Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran

BENARKAH klaim para orientalis bahwa Al Quran bukan firman Allah SWT atau copy paste kitab suci agama lain? Untuk menjawabnya perlu terlebih dahulu diketahui realitas terkait Al Quran yang tak satupun orang dapat mengingkarinya. Yaitu Al Quran berbahasa arab, dibawa oleh Muhammad ﷺ dan saat diturunkan 1450-an tahun lalu kondisi transportasi dan komunikasi amatlah sederhana dan terbatas. Yang paling canggih hanyalah unta/ kuda dan pena.

Puncak keemasaan sya’ir arab terjadi saat masa Al Quran diturunkan, dan pakar sya’irnya pun secara massif unjuk kemampuan. Walaupun begitu, tak satupun dari mereka yang mampu memenuhi tantangan Al Quran untuk membuat surat dan ayat semisalnya.

Tantangan ini termaktub dalam Al Quran surat Huud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23. Ini menunjukkan bahwa Al Quran bukanlah buatan pakar syair arab apatah lagi orang arab yang awam sya’ir.

Al Quran juga jelas bukan buatan Muhammad ﷺ. Karena terdapat perbedaan jauh antara gaya bahasa Al Quran dan hadits.

Pun diketahui Muhammad ﷺ seorang ummi yang tak pandai baca dan tulis. Apalagi jika menilik lebih mendalam isi kandungan Al Quran yang begitu memukau. Al Quran mampu mengungkap fenomena alam dan sosial yang baru bisa dibuktikan kebenarannya dengan kemajuan sains dan teknologi hari ini. Jadi, secara qath’i (pasti), Al Quran dapat dibuktikan secara rasional adalah kalamullah (firman Allah SWT).

BACA JUGA: Inilah Luqman Al-Hakim, Lelaki yang Diceritakan dalam Al-Quran

Bagi muslim, apakah hanya cukup mengimani Al Quran sebagai kalamullah? Tentu saja tidak. Terdapat akhlaq-akhlaq yang harus dilakukan muslim terhadap Al Quran, sebagai bentuk kecintaan pada Allah SWT.

Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran yang Pertama, membaca Al Quran.

Bagi orang yang bertaqwa adalah kehormatan dan kemuliaan bagi lisannya dapat melantunkan kalam pemilik alam semesta beserta isinya. Ayat-ayatNya selalu mencerdaskan akalnya dan menggetarkan jiwanya.

Tak ada rasa bosan. Karena kesadaran dirinya bahwa kalamullah adalah petunjuk dan pelajaran amat berharga dari Allah SWT.

Kesadaran dirinya bahwa bertaburan keutamaan saat lisannya melantunkan ayat-ayat cintaNya. Sehingga membaca kalamullah bukan hanya kerutinan tapi juga kebutuhan bahkan kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتاب الله فَلَهُ حَسَنَة، والحَسَنَة بِعَشْرِ أمْثَالِها، لا أقول: ألم حَرفٌ، ولكِنْ: ألِفٌ حَرْفٌ، ولاَمٌ حَرْفٌ، ومِيمٌ حَرْفٌ

Artinya : Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur`ān) maka baginya satu pahala kebaikan, dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, aku tidak mengatakan bahwa alif lām mīm itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruf (HR. Tirmidzi).

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ، فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

Artinya : Bacalah al-Qur’an karena ia akan memberikan syafaat kepada para “sahabatnya (HR. Muslim)

الذي يقرَأُ القرآنَ وهو مَاهِرٌ به مع السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، والذي يقرَأُ القرآنَ ويَتَتَعْتَعُ فيه وهو عليه شَاقٌ لَهُ أجْرَانِ

Artinya : Orang yang membaca Al-Qur`ān dan ia mahir membacanya, maka ia bersama para malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`ān dengan terbata-bata dan merasa kesulitan dalam membacanya, maka baginya dua pahala (HR. Bukhari Muslim).

Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran yang Kedua, menghapal Al Quran.

Muslim yang menikmati lantunan ayat-ayatNya, terinstal juga dalam benaknya untuk menghapal Al Quran.

Apalagi keutamaan melekatkan ayat-ayatNya dalam akal dan qalbunya semakin menyemangati dirinya. Rasulullah ﷺ bersabda :

اقرؤوا القرآن فإن الله تعالى لا يعذب قلبا وعى القرآن وإن هذا القرآن مأدبة الله فمن دخل فيه فهو آمن ومن أحب القرآن فليبشر

Artinya : Bacalah Alquran karena Allah tidak akan menyiksa hati yang berisi Alquran. Dan sesungguhnya Alquran ini adalah jamuan Allah, maka siapa yang masuk di dalamnya, dia pun aman. Dan siapa mencintai Alquran, maka berilah kabar gembira kepadanya Imam (HR. Al-Darimi).

