Pemerintah Tetapkan 1 Syawal 1440H, Jatuh pada 5 Juni 2019

Jakarta (Kemenag) — Pemerintah menetapkan 1 Syawal 1440H jatuh pada hari Rabu, 5 Juni 2019. Hal ini disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin usai memimpin sidang isbat, di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kementerian Agama, Jakarta.

Menurut Menag, Sidang Isbat yang dihadiri para ahli falakiyah, perwakilan ormas Islam dan perwakilan duta besar negara sahabat menyepakati keputusan tersebut karena dua hal.

“Pertama, kita telah mendengar paparan Tim Falakiyah Kemenag yang menyatakan tinggi hilal di seluruh Indonesia dibawah ufuk, yaitu berkisar dari minus satu derajat 26 menit sampai dengan minus nol derajat lima menit,” kata Menag, Senin (03/06).

Dengan posisi demikian, maka hilal tidak dimungkinkan untuk dilihat. Hal ini selanjutnya terkonfirmasi oleh pernyataan para perukyah yang diturunkan Kemenag.

“Kita mendengar laporan dari sejumlah perukyah hilal bekerja di bawah sumpah, terdiri dari provinsi Aceh hingga Papua. Ada 33 perukyah yang ada, tidak ada satu pun yang melihat hilal,” ujar Menag yang didampingi Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher dan Ketua MUI Yusnar Yusuf.

Pada tahun ini, menurut Menag, Kemenag melakukan pemantauan hilal pada 105 titik yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Maka sebagaimana kaidah yang berlaku, dengan dua alasan tersebut, maka bulan Ramadan tahun ini digenapkan 30 hari,” tegas Menag

 

KEMENAG RI

Adab-Adab Berpakaian Bagi Muslim Dan Muslimah

Pakaian adalah salah satu nikmat Allah Ta’ala. Allah jadikan manusia memiliki pakaian-pakaian yang memberikan banyak maslahah untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan” (QS. Al A’raf: 32)

Dan Islam juga menuntunkan beberapa adab dalam berpakaian untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia dalam berpakaian. Diantaranya kami jelaskan pada pemaparan singkat berikut ini.

 

Adab Umum Dalam Berpakaian

1. Gunakan pakaian yang halal

Hendaknya pakaian yang digunakan halal bahannya, juga halal cara mendapatkannya serta halal harta yang digunakan untuk mendapatkan pakaian tersebut. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51). Alla Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172). Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim no 1015).

 

Ibnu Daqiq Al Id rahimahullah menjelaskan:

وفيه الحث على الإنفاق من الحلال، والنهي عن الإنفاق من غيره، وأن المأكول والمشروب والملبوس ونحوهما ينبغي أن يكون حلالًا خالصًا لا شبهة فيه

“Dalam hadits ini terdapat motivasi untuk berinfaq dengan harta yang halal. Dan terdapat larangan untuk berinfaq dengan harta yang tidak halal. Dan bahwasanya makanan, minuman serta pakaian hendaknya dari yang halal 100% tidak ada syubhat di dalamnya” (Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 42).

 

2. Tidak menyerupai lawan jenis

Tidak diperbolehkan menyerupai lawan jenis dalam bertingkah-laku, berkata-kata, dan dalam semua perkara demikian juga dalam hal berpakaian. Laki-laki tidak boleh menyerupai wanita, demikian juga sebaliknya. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang kebanci-bancian dan para wanita yang kelaki-lakian”. Dan Nabi juga bersabda: “keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian!” (HR. Bukhari no. 5886).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ

“Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, ad dayyuts, dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063).

Maka hendaknya para lelaki gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian lelaki, demikian juga wanita hendaknya gunakan pakaian yang dikenal sebagai pakaian wanita.

 

3. Memulai dari sebelah kanan

Hendaknya memulai memakai pakaian dari sebelah kanan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membiasakan diri mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam setiap urusannya” (HR. Bukhari no. 168).

4. Tidak menyerupai pakaian orang kafir

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Disebut menyerupai orang kafir jika suatu pakaian menjadi ciri khas orang kafir. Adapun pakaian yang sudah menjadi budaya keumuman orang, tidak menjadi ciri khas orang kafir, maka tidak disebut menyerupai orang kafir walaupun berasal dari orang kafir.

 

5. Bukan merupakan pakaian ketenaran

Hendaknya pakaian yang digunakan bukan pakaian yang termasuk libas syuhrah. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no.4029, An An Nasai dalam Sunan Al-Kubra no,9560, dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2089).

Asy Syaukani menjelaskan:

والحديث يدل على تحريم لبس ثوب الشهرة، وليس هذا الحديث مختصاً بنفس الثياب، بل قد يحصل ذلك لمن يلبس ثوباً يخالف ملبوس الناس من الفقراء ليراه الناس فيتعجبوا من لباسه ويعتقدوه. قاله ابن رسلان. وإذا كان اللبس لقصد الاشتهار في الناس، فلا فرق بين رفيع الثياب ووضيعها، والموافق لملبوس الناس والمخالف. لأن التحريم يدور مع الاشتهار

“Hadits ini menunjukkan haramnya memakai pakaian syuhrah. Dan hadits ini tidak melarang suatu jenis pakaian, namun efek yang terjadi ketika memakai suatu pakaian tertentu yang berbeda dengan keumuman masyarakat yang miskin, sehingga yang memakai pakai tersebut dikagumi orang-orang. Ini pendapat Ibnu Ruslan. Dan juga pakaian yang dipakai dengan niat agar tenar di tengah masyarakat. Maka bukan perkaranya apakah pakaian itu sangat bagus atau sangat jelek, ataukah sesuai dengan budaya masyarakat ataukah tidak, karena pengharaman ini selama menimbulkan efek ketenaran” (Dinukil dari Mukhtashar Jilbab Mar’ah Muslimah, 1/65).

 

6. Doa memakai pakaian

Hendaknya ketika memakai pakaian membaca doa berikut:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى كَسَانِى هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ
Alhamdulillahilladzi kasaaniy hadzats tsauba wa rozaqonihi min ghoiri hawlin minniy wa laa quwwah

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakaian ini kepadaku sebagai rezeki dari-Nya tanpa daya dan kekuatan dariku. (HR. Abu Daud no. 4023. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

 

Adab-Adab Khusus Bagi Wanita

1. Menutup aurat wanita

Allah Ta’ala berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab: 59).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31).

Ulama Hambali dan Syafi’i berpendapat dari ayat di atas bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh. Sedangkan ulama Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahuanha, beliau berkata,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud 4140, dalam Al Irwa [6/203] Al Albani berkata: “hasan dengan keseluruhan jalannya”).

 

Sehingga dari sini kita ketahui bahwa :
* Kaki juga termasuk aurat
* Lengan juga termasuk aurat
* Leher juga termasuk aurat
* Rambut juga termasuk aurat

Maka tidak boleh ditampakkan.

