat.”

Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

“(Dan kepada) anak-anak yatim.”

Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.

“(Dan kepada) orang-orang miskin.”

Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.

“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”

Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.

Demikian juga dengan:

“Tetangga yang jauh.”

Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

“(Dan kepada) teman sejawat.”

Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.

Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.

“(Dan kepada) ibnu sabil.”

Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.

“(Dan kepada) hamba sahayamu.”

Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.

Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Taala dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Taala, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.

Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”

Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Taala.

“dan membangga-banggakan diri.”

Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sadi, hal. 191-192, cet. Darus Salam)

Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Yala Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu)

Targhib (Motivasi)

Allah Subhanahu wa Taala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:

1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.

Allah Subhanahu wa Taala mengatakan:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Rad: 21)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sadi rahimahullahu menyatakan:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”

Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Taala perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sadi, hal. 481, cet. Darus Salam)

Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Rad ini, Allah Subhanahu wa Taala memberitahukan:

“Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): Salamun alaikum bima shabartum. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu anhu:

“Seseorang berkata: Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)

2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.

Dari Salman bin Amr radhiyallahu anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata:

“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)

3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)

 

Tarhib (Ancaman)

Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:

1. Laknat Allah Subhanahu wa Taala dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim

Allah Subhanahu wa Taala mengatakan dalam surat Ar-Rad ayat 25:

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”

Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muthim radhiyallahu anhu, bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)

2. Dijadikan buta dan tuli

Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)

Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan. Allah mengatakan: Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu? Ar-Rahim mengatakan: Ya. Allah menyatakan: Itu bagimu.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]

3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat

Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)

Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas

Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya misalnya tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, dari beliau Shallallahu alaihi wa sallam:

“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}

Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu alam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)

Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Taala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Masud radhiyallahu anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam:

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathiatiha, no. 6472)

Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim

Allah Subhanahu wa Taala telah berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu menjelaskan: “Artinya, Allah Subhanahu wa Taala tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”

Abul Fida` Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:

“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya: Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: Ya, berbuat baiklah kepada ibumu.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)

Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya. Wallahul hadi ila sawa`is sabil. [Al-Ustadz Abu Awanah Jauhari, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Menjaga Silaturahim dengan Kerabat

Menurut ajaran Islam, menyambung hubungan dengan kerabat atau orang-orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan kita adalah bagian dari ibadah. Kegiatan yang dalam istilah lainnya juga dikenal dengan silaturahim ini bahkan disebut-sebut sebagai penyebab bertambahnya rezeki dan diberkahinya umur seseorang.

Dalam satu riwayat dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hedaklah ia bersilaturahim.” (HR mutta faq alaih).

Ustaz Khalid Basalamah mengatakan, jika ditinjau dari sisi hukum Islam, kerabat itu terdiri atas dua macam. Yang pertama disebut mahram atau orang-orang yang haram untuk dinikahi. Beberapa contoh kerabat yang masuk dalam kategori mahram adalah ibu, ayah, anak kandung, saudara kandung, anak dari saudara kandung, saudara sesusuan, mertua, saudara kan dung ayah, saudara kandung ibu, kakek, dan nenek. Semen tara, yang kedua adalah kerabat yang bu kan mahram. Con tohnya adalah sepupu, adik ipar/kakak ipar, dan saudara dari mertua.

Dijelaskannya, menjaga silaturahim dengan para kerabat (baik mahram atau bukan) termasuk amalan yang utama menurut ajaran Islam. “Bahkan, mereka (para kerabat) itu harus kita dahulukan da lam segala hal dibandingkan dengan kaum Muslim lainnya,” ujarnya saat meng isi kajian Islam yang digelar komunitas Maa Haa Dzaa di Masjid al-Ikhlas Kompleks Karang Tengah Permai Cile dug, Tangerang, Banten, November lalu.

Khalid mengungkapkan, jika seseorang memberi sedekah kepada orang lain yang bukan kerabatnya, ia akan mendapatkan satu pahala dari Allah SWT, yaitu pahala sedekah. Sementara, jika orang itu mendahulukan memberi se dekah kepada kerabatnya dibanding kan dengan orang lain, ia akan mendapat dua pahala sekaligus, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturahim. Rasulul lah bersabda, “Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah biasa, sedangkan sedekah kepada orang yang memiliki hubungan rahim (kerabat) adalah dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturahim.” (HR an-Nasai).