BACA JUGA:  7 Lapis Langit dan Sabuk Van Allen Menurut Al-Quran

Allah memberikan keistimewaan bagi penghapal kalamNya. Bahwa terjatuhnya manusia pada khilaf dan dosa adalah keniscayaan, tapi Allah berjanji tak akan menyiksa qalbu muslim yang berisi hafalan al Quran yang menjadi penuntun hidupnya.

Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran yang Ketiga, memahami Al Quran.

Tak kenyang hanya dengan membaca dan menghapal, pecintaNya juga akan berusaha memahami (tadabbur) Al Quran. Memahami dengan mempelajarinya baik dari sisi bacaan, kaidah bahasa maupun makna/tafsirnya.

Apalagi keutamaan mempelajari Al Quran, akan semakin memotivasi dirinya selalu semangat tadabbur Al Quran. Rasulullah ﷺ bersabda :

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Artinya : Tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling belajar di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya (HR. Muslim).

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Artinya : Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya (HR.Bukhari).

Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran Keempat, mengamalkan Al Quran.

Dengan tadabbur Al Quran, muslim akan semakin ma’rifat pada Allah. Sehingga akan menuntun dirinya berpegang pada perintah dan larangan yang termuat dalam Al Quran. Baginya mengamalkan Al Quran adalah bukti imannya dan lisensi keselamatan dunia akhiratnya.

Tak rela dirinya digelari seperti keledai oleh Rabbnya atau dikumpulkan di yaumul qiyamah dalam keadaan buta akibat lalai dalam mengamalkan Al Quran. Karena itu merupakan kehinaan dunia dan akhiratnya. Allah SWT berfirman :

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Artinya : Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al Jumu’ah ayat 5).

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةًۭ ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِىٓ أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلْيَوْمَ تُنسَىٰ (126)ء

Artinya : Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?”. Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (QS. Thaha ayat 124-126).

Akhlaq Muslim terhadap Al-Quran yang Kelima, mengajarkan Al Quran.

Amalan terbaik yang perlu menjadi target bagi pecinta kalamullah adalah mengajarkan bacaan dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Tak cukup menjadikannya sebagai ilmu bermanfaat untuk amal jariyah, tapi sebagai pengabdiannya pada Allah. Karena ikhtiar dirinya menjaga dengan sebaik-baiknya kalamullah dan diin Islam. Rasulullah ﷺ bersabda :

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

Artinya : Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya (HR. Muslim).

Allah SWT berfirman :

كُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّىۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ وَلٰـكِنۡ كُوۡنُوۡا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡكِتٰبَ وَبِمَا كُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَۙ‏

Artinya : Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS: Ali Imran:79).

Wallahu a’lam bish-shawabi. []

Oleh: Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan
mabdagabek000@gmail.com

ISLAMPOS

Akhlak, Apa Artinya?

Komponen utama agama Islam adalah akhlak, jika seseorang memiliki akhlak yang lebih baik daripada akhlakmu, berarti dia lebih tinggi derajatnya daripada dirimu dalam hal agama

AL-AKHLAK الأخلاق adalah kata dalam bahasa Arab dari kata al-khuluq. Akhlaq/akhlak, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia.

Kata ini terdiri atas huruf خ – لا – ق yang biasa digunakan untuk menghargai sesuatu. Ar-Rogib mengatakan, “Pada dasarnya al-kholqu, al-khulqu dan al-khuluqu memiliki makna yang sama. Namun al-khuluqu lebih dikhususkan untuk bentuk yang dapat dilacak panca indra. Sedangkan al-khuluqu dikhususkan untuk kekuatan dan tabiat yang bisa ditangkap oleh mata hati.

Allah ﷻ berfirman dalam QS Al Qalam 4:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS: Al-Qalam:4)

Akhlak mulia di dalam ayat ini sebagaimana dikemukakan Ath-Thobari, bermakna tata krama tinggi. Yaitu tata krama Al-Quran yang telah Allah tanamkan di dalam jiwa Rasul-Nya.

Tata krama ini tercermin melalui Islam dan ajarannya. Makna ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas yang ketika itu menjabarkan makna dari Surat Al-Qalam 4.

Dengan berkata, ‘yaitu memeluk keyakinan yang agung dalam hal ini ialah Islam.’ Mujahid mengatakan hal serupa dalam menafsirkan firman Allah ﷻ. Ia berkata, “yaitu beragama yang agung.”

