Siapa Sesungguhnya Orang Kafir Itu?

SECARA etimologis, kafir dari kata Al-kufru, kata dasarnya kafara yang artinya menutup. Secara terminologi, kafir adalah setiap manusia yang berkeyakinan di luar Islam maka semua mereka adalah kafir, karena mereka tertutup dari hidayah Islam.

Kafir itu beragam, ada yang ateis (tidak bertuhan), ada politeis (banyak tuhan, musyrik/paganis, seperti semua agama penyembah berhala), ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Walau kafir tidak sebatas ini, dan secara nomenklatur/penamaan tidak hanya seperti ini, namun ada manusia yang tidak menuhankan Allah, tidak bernabikan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dst, maka dia juga kafir.

Tidak sedikit orang Islam sendiri yang menyempitkan makna kafir, yaitu sebatas orang tidak bertuhan saja, maka itu keliru dan tidak berdasar. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)

Ayat ini menyebut kaum musyrikin (politheis) dan ahli kitab (Yahudi-Nasrani) adalah kafir, bahkan mereka di akhirat senasib dan satu “cluster”, neraka jahanam. Imam Al-Kasani Rahimahullah menjelaskan klasemen kekafiran sebagai berikut:
– Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).
– Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaan-Nya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.
– Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakan-Nya, tapi mengingkari risalah kenabian yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.
– Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengeesakan-Nya, dan mengakui risalah-Nya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Lihat: Imam Al-Kasani, Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/263)

Ayat Alquran dan As-Sunah lugas menyebut mereka (Ahli Kitab) dengan sebutan kafir. Tentang Nasrani bahkan ada ayat khusus tentang kekafiran keyakinan bahwa Nabi Isa adalah Anak Tuhan, dan keyakinan trinitas mereka.

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 72-73)

Ada pun dalam As-Sunah. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tanganNya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik seorang Yahudi atau Nasrani, lalu ia meninggal dalam keadaan tidak beriman terhadap risalahku ini (Islam), melainkan dia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153, Ahmad No. 8188, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal No. 280, Abu Uwanah dalam Musnadnya No. 307, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3050, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 509, 511)

Bahkan sebagian sahabat nabi seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma- mengatakan bahwa Nasrani juga musyrik, artinya kekafiran mereka sama levelnya dengan politheis. Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir: “Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman).” (QS. Al-Baqarah (2); 122). (Tafsir Ibnu Katsir, 3/42)

Maka, ini sebagai penegas atas kekafiran Ahli Kitab, dan berpalinglah dari pemahaman kaum liberal yang mendistorsi makna kafir, sebatas tak bertuhan saja. Demikian. Wallahu A’lam. [Ustaz Farid Nu’man Hasan]

Abu Lahab, Paman Nabi SAW yang Dilaknat Allah

Surah al-Lahab turun sebagai peringatan dan mukjizat

 

Dukungan tidak selalu datang dari seluruh keluarga terdekat. Hal itu pula yang dialami Rasulullah SAW. Ketika menerima risalah kenabian, beliau SAW justru merasakan permusuhan dari pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab.

Abu Lahab bin Abdul Muthalib bin Hasyim merupakan salah satu paman Nabi SAW. Nama aslinya adalah Abdul Uzza. Lahab berarti ‘yang menyala-nyala.’ Sebutan itu disematkan karena waktu kecil dia dikenal dari wajahnya yang tampak cerah.

Allah SWT melaknat Abu Lahab. Namanya bahkan diabadikan melalui surah al-Lahab yang terdiri atas lima ayat. Asbabun nuzul surah itu diterangkan Imam Bukhari yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Konteksnya adalah sesudah Nabi SAW menerima wahyu pertama. Awalnya, beliau SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Selang waktu kemudian, turun surah asy-Syu’ara’ ayat ke-214 yang artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Maka, beliau SAW pun mulai menyebarkan risalah Islam secara terbuka.