 

REPUBLIKA

Dosa dan Akibat Memutuskan Silaturahim, Semua Amalan Sia-sia

Memutuskan silaturahim merupakan hal yang sangat tercela dalam Islam. Dampaknya sangat buruk. “Dosa dan akibat memutuskan silaturahim sangat merusak amalan kita,” kata Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustadz Muhammad Arifin Ilham kepada Republika.co.id, Kamis (30/3/2017).

Pertama, kata Arifin, segala amalnya tidak berguna dan tidak berpahala. “Walaupun kita telah beribadah dengan penuh keikhlasan, siang dan malam, tetapi bila kita masih memutus tali silaturahim  dan menyakiti hati orang-orang Islam yang lain, maka amalannya tidak ada artinya di sisi Allah SWT,” ujar Arifin.

Kedua, kata Arifin, amalan salatnya tidak berpahala. Arifin mengutip hadis Rasulullah SAW,  “Terdapat lima  macam orang yang salatnya tidak berpahala, yaitu: istri yang dimurkai suami karena menjengkelkannya, budak yang melarikan diri, orang yang mendendam saudaranya melebihi tiga  hari, peminum khamar dan imam salat yang tidak disenangi makmumnya.”

Ketiga, rumahnya tidak dimasuki malaikat rahmat. “Sesungguhnya malaikat tidak turun kepada kaum yang didalamnya ada orang yang memutuskan silaturahim,” tutur Arifin mengutip salah satu sabda Rasulullah SAW.

Keempat, kata Arifin, orang yang memutuskan tali silaturahim  diharamkan masuk surga. Arifin mengutip salah satu sabda Rasulullah SAW, “Terdapat tiga  orang yang tidak akan masuk surga, yaitu: orang yang suka minum khamar, orang yang memutuskan tali silaturahim  dan orang yang membenarkan perbuatan sihir.”

“Ayo segera kita jalin silaturahim  pada keluarga dan sahabat,  agar Allah selamatkan kita dunia akhirat,” ujar Ustadz Arifin Ilham.

 

 

sumber: Republika Online

Ini Manfaat Menjalin Silaturahmi

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia KH Cholil Nafis mengungkapkan banyak manfaat yang akan diraih umat Islam ketika saling menjaga silaturahim. Selain kebaikan dan rahmat dari Allah SWT, silaturahim juga akan mempererat hubungan antar manusia.

Kiai Cholil mengatakan menjalin dan menjaga silaturahim wajibnya hukumnya dalam Islam. “Rasulullah SAW selalu menganjurkan umatnya untuk senantiasa membangun dan menjaga silaturahim, bukan memutusnya,” kata dia kepada Republika.

Menurutnya, orang yang selalu menjaga silaturahim akan senantiasa merasakan kedamaian. “Dia akan tenang dalam hatinya, dia akan merasa nyaman dalam dirinya. Sebab tidak akan merasa punya musuh atau lainnya,” kata dia.

Selain itu, orang yang menjalin dan menjaga silaturahim, akan selalu mendapatkan rahmat dan keberkahan dari Allah SWT. “Allah SWT akan memudahkan rezeki, dipanjangkan umurnya. Rezeki dalam hal ini bisa berupa kesehatan, peluang, pekerjaan, atau hal menggembirakan lainnya,” ujar Kiai Cholil.

Oleh sebab itu, Kiai Cholil menilai, ketika seorang Muslim mampu membangun dan menjaga silaturahim dengan baik, dia akan selalu terjaga dalam kebaikan dan kebahagiaan. Karena dengan hubungan baik peluang rezeki terbuka dan dengan hubungan baik pula hati akan senantiasa terbuka.

 

sumber: Republka Online

Silaturahim

Silaturahim adalah kata yang sangat familiar dan sering diucapkan, terutama pada saat Hari Raya Idul Fitri. Sering kali, silaturahim hanya dipahami berkumpul, saling mengunjungi, dan bersalaman pada hari raya. Akibatnya, silaturahim diyakini hanya wajib dilakukan setahun sekali, yaitu pada Idul Fitri.

Tentu saja pemahaman semacam ini tidak salah, tetapi tidak benar seratus persen. Lantas, apa itu silaturahim, kapan, serta di mana mesti kita lakukan? Silaturahim berasal dari dua kata, yaitu shilah danrahim. Shilah berasal dari kata washala yang berarti menyambungkan dan rahim berarti kekerabatan.

