Jual Beli Saat Azan Jumat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, apabila terdengar azan yang menyeru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. Al-Jumuah:9)

Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan haramnya transaksi jual beli pada hari Jumat, semenjak azan yang dikumandangkan saat khatib di atas mimbar sampai shalat Jumat selesai dilakukan.

An-Nawawi Asy-Syafi’i mengatakan, “Karena kita katakan bahwa transaksi jual beli saat itu diharamkan maka haram pula berbagai transaksi, kegiatan produksi, dan berbagai aktivitas yang menyibukkan serta menghalangi seseorang untuk berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat.” (Al-Majmu’, 4:500)

Transaksi jual beli ini hukumnya haram jika salah satu dari penjual atau pun pembeli adalah orang yang wajib menghadiri shalat Jumat. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang keduanya tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat –misalnya: dua orang perempuan mengadakan transaksi jual beli– maka hukumnya adalah tidak mengapa.

Jika transaksi jual beli sudah terlanjur dilakukan, sahkah transaksi jual beli yang dilakukan?

Ulama bersilang pendapat dalam masalah ini. Syafi’iyyah dan Hanafiyyah menilai transaksi tersebut sah namun pelakunya berdosa, sedangkan Imam Ahmad dan Daud Azh-Zhahiri menilai transaksi tersebut tidak sah.

Pendapat pertamalah yang lebih kuat karena larangan dalam hal ini berkaitan dengan perkara di luar transaksi jual belinya itu sendiri.

ReferensiTamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, karya Adil bin Yusuf Al-Azzazi, jilid 3, hlm. 324–325.

Read more https://pengusahamuslim.com/2380-jual-beli-saat-azan-jumat.html

Cara Wudhu dan Tata Cara Mendengar Khutbah Jumat

Bagaimana amalan yang dilakukan ketika ingin shalat Jumat? Bagaimana mendengar khutbah Jumat?

 

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

بَابُ فَضْلِ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَوُجُوْبِهَا وَالاِغْتِسَالِ لَهَا وَالطِّيْبِ وَالتَّبْكِيْرِ إِلَيْهَا وَالدُّعَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفِيهِ بَيَانُ سَاعَةِ الِإجَابَةِ وَاسْتِحْبَابُ إِكْثَارِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى بَعْدَ الجُمُعَةِ

  1. Bab Keutamaan Hari Jumat, Kewajiban Shalat Jumat, Mandi untuk Shalat Jumat, Mengenakan Wewangian, Datang Lebih Dulu untuk Shalat Jumat, Berdoa pada Hari Jumat, Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penjelasan tentang Waktu Dikabulkannya Doa (pada Hari Jumat), dan Sunnahnya Memperbanyak Dzikir kepada Allah Setelah Shalat Jumat

Hadits #1148

وَعَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( مَنْ تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ ثُمَّ أتَى الجُمُعَةَ ، فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ وَزِيادَةُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ ، وَمَنْ مَسَّ الحَصَى ، فَقَدْ لَغَا )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian datang untuk shalat Jumat, kemudian ia mendengarkan khutbah dan diam, pasti diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya, dan ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang memegang kerikil, sungguh ia telah sia-sia.” [HR. Muslim, no. 857]

 

Faedah Hadits

Pertama: Disunnahkan memperbagus wudhu. Bentuknya adalah dengan berwudhu tiga kali basuhan–kecuali pada kepala dan telinga dengan sekali usapan–, lalu menyempurnakan basuhan wudhu.

Cara menyempurnakan wudhu bisa dilihat dari hadits Abu Hurairah berikut ini. Dari Nu’aim bin ‘Abdillah Al-Mujmir, ia berkata,

رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِى الْعَضُدِ ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِى الْعَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِى السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِى السَّاقِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَوَضَّأُ.