Diriwayatkan juga Ketika Sayyidah ‘Aisyah r.a. ditanya Qatadah mengenai Akhlak Nabi ﷺ. ‘Aisyah  menjawab, “Akhlak Rasulullah ﷺ adalah Al-Quran.” (HR: Ahmad; hadits shahih).

Qatadah berkata, ” ‘Aisyah mengatakan bahwa akhlak itu seperti apa yang terekam di dalam Al-Quran.”

Imam Junaid r.a menerangkan bahwa Akhlak Rasulullah  ﷺ dikatakan amat terpuji karena Beliau mengedepankan ajaran Allah ﷻ.  Di samping itu, ada juga ulama yang berpendapat bahwa Akhlak Rasulullah  ﷺ dikatakan terpuji karena Beliau memiliki potensi semua budi pekerti yang baik.

Hal ini tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu-Hurairah RA:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR: Buhari dan Ahmad; hadits shahih)

Mawardi r.a berkata bahwa lafazh ‘وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ’ dapat dipahami memiliki 3 makna berikut ini.

Pertama, adab yang diagungkan Al-Quran. Kedua, agama Islam dan ketiga, budi luhur, makna inilah yang lebih mendekati lahiriyah makna ayat.

Mengenai hal ini, Fairuzabadi berkata, “Ketahuilah! Komponen utama agama Islam adalah akhlak. Jika seseorang memiliki akhlak yang lebih baik daripada akhlakmu, berarti dia lebih tinggi derajatnya daripada dirimu dalam hal agama.  Akhlak yang baik ini berdiri di atas empat fondasi: yaitu kebesaran, keberanian, keadilan dan kesucian.”

Fairuzabadi juga menyebutkan bahwa keempat fondasi tersebut saling menyeru, sehingga dapat membawa sang pemilik akhlak untuk menerapkan akhlak yang mulia lainnya. Dengan kesabaran, misalnya seseorang dapat melatih diri untuk ditempa menahan emosi, menyingkirkan  bahaya, bersikap waspada dan hati-hati, lemah lembut dan santun serta tidak tergesa-gesa dan sembrono.

Disebutkan juga bahwa sikap tidak berlebihan dalam segala hal merupakan asas utama dari keempat akhlak mulia ini.

Definisi menurut terminologi

Menurut Al-Jahizh, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang selalu mewarnai tindakan dan perbuatannya. Tanpa pertimbangan lama atau keinginan.

Dalam beberapa kasus, akhlak ini sangat meresap hingga menjadi bagian dari watak dan karakter seseorang. Namun dalam kasus yang lain akhlak ini merupakan perpaduan dari hasil proses latihan seseorang.

Menurut Ibnu Taymiyah, akhlak berkaitan erat dengan iman karena, karena iman terdiri atas yakin Allah adalah satu-satunya pencipta, yang patut disembah, cinta kepada Allah melebihi segala cinta, yang akan menghantarkan hamba pada satu tujuan yakni menggapai ridlo Allah..*/Hariono Madari, (Sumber: Mahmud Al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, Pena Pundi Aksara).

HIDAYATULLAH

Belajar Akhlak Bersama Surat Hujurat

Surat Al-Hujurat seringkali disebut sebagai surat Akhlak dan Adab. Karena didalamnya mengandung banyak sekali pesan-pesan indah tentang keduanya. Seperti yang akan kita sebutkan berikut ini :

1. Adab dihadapan hukum dan syariat Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS.Al-Hujurat:1)

Yakni yang dimaksud adab dihadapan hukum dan syariat Allah adalab dengan tidak memberikan pendapat di atas keputusan Allah dan Rasul-Nya.

2. Adab dihadapan Nabi Muhammad Saw.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ – إِنَّ ٱلَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصۡوَٰتَهُمۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱمۡتَحَنَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡ لِلتَّقۡوَىٰۚ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٌ عَظِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS.Al-Hujurat:2-3)

3. Adab ketika mendengar suatu kabar berita.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujurat:6)

4. Adab antar sesama mukminin.

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS.Al-Hujurat:10)

5. Adab bermasyarakat ditengah kaum muslimin.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ – يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS.Al-Hujurat:11-12)

7. Adab bergaul bersama manusia secara umum.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS.Al-Hujurat:13)

Adab kepada manusia secara umum ini diletakkan dibagian akhir. Hal ini memberi isyarat kepada kita bahwa sebelum kita ber-adab dihadapan manusia, maka selayaknya kita mewujudkan adab-adab yang sebelumnya, yaitu kepada syariat Allah, Rasul-Nya dan kepada sesama mukmin.