Dan menampakkan aurat dengan sengaja termasuk tabarruj, sehingga ia merupakan dosa besar. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Umaimah bintu Ruqayyah radhiyallahu ‘anha:

أُبَايِعُكِ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكِي بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا تَسْرِقِي، وَلَا تَزْنِي، وَلَا تَقْتُلِي وَلَدَكِ، وَلَا تَأْتِي بِبُهْتَانٍ تَفْتَرِينَهُ بَيْنَ يَدَيْكِ وَرِجْلَيْكِ، وَلَا تَنُوحِي، وَلَا تَبَرَّجِي تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Aku membai’atmu untuk tidak berbuat syirik kepada Allah, tidak mencuri, tidak membunuh anakmu, tidak membuat fitnah (tuduhan palsu), tidak meratap, tidak ber-tabarruj seperti wanita Jahiliyah terdahulu” (HR. Ahmad 6850, dihasankan oleh Al Albani dalam Jilbab Mar’ah Muslimah hal. 121).

Syaikh Sa’id bin Ali al Qahthani mengatakan: “renungkanlah, dalam hadits ini tabarruj digandengkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan dosa-dosa yang besar” (Izh-harul Haq wa Shawab fii Hukmil Hijab, 1/315).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ

“Dan jika mereka melakukan fahisyah (perbuatan nista), mereka mengatakan: kami mendapati dahulu kakek-moyang kami melakukannya, dan Allah pun memerintahkannya. Maka katakanlah: sesungguhnya Allah tidak pernah memerintahkan perbuatan nista” (QS. Al A’raf: 28).

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Allah Ta’ala menamai perbuatan membuka aurat sebagai fahisyah (perbuatan nista). [kemudian beliau menukil ayat di atas]. Ayat ini menceritakan tentang orang Jahiliyah dahulu thawaf dalam keadaan membuka aurat mereka dan mereka menganggap itu bagian dari agama” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 1/108).

 

2. Tidak berfungsi sebagai perhiasan

Busana wanita Muslimah hendaknya tidak menjadi perhiasan, yang memperindah wanita yang memakainya di depan para lelaki, sehingga menimbulkan fitnah bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” (QS. An-Nur:31).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: “Bolehkah wanita menggunakan busana yang bercorak-corak?”. Mereka menjawab:

لا يجوز للمرأة أن تخرج بثوب مزخرف يلفت الأنظار؛ لأن ذلك مما يغري بها الرجال، ويفتنهم عن دينهم، وقد يعرضها لانتهاك حرمتها

“Tidak diperbolehkan wanita menggunakan busana yang bercorak yang bisa membuat mata lelaki tertarik. Karena busana demikian diantara yang bisa membuat lelaki tergoda dan terfitnah. Dan terkadang membuat seorang wanita dilanggar kehormatannya”.

Al Alusi dalam Ruhul Ma’ani mengatakan:

ثم اعلم أن عندي مما يلحق بالزينة المنهي عن إبدائها: ما يلبسه أكثر مترفات النساء في زماننا فوق ثيابهن ويتسترن به إذا خرجن من بيوتهن، وهو غطاء منسوج من حرير ذي عدة ألوان وفيه من النقوش الذهبية أو الفضية ما يبهر العيون، وأرى أن تمكين أزواجهن ونحوهم لهن من الخروج بذلك ومشيهن به بين الأجانب من قلة الغيرة، وقد عمت البلوى بذلك

“Kemudian ketahuilah, saya ingin memperingatkan diantara perhiasan yang terlarang untuk ditampakkan wanita adalah: apa yang banyak digunakan wanita-wanita glamor di zaman ini, yang digunakan di atas busananya, yang mereka kenakan ketika keluar rumah. Yaitu kerudung tenunan dari sutra yang berwarna-warni yang terdapa ukiran-ukiran warna emas dan perak yang sangat mempesona mata orang-orang. Dan saya memandang, seorang kepala keluarga yang membiarkan istri-istri mereka dan wanita anggota keluarganya keluar rumah dengan busana demikian dan berjalan bersama lelaki ajnabi (non mahram) itu adalah bentuk qillatul ghirah (minimnya rasa cemburu). Dan perkara seperti ini sudah terlanjur umum terjadi masyarakat”.

 

3. Kainnya tebal tidak tipis dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh

Busana Muslimah hendaknya tebal dan tidak tipis serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:

كساني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قبطية كثيفة كانت مما أهدى له دِحْيَةُ الكلبي فكسوتها امرأتي، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : مالك لا تلبس القبطية؟ فقلت: يا رسول الله! كسوتها امرأتي، فقال: مرها أن تجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظامها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menanyakanku: ‘Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?’. Kujawab: ‘Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah’. Beliau berkata: ‘Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya’” (HR. Dhiya Al Maqdisi dalam Al Mukhtar 1/441, dihasankan oleh Al Albani)

Dalam hadits ini Rasulullah memperingatkan Usamah agar jangan sampai bentuk tulang istrinya Usamah terlihat ketika memakai pakaian. Maka menunjukkan tidak boleh menampakkan bentuk lekuk-lekuk tubuh wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

صنفان من أهل النار لم أرهما: قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس، ونساء كاسيات عاريات، مائلات مميلات، رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخلن الجنة، ولا يجدن ريحها، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

“Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring (seperti benjolan). Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim dalam bab al libas waz zinah no. 2128).

 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan:

كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ “قَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ: بِأَنَّهُنَّ يَلْبَسْنَ أَلْبسَةَ قَصِيْرَةً، لَا تَسْتَرِ مَا يُجِبُّ سترَهُ مِنَ الْعَوْرَةِ، وَفَسَّرَ: بِأَنَّهُنَّ يَلْبَسْنَ أَلْبسَةَ خَفِيْفَةً لَا تَمْنَعُ مِنْ رُؤْيَةِ مَا وَرَاءَهَا مِنْ بَشْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَفَسَّرَت : بِأَنْ يَلْبَسْنَ مَلَابِسَ ضيقة، فَهِيَ سَاتِرَةٌ عَنِ الرُّؤْيَةِ، لَكِنَّهَا مبدية لمفاتن

“Para ulama menjelaskan [wanita yang berpakaian tapi telanjang] adalah wanita yang menggunakan pakaian yang pendek yang tidak menutupi aurat. Sebagian ulama menafsirkan, mereka yang menggunakan pakaian yang tipis yang tidak menghalangi terlihatnya apa yang ada di baliknya yaitu kulit wanita. Sebagian ulama menafsirkan, mereka yang menggunakan pakaian yang ketat, ia menutupi aurat namun memperlihatkan lekuk tubuh wanita yang memfitnah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 2/825).

4. Tidak diberi pewangi atau parfum

Wanita tidak boleh memakai parfum atau wewangian yang bisa tercium oleh para lelaki. Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Perempuan mana saja yang mengenakan wewangian lalu melewati sekumpulan laki-laki, sehingga mereka mencium wangi harumnya maka ia adalah seorang pezina.” (HR. Abu Daud no.4173, Tirmidzi no. 2786. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.323).

 

5. Lebar dan longgar

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ’anha, ia mengatakan:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نخرج ذوات الخدور يوم العيد قيل فالحيض قال ليشهدن الخير ودعوة المسلمين قال فقالت امرأة يا رسول الله إن لم يكن لإحداهن ثوب كيف تصنع قال تلبسها صاحبتها طائفة من ثوبها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada hari Ied, untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Kemudian seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah jika diantara kami ada yang tidak memiliki pakaian, lalu bagaimana?’. Rasulullah bersabda: ‘Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya‘” (HR. Abu Daud, no.1136. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud).