“Aku melihat Abu Hurairah berwudhu lantas ia membasuh wajahnya, kemudian ia menyempurnakan wudhunya. Lalu ia mencuci tangan kanannya hingga awal lengan atasnya (siku ikut terbasuh, pen.), lalu mencuci tangan kirinya hingga awal lengan atasnya. Kemudian ia mengusap kepalanya. Lalu ia mencuci kaki kanannya hingga awal betisnya, lalu kaki kirinya demikian pula sampai awal betisnya. Kemudian ia berkata, “Demikian aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” (HR. Muslim, no. 246)

 

Kedua: Mengerjakan shalat sunnah sebelum imam keluar pada hari Jumat termasuk amalan yang dianjurkan.

Namun mengenai shalat sunnah qabliyah Jumat tidak ada dalil yang menetapkan hal ini.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalamZaad Al-Ma’ad menyebutkan, “Jika bilal telah mengumandangkan azan Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua rakaat kala itu. (Di masa beliau), azan Jumat hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jumat itu seperti shalat Id yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qabliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan azan. Jika azan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qabliyah Jumat tersebut)?”

 

 

Ketiga: Wajib diam dan mendengarkan khutbah Jumat.

Keempat: Berbicara setelah khutbah selesai sebelum memulai takbiratul ihram untuk shalat, tidaklah masalah.

Kelima: Diharamkan bermain-main dengan tongkat dan sibuk dengan hal-hal yang melalaikan dari mendengar khutbah Jumat.

Keenam: Khutbah Jumat itu wajib.

Ketujuh: Satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal. Hari Jumat ke Jumat lainnya ditambahkan tiga hari, sehingga genap menjadi sepuluh.

 

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Sumber https://rumaysho.com/20658-cara-wudhu-dan-tata-cara-mendengar-khutbah-jumat.html

Bahagia dengan Istighfar

Salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah beristighfar dan memohon ampun serta bertaubat kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba sangat membutuhkan ampunan Allah karena dosa atau kemaksiatan yang telah dilakukan. Istighfar tak hanya sekedar ucapan dengan lisan namun disertai perbuatan. Mengakui kesalahan dan berusaha bersungguh-sungguh agar Allah melimpahkan rahmat serta ampunan-Nya. Istighfar juga pembuka pintu kesulitan kehidupan seperti kekurangan makanan atau kemiskinan, belum dikaruniai rezeki berupa anak, saat musim paceklik serta berbagai problem lainnya. Bahkan dalam kondisi lapang atau sempit pun sebagai perwujudan kecintaan hamba pada Rabb-nya, istighfar tetap dibutuhkan karena manusia yang beriman tetap tergantung pada Allah Ta’ala. Hidup pun lebih berkah dengan memperbanyak istighfar. Firman Allah Ta’ala:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh:10-12).

Allahu Akbar! Sungguh agung dan besarnya buah serta pahala istighfar. Melafadzkannya dengan dipahami maknanya dalam hati. Meresapinya bahwa ia memohon pada Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Mengabulkan Doa. Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berhusnudzon bahwa Allah akan menerima istighfar yang dilakukan dengan keinginan kuat, harapan besar serta menggantungkan pengkabulan doa tersebut kepada ilmu Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يقل أحدكم: اللهم اغفر لي إن شئت، اللهم ارحمني إن شئت، ليعزم المسألة فإن الله لا مكره له

Janganlah salah seorang di antara kamu berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki’ atau berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepadaku jika Engkau menghendaki’, tetapi hendaklah ia berkeinginan kuat dalam permohonan itu, karena sesungguhnya Allah tiada sesuatupun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu (HR. Al- Bukhori [XI/6339], Muslim [2679]).
Subhanallah! Selayaknya seorang mukmin selalu menghiasi hari-harinya dengan memperbanyak istighfar, sebagaimana dzikir sesudah sholat pun disunnahkan untuk beristighfar. Dzikir pagi dan sore hari juga tak terlepas dari permohonan ampun pada-Nya. Sebagaimana sabda Beliau shalallahu alaihi wassalam:

أستغفر الله و أتوب إليه

Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya” (dibaca 100 x) (HR. Al Bukhori [11/101], Muslim [4/2075]).