8 Adab bersikap dihadapan keimanan dan dihadapan Allah Swt.

(Dalam arti kita tidak boleh membanggakan diri karena keislaman dan amal perbuatan kita, karena semua itu adalah anugerah dan taufik dari Allah)

يَمُنُّونَ عَلَيۡكَ أَنۡ أَسۡلَمُواْۖ قُل لَّا تَمُنُّواْ عَلَيَّ إِسۡلَٰمَكُمۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيۡكُمۡ أَنۡ هَدَىٰكُمۡ لِلۡإِيمَٰنِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (QS.Al-Hujurat:17)

Inilah beberapa ayat yang menggambarkan indahnya akhlak dalam Surat Al-Hujurat. Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Apakah Akhlak Bukan Masalah Pokok dalam Islam?

Apakah akhlak bukan masalah yang utama dalam kehidupan kaum muslimin ? Ataukah akhlak adalah perkara prinsip bahkan disebut gambaran dari iman seseorang ?

Akhlak termasuk urusan yang terpenting dalam dunia Islam. Nah, tugas kita adalah bagaimana caranya menyadarkan saudara-saudara kita bahwa akhlak adalah termasuk tiang agama yang terpenting. Akhlak adalah dasar dari peradaban manusia dan kemajuan suatu masyarakat.

Bukankah Allah Swt memuji kekasih-Nya, Nabi Muhammad Saw karena kemuliaan akhlaknya ?

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS.Al-Qalam:4)

Dan berulangkali kita mendengar bahwa Baginda Nabi Saw di utus untuk menyempurnakan akhlak.

إِنَّمَا بُعِثتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخلَاق

“Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak.”

Jadi, akhlak itu sebenarnya ada namun Rasulullah Saw datang dengan Risalah sucinya untuk menyempurnakan akhlak tersebut.

Lalu pertanyaannya, apakah kita berada di jalan Rasulullah saw dalam menyempurnakan akhlak atau selama ini kita lalai dan membiarkan kehidupan kita dalam kegelapan yang tak berujung ?

Kita harus tau dan meyakini bahwa akhlak adalah ibadah. Dan Islam tidak membeda-bedakan siapa yang harus berakhlak. Miskin ataupun kaya, pejabat atau rakyat jelata, semuanya wajib mengedepankan akhlak dalam hidupnya. Karena barangsiapa yang meninggalkan akhlak maka ia akan terjerumus dalam dosa yang besar.

Rasulullah Saw menjadikan akhlak sebagai pondasi dasar dalam kebaikan dan kemuliaan di hari kiamat. Beliau bersabda :

“Sesungguhnya yang paling aku cintai dari kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku di akhirat adalah yang paling berakhlak di antara kalian. Dan yang paling tidak aku sukai dan paling jauh dariku di akhirat adalah yang paling buruk akhlaknya.”

Karenanya Rasul Saw menyebut bahwa pahala akhlak adalah yang paling berat di timbangan amal.

“Tiada yang lebih berat dalam timbangan amal seorang mukmin di hari kiamat melebihi akhlak yang baik.”

Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahala akhlak juga menyamai pahala ibadah utama seperti puasa, solat dan lainnya. Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya akan meraih derajat orang yang berpuasa dan sholat.”

Keindahan akhlak juga termasuk wasilah penting yang mengantarkan seseorang menuju surga. Nabi Saw pernah ditanya tentang siapa saja yang paling banyak masuk surga ?

Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.”

Bahkan lebih dahsyat lagi, akhlak adalah sebab dari keberlanjutan umat dan kesejahteraannya. Allah Swt berfirman :

وَإِذَآ أَرَدۡنَآ أَن نُّهۡلِكَ قَرۡيَةً أَمَرۡنَا مُتۡرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيۡهَا ٱلۡقَوۡلُ فَدَمَّرۡنَٰهَا تَدۡمِيرٗا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS.Al-Isra’:16)

Maka mari kita menjaga akhlak Islami kita agar menjadi penghias bagi agama mulia ini agar non-muslim pun dapat memandang keindahan Islam melalui akhlak kita.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Larangan Krisis Akhlak karena Ekonomi, Ini Penjelasan Agama

Akhlak merupakan ajaran vital dan inti dalam Islam.

Akhlak merupakan ajaran vital dan inti dalam Islam. Bahkan Allah menurunkan Rasulullah SAW ke bumi dengan misi untuk menyempurnakan akhlak; li utamimma makarimal-akhlak. Sehingga dalam kondisi seperti krisis ekonomi pun, umat Islam jangan sampai mengarah pada krisis akhlak.