“Suatu hari, Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk berkumpul. Pada saat mereka telah berkumpul, Rasulullah lalu berkata, ‘Sekiranya saya sekarang mengatakan kepada kalian bahwa pasukan musuh akan menyerang kalian di pagi ini atau sore ini, apakah kalian akan mempercayainya?’

Mereka serentak menjawab, ‘Ya.’

Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya saya sekarang memberi peringatan kepada kalian terhadap akan datangnya azab yang pedih.’

Mendengar ucapan Nabi SAW tersebut, Abu Lahab langsung menyahut, ‘Celaka engkau, apakah hanya untuk menyampaikan hal ini engkau mengumpulkan kami!?’

Allah SWT melalui Jibril AS lalu menurunkan ayat ini (surah al-Lahab) kepada Nabi SAW.”

Surah al-Lahab sendiri secara harfiah berarti ‘gejolak api’ atau ‘sabut.’ Pada ayat keempat dan kelima, disebutkan firman Allah SWT yang artinya: “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”, “Yang di lehernya ada tali dari sabut.”

Maknanya, istri Abu Lahab kelak juga akan merasakan siksa api neraka. Riwayat Ibnu Jarir yang sampai pada Yazid bin Zaid menyebutkan, suatu ketika istri Abu Lahab menebarkan duri-duri ke jalan yang biasa dilalui Nabi SAW. Tidak lama kemudian, turunlah surah al-Lahab, ayat kesatu hingga keempat.

Untuk diketahui, surah al-Lahab turun 10 tahun sebelum matinya Abu lahab. Karena itu, banyak ulama yang berpendapat, turunnya firman Allah SWT itu sebagai salah satu mukjizat.

Kematian Abu Lahab terjadi setelah Perang Badar. Waktu itu, dia tidak mengikuti pertempuran tersebut. Dengan menyetor 4.000 dirham, dia meminta seorang temannya, al-Ashi bin Hisyam, untuk menggantikannya di medan perang.

Perang Badar berakhir dengan kekalahan yang memalukan dari pihak musyrikin Quraisy. Sepekan setelah itu, Abu Lahab menderita sakit parah. Dia pun meregang nyawa dan tewas.

Jasadnya diabaikan orang-orang tiga hari berturut-turut. Bau busuk menyeruak. Para tetangganya memutuskan untuk menggali sebuah lubang besar dan memasukkan mayat Abu Lahab ke dalam boks kayu. Dimasukkanlah peti kayu dan isinya itu ke dalam lubang tersebut.

Cara menguburkannya begitu merepotkan. Orang-orang tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari jasad Abu Lahab, sehingga mereka memasukkan peti tadi dari kejauhan. Sesudah itu, lubang tadi dilempari dengan kerikil dan tanah sampai rata. Demikianlah akhir hayat sang penentang dakwah Nabi SAW.

 

3 Kriteria Sukses Keluarga Bahagia Dalam Bingkai Sunnah

Ada lima hal penting dalam membina rumah tangga dalam bingkai sunnah.

Rumah tangga dalam Islam merupakan pokok dari tegaknya masyarakat yang beradab dan negara yang kuat lagi terhormat. Oleh karena itu, kajian membina rumah tangga dalam bingkai sunnah menjadi tema utama dalam pengajian bulanan yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Daerah Hidayatullah Bekasi di Islamic Center Bekasi, Jawa Barat, Ahad (10/3).

Keluarga yang bahagia, menurut narasumber pertama, Ustaz Drs  Maulana Hamdani memiliki tiga kriteria kesuksesan.

“Keluarga bahagia dalam bingkai sunnah itu memiliki tiga kriteria sukses. Pertama, sukses dunia; kedua, sukses akhirat; ketiga, sukses terhindar dari siksa api neraka. Semua itu bisa diwujudkan jika suami istri mampu mengetahui prioritas, prinsip, dan tujuan utama berumah tangga di dalam Islam,” paparnya seperti dikutip dalam rilis BMH yang diterima Republika.co.id, Ahad (10/3).