Doa dan istighfar perlu senantiasa ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga menimbulkan dampak positif seperti iman taqwa kepada Allah Ta’ala. Iman semakin meningkat, merasa rendah hati dan mengikis perasaan sombong, baik kepada Allah Ta’ala dan juga di hadapan sesamanya.
Orang yang membiasakan istighfar akan merasa dekat dengan Allah Ta’ala dan dia akan berupaya terhindar dari perbuatan dosa yang mengotori kesucian dirinya. Semoga Allah memudahkan lisan kita selalu basah dengan lafal-lafal yang mengagungkan-Nya, di antaranya dengan istighfar.

Penulis: Isruwanti Umnu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10953-bahagia-dengan-istighfar.html

Hukum Menggabung Niat Puasa Syawal Dengan Qadha Puasa Ramadhan

Kalau ada orang yang berpuasa Syawal dan ingin menggabungnya dengan qadha puasa Ramadhan, atau dengan puasa Senin Kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, yaitu “Apabila Ia berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan karena qadha (mengganti) atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu.”

Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau mengikuti kepada ibadah lainnya, maka disini tidak mungkin digabung.

Contoh:
Seseorang ketinggalan Shalat Sunnah Fajar sampai terbit matahari dan datang waktu Shalat Dhuha, di sini tidak bisa digabung antara Shalat Sunnah Fajar dan Shalat Dhuha, karena Shalat Sunnah Fajar adalah ibadah tersendiri dan Shalat Dhuha juga ibadah tersendiri.

Seorang Shalat Fajar dengan niat untuk Shalat Sunnah Rawatib dan Shalat Fardhu, maka tidak bisa, karena shalat Sunnah Rawatib adalah mengikut kepada Shalat Fardhu.

Kedua: Bisa untuk digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekadar adanya perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.

Contoh:
Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat Fajar dan Tahiyyatul Masjid, maka boleh karena Tahiyyatul Masjid bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).

Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa Syawal dengan meng-qadha puasa Ramadhan, maka hukumnya tidak boleh karena puasa Syawwal di sini mengikut kepada puasa Ramadhan. Namun, apabila seseorang menggabung puasa Syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan, puasa Dawud, Senin Kamis maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.

Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.

Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Read more https://pengusahamuslim.com/1955-hukum-menggabung-niat-puasa-syawal-dengan-qadha-puasa-ramadhan.html

Karena Allah Menyayangi Kita

Tatkala ada anak kecil dalam kondisi kotor, dan sang ibu berusaha memandikannya.  Lalu terdengar suara tangisan kencang, hingga suaranya terdengar ke tetangga sebelah.

Seseorang bertanya, “Kenapa anak itu menangis? Dimana ibunya?”

Yang lainpun menjawab, “Ibunya sedang bersamanya.”

Lantas orang pertama bertanya kembali, “Kenapa ibunya tidak berusaha mendiamkannya?”

Orang keduapun menjawab, “Ibunyalah yang menyebabkannya menangis.”

Kemudian orang pertama menyela, “Seorang ibu tidak mungkin membuat anaknya menangis.”

Lalu muncul orang ketiga yang mengetahui kondisi ibu dan anak itu, “Sebenarnya anaknya dalam kondisi kotor, lalu dia memandikannya. Begitulah sang Ibu yang begitu sayang kepada anaknya, dia ingin anaknya bersih agar ia bisa memeluknya dan menggendongnya.”

Begitulah kasih sayang manusia, Ibu kepada anaknya.

Namun kasih sayang Allah ‘azza wa jalla jauh lebih Indah dan lebih dahsyat kepada hamba-Nya. Sifat Allah Al-Ghafur, Ar-rahman dan Ar-Rahim

Allah ‘azza wa jalla melihat hamba-hambanya yang dikasihi dalam keadaan kotor dan penuh dosa. Maka Allah katakan

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat.”