Jadi, secara bahasa, silaturahim berarti menyambungkan tali kekerabatan. Mengenai kata rahim yang berarti tali kekerabatan dijelaskan oleh Alquran dalam bentuk jamak, yaitu al-arhaam, seperti yang terdapat pada surah an-Nisa [4] ayat 1.

Alquran tidak menggunakan kata qurba atau qarieb-quraba untuk menunjuk tali kekerabatan, tapi memakai kata rahim.Menyambungkan kekerabatan tidak dipakai frasa shilatul qurba, tapisilaturahim. Tentu ini menjadi hal menarik untuk dikaji.

Jika kita merujuk pada hadis dan fakta empiris, setidaknya terdapat dua alasan penyebutan tali kekerabatan dengan kata rahim, tidak dengan kata qurba. Pertama, menurut salah satu hadis qudsi, katarahim itu diambil dari salah satu nama Allah, yaitu ar-Rahman.

Allah SWT berfirman, ”Aku adalah Allah. Dan, Aku adalah ar-Rahman (Zat Yang Maha Penyayang). Aku menciptakan rahim dan aku memberikan sebuah nama (rahim) untuknya yang aku ambil dari nama-Ku (ar-Rahman). Barang siapa yang menyambung rahim, Aku akan terus mencurahkan rahmat padanya. Barang siapa yang memutus rahim, Aku akan memutus rahmat darinya.” (HR Abu Dawu dan Tarmidzi).

Karena kata rahim merupakan pecahan dari ar-Rahman, kata tersebut sangat terkait dengan sifat ar-Rahman Allah. Rahman sendiri jika dihubungkan dengan Allah berarti Allah Maha Pemberi Nikmat (rahmat).

Dia membagikan nikmat-Nya kepada semua makhluk tanpa kecuali. Nikmat tersebut hanya diberikan di dunia. Jadi, silaturahim bermakna menyambungkan tali kekerabatan dalam bentuk berbagi nikmat Allah kepada semua makhluk, tanpa membedakan jenis makhluk, suku, bangsa, dan agama.

Kedua, rahim merupakan bagian penting organ tubuh wanita. Ketika ke dalamnya masuk janin, terjadilah hubungan (shilah) antara rahimdan janin. Dalam hubungan tersebut, rahim tidak membutuhkanjanin, tapi sebaliknya, janin yang membutuhkan rahim. Namun demikian, walaupun rahim tidak membutuhkan janin, seluruh kebutuhan janin disuplai oleh rahim.

Silaturahim ini dijelaskan dalam sebuah hadis, ”Carilah ketinggian di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Apakah ketinggian itu wahai Rasulallah?” Beliau bersabda, “Kamu menyambung tali silaturahim dengan orang yang memutuskanmu, kamu memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, dan kamu santun lagi murah hati kepada orang yang bersikap bodoh kepadamu.” (HR Baihaki).

Inti silaturahim itu berbagi nikmat Allah kepada sesama makhluk. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dibatasi waktu dan tempat.Silaturahim dapat dilakukan di manapun dan kapan pun. Jadi, kewajiban silaturahim tidak hanya setahun sekali pada Idul Fitri, tapi juga dapat dilakukan sepanjang tahun. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

 

Oleh: Dr H Karman

sumber: Republika Online

Alquran dan Perintah Berkasih Sayang

“Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang,” (HR At-Thabrani)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasih dan sayang dua sifat yang lebih sering disebut sebagai satu kata meski maknanya agak berbeda. Sifat kasih yang berarti mengasihi sesama, tak memandang suku, ras, agama, yang biasanya tercermin dari sifat peduli dan mau berbagi. Sedangkan sayang, sifat yang melekat dalam diri individu yang sifatnya lebih personal, seperti sayangnya orangtua ke anak, atau sebaliknya. Dua sifat tersebut (kasih dan sayang) sudah sepatutnya melekat dalam diri kita sebagai makhluk yang tercipta dengan amat sempurna.

