Lupa Bayar Zakat Fitrah, Baru Ingat setelah Salat Id

Bisa jadi seseorang lupa membayar zakat fitrah sebelum batas waktu yang ditentukan, yaitu salat Id. Terkadang beberapa kesibukan membuat seseorang lupa atau ia merasa sudah membayar zakat fitrah. Akan tetapi, setelah diingat-ingat kembali, jelaslah bahwa ia belum membayar zakat fitrah. Ia baru ingat setelah salat Id. Bahkan, baru ingat setelah beberapa hari pasca lebaran.

Bagaimana menyikapi hal ini? Apakah ia tetap harus bayar zakat fitrah setelah salat Id? Dan apakah teranggap zakatnya? Mengingat riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum salat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah salat, maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syekh Al Albani.)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang yang lupa dalam kasus ini tetap harus membayar zakat fitrah setelah lebaran dan diharapkan tetap diterima zakatnya karena Allah memaafkan dengan alasan lupa. Beliau rahimahullah berkata,

، وإخراجه بعد الصلاة مجزئ والحمد لله، وإن كان جاء في الحديث أنه صدقة من الصدقات لكن لا يمنع ذلك الإجزاء وأنه وقع في محله ونرجو أن يكون مقبولاً، وأن تكون زكاة كاملة؛ لأنك لم تؤخر ذلك عمداً وإنما تأخرته نسياناً، وقد قال الله  في كتابه العظيم: رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا [البقرة:286]، وثبت عن النبي ﷺ أنه قال: يقول الله: قد فعلت فأجاب دعوة عباده المؤمنين في عدم المؤاخذة بالنسيان.

Zakat fitrah yang ia tunaikan setelah salat Id itu sah, alhamdulillah. Meskipun dalam hadis disebutkan bahwa itu termasuk sedekah (biasa), hal ini tidak mencegah sahnya. Hal tersebut sesuai dengan keadaannya dan kita berharap diterima oleh Allah dan menjadi zakat yang sempurna, karena Engkau mengakhirkan (terlambat, pent.) bukan karena sengaja tetapi karena lupa. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang Agung, ‘Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila lupa atau tidak sengaja.’ Terdapat hadis qudsi yang menjelaskan bahwa Allah telah mengabulkan doa ini bagi hamba-Nya yang beriman dan tidak mendapat hukuman.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/6131)

Demikian juga Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa dalam keadaan uzur, dia tetap mengeluarkan zakat fitri setelah salat. Beliau rahimahullah menjelaskan,

ففي حال العذر لا بأس من إخراجها بعد الصلاة وتكون في هذه الحال مقبولة لأن الرسول صلى الله صلى الله عليه وسلم قال في الصلاة : (من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها) ، وإذا كان هذا في الصلاة وهي من أعظم الواجبات المؤقتة ففي ما سواها أولى” انتهى من فتاوى “نور على الدرب” .

Dalam keadaan uzur, tidak mengapa mengeluarkan zakat setelah salat. Statusnya tetap sah dan diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai salat, ‘Barangsiapa yang tertidur atau terlupa akan salat, hendaknya langsung salat ketika teringat’. Apabila dalam hal salat (kewajiban yang ada waktunya dan paling agung), tetap ditunaikan, maka tentu ibadah selain salat juga lebih layak tetap ditunaikan.” (Nurun ‘Alad Darb, Kaset no. 111)

Demikian, semoga penjelasan singkat ini bermanfaat

***

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/75269-lupa-bayar-zakat-fitri-baru-ingat-setelah-salat-ied.html

Apakah Zakat Fitrah Harus Dibagikan Pada 8 Golongan, atau Hanya untuk Fakir-Miskin?

Kewajiban zakat fitrah harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, praktek yang sering terjadi di masyarakat adalah penyerahan zakat fitrah hanya kepada golongan fakir dan miskin saja. Lantas, Apakah zakat fitrah harus dibagikan kepada seluruh golongan delapan (asnaf tsamaniyah) atau khusus diberikan pada fakir-miskin?

Dalam literatur kitah fikih Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazzab, juz 6, halaman 185 berikut,

وَيَجِبُ صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ وَهُم الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلِّفَةُ قَلُووبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ….. (وَقَالَ)أَبُو سَعِيدَ الاُصْطُخْرِيُّ تُصَرَّفُ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْففُقَرَاءِ لَأَنَّهُ قَدْرٌ قَلِيلٌ

Artinya : “Wajib mendistribusikan seluruh sedekah kepada delapan golongan. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abū Sa’īd al-Ustukhrī berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”

Namun demikian, pendapat yang masyhur dari kalangan Syafii ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin. 

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik . dan salah satu riwayat dari mazhab al-Syafi’i.  Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Zakat juz 2, halaman 241 berikut

هَلْ تُفَرَّقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ؟ وَهَلْ يَقْتَصِرُ صَرْفُهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعَمُّمٌ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ ؟ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الفُطْرَةِ إِلَى الأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرَفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ، وَهُمْ المَذْكُوْرُنَ فِي آيَةٍ:(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ التَّوْبَةَ: (60), وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ (الْمَجْمُوعَ 144/6)، وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ، فَإِذَا فَرَّقَهَا المُزَكِّي بِنَفْسِهِ سَقَطَ سَهْمُ الْعَامِلِينَ لِعَدَمِ وُجُودِهِمْ، وَالْمُؤَلَّفَةِ لِأَنَّ أَمْرَهُمْ إِلَى الْإمَامِ لَا إِلَى غَيْرِهِ (الْمَحَلِّي : (145-143/6)

وَرَدَّ اِبْنُ الْقَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ:” وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَة قَبْضَة، وَلَا أَمْرٌ بِذَلِكَ، وَلَا فَعَلَهُ  أحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ بَلْ أحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفِ قَلْبِهِ، وَلَا فِي الرِّقَابِ، وَلَا لِغَارِمٍ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِاِبْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ، بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.

Artinya : “Apakah zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan? 

Yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “Innama assshadaqatu” dan wajib dibagi secara merata. 

Ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah Saw adalah mengkhususkan shadaqah pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan. 

Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus. 

Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan.

Menurut malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan  tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut mazhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok.