Ibrahim Anis dalam Mu’jam Al-Wasith menjelaskan akhlak dengan redaksi: “Halun li-nafsi raasikhatun tashduru anhal-a’malu min khairin aw syarrin min ghairi haajatin ila fikrin wa ru’yatin,”. Yang artinya: “(akhlak) merupakan sifat yang tertanam di dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan. Baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”

Artinya, jika sudah tertanam dalam sanubari seseorang tentang akhlak, kondisi krisis apa pun yang menderanya niscaya akan dilalaui dengan tidak menanggalkan akhlaknya. Sebab, akhlak itu sendiri disebut ‘shifatul insanil-adabiyyah’, yakni sifat-sifat manusia yang terdidik.

Terdidik dan ditempa untuk tetap dapat berlaku baik dengan cobaan apa pun yang dihadapi. Rasulullah sendiri tidak diutus ke bumi hanya untuk menjadikan seorang hamba pintar atau terhormat saja, tapi untuk menyempurnakan akhlak.

Rasulullah bersabda: “Innama buitstu li-utamimma makarimal-akhlak,”. Yang artinya: “Bahwasannya aku (Muhammad) diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti (akhlak),”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Akhlak Mulia Level Tertinggi

Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, 

وحسن الخلق أي مع الخلق ، وأدناه ترك أذاهم وأعلاه الإحسان إلى من أساء إليه منهم 

“Berakhlak mulia kepada sesama itu level terendahnya adalah tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Sedangkan akhlak mulia level paling tinggi adalah berbuat baik kepada orang yang menyakiti.”

Akhlak mulia kepada sesama manusia itu ada tiga level.

Level terendah adalah cukup dengan menjadi orang yang tidak usil, tidak mengganggu dan tidak berulah dengan ulah yang menyakiti atau membuat tidak nyaman orang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan. 

Level tengah adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita. 

Banyak orang bisa sampai level ini. 

Level tertinggi adalah berbuat baik kepada orang yang menyakiti kita semisal senyum manis yang tulus kepada orang yang suka buang muka kepada kita dan bersedekah kepada orang yang hobi memfitnah. 

Hanya manusia pilihan yang bisa sampai level ini. 

Itulah orang yang berakhlak mulia ikhlas lillahi ta’ala. 

Orang tersebut berakhlak mulia bukan karena mengharapkan balasan dunia berupa sikap baik orang kepada dirinya. Dia berkeyakinan bahwa akhlak mulia itu bukan jual beli namun semata berharap pahala di akherat nanti.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIAH

Memprioritaskan Akhlak kepada Allah

Memperbaiki akhlak, salah satu misi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara salah satu misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “menyempurnakan akhlak”; dan bukan mengajarkan akhlak dari nol setelah sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hal ini karena dulu masyarakat musyrik jahiliyyah telah memiliki sebagian bentuk akhlak yang luhur sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah menepati janji; memuliakan tamu; dan suka memberi makan orang yang membutuhkan. Sehingga akhlak-akhlak yang baik itu dipertahankan, sedangkan akhlak mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itulah yang menjadi sasaran perbaikan.

 

Memprioritaskan akhlak kepada Allah Ta’ala

Kalau kita berbicara dan menyebutkan tentang akhlak, yang terlintas dalam benak dan bayangan kita adalah bagaimanakah kita bersikap baik kepada sesama manusia, misalnya kepada orang tua, kepada guru, kepada tamu, atau yang lainnya. Jarang atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak kita adanya akhlak yang lebih agung daripada itu semua, yaitu akhlak kita kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

 

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga akhlak kepada kedua orang tua. Kedua orang tua kita adalah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan sikap dan perlakuan yang baik dari kita.

Namun, sebelum Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbuat baik alias berakhlak kepada orang tua, Allah Ta’ala terlebih dahulu menyebutkan hak-Nya, yaitu perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini mengisyaratkan, akhlak kepada Allah Ta’ala, yaitu tauhid, adalah hak yang lebih agung dan lebih harus diperhatikan sebelum hak kedua orang tua.

Demikian juga dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

 

Dalam ayat di atas, sebelum Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berakhlak kepada sesama manusia, yaitu sembilan golongan yang Allah sebutkan (orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak), Allah Ta’ala perintahkan untuk berakhlak terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala, yaitu mentauhidkan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menunjukkan, tanpa akhlak kepada Allah Ta’ala, semua itu hanyalah sia-sia belaka dan tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala

Sebaik apa pun akhlak orang kafir kepada sesama manusia, mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah Ta’ala

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa akhlak kepada Allah Ta’ala adalah yang menjadi pokok, sedangkan akhlak kepada sesama manusia atau sesama makhluk secara umum itu sekedar mengikuti setelah seseorang memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala.