Faidah hadits ini, jilbab wanita muslimah itu semestinya lebar. Sebagaimana kata Syaikh Ibnu Jibriin rahimahullah:

فهو يدل على أن الجلباب رداء واسع قد يستر المرأتين جميعًا

“Hadits ini menunjukkan bahwa jilbab itu berupa rida’ yang lebar, saking lebarnya terkadang bisa cukup untuk menutupi dua orang wanita sekaligus”.

 

Adab Khusus Bagi Laki-Laki

1. Menutup aurat

Dan batasan aurat lelaki adalah dari pusar hingga lutut. Berdasarkan hadits:

أسفلِ السُّرَّةِ وفوقَ الركبتينِ من العورةِ

“Yang dibawah pusar dan di atas kedua lutut adalah aurat” (HR. Al Baihaqi, 3362, Ad Daruquthni 1/231, dan yang lainnya).

Dan hadits semisal ini banyak sekali, namun semuanya tidak lepas dari kelemahan. Namun demikian isinya diamalkan oleh para ulama. Bahkan Al Albani mengatakan:

وهي وإن كانت أسانيدها كلها لا تخلو من ضعف …. فإن بعضها يقوي بعضاً ، لأنه ليس فيهم متهم ، بل عللها تدور بين الاضطراب والجهالة والضعف المحتمل ، فمثلها مما يطمئن القلب لصحة الحديث المروي بها

“Hadits-hadits tentang batasan aurat ini walaupun semuanya tidak lepas dari kelemahan, namun sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Karena di dalamnya tidak ada perawi yang muttaham (tertuduh pendusta). Bahkan cacat yang ada hanya seputar idhthirab, jahalah dan kelemahan yang muhtamal. Maka hadits-hadits yang semisal ini termasuk hadits yang menenangkan hati untuk dikatakan hadits yang shahih” (Irwaul Ghalil, 1/297).

Maka lelaki tidak boleh menggunakan celana pendek yang memperlihatkan bagian pahanya.

2. Tidak memakai emas

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أُحلَّ الذهبُ والحريرُ لإناثِ أُمتي، وحُرِّم على ذكورِها

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya” (HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Maka tidak diperbolehkan lelaki menggunakan emas dalam bentuk apapun, baik cincin, kancing baju, pakaian berbahan emas, bagde, atau semisalnya.

3. Tidak memakai sutra

Laki-laki Muslim dilarang menggunakan pakaian dari sutra. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن لبِس الحريرَ في الدُّنيا لم يلبَسْه في الآخرةِ وإنْ دخَل الجنَّةَ لبِسه أهلُ الجنَّةِ ولم يلبَسْه هو

“Barangsiapa yang memakai pakaian dari sutra di dunia, dia tidak akan memakainya di akhirat. Walaupun ia masuk surga dan penduduk surga yang lain memakainya, namun ia tidak memakainya” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 5437, dishahihkan oleh Al Aini dalam Nukhabul Afkar 13/277).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran bagi laki-laki untuk menggunakan sutra dalam pengobatan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu beliau berkata:

رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran untuk Zubair dan Abdurrahman untuk memakai sutra karena penyakit gatal yang mereka derita” (HR. Bukhari no. 5839, Muslim no. 2076).

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

قَالَ الطَّبَرِيُّ : فِيهِ دَلَالَة عَلَى أَنَّ النَّهْي عَنْ لُبْس الْحَرِير لَا يَدْخُل فِيهِ مَنْ كَانَتْ بِهِ عِلَّة يُخَفِّفهَا لُبْس الْحَرِير

“Ath Thabari menjelaskan: dalam hadits ini terdapat dalil bahwa larangan menggunakan sutra tidak termasuk di dalamnya orang yang memiliki penyakit yang bisa diringankan dengan memakai sutra” (Fathul Baari, 16/400).

4. Hendaknya tidak isbal

Isbal artinya menggunakan pakaian yang panjangnya melebihi mata kaki, baik itu celana, sarung, jubah dan semisalnya. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار

“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari no.5787).

Beliau juga bersabda:

لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً

“Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong” (HR. Bukhari no.5788)

Jumhur ulama berpendapat bahwa jika isbal bukan karena sombong, maka tidak haram. Namun semua ulama sepakat, bahwa menjauhi isbal itu lebih baik dan lebih bertaqwa. Sebagaimana riwayat dari Ubaid bin Khalid Al Maharibi radhiallahu’anhu, ia berkata:

بَيْنا أنا أمشي بالمدينةِ إذا إنسانٌ خلفي يقولُ : ارفعْ إزارَكَ، فإنَّهُ أتَقى ، فإذا هو رسولُ اللهِ ،فقلْتُ: يا رسولَ اللهِ إِنَّما هيَ بُرْدَةٌ مَلْحاءُ، قال: : أَما لكَ فِيَّ أُسْوَةٌ . فنظرْتُ فإذا إِزارُهُ إلى نصفِ ساقيْهِ

“Ketika aku berjalan di Madinah, tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang mengatakan: ‘Angkat sarungmu! Karena itu lebih bertaqwa’. Ternyata itu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini hanyalah kain burdah malhaa’. Rasulullah menjawab: ‘Bukankah aku adalah teladan bagimu?’. Lalu aku melihat sarung Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ternyata sarung beliau hanya sampai pertengahan betis” (HR. At Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah no. 121, dishahihkan Al Albani dalam Mukhtashar Asy Syamail, no. 97).

Dan pendapat yang rajih, isbal itu hukumnya haram meskipun tanpa bermaksud sombong. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengingkari para sahabat yang isbal walaupun alasannya bukan untuk sombong. Dari Asy Syarid ia berkata,

أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ ، فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ : هَرْوَلَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، وَاتَّقِ اللَّهَ ” ، قَالَ : إِنِّي أَحْنَفُ ، تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ ” ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ ، أَوْ : إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki yang pakaiannya terseret sampai ke tanah, kemudian Rasulullah bersegera (atau berlari) mengejarnya. Kemudian beliau bersabda:

angkat pakaianmu, dan bertaqwalah kepada Allah“. Lelaki itu berkata: “kaki saya bengkok, lutut saya tidak stabil ketika berjalan”. Nabi bersabda: “angkat pakaianmu, sesungguhnya semua ciptaan Allah Azza Wa Jalla itu baik”. 

Sejak itu tidaklah lelaki tersebut terlihat kecuali pasti kainnya di atas pertengahan betis, atau di pertengahan betis” (HR. Ahmad mencatat sebuah riwayat dalam Musnad-nya [4 / 390], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 3/427).

 

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47057-adab-adab-berpakaian-bagi-muslim-dan-muslimah.html

Bolehkah Puasa Ramadhan Diganti Dengan Fidyah?

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz, ibu saya ada penyakit asma (sesak nafas), asmanya selalu kambuh
sampai saya kasian liatnya. Kadang sampai parah hingga tidak bisa berdiri dan susah ngomong. Jadi setiap ibu saya laksanakan puasa (ramadhan—ed), selalu ganti. Jika tiba buka puasa, asma ibu saya selalu kumat. Itu bagaimana ya ustadz hukumnya?

Syukron, jazakallahu khoiron wa barokallohu fiik.

(Disampaikan oleh Awang Nugraha, Admin N09)


Jawaban :

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakaatuh.