Untuk itu, Ustaz  Maulana Hamdani yang juga Ketua Garis (Gerakan Rijalul Islam Kota Bekasi), memberikan tuntunan lebih lanjut.

“Ada lima hal penting dalam membina rumah tangga dalam bingkai sunnah. Pertama jadikan rumah tangga kita bagaikan kapal atau bahtera yang kita nahkodai untuk mencapai pulau-pulau yang kita impikan,” ujarnya.

Kedua, membangun hati dan rasa dalam berumah tangga. Ketiga, membangun kepribadian akhlak, baik suami, istri dan juga anak.

“Keempat, Alquran  dan Hadis menjadi kompas untuk menentukan atau menunjukan arah kapal kita. Kelima, nasihat dan panduan, agama itu adalah nasihat bagi kita,” urainya.

Nara sumber kedua, Ustaz MD Karyadi Al-Hafizh memberikan penekanan tentang pemahaman terhadap sunnah.

“Sunnah adalah cara Nabi memperagakan Alquran dalam kehidupan sehari-hari, baik perkataan ataupun perbuatan. Bagaimana Nabi bertutur kata kepada istri, seperti itulah kita berusaha bertutur kata kepada pasangan, termasuk dalam mendidik anak, ibadah, dan beragam aktivitas lainnya,” ujarnya di hadapan 200 jamaah yang hadir menyimak.

Ketua DPD Hidayatullah Bekasi, Ustaz Hidayatullah MAg menjelaskan,  pengajian bulanan ini adalah sarana untuk terus meningkatkan semangat belajar. Sehingga,  senantiasa ada semangat membina rumah tangga dengan baik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

“Alhamdulillah, pengajian bulanan ini dapat terlaksana dengan lancar dan penuh keakraban. Hal ini dimaksudkan sebagai implementasi mencintai ilmu, sehingga senantiasa ada semangat membina rumah tangga sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Kajian semacam ini sangat diperlukan oleh mereka yang belum menikah, lebih-lebih yang telah berumah tangga,” ucapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat yang Khusyuk

Kekhusyukan Shilah ibn Asyam al-Adawi, salah seorang tabiin, ketika shalat patut menjadi pemicu kita untuk mencontohnya. Meski terjaga dan sibuk ketika berperang, bahkan ia adalah komandan perang yang memiliki tanggung jawab kepada pasukan tak membuat shalat Shilah acak-acakan.

Sunday, 10 Mar 2019 06:06 WIB

Shalat yang Khusyuk

Manfaat shalat khusyuk tidak hanya diperoleh seorang hamba di dunia.
Red: Agung Sasongko
Republika/Darmawan

Ilustrasi Shalat Tarawih

Ilustrasi Shalat Tarawih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kekhusyukan Shilah ibn Asyam al-Adawi, salah seorang tabiin, ketika shalat patut menjadi pemicu kita untuk mencontohnya. Meski terjaga dan sibuk ketika berperang, bahkan ia adalah komandan perang yang memiliki tanggung jawab kepada pasukan tak membuat shalat Shilah acak-acakan.

Saking khusyuknya shalat yang ia lakukan, ia pernah diselamatkan Allah SWT dari ancaman terkaman singa. Shilah lolos dari terkaman singa tanpa beranjak sedikit pun dari shalatnya. Bahkan, dia tetap khusyuk sampai shalatnya selesai.

Riwayat ini seperti dinukilkan dari at-Tarikh al-Kabirdari Ja’far ibn Zaid, salah satu komandan perang. Ja’far mengisahkan ketika itu dia bersama pasukan lainnya, keluar bersama salah satu dari pasukan dalam sebuah perang menuju “Kabul” (ibu kota Afghanistan, terletak dekat sungai Kabul).  “Dan, ada Shilah ibn Asyam berada di tengah pasukan kita,” katanya.