Sehingga meskipun manusia itu memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, misalnya jujur, tidak pernah mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak pernah korupsi, amanah jika diberi jabatan, dan lain-lain, jika mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala, akhlak-akhlak yang luhur kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya sama sekali.

 

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebut orang-orang kafir sebagai seburuk-buruk makhluk, tanpa melihat sebagus dan seluhur apa pun akhlak dan perbuatan mereka terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)

Bukti lainnya bahwa akhlak kepada sesama makhluk itu tidak ada nilainya selama manusia tidak berakhlak kepada Allah Ta’ala adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi kaum musyrikin, sampai mereka mau berakhlak kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138)

Sebagian akhlak mulia kepada sesama manusia yang kaum musyrikin miliki itu tidak ada nilainya, sampai mereka mau beriman kepada Allah Ta’ala dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas peribadatan mereka.

Syubhat orang liberal: Tidak perlu memiliki agama formal, yang penting memiliki akhlak sosial

Sebagian orang yang terkena penyakit liberalisme mengatakan, “Manusia tidak perlu mengikatkan diri dalam agama formal tertentu. Yang penting, mereka punya akhlak sosial yang luhur: jujur, tidak berkata dusta, saling menyayangi, tidak membunuh, tidak mencuri harta orang lain, suka membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, dan seterusnya. Tidak mungkin Allah tega memasukkan hamba-Nya ke dalam neraka jika hamba-Nya itu telah memiliki akhlak-akhlak yang luhur tersebut.”

 

Inilah syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang liberal. Mereka anggap itu adalah pemikiran modern, padahal pemikiran itu adalah pemikiran kuno, pemikiran orang musyrikin sejak zaman dahulu dan telah Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Dulu, orang-orang musyrikin membanggakan amal-amal sosialnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membanggakan “akhlak” mereka berupa suka memberi minum orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan juga rajin mengurusi Masjidil Haram. Mereka membanggakan amal itu, sehingga tidak lagi merasa butuh kepada amal yang lain, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan Allah Ta’ala.

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala langsung membantah argumentasi mereka. Bahwa di sisi Allah, tidaklah sama antara orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dengan orang yang hanya mengandalkan amal dan akhlak sosial semata. Jangan disamakan antara amal iman kepada Allah Ta’ala dengan amal memberi minum jamaah haji yang butuh minum.

Dengan kata lain, akhlak orang-orang musyrikin kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya, sampai mereka memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala terlebih dahulu.

 

Bukan berarti akhlak kepada sesama manusia itu tidak ada gunanya

Pembahasan di atas bukanlah berarti bahwa akhlak kepada sesama manusia itu tidak penting. Bukan maksudnya demikian. Bahkan, berkahlak kepada manusia adalah konsekuensi iman kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, dalam banyak hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan beberapa perkara akhlak dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47. Lafadz hadits ini miliak Bukhari.)

Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara konsekuensi kesempuranaan iman kepada Allah Ta’ala adalah memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi penulis sendiri dan kaum muslimin untuk memperbaiki akhlak kepada Allah Ta’ala, kemudian memperbaiki akhlaknya kepada sesama manusia dan sesama makhluk secara umum.

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 11 Ramadhan 1440/16 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46861-memprioritaskan-akhlak-kepada-allah.html

Tetaplah Menjaga Akhlak Saat Berbeda Pendapat

Ingatlah bahwa orang yg paling sempurna imannya adalah orang yg paling baik akhlaknya (HR. Abu Dawud: 4682).

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rohimahulloh– mengatakan:

“Apabila dalil telah tegak dalam suatu masalah, maka wajib hukumnya mengambil pendapat yang sesuai dengan dalil tersebut, baik dalil dari Kitabullah ataupun dari sunah Rasul –shallallahu alaihi wasallam-, meskipun pendapat itu menyelisihi imam besar, bahkan walaupun menyelisihi sebagian sahabat.

Karena Allah menfirmankan (yang artinya):

Jika kalian berselisih dalam suatu masalah, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan RasulNya“.

Allah –subhanah– TIDAK mengatakan: “kembalikanlah kepada orang ini dan orang itu”.

Akan tetapi, sudah seharusnya ada langkah memastikan kabar yang sampai kepada kita, serta menghormati dan menjaga adab terhadap para ulama.