Jika sakit ibu dari penanya adalah sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh maka ia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah.

Alasannya karena di sana ada beberapa kelompok manusia yang diperbolehkan meninggalkan puasa dan cukup menggantinya dengan membayar fidyah dengan cara memberi makan kepada fakir miskin sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan. Dan tidak usah mengganti puasa di hari yang lain, mereka ini ialah ;

• Lelaki tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
• Wanita tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
• Wanita hamil yang khawatir atas dirinya.
• Wanita menyusui yang khawatir jika berpuasa maka anaknya akan termadharati.
• Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.

عن عطاء سمع ابن عباس يقرأ ( وعلى الذين يطوقونه فدية طعام مسكين ) قال ابن عباس : ليست بمنسوخة هو للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما فليطعما مكان كل يوم مسكينا

Dari Atha’ ia mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca ayat (dan bagi orang yang terasa berat puasa, maka ia memberi makan kepada orang miskin). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ;

Ayat ini tidak dihapus, ayat ini berlaku untuk lelaki tua dan wanita tua yang tidak mampu melaksanakan puasa. Mereka berdua memberi makan orang miskin sejumlah hari yang mereka tinggalkan”.

(HR. Bukhari : 4505).

Sedangkan dalil tentang bolehnya wanita hamil dan menyusui meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah ialah riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ قَالَ: يُفْطِرَانِ، وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا يَقْضِيَانِ صَوْمًا

Apabila seorang wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui khawatir atas bayinya di bulan ramadhan, ia berkata : Mereka berdua berbuka/tidak usah puasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan keduanya tidak usah mengqadha’ puasa

(Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsir Ath-Thabari : 2/136, dan dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/19).

عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ ـ وَهِيَ حُبْلَى ـ فَقَالَ: أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa istri beliau bertanya kepada beliau dalam keadaan hamil, lantas beliau menjawab : Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin dan jangan kamu mengqadha’.”

(HR Daruquthni : 2388 dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/20).

Syaikh Muhammad bin Ali Al-Firkus berkata :

لأنَّ قول ابن عبَّاسٍ وابن عمر رضي الله عنهم انتشر بين الصحابة ولم يُعلم لهما مخالفٌ مِن الصحابة فهو حجَّةٌ وإجماعٌ عند جماهير العلماء، وهو المعروفُ عند الأصوليين بالإجماع السكوتيِّ

Karena perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ini sudah tersebar luas di kalangan para sahabat, dan tidak diketahui ada satupun sahabat yang mengingkari keduanya. Maka ini merupakan hujjah/argumentasi dan juga ijma’/konsensus menurut sebagian para ulama. Dan ijma’ ini ma’ruf dikenal di kalangan ulama ahli ilmu ushul sebagai Ijma’ Sukuti”.

(Fatawa Syaikh Muhammad Ali Al-Firkus No. 470).

Wallaahu a’lam.
Wabillahittaufiq.

Referensi: https://bimbinganislam.com/bolehkah-puasa-ramadhan-diganti-dengan-fidyah/

15 Siksa Dunia-Akhirat Bagi yang Remehkan Salat

SIKSA yang paling kita takuti tentu adalah azab neraka. Di mana kita dimasukkan api besar yang akan melumat seluruh tubuh, namun terus berulang-ulang hingga kiamat akan menyapa. Astagfirullah hal adzim.

Tentang azab orang Kafir

Dalam sebuah dialog antara Nabi dan sahabat, Rasul bersabda : Adakah engkau ketahui, kepada siapa diturunkan ayat ini?Thaha ayat 124 (Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit)

Para sahabat pun menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi Bersabda: azab bagi orang kafir di dalam kuburnya itu berupa siksa sembilan puluh sembilan tinnin. Tahukakah kamu apa itu tinnin? Yaitu sembilan puluh sembilar ular. Sedang tiap-tiap ular itu mempunyai tujuh kepala yang mencakar, menjilat (menggigit) dan meniup hingga bengkak pada tubuh orang kafir. Adzab itu berlangsung hingga kiamat (Al-Hadist).

Imam Al-Ghazali menyebutkan, bahwa azab itu merupakan jelmaan dari sifat-sifat yang tercela, dari sombong, riya, dengki, tipu, busuk hati dan sifat-sifat lainnya, yang berbilang-bilang dan bercabang-cabang. Sehingga akhirnya menjelma di alam kubur berupa kalajengking dan ular.

Tentang azab bagi orang kikir tak mau mengeluarkan zakat

Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ali Imran tentang larangan kikir dalam mengeluarkan zakat. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (kikir) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180).

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan) dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari kiamat, Dia berfirman,”Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 180]

Abu Hurairah r.a berkata: Nabi Sawa bersabda: “Siapa yang diberi Oleh Allah kekayaan harta kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan dibentuk baginya harta itu berupa ular botak kepalanya, bersungut dua, lalu dikalungkan di lehernya pada hari kiamat, lalu menggigit kanan kiri pipi sambil berkata: “Aku hartamu, aku timbunan kekayaanmu.” (HR. Bukhari)

Selain itu akan ada azab bagi kaum yang meninggalkan salat lima waktu

Dalam kitab Azzawajir susunan Ahmad bin Hajar Alhaitami berkata: “Tersebut dalam hadis: siapa yang menjaga sembahyang lima waktu maka Allah akan memuliakan dengan lima macam:

1. Dihindarkan dari kesempitan hidup

2. Dihindarkan siksa kubur

3. Diberi kitab amalnya dengan tangan kanannya

4. Berjalan di atas akhirat bagaikan kilat

5. Masuk surga tanpa hisab

Dan siapa yang meremehkan (meninggalkan) salat akan dihukum Allah dengan lima belas siksa. Lima di dunia, dan tiga ketika mati, dan tiga di dalam kubur dan tiga ketika keluar dari kubur. Adapun di dunia:

1. Dicabut berkat umurnya

2. Dihapus tanda orang salih dari mukanya

3. Tiap amal yang dikerjakan tidak diberi pahala oleh Allah

4. Doanya tidak dinaikkan ke langit

5. Tidak dapat bagian dari doa orang-orang salihin

Adapun hukuman yang terkena ketika mati :

1. Matinya hina

2. Matinya kelaparan

3. Matinya haus, dan andaikan diberi air samudera dunia tidak akan puas dan tetap haus.

Adapun hukuman ketika di alam kubur :

1. Disempitkan kuburnya hingga hancur tulang-tulang rusuknya

2. Dinyalakan api dalam kubur, maka ia bergelimpangan dalam api, siang dan malam.

3. Didatangkan padanya ular bernama syuja yang buta matanya dari api dan kukunya dari besi tiap kuku panjangnya perjalanan sehari, ia berkata pada di mayit: “Aku syuja al aqra sedang suaranya bagaikan petir yang menyambar, ia berkata: “Allah telah menyuruhku memukul kamu karena meninggalkan salat subuh hingga terbit matahari, dan memukulmu karena meninggalkan salat zuhur hingga asar, dan memukulmu karena meninggalkan salat magrib hingga isya dan memukulmu karena meninggalkan salat Isya hingga subuh, dan tiap ia memukul satu kali terbenamlah orang itu ke dalam tanha tujuh puluh hasta, maka ia selalu tersiksa dalam kubur hingga hari kiamat.