Tetapi, pendapat dari kalangan Syafi’i ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih sahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik. Demikian penjelasan mengenai hukum zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Zakat Fitrah untuk Janin

Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat fitrah itu wajib bagi laki-laki dan perempuan baik sudah baligh maupun belum baligh (bayi umur satu hari pun wajib dikeluarkan zakat fitrahnya), kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan janin yang berada di dalam kandungan? Apakah wajib dikeluarkan zakat fitrah atau tidak?

Jawabannya: zakat fitrah pada janin hukumnya Sunnah tidak wajib

Sebagian ulama menyebutkan bahwa memberikan zakat pada janin berdasarkan perbuatan sahabat Utsman bin Affan. Ibnu Hazm berkata,

ولا يعرف لعثمان في هذا مخالف من الصحابة

“Tidak diketahui dari perbuatan Utsman (menunaikan zakat fitrah janin) ini menyelisihi sahabat yang lainnya.” [Al-Muhalla 6/132]

Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa zakat janin wajib ketika berumur 120 hari karena telah ditiupkan ruh, akan tetapi pendapat ini kurang kuat karena janin belum tentu lahir dengan selamat dan bisa jadi mati dalam kandungan. Dalam Fatwa Al-Hindiyah dijelaskan:

ولا يؤذى عن الجنين لأنه لا يعرف حياته

“Tidak ditunaikan zakat fitrah dari janin, karena tidak bisa dipastikan janin tersebut hidup.” [Fatawa Al-Hindiyyah, kitab zakat hal. 211]

Pendapat terkuat bahwa zakat fitrah pada janin hukumnya sunnah, tidak sampai tahap wajib. Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ini adalah ijma’ ulama, beliau berkata,

أن ابن المنذر نقل الإجماع على أنها لا تجب عن الجنين، وكان أحمد يستحبه ولا يوجبه

“Ibnu Mundzir menukilkan klaim ijma’ bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin. Imam Ahmad menyatakan hukumnya sunnah dan tidak mewajibkannya.” [Nailul Authar 4/181]

Demikian juga pendapat ulama di zaman ini yaitu Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin, beliau berkata:

زكاة الفطر لا تدفع عن الحمل في البطن على سبيل الوجوب، وإنما تدفع على سبيل الاستحباب

“Zakat fitrah tidak perlu dibayarkan atas kandungan di perut dengan hukum wajib, tetapi dibayarkan karena hukumnya mustahab/sunnah.” [Majmu’ fatawa wa Rasail, kitab zakat fitri]


Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47048-zakat-fitrah-untuk-janin.html

Tata Cara Bayar Zakat Fitrah

Bagaimana tata cara bayar zakat fitrah? Berikut tata cara yang kami sarikan dalam penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Insya Allah ini bahasan lengkap dan mudah dipahami.

Penyebutan zakat fitrah

Zakat fitrah adalah kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan pada saat terbenamnya matahari pada akhir hari Ramadhan dengan syarat tertentu, dikenakan bagi setiap mukallaf dan yang ditanggung nafkahnya.

Zakat fitrah ini disebutkan dengan istilah shadaqah al-fithri atau zakat al-fithroh. Para fuqaha menyebut untuk harta yang dikeluarkan zakatnya dengan sebutan fithroh.

Disebut zakat fithri karena kewajibannya dikenakan dengan masuknya Idulfitri pada akhir Ramadhan. Artinya zakat fithri adalah zakat karena berbuka dari berpuasa.

Hukum zakat fitrah

Zakat fitrah itu wajib, diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, pada tahun yang sama diwajibkan puasa Ramadhan. Hadits Ibnu ‘Umar berikut menjelaskan tentang kewajiban zakat fitrah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)

Hikmah zakat fitrah

Waki’ bin Al-Jarrah mengatakan, “Zakat fitrah untuk bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi ketika shalat. Zakat fitrah itu menutup kekurangan saat puasa sebagaimana sujud sahwi menutupi kekurangan shalat.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj dan Al-Majmu’, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:96)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Waktu wajib zakat fitrah

Zakat fitrah diwajibkan dengan tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri (masuk Idulfitri). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat untuk berbuka dari Ramadhan (zakat fithri).” (HR. Muslim, no. 984)

  • Dari sini, siapa yang hidup di Ramadhan dan masih ada sampai matahari tenggelam pada malam Idulfitri, lalu ia meninggal dunia setelah itu, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Namun, jika ia meninggal dunia sebelum matahari tenggelam, tidak dikenakan wajib zakat fitrah.
  • Siapa saja yang lahir di bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari dari hari terakhir Ramadhan dan ia terus hidup hingga matahari tenggelam, maka wajib dikenakan zakat fitrah. Akan tetapi, jika lahir setelah tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, tidak ada kewajiban zakat fitrah.
  • Hal ini juga berlaku untuk orang yang masuk Islam sebelum atau sesudah tenggelamnya matahari tadi.
  • Begitu pula hal ini berlaku jika ada yang menikah di bulan Ramadhan, sampai tenggelam matahari dari akhir Ramadhan, ia masih beristri, ia menanggung zakat fitrah istrinya. Namun jika menikahnya setelah tenggelam matahari, tidak wajib baginya menanggung zakat fitrah istrinya.

Yang terkena kewajiban zakat fitrah

Hukum zakat fitrah itu wajib bagi tiap jiwa yang:

  • mukallaf (terbebani syariat: muslim, baligh, berakal),
  • mendapatkan waktu diwajibkannya zakat fitrah yaitu tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri,
  • yang mudah membayar zakat fitrah (punya harta berlebih untuk diri dan keluarga pada malam Idulfitri).

Menanggung zakat fitrah orang lain

Jika terpenuhi syarat-syarat tadi, wajib bagi mukallaf (muslim, baligh, berakal) menunaikan zakat fitrah untuk dirinya masing-masing. Ia juga wajib menunaikan zakat fitrah untuk orang yang ditanggung nafkahnya karena sebab nikah, hubungan kerabat, atau menjadi pembantu (pelayan di rumah). Kesimpulannya, seseorang menanggung zakat fitrah untuk:

  • istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anak yang wajib ia nafkahi (meskipun mereka telah dewasa seperti anak yang kena penyakit kronis atau gila yang tidak punya kemampuan mencari nafkah).
  • pembantunya dan pembantu istrinya jika ia membutuhkan atau yang melayani semisalnya secara umum.