Kesempurnaan itu terlihat dari keberadaan panca indera lengkap dengan fungsinya. Tidak hanya panca indera, organ-organ tubuh lainnya juga membuat manusia mampu bertahan hidup setiap hari demi menjalani fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dan satu hal lagi yang tak terlupa dan membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya ialah akal. Manusia sempurna karena akal yang dianugerahi Allah Subhanahu Wata’alaa, jika akal tersebut digunakan untuk berpikir merenungi kebesaran Allah dan hal-hal yang mengandung kemaslahatan

Dalam Alquran, Allah menganjurkan kita untuk menjaga tali silaturrahim (hubungan kasih sayang kepada sesama). Silaturrahim yang merupakan terjemah dari bahasa Arab—terdiri atas dua kata yaitu shilah dan rahim—bisa dimaknai dengan serangkaian tanggung jawab Muslim dengan Muslim lainnya—dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari—yakni saling menebar salam, memenuhi undangan, menjenguk saudara yang sakit, mengantar jenazah, hingga menjawab (dengan doa) jika saudara kita bersin dan ia memuji Allah.

Dalam hadits shahih Imam Bukhari yang lain pun demikian. Rasulullah Saw menganjurkan jika salah satu di antara kita jika memasak sayur, maka perbanyaklah airnya. Memperbanyak air yang beliau maksudkan disini dapat dimaknai dengan memperbanyak kuantitasnya sehingga sayur itu tidak hanya bisa disantap oleh yang membuat atau keluarganya saja, namun juga bisa dibagi ke para tetangga. Sebab, dengan memberi itulah menjadi salah satu jalan untuk menguatkan hubungan baik dan mempererat silaturrahim.

Dalam surah AN-Nisa, Allah membukanya dengan perintah untuk bertaqwa dan menjaga tali kasih sayang kepada sesama, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan) mempergunakan (nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan) peliharalah (hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Bukan tanpa alasan Allah dan Rasulnya memerintahkan kita untuk pandai menjaga silaturahim. Salah satu alasannya ialah karena dengan berbuat baik, maka kita menpraktikkan salah satu sifat Allah, yang terus menerus berbuat baik untuk para hamba-Nya, seperti yang tertera dalam surah Al-Qashash ayat 77 di bawah ini.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77)

Memiliki hati yang penuh kasih dan sayang serta berusaha untuk selalu berbuat baik terkadang memang tidaklah mudah. Ego diri dan emosi kerap melanda hati manusia jika saja mereka jauh dari Allah Swt. Padahal, dengan memiliki kedua sifat di atas kita takkan pernah merugi. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw, “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)

Sabda Nabi—rahmatilah yang ada di bumi— ini disepakati oleh para ulama sebagai konteks yang sifatnya umum, kaidah ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa kata ‘man’ atau siapa berlaku keumuman. Maka dengan sifat keumuman ini, anjuran berkasih sayang mencakup seluruh jenis makhluk hidup, siapa saja, yang ada di bumi; seperti rahmat kepada sesama muslim, orang non muslim, hewan, tumbuhan, bahkan orang fajir (memiliki banyak dosa sekalipun) harus kita sayangi; bukan justeru diacuh dan dijauhkan sehingga membuat mereka merasa tidak dipedulikan.

Sifat berkasih sayang dalam hadits di atas yang konteksnya umum, juga diperjelas dalam satu hadits yang menggambarkan anjuran kasih sayang kita kepada binatang, “Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Hal tersebut menunjukkan bahwa, menyembelih hewan saja ada aturan dan tata caranya agar tidak menyakiti dan menyiksa binatang tersebut. Jika dengan hewan saja harus memiliki tata krama dan kasih sayang, bagaimana dengan sesama manusia?

Terakhir, satu kisah yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran adalah sifat kasih sayangnya seorang pelacur kepada anjing yang ternyata dengan sifat kasih sayangnya itulah menghantarkan perempuan pezina tersebut mendapatkan hadiah pengampuan dari Allah Subhanahu Wata’alaa. “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Dengan anjuran berkasih sayang yang sifatnya umum inilah mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa Islam tidak menentukan tanggal tepat kapan manusia dapat mencurahkan kasih sayangnya, justeru, Islam menganjurkan pemeluknya untuk menyayangi siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

 

 

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online

Apa Pentingnya Silaturahim?