Jika seseorang menemukan pendapat yang lemah dari salah satu imam, atau ulama, atau ahli hadits yang tepercaya; (harusnya dia ingat bahwa) hal itu tidak menurunkan kedudukan mereka.

Harusnya dia menghormati para ulama, menjaga adab terhadap mereka dan mengatakan perkataan yg baik, serta tidak mencela dan merendahkan mereka.

Tapi seharusnya dia menjelaskan yang benar beserta dalilnya, sekaligus mendoakan kebaikan utk ulama tersebut, juga mendoakan agar dirahmati dan diampuni.

Beginilah harusnya akhlak seorang ulama terhadap ulama lainnya, (yaitu) menghormati para ulama karena kedudukan mereka, dan mengerti akan keagungan, keutamaan, dan kemuliaan mereka”.

[Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 26/305].

***

Penulis: Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA.

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29414-tetaplah-menjaga-akhlak-saat-berbeda-pendapat.html

Bersikap Rendah Hati Seperti Rasulullah

Pamor dan limpahan harta sering menyeret orang menjadi jumawa. Ia tinggi hati dan memandang orang dengan sebelah mata. Lalu, ia pun menuntut orang lain memberikan penghormatan kepada dirinya atas status sosial yang disandangnya. Namun, Muslim yang meneladani nabinya, Muhammad SAW, tentu tak akan berlaku demikian.

Muhammad diakui secara luas merupakan manusia istimewa, baik sebagai seorang utusan Allah SWT maupun karena perangainya. Para sahabat dan lawan pun mengakui kedudukannya yang tinggi itu. Namun, dia tak merasa perlu untuk bersikap congkak, sebaliknya ia sangat rendah hati.

Sopian Muhammad dalam karyanya, Manajemen Cinta Sang Nabi, menceritakan, saat berkumpul, Rasul tak mengizinkan para sahabatnya berdiri atau menyambutnya ketika datang. Tulusnya cinta kepada para sahabatnya, membuat Muhammad merasa tak perlu diperlakukan dengan sikap penghormatan berlebihan.

Dia duduk sama rendahnya dengan para sahabat dan berdiri sama tingginya. Statusnya yang mulia tak mencegahnya untuk berbaur. Dalam sebuah perjalanan, Rasulullah dan sahabatnya menyembelih seekor domba. Tugas pun dibagi di antara para sahabat untuk mengolah daging domba tersebut.

Ada yang mencari kayu bakar, menyiapkan tempat memasak, serta mengolah daging dan memasaknya. Utusan Allah itu melibatkan diri dalam pembagian tugas tersebut, yaitu mencari kayu bakar. Para sahabat tentu tak enak hati melihat junjungan mereka ikut bersusah payah mencari kayu bakar.

Mereka meminta Rasulullah tak usah repot ikut mencari kayu bakar. Namun dengan tenang, menjawab para sahabatnya itu. Saya tak ingin lain sendiri dibandingkan sahabat-sahabatku. Allah tak senang melihat seseorang berbeda dari sahabat-sahabatnya,” katanya menegaskan.

Imam Syafii menyampaikan pandangannya, sifat rendah hati atau sering disebut tawadhu seperti yang ditunjukkan Rasulullah akan menuntun orang pada keselamatan, menciptakan keakraban, juga menghilangkan kedengkian dan persegketaan. Rasa cinta, menjadi buah dari sikap rendah hati ini.

Cendekiwan Muslim lainnya, Syekh Khumais as-Said, menyatakan, orang berakal tentu akan rendah hati. Kalau melihat orang lebih tua, orang rendah hati akan berkata, orang tua itu lebih dulu masuk Islam. Sedangkan kala melihat orang yang lebih muda, diucapkannya bahwa dirinya lebih dulu berbuat dosa daripada si orang muda itu.

Orang yang sebaya akan dianggap saudara oleh orang yang tawadhu. Menurut Syekh Khumais, sikap rendah hati itulah yang membuat orang tak sombong terhadap saudaranya dan tak menganggap remeh orang lain. Jejak kerendahatian Rasulullah tersingkap tatkala ia memimpin majelis yang disesaki kaum Muslim.

Kala itu, Jabir bin Abdillah Bajali duduk di bibir pintu. Nabi mengetahuinya dan segera mengambil kain baju yang dimilikinya, kemudian melipatnya. Dengan ramah, beliau memberikan lipatan itu kepada Jabir sambil memintanya untuk duduk di lipatan kain itu sebagai alas. Jabir meraih kain itu.