Catatan:

  • Anak yang punya kelapangan nafkah hendaklah menanggung zakat fitrah untuk istri dari ayah (ibu tiri), namun hal itu bukanlah wajib.
  • Seorang ayah tidaklah wajib menanggung nafkah dan zakat fitrah untuk istri dari anak laki-lakinya (menantunya). Demikian sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’, 6:69, dinukil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:99 (bagian catatan kaki).
  • Adapun anak yang sudah dewasa (baligh) dan mampu dalam hal nafkah tidak diwajibkan bagi ayahnya untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh dibayarkan, asalkan dengan ada izin anak tersebut.
  • Untuk kerabat boleh dikeluarkan zakat fitrah atas nama mereka asalkan dengan izin mereka.
  • Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah jika akhirnya punya kelebihan makanan yang terbatas, yang menjadi urutan dalam pengeluaran zakat fitrah adalah: (1) dirinya sendiri, (2) istrinya, (3) anaknya yang paling kecil, (4) ayahnya, (5) ibunya, (6) anaknya yang besar yang tidak mampu bekerja.
  • Jika seseorang hanya mampu menunaikan zakat fitrah untuk dirinya sendiri (untuk satu orang), wajib baginya untuk menanggung dirinya sendiri. Jika dia mementingkan orang lain dalam kondisi ini, zakat fitrahnya tidaklah sah.
  • Jika istri kaya, sedangkan suami orang yang susah, istri tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, hanya disunnahkan ia mengeluarkannya, agar selamat dari khilaf (perbedaan pendapat dari para ulama).

Ukuran dan jenis zakat fitrah

  • Zakat fitrah dikeluarkan dengan makanan pokok di negeri masing-masing (misal dengan beras, kurma, gandum).
  • Besar zakat fitrah per jiwa adalah 1 sha’ (4 mud, diperkirakan sama dengan 3 Liter, sekitar 2,4 kg)—sebagaimana disebutkan pakar Syafii saat ini, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy–.
  • Membayar zakat fitrah dengan makanan yang lebih bagus, itu lebih baik karena lebih menambah kebaikan.

Waktu penunaian zakat fitrah

  • Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
  • Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”
  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.
  • Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada hari raya.

Pengeluaran zakat fitrah

  • Zakat fitrah disalurkan pada golongan yang termasuk pula dalam penerima zakat maal. Pendapat inilah yang dianut madzhab Syafii, disebutkan oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:102.
  • Imam Syafii sangat suka menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat yang tidak ia tanggung nafkahnya.
  • Zakat fitrah ditunaikan sendiri-sendiri. Anak-anak akan ditunaikan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Istri tidaklah menuntut suami untuk mengeluarkan zakat fitrah untuknya, ia hanya boleh mengingatkan atau menasihatinya.
  • Zakat fitrah tidak diwajibkan untuk janin kecuali kalau janin tersebut lahir sebelum matahari tenggelam pada malam Idulfitri.
  • Zakat fitrah tidak boleh disalurkan pada orang kafir.
  • Zakat fitrah disalurkan pada enam golongan dari delapan golongan yang tercantum dalam surah At-Taubah ayat 60. Yang tidak perlu disalurkan zakat fitrah adalah amil zakat dan muallafatu quluubuhum (mereka yang ingin dilembutkan hatinya).

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Dar Al-Qalam.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24448-tata-cara-bayar-zakat-fitrah-secara-lengkap-dan-mudah-dipahami.html

Nisab Zakat Fitrah 2020 dalam Kilogram, Liter, dan Rupiah

Berapa nisab zakat fitrah yang harus kita bayarkan pada tahun 2020 kali ini? Zakat Fitrah adalah salah satu kewajiban yang musti ditunaikan oleh semua umat muslim. Sesuai dengan namanya, zakat al-fithral-fithr yang secara harfiah berarti berbuka, memiliki tujuan (maqashid) diantaranya adalah agar umat muslim bisa mendapatkan konsumsi makanan yang baik ketika waktu ramadan hingga waktu shalat idul fitri tiba. Ibn Rusyd al-Qurthubi, ulama besar asal wilayah Cordoba (kini bagian dari wilayah Spanyol), mengatakan dalam karyanya Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid (Kairo: Dar al-‘Aqidah)bahwa zakat fitrah ini terlepas dari perbedaan pendapat tentang apa hukumnya, ditujukan hukumnya untuk semua orang muslim,

وأجمعوا على أن المسلمين مخاطبون بها، ذكرانا كانوا أو إناثا، صغارا أو كبارا، عبيدا أو أحرارا

Dan ulama bersepakat bahwa umat muslim itu diperintahkan untuk melaksanakan zakat, baik laki-laki atau perempuan, anak-anak maupun dewasa, budak maupun orang yang merdeka. (j. 1 h. 348)

Lalu, berapa besaran yang harus dibayarkan untuk membayar zakat ? Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar ra. disebutkan bahwa besaran zakat adalah seberat satu sho’,

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر على الناس من رمضان صاعًا من تمرٍ أو صاعًا من شعير على كل حرٍّ أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين

Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah kepada orang-orang di bulan ramadan beserta satu sho’, baik dari jenis tamr (kurma kering) atau gandum, baik orang itu seorang merdeka atau budak dan laki-laki atau perempuan dari kalangan muslim (Muttafaqun ‘alayh).

Dari hadis ini disebutkan kalau besaran zakat fitrah itu satu sho’. Lalu berapa satu sho’ itu ?

Menurut Syaikh Dr. ‘Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir dalam karyanya al-Makayiil wa al-Mawazin as-Syar’iyyah (Massa dan Ukuran terkait Syariat), mengatakan satu sho’ itu sama dengan empat mudd di standar masyarakat Madinah waktu itu. Ulama kontemporer kemudian berijtihad, bahwa satu sho’ itu setara dengan 2,04 kg (menurut mazhab Jumhur) dan 3,25 kg (menurut mazhab Hanafi. Di Indonesia, seperti misalnya yang ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) zakat fitrah itu besarannya 2,5 kg, dengan menggunakan beras, sebagai salah satu makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi di suatu negara (Quut al-Balad). Jadi, membayar zakat fitrah sebesar 2,5 kg sudah sangat cukup.