Ketika malam telah menutupkan tirainya dan para mujahid itu berada di tengah perjalanan dan para pasukan menurunkan bekalnya untuk menyantap makanannya lalu menunaikan shalat Isya. Mereka kemudian pergi menuju kendaraannya masing-masing untuk beristirahat, termasuk Shilah.

“Dia  pergi menuju ke kendaraannya sebagaimana mereka pergi. Ia lalu meletakkan pinggangnya untuk tidur sebagaimana yang mereka lakukan,” ujarnya.

Melihat hal demikian, Ja’far lantas berkata dalam hati. Di manakah keberanan informasi ihwal kekhusyukan Shilah dan ibadahnya yang kuat hingga kakinya bengkak? Ja’far pun berkomitmen  menunggunya malam ini hingga benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran kabar itu.

Tidak lama setelah para prajurit terlelap dalam tidurnya, hingga dirinya benar-benar melihatnya bangun dari tidurnya dan berjalan menjauh dari perkemahan, bersembunyi dengan gelapnya malam dan masuk ke dalam hutan yang lebat dengan pepohonannya yang tinggi dan rumput liar. Seakan-akan, belum pernah dijamah sejak waktu yang lama.

“Melihat itu aku berjalan mengikutinya,” kata Ja’far.

Sesampainya Shilah di tempat yang kosong, ia mencari arah kiblat dan menghadap kepada-Nya. Ia bertakbir untuk shalat dan ia tenggelam di dalamnya.

“Aku melihatnya dari kejauhan. Aku melihatnya berwajah berserah dan anggota badan serta jiwanya tenang. Seakan-akan, ia menemukan seorang teman dalam kesepian, (menemukan) kedekatan dalam jauh dan cahaya yang menerangi dalam gelap,” kata Ja’far yang mengintip di semak-semak belukar.

Namun, ketika Ja’far sedang memperhatikan gerak-gerik shalat al-Adawi tiba-tiba muncul di hadapan mereka seekor singa dari sebelah timur hutan. Melihat singa sedang mengendap-ngendap di hadapannya mengarah kepada al-Adawi, Ja’far kaget merasa takut singa itu akan memangsa mereka berdua.

Seketika itu, Ja’far langsung terperanjat pada sebatang pohon yang tinggi untuk melindunginya dari serangan singa. Ja’far masih melihat singa tersebut terus mendekati Shilah yang tengah menikmati shalat. Dia seakan tidak menghiraukan singga yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.

“Dan demi Allah Shilah tidak menoleh kepada singa itu. Ia tidak memedulikan singa yang sedang ada di hadapannya,” kata Ja’far

Ketika mata singa sudah menantap dalam-dalam Shilah, Ja’far mengira ketika sujud pasti Shilah diterkam singa yang terlihat lapar itu.  Namun, dugaannya salah, ketika Shilah bangkit dari sujudnya dan duduk, singa itu berdiri di hadapannya seakan-akan memperhatikannya.

“Ketika ia salam dari shalatnya, ia memegang singa itu dengan tenang dan bibirnya mengucapkan sesuatu yang tidak aku dengar. Dan tiba-tiba saja singa tersebut berpaling darinya dengan tenang dan kembali ke tempat semula.”

Pada saat fajar telah terbit, Shilah bangkit untuk menunaikan shalat fardhu dan kemudia dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar menyelamatkan aku dari neraka. Apakah seorang hamba yang berbuat salah seperti aku ini berani untuk memohon surga kepada-Mu?!”

Ia terus saja mengulang-ulangnya hingga menangis dan membuatku ikut menangis. Kemudian, ia kembali ke pasukannya tanpa ada seorang pun yang tahu. Tampak di mata orang-orang, seakan-akan ia baru bangun dari tidur di kasur.

“Sedangkan, aku kembali dari mengikutinya dan aku merasa (lelah dari) begadang malam. Badan ku menjadi penat. Di tambah ketakutan terhadap singa,” ujar Ja’far.