Adapun hukuman yang menimpa setelah keluar dari kubur :

1. Diberatkan hisabnya

2. Allah murka padanya

3. Masuk dalam neraka

Diriwayatkan: Bahwa dalam jahanam ada lembah bernama Lamlam yang berisi ular-ular, tiap-tiap ular setebal leher onta, panjangnya sejauh perjalanan sebulan, menggigit orang yang meninggalkan salat, maka mendidihnya bisa racunnya dalam badan orang yang digigit selama tujuh puluh tahun kemudian hancur dagingnya.

Adab bagi pelaku zina

Kita mengatahui bahwa sejatinya ketika melakukan zina di dunia pun sudah mendapat siksanya yaitu. Mendapat pukulan 100 kali jika yang berzina belum menikah dan akan mendapatkan rajam jika pelaku zina sudah menikah.

Sebagaimana firman Allah : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur : 2)

Diriwayatkan: Bahwa di Jahannam ada jurang yang bernama Jubbulhazan berisi ular dan kala-kala (Amblypygi) tiap-tiap kala sebesar keledai, yang mempunyai tujuh puluh duri, tiap-tiap duri penu dengan bisa/ racun, menggigit orang yang berzina dan menuangkan racunnya dalam badannya yang terasa dalam masa seribu tahun, kemudian hancur dagingnya sehingga mengalir darah bercampur nanah dari kemaluannya.

Diriwayatkan: Bahwa siapa menyentuh tangannya wanita yang tidak halal baginya dengan syahwat makan akan tiba di hari kiamat terbelenggu kedua tangan ke lehernya, maka jika dicium digunting di bibirnya dalam neraka, dan jika berzina, maka akan berkata pahanya menjadi saksi: Aku telah kamu gunakan untuk haram, maka Allah melihat padanya dengan murka sehingga jatuh daging mukanya.

Lalu diingkari perbuatannya tapi lidah berkata: Saya telah mengatakan apa yang tidak halal bagiku, dan tangan berkata: Aku telah menyentuh barang yang haran dan mata berkata: Aku telah melihat yang haram dan kaki berkata: Aku telah berjalan menuju yang haram dan kemuluan berkata : Aku telah berbuat yang haram.

Lalu malaikat penjaga berkata : Aku mendengar dan lainnya berkata: Aku mencatat dan Allah berfirman: Aku melihat dan menutupi dan Allah menyuruh pada Malaikat: Tangkaplah dan rasakan padanya dari siksa-Ku karena Aku sangat marah padanya, sebab ia tidak malu pada-Ku. [Kazuhana El Ratna Mida/bersamadakwah]
==

[1] Irsyadul Ibad by Salim Bahresi
[2]Menyingkap Rahasia Alam Barzah by Imam Al-Ghazali

INILAH MOZAIK

Cara Menghitung Tunggakan Zakat Selama Beberapa Tahun

Fatwa Islamweb.net no. 121528

Soal:

Saya memiliki tunggakan kewajiban, yaitu menunaikan zakat selama 3 tahun untuk harta sejumlah 20.000 Riyal Saudi.
Berapakah jumlah zakat yang wajib saya tunaikan dalam Riyal Saudi untuk 3 tahun tersebut?
Jazaakumullahu khairan.

Jawab:

Pertama, kami menyarankan Anda untuk bertaubat secara nasuha atas kemaksiatan yang telah Anda lakukan. Menunda penunaian zakat adalah dilarang setelah pelaksanaannya diwajibkan bagi Anda.

Adapun untuk mengetahui jumlah zakat yang wajib Anda tunaikan setelah waktu berlalu selama 3 tahun berpulang pada khilaf ulama, apakah kewajiban zakat terletak pada eksistensi harta (nilai harta yang riil ada ketika jatuh tempo zakat) atau terkait dengan tanggungan pemilik harta.

  1. Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terkait dengan tanggungan pemilik harta. Maka, kewajiban Anda adalah mengeluarkan zakat sebesar 500 Riyal untuk setiap tahun, yaitu 2,5% dari 20.000 Riyal  yang dimiliki. Dengan demikian, total zakat yang wajib ditunaikan untuk 3 tahun adalah 1.500 Riyal Saudi.
  2. Berbeda jika kita berpendapat bahwa zakat adalah kewajiban yang terkait dengan eksistensi harta itu sendiri. Maka, zakat yang wajib ditunaikan berdasarkan pendapat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
    • Pada tahun pertama kewajiban zakat yang ditunaikan adalah 1/40 atau 2,5% dari jumlah harta yang dimiliki, yaitu 500 Riyal (2,5% x 20.000). Kemudian, jumlah ini dikeluarkan dari jumlah pokok harta yang wajib dizakati pada tahun kedua.
    • Dengan demikian, zakat yang wajib ditunaikan pada tahun kedua adalah sebesar 487.5 Riyal yang diperoleh dari perhitungan berikut : 2,5% x (20.000 – 500) = 487,5. Seperti tahun pertama, jumlah zakat tahun kedua ini dikeluarkan dari pokok harta yang tersisa untuk perhitungan kewajiban zakat pada tahun ketiga.
    • Sehingga, zakat harta yang wajib ditunaikan pada tahun ketiga adalah sebesar 475.312 Riyal yang diperoleh dari perhitungan berikut : 2,5% x (20.000 – 500 – 487,5) = 475,3125.
    • Berdasarkan pendapat ini, total zakat yang wajib ditunaikan adalah sebesar : 500 + 487,5 + 475,3125 = 1.462,8125 Riyal Saudi.

Perbedaan dalam permasalahan ini relatif kecil. Untuk lebih berhati-hati dan melepas tanggung jawab, pendapat pertama dapat diikuti.

Pendapat yang rajih

Meski demikian, pendapat kedua dipandang sebagai pendapat yang terpilih (rajih) dalam masalah ini, yaitu yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada eksistensi harta yang juga terkait dengan tanggungan pemilik harta. Hal ini bertopang pada firman Allah ta’ala dalam surat at-Taubah ayat 103,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…

Penulis kitab Zaad al-Mustaqni‘ mengatakan,

وتجب الزكاة في عين المال، ولها تعلق بالذمة

“Zakat wajib pada fisik harta dan memilili keterkaitan dengan tanggungan.”

Menjelaskan perkataan di atas Asy-Syaikh al-Utsaimin berkata,

فقال بعض العلماء: إنها واجبة في الذمة، ولا علاقة لها بالمال إطلاقاً. بدليل أن المال لو تلف بعد وجوب الزكاة لوجب على المرء أن يؤدي الزكاة، وقال بعض العلماء: بل تجب الزكاة في عين المال، لقوله تعالى: خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا. ولقول النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ حين بعثه لليمن: أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم. فالزكاة واجبة في عين المال

وكلا القولين يرد عليه إشكال، لأننا إذا قلنا: إنها تجب في عين المال صار تعلقها بعين المال كتعلق الرهن بالعين المرهونة، فلا يجوز لصاحب المال إذا وجبت عليه الزكاة أن يتصرف فيه، وهذا خلاف الواقع، حيث إن من وجبت عليه الزكاة له أن يتصرف في ماله، ولو بعد وجوب الزكاة فيه لكن يضمن الزكاة

وإذا قلنا: بأنها واجبة في الذمة، فإن الزكاة تكون واجبة حتى لو تلف المال بعد وجوبها من غير تعد أو تفريط وهذا فيه نظر أيضاً، فالقول الذي مشى عليه المؤلف قول جامع بين المعنيين، وهو أنها تجب في عين المال ولها تعلق بالذمة، فالإنسان في ذمته مطالب بها، وهي واجبة في المال، ولولا المال لم تجب الزكاة فهي واجبة في عين المال. انتهى.