Lalu berapa nilai 2,5 kg tersebut jika ingin dikonversikan ke uang ? Jawabannya adalah mengikuti standar harga beras yang biasa kita makan. Maka beras 2,5 kg yang dikonversikan ke liter sebesar 3,5 l, jika kita biasa memakan beras dengan harga Rp 10.000,-/liter, maka zakat yang ditunaikan adalah Rp 35.000,-. Mengutip situs finance.detik, saat ini harga beras di pasaran konsumen berada di rentang Rp 9.879-10.963/kg. Demikian, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Apakah Ayah Wajib Membayarkan Zakat Fitrah Anaknya yang Sudah Bekerja?

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1503 dan Muslim, no. 984)

Hukum zakat fitrah itu wajib bagi tiap jiwa yang:

  • mukallaf (terbebani syariat: muslim, baligh, berakal),
  • mendapatkan waktu diwajibkannya zakat fitrah (tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri),
  • saat wajib adalah orang yang mudah membayar zakat fitrah (punya harta berlebih untuk diri dan keluarga pada malam Idulfitri).

Jika terpenuhi syarat-syarat di atas, wajib bagi mukallaf (muslim, baligh, berakal) menunaikan zakat fitrah untuk dirinya masing-masing. Ia juga wajib menunaikan zakat fitrah untuk orang yang ditanggung nafkah karena sebab nikah atau ada hubungan kerabat. Berarti seseorang menanggung zakat fitrah untuk:

  • istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anak yang wajib ia nafkahi (meskipun mereka telah dewasa seperti anak yang kena penyakit kronis atau gila yang tidak punya kemampuan mencari nafkah).

Catatan dari Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily:

Adapun anak yang sudah dewasa (baligh) dan mampu dalam hal nafkah tidak diwajibkan bagi ayahnya untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh dibayarkan untuknya, asalkan sudah ada izin anak tersebut dan sudah dipasrahkan.

Kesimpulan:

Anak yang sudah bekerja (mampu dalam hal nafkah) hendaknya membayar zakat fitrah sendiri walau satu rumah dengan orang tua.

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Dar Al-Qalam.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24433-apakah-ayah-wajib-membayarkan-zakat-fitrah-anaknya-yang-sudah-bekerja.html

Zakat Fitrah Dikeluarkan Sejak Awal Ramadhan Karena Pandemi

Bolehkah zakat fitrah dimajukan sejak awal Ramadhan karena pandemi, di mana banyak kaum muslimin yang susah dan butuh bantuan dari zakat fitrah saat ini?

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (2:101), Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengatakan:

  • Waktu wajibnya zakat fitrah adalah ketika matahari tenggelam pada akhir Ramadhan.
  • Pengeluaran zakat fitrah harus sebelum shalat Id.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membayar zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menuju shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1509 dan Muslim, no. 986)

  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Id seluruhnya, diharamkan mengakhirkan dari hari Id. Jika ia akhirkan dari hari Id, ia berdosa, namun tetap masih ada qadha.
  • Boleh mendahulukan zakat fitrah dari awal Ramadhan dan sepanjang bulan Ramadhan karena zakat fitrah itu wajib dengan dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) berbuka dari bulan Ramadhan. Jika salah satu dari dua sebab ini didapati, boleh memajukan zakat fitrah. Sebagaimana boleh mendahulukan zakat maal sebelum haul asalkan sudah mencapai nishab. Yang tidak dibolehkan adalah mendahulukan zakat fitrah sebelum Ramadhan karena dua sebab yang disebutkan tadi belum ada. Status yang terakhir sama seperti menunaikan zakat maal sebelum nishab dan haul.

Dalil yang menunjukkan zakat fitrah boleh didahulukan dari awal bulan adalah hadits dari Nafi’, ia berkata,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya Idulfitri.” (HR. Bukhari, no. 1511).

Dalil ini lagi menunjukkan zakat fitrah ditunaikan tiga hari sebelum Idulfitri, dari Nafi’, ia berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“‘Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idulfitri.” (HR. Malik dalam Muwatho’nya, no. 629, 1:285).

Dua dalil di atas menunjukkan kalau dua atau tiga hari sebelum shalat Id dibolehkan untuk mendahulukan bayar zakat fitrah. Dari sini, para ulama Syafiiyah menganggap berarti boleh juga dibayarkan zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Wallahu a’lam.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Malam Kamis, 7 Ramadhan 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24194-zakat-fitrah-dikeluarkan-sejak-awal-ramadhan-karena-pandemi.html

Mewakilkan untuk Dibelikan Beras Saat Membayar Zakat Fitrah

Solusi bagi mereka yang hanya ingin “mengeluarkan uang” untuk membayar zakat fitrah adalah mewakilkannya dengan akad “wakalah” (perwakilan). Perlu dicatat kata: “mengeluarkan uang untuk”, maksudnya bukan membayar zakat fitrah dengan uang, tetapi mengeluarkan uang untuk dititipkan (diwakilkan) kepada pengurus masjid untuk dibelikan beras dan dibayarkan zakat fitrah atas nama orang tersebut (yang mengeluarkan uang dan mewakilkan) serta akan dibagikan kepada orang miskin.

 

Pendapat terkuat bahwa membayar zakat fitrah tidak boleh dengan uang, karena di zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sudah ada uang yaitu dinar dan dirham, akan tetapi beliau tidak memerintahkan dengan uang, tetapi dengan makanan pokok saat itu. Seandainya saat itu boleh memakai uang untuk bayar zakat fitrah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya pada para sahabat saat itu juga.

Hal ini termasuk dalam kaidah:

تَأْخِيرَ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لَا يَجُوزُ

“Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang saat itu butuh penjelasan adalah tidak boleh.”

Pendapat yang memperbolehkan menggunakan uang ada syaratnya, yaitu saat itu ada hajat khusus dan darurat, semisal saat itu semua sudah ada makanan pokok (beras) dan sangat kurang uang untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) yang lebih penting.