Ditulis oleh Abu Najmah Minanurrohmah

Read more https://pengusahamuslim.com/4560-karena-allah-menyayangi-kita.html

Puasa Syawal Hendaknya Disembunyikan

Untuk amalan sunnah, hendaknya disembunyikan rapat-rapat. Ini berlaku pula untuk puasa Syawal. Sedangkan amalan wajib memang ditampakkan di hadapan orang lain.

Lihat contoh para salaf berikut ini …

Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.

Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,

Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.” Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya tanpa sanad (secara mu’allaq).

Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya. (Lihat Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3: 300)

Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.

Apa yang memotivasi para salaf menyembunyikan amalan?

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965). Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.

Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.

Baiknya para pembaca Rumaysho.Com mengulas artikel “Tanda Ikhlas: Berusaha Menyembunyikan Amalan

Namun yang patut diingat adalah perkataan Al Fudhail bin ‘Iyadh di mana ia berkata,

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ

Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.” (Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 174).

Ulama Al Lajnah Ad Daimah ditanya mengenai perkataan Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, yaitu meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia itu syirik. Kami dan saudara kami biasa meninggalkan amal sunnah karena khawatir pada manusia boleh jadi karena akan jadi bencana bagi diri kami atau merendahkan kami. Atau ada yang meninggalkan amalan karena takut cemoohan saudara yang lain atau takut ditindak secara hukum. Apakah seperti itu termasuk riya’? Lalu bagaimana cara berlepas diri darinya?

Jawab dari para ulama Al Lajnah Ad Daimah -Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia-,

Pernyataan, beramal karena manusia termasuk syirik. Pernyataan ini benar adanya karena berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah menunjukkan kewajiban ikhlas karena Allah dalam ibadah dan diharamkannya riya’ (pamer amalan). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut riya’ dengan syirik ashgor dan perbuatan inilah yang paling dikhawatirkan menghidap pada umatnya.

Adapun pernyataan, meninggalkan amalan karena manusia itu riya’, maka itu tidak secara mutlak. Ada perincian dalam hal itu dan intinya tergantung pada niat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” Jadi niat ini yang jadi patokan, ditambah amalan tersebut harus bersesuaian dengan tuntunnan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berlaku pada setiap amal. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal tanpa tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Jika seseorang meninggalkan amalan yang tidak wajib karena menyangka bahwa hal itu dapat membahayakan dirinya, maka tidak termasuk riya’. Ini termasuk strategi dalam beramal. Begitu pula jika seseorang meninggalkan amalan sunnah di hadapan manusia karena khawatir dipuji yang dapat membahayakan diri atau memudhorotkannya, maka ini bukanlah riya’. Adapun amalan wajib tidak boleh ditinggalkan karena takut dipuji manusia kecuali jika ada udzur syar’i.

Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 1: 768-769, Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa amalan sunnah hendaknya disembunyikan rapat-rapat, itu lebih baik. Sedangkan amalan wajib itulah yang ditampakkan. Kalau sengaja seseorang meninggalkan amalan wajib biar tidak disebut riya’, itulah yang bahaya.

Adapun rincian yang menarik …

Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan (pada Allah) ada tiga:

Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.

Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber https://rumaysho.com/8424-puasa-syawal-hendaknya-disembunyikan.html

Kumpulan Amalan Ringan #11: Puasa Syawal

Amalan ringan lainnya adalah melakukan puasa syawal, berikut keterangan singkat dan keutamaannya.

 

Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

 

Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164)

Imam Ibrahim Al-Baijuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang semisal.”