Keberkahan

Allah SWT telah memberikan banyak keberkahan dalam hidupnya, salah satu di antaranya, yaitu memiliki istri ahli ibadah dan seorang putra yang pemberani. Menjadi suatu kebanggaan kala itu di kalangan umat Islam jika memiliki putra berani berperang melawan musuh Islam.

Kisah ini membuktikan bahwa Allah menjadikan shalat sebagai media untuk menolong hamba-Nya. “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS al-Baqarah [2]: 45).

Dalam bahasa Imam Qatadah, orang-orang yang khusyuk adalah mereka yang merendahkan diri, menundukkan jiwa yang diperlihatkan oleh anggota badan dengan diam dan pasrah. “Khusyuk di dalam hati maksudnya adalah sungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat dengan memasrahkan diri sepenuhnya,” tuturnya.

Manfaat shalat khusuyuk tersebut, juga akan diperoleh kelak pada hari kiamat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bahwa di antara tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah adalah yang berzikir (ingat) kepada Allah dalam kesendirian (kesunyian), kemudian air matanya mengalir.

Sumber: Islam Digest Republika

Hijrah kepada Lingkungan yang Menguatkan Iman

SETIAP dari kita berbeda-beda kadar kekuatan imannya. Ada orang yang sekali saja mendapat hinaan dari orang lain, ia langsung merasa rendah diri dan merasa hina. Ada orang yang sekali mendapatkan cacian dan makian, ia langsung marah dan sangat murka. Namun, ada juga orang yang berkali-kali dihina dan dimaki, namun ia tetap tenang, menahan amarah dan bersabar.

Penting bagi kita untuk mengukur kekuatan diri sendiri. Hal ini adalah supaya kita tidak terseret kepada situasi yang rusak di lingkungan kita. Alangkah lebih baik lagi jika kitalah yang justru bisa mewarnai lingkungan kita dengan kebaikan.

Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw bersabda, Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena kamu bisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium bau wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap. (HR. Bukhari Muslim).

Hadits ini berlaku untuk hubungan kita dengan teman atau dengan suatu lingkungan. Ukurlah diri kita. Sekiranya kita berada di tengah satu lingkungan yang tidak baik dan kita kuat untuk memberikan pengaruh kebaikan, maka bertahanlah di sana. Sebaliknya, jika di dalam lingkungan tersebut malah kita yang ikut tergerus kepada kemaksiatan, maka segeralah pindah. Segera berhijrahlah.

Lantas, teman atau lingkungan seperti apakah yang semestinya kita cari sebagai tempat kita berhijrah? KH. Jalaluddin Asy Syatibi menjelaskan bahwa ada lima tipe teman atau lingkungan. Kelima lingkungan itu adalah,

1. Teman atau lingkungan yang bisa menjadi guru ibadah. Milikilah teman atau tinggallah di lingkungan yang bisa menambah kadar keimanan kita kepada Allah Swt. Milikilah teman atau tinggallah di dalam lingkungan yang bisa menambah kualitas keyakinan kita kepada Allah Swt. Tipe ini adalah teman yang baik atau lingkungan yang baik pula untuk ditinggali. Jika sulit mencari teman atau lingkungan seperti ini, simaklah tipe berikutnya.

2. Teman atau lingkungan yang bisa dijadikan teman untuk berbadah. Ini adalah teman atau lingkungan yang tidak begitu banyak ilmunya, namun selalu bersemangat untuk mencari ilmu dan semangat untuk beribadah. Jika masih juga sulit mencari teman atau lingkungan seperti ini, lihat tipe berikutnya.

3. Teman atau lingkungan yang bisa dijadikan murid ibadah. Teman atau lingkungan seperti ini mungkin tidak bisa mengajak, akan tetapi mau untuk belajar menjadi semakin baik. Jika masih juga sulit mencari tipe seperti ini, carilah tipe selanjutnya.