“Sebagian ulama berpandangan bahwa kewajiban zakat terletak pada diri pemilik harta dan sama sekali tidak terkait dengan fisik harta. Mereka beralasan bahwa meskipun harta itu musnah setelah muncul kewajiban berzakat, pemilik harta tetap berkewajiban menunaikan zakat.

Ulama yang lain berpandangan bahwa kewajiban zakat terkait pada fisik harta itu sendiri karena Allah ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (at-Taubah : 103).

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata ketika mengutus Mu’adz ke Yaman,

أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم

Informasikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk menunaikan zakat atas sebagian harta” (Shahih. HR. al-Bukhari).

Berdasarkan hal tersebut, zakat merupakan kewajiban yang terkait dengan eksistensi harta.

Namun terdapat kemusykilan bagi kedua pendapat tersebut. Jika kita mengatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta, maka keterkaitan zakat terhadap fisik harta sebagaimana keterkaitan gadai terhadap barang yang digadaikan. Jika mengacu ketentuan dalam gadai, maka pemilik harta tidak boleh memanfaatkan hartanya setelah muncul kewajiban berzakat.
Tentu hal tersebut bertentangan dengan kondisi riil dimana setiap orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat diperkenankan memanfaatkan hartanya meskipun hal itu dilakukan setelah timbul kewajiban berzakat. Memanfaatkan harta tersebut diperbolehkan namun kewajiban zakat tetap menjadi tanggungan.

Jika kita mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang terkait pada tanggungan pemilik harta, maka zakat tetap wajib ditunaikan oleh pemilik harta meskipun harta itu musnah setelah timbul kewajiban berzakat dan tanpa memandang unsur ketidaksengajaan dan keteledoran.

Pendapat tersebut di atas juga patut diteliti kembali.

Pendapat yang disampaikan oleh penulis merupakan pendapat yang mengompromikan kedua hal yang telah disampaikan di atas. Beliau berpendapat bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta namun terdapat keterkaitan dengan tanggungan pemilik harta. Dengan demikian, setiap orang dituntut dan berkewajiban untuk menunaikan zakat dan kewajiban zakat tersebut terletak pada fisik harta, kalau bukan karena keberadaan harta tentulah zakat tidak diwajibkan”.

Beliau juga menyampaikan,

ينبني على الخلاف في تعلق الزكاة بالمال أو بالذمة عدة مسائل ذكرها ابن رجب في القواعد، أوضحها لو كان عند إنسان نصاب واحد حال عليه أكثر من حول، فعلى القول بأنها تجب في الذمة يجب عليه لكل سنة زكاة، وعلى القول بأنها تجب في عين المال، لم يجب عليه إلا زكاة سنة واحدة -السنة الأولى- لأنه بإخراج الزكاة سينقص النصاب، فإذا كان عند الإنسان أربعون شاة سائمة ومضى عليه الحول ففيها شاة، وبها ينقص النصاب لأن الزكاة واجبة في عين المال، أما إن قلنا: إن الزكاة تجب في الذمة فإنها تجب في كل سنة شاة. انتهى.

“Terdapat sejumlah permasalahan yang bertopang pada keberadaan khilaf antar ulama tentang apakah kewajiban zakat terkait pada fisik harta atau tanggungan pemilik harta.

Ibnu Rajab menyebutkan hal tersebut dalam kitab beliau, al-Qawaa-id. Dalam kitab tersebut, beliau juga menjelaskan kondisi seseorang yang memiliki harta dengan kadar satu nishab namun memiliki haul lebih dari satu.

Berdasarkan pendapat yang menyatakan kewajiban zakat terletak pada tanggungan pemilik harta, maka dia berkewajiban mengeluarkan zakat untuk setiap tahun.

Namun, berdasarkan pendapat yang menyatakan kewajiban zakat terkait dengan fisik harta, maka dia hanya berkewajiban menunaikan zakat untuk tahun pertama. Hal ini mengingat dengan mengeluarkan zakat, kadar nishab akan berkurang. Dengan begitu, apabila seorang memiliki 40 kambing saa-imah (tidak ada biaya untuk pemberian pakan) dan telah memenuhi haul, maka terdapat kewajiban zakat berupa seekor kambing. Dan dengan dikeluarkannya zakat, kadar nishab akan berkurang karena mengacu pada pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta.

Adapun jika kita berpendapat bahwa kewajiban zakat merupakan suatu tanggungan pemilik harta, maka untuk setiap tahun dimana zakat tertunggak wajib mengeluarkan seekor kambing”.

Sumber : http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=121528

***

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/27520-cara-menghitung-tunggakan-zakat-selama-beberapa-tahun.html

Mewakilkan untuk Dibelikan Beras Saat Membayar Zakat Fitrah

Solusi bagi mereka yang hanya ingin “mengeluarkan uang” untuk membayar zakat fitrah adalah mewakilkannya dengan akad “wakalah” (perwakilan). Perlu dicatat kata: “mengeluarkan uang untuk”, maksudnya bukan membayar zakat fitrah dengan uang, tetapi mengeluarkan uang untuk dititipkan (diwakilkan) kepada pengurus masjid untuk dibelikan beras dan dibayarkan zakat fitrah atas nama orang tersebut (yang mengeluarkan uang dan mewakilkan) serta akan dibagikan kepada orang miskin.

 

Pendapat terkuat bahwa membayar zakat fitrah tidak boleh dengan uang, karena di zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sudah ada uang yaitu dinar dan dirham, akan tetapi beliau tidak memerintahkan dengan uang, tetapi dengan makanan pokok saat itu. Seandainya saat itu boleh memakai uang untuk bayar zakat fitrah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya pada para sahabat saat itu juga.

Hal ini termasuk dalam kaidah:

تَأْخِيرَ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لَا يَجُوزُ

“Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang saat itu butuh penjelasan adalah tidak boleh.”

Pendapat yang memperbolehkan menggunakan uang ada syaratnya, yaitu saat itu ada hajat khusus dan darurat, semisal saat itu semua sudah ada makanan pokok (beras) dan sangat kurang uang untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) yang lebih penting.