Mengenai cara puasa Syawal, Imam Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan, “Yang lebih afdal, puasa Syawal dilakukan muttashil, langsung setelah sehari setelah shalat ied (2 Syawal). Puasa tersebut juga afdalnya dilakukan mutatabi’ah, yaitu berturut-turut. Walaupun jika puasa tersebut dilakukan tidak dari 2 Syawal (tidak muttashil), juga tidak dilakukan berturut-turut (tidak mutatabi’ah), tetap dapat ganjaran puasa setahun. Termasuk juga tetap dapat ganjaran puasa Syawal walau tidak berpuasa Ramadhan (misalnya karena di Ramadhan punya udzur sakit), hal ini dikatakan oleh ulama muta’akhirin (ulama belakangan).” (Hasyiyah Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, 1:579-580)

 

Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:

  1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
  2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
  3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
  4. Usahakan untuk menunaikan qadha’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qadha’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.

 

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

 

  • Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Sumber https://rumaysho.com/19776-kumpulan-amalan-ringan-11-puasa-syawal.html

Ternyata Dapat Dua Pahala, Puasa Syawal Digabungkan dengan Puasa Senin Kamis

Ternyata dapat dua pahala puasa jika kita mengerjakan puasa Syawal bertepatan dengan Senin – Kamis, yaitu mendapatkan pahala puasa Syawal enam hari dan puasa Senin – Kamis.

 

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah ditanya, “Apakah puasa enam hari di bulan Syawal boleh dilakukan pada hari Senin dan Kamis lantas mendapatkan pahala puasa Senin dan Kamis?”

Jawab beliau, “Boleh seperti itu dan tidaklah masalah. Pahala yang diperoleh adalah pahala puasa Syawal enam hari dan puasa Senin Kamis.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

” إِذَا اتَّفَقَ أَنْ يَكُوْنَ صِيَامُ هَذِهِ الأَيَّامِ السِّتَّةِ فِي يَوْمِ الاِثْنَيْنِ أَوِ الخَمِيْسِ فَإِنَّهُ يَحْصُلُ عَلَى أَجْرِ الاِثْنَيْنِ بِنِيَّةِ أَجْرِ الأَيَّامِ السِّتَّةِ ، وَبِنِيَّةِ أَجْرِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ أَوِ الخَمِيْسِ ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى)” انتهى.

“Jika puasa enam hari Syawal bertepatan dengan puasa Senin atau Kamis, maka puasa Syawal juga akan mendapatkan pahala puasa Senin, begitu pula puasa Senin atau Kamis akan mendapatkan ganjaran puasa Syawal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan pahala yang ia niatkan.” Demikian fatwa dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah, 2:154.”

 

Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.

Sumber https://rumaysho.com/20662-ternyata-dapat-dua-pahala-puasa-syawal-digabungkan-dengan-puasa-senin-kamis.html

 

Para Rasul dan Pasar

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari karunia yang Allah berikan kepada umat manusia, Allah mengutus para nabi dan rasul dari kalangan mereka. Sehingga mereka bisa berinteraksi secara baik dengan para utusan Allah. Mereka manusia, beraktifitas sebagaimana manusia, berbahasa dengan bahasa manusia, dst. Ini akan memudahkan mereka untuk meniru para utusan itu.

Allah berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164).

Sayangnya, keberadaan rasul dari kalangan manusia, justru dijadikan celah bagi orang kafir untuk menghina sang rasul, yang tentu saja celaan ini menjadi tidak nyambung. Diantaranya, mereka mencela para rasul karena sang rasul beraktifitas di pasar.

Allah berfirman,

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا

Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia.” (QS. al-Furqan: 7)

Ada dua pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ini,

Pertama, celaan yang diberikan orang kafir kepada Nabi ﷺ. Menurut mereka, seharusnya rasul itu berasal dari kalangan malaikat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di pasar, menyampaikan dan mengajak manusia untuk mengikuti kebenaran, mereka menganggap, Muhammad seperti para penguasa yang ingin menguasai pasar. Kemudian hal ini dibantah oleh Allah, bahwa para rasul di masa silam juga melakukan yang sama. Mereka berdakwah di pasar.

Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar..” (QS. al-Furqan: 20).