4. Teman atau lingkungan yang tidak bisa menjadi guru ibadah, tidak bisa jadi teman ibadah, tidak bisa jadi murid ibadah, tapi ia tidak mengganggu kita saat melakukan ibadah. Dan jika tipe ini masih sulit ditemui, cukup hindarilah teman atau lingkungan dengan tipe berikut ini,

5. Ini adalah tipe teman atau lingkungan yang tidak baik untuk didekati atau ditinggali. Yaitu teman atau lingkungan yang sangat kuat mempengaruhi kita untuk jauh dari ibadah atau melemahkan iman. Atau teman atau lingkungan yang diam-diam menyeret kita kepada kelalaian dan kemunafikan.

Kita harus memiliki keberanian untuk meninggalkan lingkungan yang membuat kita tidak semakin yakin terhadap Allah Swt. Kita harus punya keberanian untuk berhijrah, pergi meninggalkan lingkungan yang malah menjerumuskan kita kepada kemaksiatan, kemunafikan atau kekufuran.

Jangan ragu untuk keluar dari tempat kerja yang didominasi oleh perbuatan-perbuatan dosa yang tidak mampu kita lawan atau kita perbaiki. Jika takut kehilangan penghasilan, yakinlah sesungguhnya Allah Swt Maha Penjamin Rezeki. Jika orang kafir saja dijamin rezekinya, apalah lagi kita yang mengimani Allah Swt dan senantiasa berupaya menghindari kemaksiatan dan dosa.

Tentu kita masih ingat saat krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Ribuan karyawan di berbagai perusahaan ditimpa kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Apakah PHK itu kemudian menjadi akhir dari hidup mereka? Tidak! Mereka tetap hidup. Meski sempat terkejut, sedih, kecewa, akan tetapi hidup berjalan terus. Malah tidak sedikit dari mereka yang kemudian semakin tangguh menjalani hidup setelah PHK tersebut. Tidak sedikit mereka yang setelah mengalami keterpurukan PHK itu kemudian bangkit sebagai wirausaha yang sukses. Atau tidak sedikit juga mereka yang mendapatkan tempat pekerjaan baru yang lebih menentramkan dirinya.

Orang yang kehilangan pekerjaan karena PHK saja masih mendapatkan rezeki, apalagi orang yang mengundurkan diri dari tempat kerjanya demi menjauhi kemaksiatan dan demi tetap berpegang teguh kepada Allah Swt. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah Swt untuk melimpahkan rezeki kepada orang yang berupaya setia kepada-Nya.

Simaklah kembali pengorbanan Rasulullah Saw bersama para sahabat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, Mekkah, ke Madinah. Meski berat dilakukan, mereka tetap menempuhnya. Terbukti, hijrah kemudian menjadi pintu gerbang bagi kaum muslimin kala itu untuk meraih kesuksesan besar yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Hijrah pada dasarnya adalah bagaimana upaya kita untuk memperoleh keridhaan Allah Swt di dalam segala aspek kehidupan kita. Semangat hijrah adalah semangat kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan memberikan pengaruh kebaikan itu kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Hijrah yang paling sederhana adalah menghijrahkan hati kita dari condong dan bersandar kepada makhluk, harta, kepada condong dan bersandar hanya kepada Allah Swt. Hijrah dari mengharap kepada makhluk, menjadi berharap hanya kepada Allah. Hijrah dari mendambakan sanjungan, pujian, penghargaan dari makhluk, kepada hanya mendambakan ganjaran dari Allah Swt.

Jika sudah demikian hijrah yang kita lakukan, niscaya Allah akan mencukupkan keperluan kita. Allah lebih mengetahui keperluan lahir batin kita dibandingkan diri kita sendiri. Jika kita sudah bertekad untuk melakukan hijrah, semoga itu menjadi gerbang kita menjadi manusia sukses yang bertauhid. Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki segala apa yang kita perlukan, dan Dia-lah Yang Maha Menentukan apapun yang terbaik untuk kita. Wallahualambishawab. [smstauhiid]

INILAH MOZAIK