 

Pendapat mayoritas ulama bahwa zakat fitrah harus dengan makanan pokok

Hal ini berdasarkan dzahir hadits tentang zakat fitrah. Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata,

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نخرج في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفطر صاعا من طعام. وقال أبو سعيد: وكان طعامنا الشعير والزبيب والأقط والتمر

“Dahulu kami di masa Rasulullahu shallallahu ;alahi wa sallam mengeluarkan/menunaikan zakat (fitrah) pada hari raya idul fitri satu sha’ bahan makanan’, kemudian ia berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum, zabib (kismis), susu kering, dan kurma.” [HR. Bukhari]

An-Nawawi menjelaskan bahwa mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Beliau berkata,

ولم يُجِزْ عامَّةُ الفُقَهاءِ إخراجَ القيمةِ وأجازَهُ أبو حنيفة

“Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, yang membolehkan adalah Abu Hanifah.” [Syarh Muslim 7/60]

Demikian juga penjelasan syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

الواجب إخراجها طعامًا، هذا الذي عليه جمهور أهل العلم، صاعًا من قوت البلد من تمر أو شعير أو أرز، من قوت البلد صاع، هذا هو الواجب عن كل نفس؛ عن الرجل والأنثى والصغير والكبير، وقال جماعة من أهل العلم: يجوز إخراجها نقدًا. ولكنه قول ضعيف

“Yang wajib adalah mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan (pokok). Ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu satu sha’ dari makanan pokok negeri tersebut berupa kurma, gandum atau beras. Zakat ini wajib bagi setiap orang, baik itu laki-laki, wanita, kecil dan besar. Sebagian ulama membolehkan dengan uang, akan tetapi ini pendapat yang lemah.” [Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/13879]

Baca Juga: Apakah Panitia Zakat Fitri Berhak Dapat Bagian Zakat?

Adapun mengeluarkan zakat fitrah dengan uang berdasarkan pendapat beberapa ulama dan perbuatan tabi’in. Misalnya:

Hasan Al-Bashri berkata,

لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر

“Tidak mengapa mengeluarkan dirham untuk membayar zakat fitrah.”

Abu Ishaq berkata,

أدركتُهم وهم يُعطُون في صدقة الفطر الدراهمَ بقيمة الطعام

“Saya mendapati mereka membayar zakat fitrah dengan dirham seharga makanan pokok.”

Demikian juga surat Umar bin Abdul Aziz perintah tentang zakat fitrah:

نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم

“Setengah sha’ bagi setiap orang ATAU uang seharga itu yaitu setengah dirham.” [Mushannaf 2/398]

 

Demikian semoga bermanfaat

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47059-mewakilkan-untuk-dibelikan-beras-membayar-zakat-fitrah.html

Zakat Dalam Islam Kedudukan Dan Tujuan-Tujuan Syar’inya

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat. Selain melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini. Kedudukan zakat dalam Islam sudah banyak diketahui oleh kaum Muslimin secara garis besarnya, namun untuk menegaskan pentingnya masalah zakat ini perlu dirinci kembali permasalahan ini dalam bentuk yang lebih jelas dan gamblang.

KEDUDUKAN ZAKAT DALAM ISLAM
Kedudukan dan arti penting zakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Zakat adalah rukun Islam yang ketiga dan salah satu pilar bangunannya yang agung
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنْ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتاَءِ الزَّكَاةِ وَصَومِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلأ

Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Rabb  yang haq selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu [Muttafaqun ‘alaihi]

2. Allâh Azza wa Jalla menyandingkan perintah menunaikan zakat dengan perintah melaksanakan shalat di dua puluh delapan tempat dalam al-Qur`ân[1]
Ini menunjukkan betapa urgen dan tinggi kedudukannya dalam Islam. Kemudian penyebutan kata shalat dalam banyak ayat di al-Qur`ân terkadang disandingkan dengan iman dan terkadang dengan zakat. Terkadang ketiga-tiganya disandingkan dengan amal shalih adalah urutan yang logis. Iman yang merupakan perbuatan hati adalah dasar, sedangkan amal shalih yang merupakan amal perbuatan anggota tubuh menjadi bukti kebenaran iman. Amal perbuatan pertama yang dituntut dari seorang mukmin adalah shalat yang merupakan ibadah badaniyah (ibadah dengan gerakan badan) kemudian zakat yang merupakan ibadah harta. Oleh karena itu, setelah ajakan kepada iman didahulukan ajakan shalat dan zakat sebelum rukun-rukun Islam lainnya. Ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’âdz Radhiyallahu anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:

إِنَّكَ تَأتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ فاَدْعُهُمْ إِلىَ شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلواتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَليَلْةٍ فإَِنْ هُمْ أَطاَعُوكَ لِذلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ

Sesungguhnya kamu akan datang kepada suatu kaum dari ahli kitab, ajaklah mereka kepada syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allâh dan bahwa aku adalah utusan Allâh, bila mereka mematuhi ajakanmu, maka katakanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, bila mereka mematuhi ajakanmu maka katakan kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan sedekah yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya menyebutkan shalat dan zakat (dalam hadits di atas) karena besarnya perhatian terhadap keduanya dan keduanya didahulukan sbelumnya  selainnya dalam berdakwah kepada Islam. Juga dalam rangka mengikuti prinsip at-tadarruj (bertahap fase demi fase) dalam menjelaskan kewajiban-kewajiban Islam[3]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur’an maupun al-hadits yang menunjukkan kedudukan zakat yang tinggi dalam Islam.

TUJUAN-TUJUAN SYAR’I DI BALIK KEWAJIBAN ZAKAT[4]
Islam telah menetapkan zakat sebagai kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukunnya serta memposisikannya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Karena dalam pelaksanaan dan penerapannya mengandung tujuan-tujuan syar’i (maqâshid syari’at) yang agung yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, baik bagi si kaya maupun si miskin. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah :

1. Membuktikan penghambaan diri kepada kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya.
Banyak dalil yang memerintahkan agar kaum Muslimin melaksanakan kewajiban agung ini, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla firmankan dalam banyak ayat, diantaranya :

  وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” [al-Baqarah/2:43]

Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan sifat kaum Mukminin yang taat. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allâh, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. [at-Taubah/9:18]

Seorang mukmin menghambakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya melalui pelaksanaan kewajiban zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syari’at.

Zakat bukan pajak. Zakat adalah ketaatan dan  ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh seorang Mukmin demi meraih pahala dan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:277].