Kedua, bahwa masuk pasar hukum asalnya mubah, dalam rangka berdagang, atau mencari nafkah. Dan ada tugas mulia yang dilakukan oleh para rasul ketika di pasar, disamping melakukan transaksi di pasar, mereka juga berdakwah menyampaikan kebenaran, mengajak para kabilah untuk kembali kepada kebenarn.

Atha’ bin Yasar pernah ketemu Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau meminta,

‘Tolong sampaikan kepadaku mengenai sifat Rasulullah ﷺ dalam Taurat?’

Abdullah mengatakan,

أَجَلْ ، وَاللَّهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِى التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فِى الْقُرْآنِ

Baik, demi Allah, sifat beliau yang disebutkan dalam taurat, merupakan sebagian dari sifat beliau yang disebutkan di al-Quran…

Diantara yang beliau sebutkan,

لَيْسَ بِفَظٍّ وَلاَ غَلِيظٍ وَلاَ سَخَّابٍ فِى الأَسْوَاقِ

Beliau kalau bicara tidak kasar, hatinya tidak keras, dan tidak suka teriak-teriak di pasar. (HR. Bukhari 2125).

Karena itu, diantara sikap ideal bagi mukmin ketika di pasar, disamping berdagang adalah mendulang pahala di pasar. Seperti menebar senyum, menebar salam, berdakwah, mengajak masyarakat agar kembali kepada kebenaran, dst.

Seperti yang dilakukan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

إِنْ كُنْت لأَخْرُجُ إلَى السُّوقِ وَمَا لِي حَاجَةٌ إلاَّ أَنْ أُسَلِّمَ وَيُسَلَّمَ عَلَيَّ

“Aku pernah datang ke pasar, padahal aku tidak memiliki kebutuhan apapun, selain untuk menyampaikan salam atau menjawab salam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 26260).

Terkadang para sahabat masuk pasar, hanya untuk mengajak masyarakat untuk banyak takbiran ketika masuk sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Imam Bukhari menyebutkan,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari, bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

Demikian, Allahu a’lam.

 

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://pengusahamuslim.com/6647-para-rasul-dan-pasar.html

Tidak Shalat Selama Bertahun-tahun, Apakah Harus Mengganti?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Aku pernah tidak shalat sama sekali selama tiga tahun, karena aku berada dalam kondisi akhlak yang paling bejat ketika itu. Belum lama ini, Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepadaku untuk bertaubat, dan aku berharap ini adalah taubat nasuha. Aku mulai shalat berjamaah di masjid, dan aku tinggalkan semua hal yang bisa merusak agamaku, serta semua hal yang bisa merusak akhlak dan perilakuku.

Untuk shalat yang tidak aku kerjakan selama tiga tahun tersebut, apakah aku harus menggantinya (qadha’)? Lalu, bagaimanakah (qadha’-nya)?

Jawaban:
Tidak ada kewajiban qadha’ untukmu dengan dua alasan:

Pertama: Meninggalkan shalat adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, sehingga status orang tersebut adalah kafir, menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Berdasarkan hal ini, kembalinya dirimu ke dalam Islam (dengan melaksanakan shalat, pen.), telah menghapus (dosa) yang telah lalu, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfal [8]: 38).

Kedua: Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir, pen.), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.

Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Hal ini juga tidak bisa disanggah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa (tidak) mengerjakan shalat (sampai waktunya habis, pen.), maka shalatlah ketika sudah ingat” (HR. Bukhari no. 597).

(Tidak pula bisa disanggah) dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Karena penundaan (qadha’) pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut (sehingga dilaksanakan di luar waktu yang sudah ditentukan, pen.) adalah karena udzur syar’i. Mengganti (qadha’) ibadah di luar waktunya karena ada udzur syar’i itu dinilai sama dengan melaksanakan ibadah tersebut pada waktunya dalam hal ganjaran dan pahala.

Berdasarkan penjelasan ini, Engkau tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama tiga tahun tersebut, sebagaimana yang telah Engkau sebutkan.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40369-tidak-shalat-selama-bertahun-tahun-apakah-harus-mengganti.html