 

Pendapat mayoritas ulama bahwa zakat fitrah harus dengan makanan pokok

Hal ini berdasarkan dzahir hadits tentang zakat fitrah. Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata,

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نخرج في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفطر صاعا من طعام. وقال أبو سعيد: وكان طعامنا الشعير والزبيب والأقط والتمر

“Dahulu kami di masa Rasulullahu shallallahu ;alahi wa sallam mengeluarkan/menunaikan zakat (fitrah) pada hari raya idul fitri satu sha’ bahan makanan’, kemudian ia berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum, zabib (kismis), susu kering, dan kurma.” [HR. Bukhari]

An-Nawawi menjelaskan bahwa mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Beliau berkata,

ولم يُجِزْ عامَّةُ الفُقَهاءِ إخراجَ القيمةِ وأجازَهُ أبو حنيفة

“Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, yang membolehkan adalah Abu Hanifah.” [Syarh Muslim 7/60]

Demikian juga penjelasan syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

الواجب إخراجها طعامًا، هذا الذي عليه جمهور أهل العلم، صاعًا من قوت البلد من تمر أو شعير أو أرز، من قوت البلد صاع، هذا هو الواجب عن كل نفس؛ عن الرجل والأنثى والصغير والكبير، وقال جماعة من أهل العلم: يجوز إخراجها نقدًا. ولكنه قول ضعيف

“Yang wajib adalah mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan (pokok). Ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu satu sha’ dari makanan pokok negeri tersebut berupa kurma, gandum atau beras. Zakat ini wajib bagi setiap orang, baik itu laki-laki, wanita, kecil dan besar. Sebagian ulama membolehkan dengan uang, akan tetapi ini pendapat yang lemah.” [Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/13879]

Baca Juga: Apakah Panitia Zakat Fitri Berhak Dapat Bagian Zakat?

Adapun mengeluarkan zakat fitrah dengan uang berdasarkan pendapat beberapa ulama dan perbuatan tabi’in. Misalnya:

Hasan Al-Bashri berkata,

لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر

“Tidak mengapa mengeluarkan dirham untuk membayar zakat fitrah.”

Abu Ishaq berkata,

أدركتُهم وهم يُعطُون في صدقة الفطر الدراهمَ بقيمة الطعام

“Saya mendapati mereka membayar zakat fitrah dengan dirham seharga makanan pokok.”

Demikian juga surat Umar bin Abdul Aziz perintah tentang zakat fitrah:

نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم

“Setengah sha’ bagi setiap orang ATAU uang seharga itu yaitu setengah dirham.” [Mushannaf 2/398]

 

Demikian semoga bermanfaat

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47059-mewakilkan-untuk-dibelikan-beras-membayar-zakat-fitrah.html

Zakat Fitrah untuk Janin

Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat fitrah itu wajib bagi laki-laki dan perempuan baik sudah baligh maupun belum baligh (bayi umur satu hari pun wajib dikeluarkan zakat fitrahnya), kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan janin yang berada di dalam kandungan? Apakah wajib dikeluarkan zakat fitrah atau tidak?

 

Jawabannya: zakat fitrah pada janin hukumnya Sunnah tidak wajib

Sebagian ulama menyebutkan bahwa memberikan zakat pada janin berdasarkan perbuatan sahabat Utsman bin Affan. Ibnu Hazm berkata,

ولا يعرف لعثمان في هذا مخالف من الصحابة

“Tidak diketahui dari perbuatan Utsman (menunaikan zakat fitrah janin) ini menyelisihi sahabat yang lainnya.” [Al-Muhalla 6/132]

Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa zakat janin wajib ketika berumur 120 hari karena telah ditiupkan ruh, akan tetapi pendapat ini kurang kuat karena janin belum tentu lahir dengan selamat dan bisa jadi mati dalam kandungan. Dalam Fatwa Al-Hindiyah dijelaskan:

ولا يؤذى عن الجنين لأنه لا يعرف حياته

“Tidak ditunaikan zakat fitrah dari janin, karena tidak bisa dipastikan janin tersebut hidup.” [Fatawa Al-Hindiyyah, kitab zakat hal. 211]

 

Pendapat terkuat bahwa zakat fitrah pada janin hukumnya sunnah, tidak sampai tahap wajib. Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ini adalah ijma’ ulama, beliau berkata,

أن ابن المنذر نقل الإجماع على أنها لا تجب عن الجنين، وكان أحمد يستحبه ولا يوجبه

“Ibnu Mundzir menukilkan klaim ijma’ bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin. Imam Ahmad menyatakan hukumnya sunnah dan tidak mewajibkannya.” [Nailul Authar 4/181]

Demikian juga pendapat ulama di zaman ini yaitu Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin, beliau berkata:

زكاة الفطر لا تدفع عن الحمل في البطن على سبيل الوجوب، وإنما تدفع على سبيل الاستحباب

“Zakat fitrah tidak perlu dibayarkan atas kandungan di perut dengan hukum wajib, tetapi dibayarkan karena hukumnya mustahab/sunnah.” [Majmu’ fatawa wa Rasail, kitab zakat fitri]

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47048-zakat-fitrah-untuk-janin.html

Memprioritaskan Akhlak kepada Allah

Memperbaiki akhlak, salah satu misi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara salah satu misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “menyempurnakan akhlak”; dan bukan mengajarkan akhlak dari nol setelah sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hal ini karena dulu masyarakat musyrik jahiliyyah telah memiliki sebagian bentuk akhlak yang luhur sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah menepati janji; memuliakan tamu; dan suka memberi makan orang yang membutuhkan. Sehingga akhlak-akhlak yang baik itu dipertahankan, sedangkan akhlak mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itulah yang menjadi sasaran perbaikan.

 

Memprioritaskan akhlak kepada Allah Ta’ala

Kalau kita berbicara dan menyebutkan tentang akhlak, yang terlintas dalam benak dan bayangan kita adalah bagaimanakah kita bersikap baik kepada sesama manusia, misalnya kepada orang tua, kepada guru, kepada tamu, atau yang lainnya. Jarang atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak kita adanya akhlak yang lebih agung daripada itu semua, yaitu akhlak kita kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

 

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga akhlak kepada kedua orang tua. Kedua orang tua kita adalah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan sikap dan perlakuan yang baik dari kita.

Namun, sebelum Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbuat baik alias berakhlak kepada orang tua, Allah Ta’ala terlebih dahulu menyebutkan hak-Nya, yaitu perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini mengisyaratkan, akhlak kepada Allah Ta’ala, yaitu tauhid, adalah hak yang lebih agung dan lebih harus diperhatikan sebelum hak kedua orang tua.

Demikian juga dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

 

Dalam ayat di atas, sebelum Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berakhlak kepada sesama manusia, yaitu sembilan golongan yang Allah sebutkan (orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak), Allah Ta’ala perintahkan untuk berakhlak terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala, yaitu mentauhidkan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menunjukkan, tanpa akhlak kepada Allah Ta’ala, semua itu hanyalah sia-sia belaka dan tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala

Sebaik apa pun akhlak orang kafir kepada sesama manusia, mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah Ta’ala

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa akhlak kepada Allah Ta’ala adalah yang menjadi pokok, sedangkan akhlak kepada sesama manusia atau sesama makhluk secara umum itu sekedar mengikuti setelah seseorang memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala.

Sehingga meskipun manusia itu memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, misalnya jujur, tidak pernah mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak pernah korupsi, amanah jika diberi jabatan, dan lain-lain, jika mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala, akhlak-akhlak yang luhur kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya sama sekali.

 

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebut orang-orang kafir sebagai seburuk-buruk makhluk, tanpa melihat sebagus dan seluhur apa pun akhlak dan perbuatan mereka terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)

Bukti lainnya bahwa akhlak kepada sesama makhluk itu tidak ada nilainya selama manusia tidak berakhlak kepada Allah Ta’ala adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi kaum musyrikin, sampai mereka mau berakhlak kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138)

Sebagian akhlak mulia kepada sesama manusia yang kaum musyrikin miliki itu tidak ada nilainya, sampai mereka mau beriman kepada Allah Ta’ala dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas peribadatan mereka.