Jabir tak menggunakan lipatan itu untuk diduduki sebagai alas an, tetapi mengusapkannya ke wajahnya sebagai tanda hormat kepada Rasulullah. Dengan mata berkaca-kaca ia mengembalikannya kepada Rasul, dan mengatakan, Semoga engkau selalu dimuliakan Allah sebagaimana engkau memuliakan aku.”

Tak sebatas itu, di tengah kesibukannya sebagai pemimpin umat dan kegiatan dakwah, beliau menyempatkan diri memenuhi undangan sahabatnya. Ia mendatangi jamuan yang digelar mereka. Dan di tengah jamuan itu, putra Abdullah ini tak membedakan diri dari orang lain.

Di sebuah kesempatan, sahabat bernama Abu al-Haitsam bin al-Tihan membuat masakan khusus untuk Rasul dan sahabat lainnya. Usai menyantap makanan yang disajikan, beliau berkata kepada sahabatnya untuk membayar kepada Abu al-Haitsam. Mereka bertanya apa yang harus dibayarkan.

Jika seseorang kedatangan tamu, maka disantap makan dan minumannya, lalu mereka mendoakannya. Itulah bayarannya,” kata Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela, dijelaskan, dalam bermasyarakat Rasul tak pernah memandang status atau derajat.

Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat, dari anak kecil hingga orang dewasa. Juga dengan mereka yang miskin dan kaya, serta bergaul pula dengan orang-orang awam dan berpendidikan. Semua ia rangkul dalam pergaulan sehar-hari tanpa memandang apakah mereka orang terhormat atau bukan dalam strata di dalam masyarakat.

Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Umar bin Khattab mengenai kerendahan hati Rasulullah ini. Janganlah kalian memuji dan memujaku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani berbuat terhadap putra Maryam. Aku ini adalah hamba Allah juga, maka katakanlah kepadaku, hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Kerendahan hati ini merambat pula dalam kehidupan keluarganya. Aisyah menceritakan, dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, Rasulullah berlaku seperti manusia lainnya. Beliau menjahit dan menambal bajunya sendiri, memerah susu kambingnya serta menyiapkan sendiri apa yang diperlukannya, hingga memperbaiki sandalnya yang rusak.

Sempurnanya Syariat Islam dalam Perkara Akhlak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa maksud diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, al- Hakim, dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash- Shahihah)

Syariat-syariat terdahulu yang Allah Ta’ala syariatkan pada hamba-hamba-Nya bertujuan untuk memotivasi manusia untuk berakhlak mulia. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwasanya akhlak-akhlak yang mulia merupakan bagian dari syariat umat terdahulu. Namun, syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan akhlak-akhlak tersebut sehingga menjadi yang paling sempurna.

Untuk memahami masalah ini, kita berikan contoh dalam masalah qishash.

Jika seseorang melakukan kriminal pada orang lain apakah dia di-qishash? Para ulama menyebutkan bahwasanya syariat qishash pada syariat Yahudi hukumnya wajib secara mutlak, tidak ada opsi untuk dimaafkan, sedangkan dalam syariat orang Nasrani adalah kebalikan syariat Yahudi, yaitu orang yang berbuat kriminal terhadap orang lain wajib dimaafkan secara mutlak (tidak ada qishash).

Akan tetapi, syariat Islam datang dengan membawa kesempurnaan pada dua sisi tersebut, ada qishash dan ada pengampunan. Karena, dengan menghukum pelaku/qishash, akan membuat efek jera dan menghentikan keburukan. Dan dengan adanya pemaafan, maka di dalamnya merupakan perbuatan kebaikan dan melakukan perbuatan yang ma’ruf kepada pelaku.

Oleh karena itu, dari sini kita ketahui syariat Islam datang dengan membawa kesempurnaan, dengan memberikan opsi antara pemaafan dan melanjutkan eksekusi qishash agar bisa melaksanakan hal yang tepat dalam setiap keadaan.

Ketika yang tepat itu memaafkan, maka memaafkan. Kalau yang tepat itu qishash, maka pelakunya di-qishash. Maka syariat Islam lebih utama ketimbang syariat Yahudi yang mewajibkan qishash secara mutlak, padahal terkadang pemaafan itu lebih maslahat untuk pelaku kriminal tersebut.

Dan lebih utama dari syariat Nasrani yang mengharuskan pemaafan pelaku secara mutlak, padahal terkadang yang maslahat adalah memberikan hukuman qishash.

**

(Disarikan dari kitab Makarimul Akhlaq, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hlm. 11-12)

Penulis: Fera Rita Ummu Sufyan

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10597-sempurnanya-syariat-islam-dalam-perkara-akhlak.html