Apa pentingnya silaturahim? Pertanyaan ini mengawali tausyiah Pimpinan Lembaga Dakwah Kreatif (iHaqi), Erick Yusuf ketika menghadiri acara Reuni di Ruang Paseban Deco, Hotel Grand Royal Panghegar Bandung, Ahad (27/5).

Ustaz Erick menjelaskan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang menyambung silaturahim itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Jadi, dari apa yang dikatakan Rasulullah dapat kita petik pelajaran bahwa silaturahim mempersatukan atau menyambungkan kembali suatu hubungan yang sudah erat menjadi lebih erat lagi. Karena itu, sambunglah hubungan silaturahim dengan kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh, kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.

“Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita kepada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga dan kerabat yang masih ada,” kata Kang Erick, sapaan akrabnya.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahim. Misalnya dengan cara saling mengunjungi, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahim ini dengan lemah-lembut, berkasih-sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang mudah dikenal manusia dalam menyambung silaturahim.
“Dengan silaturahim, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Silaturahim menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.  Amiiin Ya Rabbal Alaamiin,” kata dia.

 

sumber: Republika Online

Hukuman Berat Bagi Pemutus Silaturahim

Oleh: Supriyadi

 

Bulan Syawal merupakan bulan silaturahim bagi masyarakat Muslim Indonesia. Hal ini karena pada hari Lebaran tersebut diisi dengan saling bermaafan, saling berkunjung, dan saling menyapa antara yang satu dan lainnya.

Selain memeriahkan Lebaran dan memang sudah menjadi tradisi, masyarakat pun mudik hanya untuk bersilaturahim.

Secara bahasa, kata silaturahim merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu shilah al-rahim. Istilah tersebut terdiri atas dua kata, yakni shilah yang berarti sambung atau menyambung dan al-rahim yang berarti persaudaraan atau kekerabatan (bisa juga kasih sayang). Dengan demikian, secara bahasa, silaturahim berarti menyambung (tali) persaudaraan atau kekerabatan.

Sementara itu, jika kita mengorek arti silaturahim secara istilah yang disesuaikan dengan konteks masyarakat kita sekarang, kita bisa mengartikan bahwa silaturahim adalah upaya menyambung tali persaudaraan dengan saling mengunjungi antara yang satu dan yang lainnya agar terjalin rasa kasih sayang dan solidaritas antarsesama.

Dalam konteks tersebut, silaturahim dilakukan dengan bertamu, saling melihat keadaan dengan kunjungan, dan saling menyapa dengan komunikasi yang baik pada kunjungan tersebut.

Paling tidak, ada dua hal yang perlu kita ketahui dari silaturahim berkaitan dengan pengertiannya secara istilah. Pertama, menyambung tali persaudaraan yang sebelumnya belum tersambung, artinya berkenalan dengan orang lain kemudian menjalin persaudaraan. Kedua, mempererat persaudaraan atau kekerabatan sehingga jalinan tersebut semakin baik dari waktu ke waktu dan tidak dilepaskan.

Ajaran tentang silaturahim ini sungguh digaungkan oleh agama Islam untuk persatuan umat. Islam tidak menghendaki permusuhan, tetapi menghendaki persaudaraan. Hal itu sesuai dengan fitrah kemanusiaan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dan yang lainnya.

Anjuran silaturahim ini sangat Rasulullah SAW tekankan kepada umat Islam. Ketika Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau pun melekatkan hubungan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang sebelumnya kedua kaum tersebut belum saling kenal. Karena Rasulullah SAW memerintahkan silaturahim, hubungan kedua kaum tersebut sungguh sangat harmonis. Mereka terikat dalam sebuah tali persaudaraan yang sangat kuat.

Selain menambah jaringan dan saudara, silaturahim juga mempunyai manfaat lain. Rasulullah SAW menjelaskan, “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya (kebaikannya), maka bersilaturahimlah.” (HR Bukhari).

Sementara itu, Islam tidak menyukai orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan. Islam mengancam dan mengecam secara tegas orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahim).” (HR Bukhari dan Muslim).

Islam begitu tegas terhadap hubungan baik sesama manusia. Oleh karena itu, orang yang tidak mau berbuat baik dan justru memutus persaudaraan, Islam pun memberikan ancaman yang keras, yakni tidak akan masuk surga sebagai balasannya. Sungguh mengerikan. Na’udzu billah min dzalik.

 

sumber: Republika online