Juga firman-Nya dalam al-Qur’an, surat an-Nisa’ ayat ke-162, yang artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang Mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allâh dan hari Kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” [an-Nisa`/4:162]

2. Mensyukuri nikmat Allâh dengan menunaikan zakat harta yang telah Allâh Azza wa Jalla limpahkan sebagai karunia kepada manusia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrâhim/14:7]

Mensyukuri nikmat adalah kewajiban seorang muslim, dengannya nikmat akan langgeng dan bertambah. Imam as-Subki rahimahullah mengatakan, “Diantara makna yang terkandung dalam zakat adalah mensyukuri nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini berlaku umum pada seluruh taklief (beban) agama, baik yang berkaitan dengan harta maupun badan, karena Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat kepada manusia pada badan dan harta. Mereka wajib mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, mensyukuri nikmat badan dan nikmat harta. Hanya saja, meski sudah kita tahu itu merupakan wujud syukur atas nikmat badan atau nikmat harta, namun terkadang kita masih bimbang. Zakat masuk kategori ini.”[5]

Membayar zakat adalah pengakuan terhadap kemurahan Allâh, mensyukuri-Nya dan menggunakan nikmat tersebut dalam keridhaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

3. Menyucikan orang yang menunaikan zakat dari dosa-dosa.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allâh Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [at-Taubah/9:103].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kewajiban membayar zakat dalam ayat di atas berkaitan dengan hikmah pembersihan dari dosa-dosa.”[6]

Ada juga hadits yang menegaskan makna di atas, sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu  bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئ ُالمَاءُ النَّارَ

Sedekah itu bisa memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”[HR. Ahmad 5/231 dan at-tirmidzi no. 2616 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi]

Ayat di atas mengumpulkan banyak tujuan dan hikmah syar’i yang terkandung dalam kewajiban zakat. Tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah itu terangkum dalam dua kata yang muhkam yaitu, “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”

4. Membersihkan orang yang menunaikannya dari sifat bakhil.
Al-Kâsâni rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya zakat membersihkan jiwa orang yang menunaikannya dari kotoran dosa dan menghiasi akhlaknya dengan sifat dermawan dan pemurah. Juga membuang kekikiran dan kebakhilan, karena tabiat jiwa sangat menyukai harta benda. Zakat dapat membiasakan orang menjadi pemurah, melatih menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya. Semua itu terkandung dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.[7]

Kikir adalah penyakit yang dibenci dan tercela. Sifat ini menjadikan manusia berupaya untuk selalu mewujudkan ambisinya, egois, cinta hidup di dunia dan suka menumpuk harta. Sifat ini akan menumbuhkan sikap monopoli terhadap semua.  Tentang hakikat ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا

Dan manusia itu sangat kikir. [al-Isrâ`/17:100]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. [an-Nisâ`/4:128]

Sifat kikir ini merupakan faktor terbesar yang menyebabkan manusia sangat tergantung kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Sifat ini menjadi sebab kesengsaraan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِوَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلاَ اْنَتقَشَ

Sengsara hamba dinar, sengsara hamba dirham, sengsara hamba khamishah ! Bila dia diberi maka dia rela, bila tidak maka dia murka, sengsara dan tersungkurlah dia, bila dia tertusuk duri maka dia tidak akan mencabutnya.[8]

Cinta dunia dan harta adalah salah satu sumber dosa dan kesalahan. Bila seseorang terselamatkan darinya dan terlindungi dari sifat kikir maka dia akan sukses, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” [al-Hasyr/59:9]

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang kikir lagi bakhil,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allâh berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. [Ali Imrân/3:180]

Al-Fakhrurrazi rahimahullah berkata, “Kecintaan mendalam terhadap harta bisa melalaikan jiwa dari kecintaan kepada Allâh dan persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Hikmah Allâh Azza wa Jalla menuntut agr pemilik harta mengeluarkan sebagian harta yang dipegangnya; Agar apa yang dikeluarkan itu menjadi alat penghancur ketamakan terhadap harta, pencegah agar jiwa tidak berpaling kepada harta secara total dan sebagai pengingat agar jiwa sadar bahwa kebahagiaan manusia tidak bisa tercapai  dengan sibuk menumpuk harta. Akan tetapi kebahagian itu akan terwujud dengan menginfakkan harta untuk mencari ridha Allâh Azza wa Jalla . Kewajiban zakat adalah terapi tepat dan suatu keharusan untuk melenyapkan kecintaan kepada dunia dari hati. Allâh Azza wa Jalla mewajibkan zakat untuk hikmah mulia ini. Inilah yang dimaksud oleh firman-Nya, yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” Yakni membersihkan dan mensucikan mereka dari sikap berlebih-lebihan dalam menuntut dunia.”[9]

5. Membersihkan harta yang dizakati. Karena harta yang masih ada keterkaitan dengan hak orang lain berarti masih kotor dan keruh.
Jika hak-hak orang itu sudah ditunaikan berarti harta itu telah dibersihkan. Permasalahan ini diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsaat beliau n menjelaskan alasan kenapa zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Yaitu karena zakat adalah kotoran harta manusia.

6. Membersihkan hati orang miskin dari hasad dan iri hati terhadap orang kaya.
Bila orang fakir melihat orang disekitarnya hidup senang dengan harta yang melimpah sementara dia sendiri harus memikul derita kemiskinan, bisa jadi kondisi ini menjadi sebab timbulnya rasa hasad, dengki, permusuhan dan kebencian dalam hati orang miskin kepada orang kaya. Rasa-rasa ini tentu melemahkan hubungan antar sesama Muslim, bahkan berpotensi memutus tali persaudaraan.