Syubhat orang liberal: Tidak perlu memiliki agama formal, yang penting memiliki akhlak sosial

Sebagian orang yang terkena penyakit liberalisme mengatakan, “Manusia tidak perlu mengikatkan diri dalam agama formal tertentu. Yang penting, mereka punya akhlak sosial yang luhur: jujur, tidak berkata dusta, saling menyayangi, tidak membunuh, tidak mencuri harta orang lain, suka membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, dan seterusnya. Tidak mungkin Allah tega memasukkan hamba-Nya ke dalam neraka jika hamba-Nya itu telah memiliki akhlak-akhlak yang luhur tersebut.”

 

Inilah syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang liberal. Mereka anggap itu adalah pemikiran modern, padahal pemikiran itu adalah pemikiran kuno, pemikiran orang musyrikin sejak zaman dahulu dan telah Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Dulu, orang-orang musyrikin membanggakan amal-amal sosialnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membanggakan “akhlak” mereka berupa suka memberi minum orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan juga rajin mengurusi Masjidil Haram. Mereka membanggakan amal itu, sehingga tidak lagi merasa butuh kepada amal yang lain, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan Allah Ta’ala.

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala langsung membantah argumentasi mereka. Bahwa di sisi Allah, tidaklah sama antara orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dengan orang yang hanya mengandalkan amal dan akhlak sosial semata. Jangan disamakan antara amal iman kepada Allah Ta’ala dengan amal memberi minum jamaah haji yang butuh minum.

Dengan kata lain, akhlak orang-orang musyrikin kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya, sampai mereka memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala terlebih dahulu.

 

Bukan berarti akhlak kepada sesama manusia itu tidak ada gunanya

Pembahasan di atas bukanlah berarti bahwa akhlak kepada sesama manusia itu tidak penting. Bukan maksudnya demikian. Bahkan, berkahlak kepada manusia adalah konsekuensi iman kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, dalam banyak hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan beberapa perkara akhlak dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47. Lafadz hadits ini miliak Bukhari.)

Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara konsekuensi kesempuranaan iman kepada Allah Ta’ala adalah memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi penulis sendiri dan kaum muslimin untuk memperbaiki akhlak kepada Allah Ta’ala, kemudian memperbaiki akhlaknya kepada sesama manusia dan sesama makhluk secara umum.

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 11 Ramadhan 1440/16 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46861-memprioritaskan-akhlak-kepada-allah.html

Mengeluarkan Zakat Fitri Lebih Awal

Waktu yang disyariatkan untuk mengeluarkan zakat fitri adalah satu atau dua hari sebelum hari ‘ied. Sebagaimana dalam hadits.

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ – ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﻳُﻌْﻄِﻴﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘْﺒَﻠُﻮﻧَﻬَﺎ ، ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳُﻌْﻄُﻮﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻡٍ ﺃَﻭْ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ

“ Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri .” (HR. Bukhari no. 1511).

Ada juga riwayat yang menyatakan tiga hari sebelum hari ‘ied. Nafi’ berkata,

ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺑِﺰَﻛَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺗُﺠْﻤَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﻴَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ

“Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fithri .” (Muwatha’no. 629, 1: 285).

Apakah boleh mengeluarkan zakat fitri lebih awal dari waktunya semisal sepekan sebelumnya? Pertanyaan ini muncul bagi mereka yang memiliki urusan banyak dan sibuk menjelang hari raya, satu-dua hari menjelang hari raya mereka semakin sibuk. Belum lagi arus mudik dan waktu yang mereka habiskan di jalan cukup menyibukkan.

Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa zakat fitir harus ditunaikan sesuai waktunya dan tidak boleh didahulukan waktunya, karena fungsi zakat fitri adalah untuk memberi makan orang yang telah berpuasa di hari ‘ied, hari raya kaum muslimin agar tidak ada yang kelaparan. Beliau berkata,

ﺳﺒﺐ ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ ﺍﻟﻔﻄﺮ ، ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺇﺿﺎﻓﺘﻬﺎ ﺇﻟﻴﻪ ، ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻹﻏﻨﺎﺀ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻣﺨﺼﻮﺹ ، ﻓﻠﻢ ﻳﺠﺰ ﺗﻘﺪﻳﻤﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﻗﺖ

“Sebab wajibnya adalah al-fitri (berbuka) dan disandarkan pada makna ini. Maksudnya adalah memberikan kecukupan di waktu yang khusus (waktu ‘ied). Tidak boleh mendahulukan./memajukan waktunya.” [Al-Mughni 2/676]

Demikian juga penjelasan syaikh Al-‘Utsaimin, beliau menjelaskan zakat fitri itu sesuai dengan tujuannya. Jika diberikan pada awal-awal Ramadhan maka bisa jadi zakat itu digunkan untuk yang lain atau telah habis, sehingga tujuannya untuk memberi makan di hari yang fitri (‘iedul fitri) tidak tercapai. Beliau berkata,

ﻓﻬﻨﺎ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﺿﻴﻔﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺳﺒﺒﻬﺎ ؛ ﻭﻷﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﻗﺘﻬﺎ ، ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺃﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ

“Zakat fitri ini dinisabatkan pada fitri (berbuka puasa) karena fitri inilah sebabnya, karena itu waktu fitri (berbuka). Telah diketahui bahwa berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan adalah pada hari-hari akhir Ramadhan.” [Fatwa Zakatul Fitri 18/180]

Terdapat fatwa lainnya yang menyatakan boleh diawalkan apabila ada hajat/keperluan dengan pertimbangan sebagaimana mazhab Syafi’iyah.

Syaikh Khalid Al-Mushlih berkata,

وهذا فيه أنه يجوز تقديم إخراجها للحاجة، فإذا دعت الحاجة إلى إخراجها من أول الشهر فالذي يظهر جواز ذلك، وهو مذهب الشافعي وجماعة من أهل العلم، لكن الأولى والأبرأ للذِّمَّة أن يحافظ على إخراجها في وقتها

“Boleh mendahulukan mengeluarkan zakat fitri karena ada hajat/pertimbangan. Apabila ada hajat untuk mengeluarkan zakat pada awal Ramadhan. Pendapat terkuat yang nampak bagiku adalah bolehnya hal ini. Ini adalah mazhab Syafi’i dan sekelompok ahli ilmu, akan tetapi yang lebih utama adalah mengeluarkan zakat pada waktunya.” [sumber: https://www.almosleh.com/ar/index-ar-show-38593.html]

Kesimpulan:

1. waktu mengeluarkan zakat fitri adalah satu atau dua hari sebelum ‘ied fitri

2. Terdapat perbedaan pendapat ulama apakah boleh mendahulukan mengeluarkan zakat fitri atau tidak

3. Yang membolehkan dengan hajat, menyatakan mengeluarkan pada waktunya lebih baik

4. solusinya bisa dititipkan/diwakilkan pada orang lain untuk dikeluarkan pada waktu yang disyariatkan apabila kita sibuk dan tidak sempat mengeluarkan pada waktunya

@ Markaz YPIA, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40291-mengeluarkan-zakat-fitri-lebih-awal.html