Hasad, dengki dan kebencian adalah penyakit berbahaya yang mengancam masyarakat dan mengguncang pondasinya. Islam berupaya untuk mengatasinya dengan menjelaskan bahayanya dan dengan pensyariatan kewajiban zakat. Ini adalah metode praktis yang efektif untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut dan untuk menyebarkan rasa cinta dan belas kasih di antara anggota masyarakat.[10]

Orang yang menunaikannya akan dilipatgandakan kebaikannya dan ditinggikan derajatnya. Ini termasuk tujuan syar’i yang penting. Allâh berfirman, yang artinya, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allâh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allâh Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” [al-Baqarah/2:261]

7. Menghibur dan membantu orang miskin.
Al-Kâsâni rahimahullah berkata, “Pembayaran zakat termasuk bantuan kepada orang lemah dan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Zakat membuat orang lemah menjadi mampu dan kuat untuk melaksanakan tauhid dan ibadah yang Allâh wajibkan, sementara sarana menuju pelaksanaan kewajiban adalah wajib.”[11]

8. Pertumbuhan harta yang dizakati.
Telah diketahui bersama bahwa di antara makna zakat dalam bahasa Arab adalah pertumbuhan. Kemudian syariat telah menetapkan makna ini dan menetapkannya pada kewajiban zakat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [al-Baqarah/2:276].

Yakni menumbuhkan dan memperbanyak.[12]

Juga firman-Nya, yang artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allâh akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (Saba`/34:39). Yakni Allâh menggantinya di dunia dengan yang semisalnya dan di akhirat dengan pahala dan balasan.[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ إِلاَّ وَمَلكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اَللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقاً خَلَفاً وَيَقُولُ الآخَرُ اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً

Tidak ada satu hari di mana manusia mendapatkan waktu pagi kecuali ada dua malaikat turun, salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allâh berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Sedekah tidak mengurangi harta. [HR Muslim]

9. Mewujudkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial.
Zakat adalah bagian utama dari rangkaian solidaritas sosial yang berpijak kepada penyediaan kebutuhan dasar kehidupan. Kebutuhan dasar kehidupan itu berupa makanan, sandang, tempat tinggal (papan), terbayarnya hutang-hutang, memulangkan orang-orang yang tidak bisa pulang ke negara mereka, membebaskan hamba sahaya dan bentuk-bentuk solidaritas lainnya yang ditetapkan dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

مَثَلُ المُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ الوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الجَسَدِ باِلسَهْرِ وَالحُمَّى

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling menyayangi, mengasihi dan melindungi adalah seperti jasad yang satu, bila ada satu anggota jasad yang sakit maka anggota lainnya akan ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam. [HR Muslim]

10. Menumbuhkan perekonomian Islam.
Zakat mempunyai pengaruh positif yang sangat signifikan dalam mendorong gerak roda perekonomian Islam dan mengembangkannya. Karena pertumbuhan harta individu pembayar zakat memberikan kekuatan dan kemajuan bagi ekonomi masyarakat. Sebagaimana juga zakat dapat menghalangi penumpukan harta di tangan orang-orang kaya saja. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukumanNya.” [al-Hasyr/59:7]

Keberadaan uang di tangan kebanyakan anggota masyarakat mendorong pemiliknya untuk membeli keperluan hidup, sehingga daya beli terhadap barang meningkat. Keadaan ini dapat meningkatkan produksi yang menyerap tenaga kerja dan membunuh pengangguran.[14]

11. Dakwah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Di antara tujuan mendasar zakat adalah berdakwah kepada Allâh dan menyebarkan agama serta menutup hajat fakir-miskin. Semua ini mendorong mereka untuk lebih lapang dada dalam menerima agama dan menaati Allâh Azza wa Jalla .  

Demikian banyaknya faedah dan hikmah pensyariatan zakat lainnya yang belum disampaikan, namun semua yang telah disampaikan diatas sudah cukup menunjukkan betapa penting dan bergunanya zakat dalam kehidupan individu dan masyarakat Islam.

Semoga ini bisa lebih memotivasi kita untuk menunaikannya. Apalagi bila melihat kepada manfaat yang akan muncul dari pensyariatan zakat ini.

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11748-zakat-dalam-islam-kedudukan-dan-tujuan-tujuan-syarinya-2.html

Niat Zakat Fitrah, Hukum, Waktu dan Bolehkah dengan Uang

Zakat fitrah adalah ibadah khusus yang menyertai dan menyempurnakan puasa Ramadhan. Bagaimana niat zakat fitrah, hukum, dan kapan waktu mengeluarkannya? Serta berapa besarnya dan bolehkah dibayar dengan uang? Berikut ini pembahasannya.

Hukum Zakat Fitrah

Zakat fitrah atau zakat fitri merupakan ibadah maliyah (harta) yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim baik pria maupun wanita, kecil atau dewasa, dan budak maupun merdeka.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ، مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita, dari kalangan kamu muslimin. (HR. Bukhari)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan kepada seluruh jiwa kaum muslimin baik orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. (HR. Muslim)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, ulama Hanifiyah berpendapat bahwa yang wajib mengeluarkan zakat ini adalah yang memiliki harta satu nisab yang lebih dari kebutuhan pokoknya (tempat tinggal, pakaian, kendaraan, peralatan rumah tangga serta kebutuhan keluarga).

Namun menurut jumhur ulama, zakat ini wajib atas orang yang memiliki makanan pokok untuk dirinya dan orang yang ia nafkahi di malam Idul Fitri dan ketika Idul Fitri. Bahkan menurut madzhab Maliki, zakat fitrah tetap wajib meskipun ia harus berhutang yang bakal mampu ia lunasi.

Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap jiwa (kullu nafs). Karenanya, seorang ayah harus mengeluarkan zakat ini untuk anak-anaknya yang masih kecil dan bayi, seorang kepala keluarga mengeluarkan zakat ini untuk orang yang ia nafkahi. Jika zakat ini sudah dibayarkan oleh suami atau kepala keluarga, istri atau anggota keluarga tidak perlu membayar sendiri.

Waktu Zakat Fitrah

Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan pada akhir Ramadhan. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai batas waktu itu.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan, menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i dalam qaul jadid dan satu riwayat Imam Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri karena saat itulah waktu berbuka puasa Ramadhan.

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dalam qaul qadim dan satu riwayat Imam Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbit fajar pada hari raya Idul Fitri.

Perbedaan ini berpengaruh pada bayi yang lahir pada malam Idul Fitri sebelum terbit fajar, apakah ia wajib dikeluarkan zakat fitrahnya atau tidak. Menurut golongan pertama, zakat fitrahnya wajib dikeluarkan karena ia lahir setelah waktu diwajibkan. Menurut golongan kedua, zakat fitrahnya tidak wajib dikeluarkan karena ia lahir sebelum waktu diwajibkan.

Jika waktu wajib zakat fitrah adalah akhir Ramadhan, bolehkah ia dikeluarkan lebih awal? Menurut jumhur ulama, boleh dikeluarkan satu hari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu biasa mengeluarkan zakat ini sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri.

Menurut madzhab Syafi’i, zakat fitrah boleh dikeluarkan sejak awal Ramadhan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, ia boleh dikeluarkan sebelum bulan Ramadhan.

Besarnya Zakat Fitrah

Seperti tercantum pada hadits di atas, besarnya zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’ gandum atau satu sha’ kurma atau satu sha’ makanan pokok lainnya. Dalam Fiqih Sunnah dijelaskan, satu sha’ sama dengan empat mud yakni sekitar 3,33 liter.

Jika ditimbang, satu sha’ setara dengan sekitar 2,7 Kg. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan agar digenapkan 3 Kg sehingga lebih aman.

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah seperti dikutip Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, satu sha’ sama dengan 3,8 Kg.

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi dalam Fiqih Empat Madzhab menjelaskan, bahan makanan pokok yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah harus dibersihkan dari kulit dan batangnya. Sehingga ketika orang berzakat, ia memberikan beras bukan memberikan padi.

Orang yang biasa memakan makanan yang lebih rendah dari kebiasaan masyarakat, misalnya ia makan nasi dari beras sedangkan masyarakat biasa memakan gandum, maka ia mengeluarkan zakat fitrah seperti yang ia makan jika hal itu karena keterbatasan ekonominya. Namun jika itu karena kekikirannya, ia harus mengeluarkan zakat ini sesuai makanan yang biasa dimakan masyarakat.

 

Yang Berhak Menerima

Siapa yang berhak menerima zakat ini? Yang berhak menerima zakat fitrah sama dengan yang berhak menerima zakat pada umumnya (mustahik) yakni 8 golongan:

  1. Al fuqara; orang-orang fakir
  2. Al masakin; orang-orang miskin
  3. Amil zakat
  4. Mualaf, yaitu orang-orang yang baru masuk Islam
  5. Ar riqab; budak yang dijanjikan merdeka oleh tuannya dengan membayar
  6. Al gharimun; orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar
  7. Fi sabilillah
  8. Ibnu sabil; musafir yang sedang menempuh perjalanan syar’i

Namun yang lebih utama untuk menerima zakat fitrah adalah faqir miskin. Hal ini berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan kosong dan perbuatan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin” (Hr. Abu Daud; hasan)

Zakat Fitrah dengan Uang

Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, bukan dalam bentuk bahan makanan pokok?

Imam Abu Hanifah memperbolehkan zakat fitrah dengan memberikan uang yang sebanding. Yakni senilai satu sha’ bahan makanan pokok.

“Namun jika yang diberikan orang yang berzakat itu berupa gandum, maka cukup setengah sha’” terang Imam Abu Hanifah seperti dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah.

Mengapa boleh memberikan zakat fitrah dengan uang, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan hujjah Madzhab Hanafi, karena hakikatnya yang wajib adalah mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَغْنُوهُمْ فِى هَذَا الْيَوْمِ

Cukupkan mereka (dari meminta-minta) pada hari seperti ini. (HR. Daruquthni)

“Mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta dapat tercapai dengan memberinya harga (uang). Bahkan itu lebih sempurna dan mudah karena lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian maka jelaslah teks hadits tersebut mempunyai illat (sebab) yakni al ighna’ (mencukupkan)” demikian hujjah Madzhab Hanafi.

Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang karena Rasulullah mengeluarkan zakat ini dengan makanan pokok.

“Membayar zakat fitrah dengan harga jenis makanan-makanan tersebut, maka tidak boleh menurut jumhur. Hal itu berdasarkan perkataan Umar bin Khattab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma dan satu sha’ gandum.” Jika berpaling dari ketentuan itu maka ia telah meninggalkan kewajiban,” tulis Syaikh Wahbah Az Zuhaili.

Jadi, tidak boleh membayar zakat ini dengan uang secara mutlak. Sebab di zaman Rasulullah juga sudah ada uang tetapi beliau dan para sahabat tidak memberikan uang sebagai zakat fitrah. Adapun hadits yang digunakan hujjah Madzhab Hanafi tersebut, derajatnya dipersoalkan oleh banyak ulama.

Namun jika kita membayar kepada lembaga zakat dalam bentuk uang dan telah ada kesepakatan (akad) bahwa nantinya lembaga zakat itu memberikan kepada mustahik dalam bentuk makanan pokok, maka ini diperbolehkan.

Niat Zakat Fitrah

Dalam Fikih Manhaji Madzhab Syafi’i dalam bab Zakat ditulis satu sub bab khusus berjudul Hukum Niat ketika Mengeluarkan Zakat.

Seorang muzakki wajib berniat ketika membayarkan zakatnya. Hal ini untuk membedakannya dengan pembayaran jenis lain seperti kafarat sumpah atau infaq. Ketentuan ini berdasarkan hadits yang sangat populer, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika muzakki membayar langsung zakatnya, maka ia niat zakat ketika hendak menyerahkan zakat itu kepada mustahiq. Boleh juga ia niat zakat ketika memisahkan bagian zakat dengan hartanya yang lain.

Adapun ketika ia menyerahkan zakat kepada pemerintah atau lembaga amil zakat, maka ia harus niat zakat ketika menyerahkan zakat itu kepada pemerintah atau lembaga amil zakat.

Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Melafadzkan niat bukanlah suatu syarat. Artinya, tidak harus melafadzkan niat.

Namun jumhur ulama mengatakan boleh melafadzkan niat untuk membantu konsentrasi. Bahkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki, melafalkan niat hukumnya sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.

Sedangkan dalam madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bagi yang berpendapat melafadzkan niat, berikut ini lafadz niat zakat fitrah beserta tulisan latin artinya.

Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri

ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an nafsii fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala

Niat Zakat Fitrah untuk Anak Laki-laki

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an waladii … fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki-lakiku…. (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala

Niat Zakat Fitrah untuk Anak Perempuan

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an bintii … fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku…. (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala

Demikian pembahasan lengkap tentang Zakat Fitrah mulai dari hukum, waktu, besarnya, bolehkah diganti dengan uang hingga niat zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

 

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]