Urusan Dunia Melalaikan Urusan Akhirat

DALAM banyak ayat, Allah Azza Wa Jalla mengingatkan manusia agar tidak sibuk dan terlena oleh dunia sehingga mereka lalai urusan akhirat mereka. Padahal kehidupan di akhirat adalah kehidupan abadi. Di antaranya firman Allah, “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdaya kalian,” (QS Luqman: 33).

Allah memperingatkan kita bahwa dunia bisa memperdaya kita. Sehingga dalam ayat tersebut Allah melarang kita terlena atau terperdaya oleh dunia. Keterperdayaan oleh dunia mengakibatkan seseorang tidak menyiapkan bekal untuk kampung akhiratnya.

Orang yang terlena oleh dunia menghabiskan usia dan tenaga serta apa yang dia sanggupi hanya untuk kepentingan dunianya. Siang dan malamnya ia habiskan untuk mengumpulkan harta dunia. Betapa semangatnya ia dalam hal ini seakan dalam sebuah perlombaan. Yakni berlomba-lomba menumpuk dunia. Sedang ia dalam keadaan lalai terhadap akhiratnya. Keadaan seperti itu jelas tidak memerhatikan peringatan dan larangan Allah sebagaimana ayat di atas.

Idealnya sebagai seorang muslim, ia harus mementingkan kehidupan akhiratnya. Dunia hanya sebatas apa yang ada di tangannya. Bukan apa yang ada dalam angan-angannya. Apa saja yang Allah anugerahkan dari bagian dunia ini, hendaknya bukan ditumpuk untuk dibangga-banggakan.

Camkan sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam ini, “Tidaklah dua serigala yang kelaparan yang menghampiri seekor kambing, lebih berbahaya baginya dari ambisi seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya,” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Semoga Allah memberi hidayah kepada kita. Semoga urusan dunia kita, tidak melalaikan kita dari urusan akhirat. [*]

Oleh : Ustadz Afifuddin Rohaly MM

INILAH MOZAIK

Jangan Nodai Ibadah Anda Dengan Niat Duniawi

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3.

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut4.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya5.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.

Makna dan perbedaannya dengan riya’

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh10.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain11.

Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)14.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya15.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya16. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta17na’uudzu billahi min dzaalik.

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

  1. Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.
  2. Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
  3. Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.
  4. Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

  • Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
  • Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
  • Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
  • Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.

Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya20.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya21.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut22.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

  1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
  2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya23.

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut24.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

  • Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
  • Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)28.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”29.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”30.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13945-jangan-nodai-ibadah-anda-dengan-niat-duniawi.html

Dua Jenis Ambisi Manusia Terhadap Dunia

DUNIA bagi kebanyakan manusia (kecuali yang Allah rahmati) melenakan dan memperdaya. Bahkan hingga manusia lalai dalam urusan akhiratnya. Sehingga semua waktu yang tersedia, siang dan malam, bahkan usianya, ia habiskan untuk mengumpulkan harta dunia. Ambisinya menguasai harta melalaikannya dari urusan akhirat.

Ibnu Rajab menggolongkan manusia dan ambisi mereka terhadap harta dunia ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang sangat mencintai harta. Mereka semangat dalam mencarinya dengan cara yang mubah. Dan mereka cenderung berlebihan dalam mendapatkan dan mengusahakannya.

Meskipun dengan cara yang dibolehkan, halal, namun ambisi mereka dalam mencari dan mengumpulkan harta, melalaikan mereka dari mengingat Allah dan menyiapkan bekal kehidupan akhirat. Jelas hal ini adalah tercela. Dan mungkin inilah yang kebanyakan dapat ditemui sekarang ini.

Golongan kedua adalah manusia yang kondisinya lebih buruk dari golongan pertama. Ambisi mereka terhadap dunia sudah sangat besar. Sehingga golongan dua ini mencari dan menumpuk harta dunia dengan tidak peduli lagi dari mana dan bagaimana caranya mereka dapatkan. Mereka mengumpulkan harta dunia dengan cara yang diharamkan Allah. Mereka juga tidak menegakkan hak-hak harta sesuai perintah Allah.

Perut orang-orang pada golongan dua ini, penuh dengan harta haram. Mereka merasa apa yang telah diraihnya adalah dari hasil usahanya semata. Mereka menjadi sangat takut kehilangan hartanya. Mereka malas bersedekah dan sangat individualis. Mereka jatuh dalam sifat kikir yang tercela.

Semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan menjadikan kita sebagai hambaNya yang tidak disibukkan dengan dunia. [*]

Oleh : Ustadz Afifuddin Rohaly MM 

INILAH MOZAIK

Sirah Nabawiyah, Kondisi Arab Sebelum Islam

Sebelum mengkaji sirah nabawiyah lebih lanjut, kita mulai dari bagaimana kondisi Arab sebelum Islam. Mengetahui ini, kita akan memahami betapa luar biasa dakwah Rasulullah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islami.

Umumnya, buku-buku sirah nabawiyah dimulai dengan pembahasan ini. Kondisi Arab sebelum Rasulullah diutus. Kondisi masyarakat Makkah sebelum diutusnya Rasulullah. Makkah sebelum Islam. Dan berbagai judul yang senada dengan itu.

Gambaran dari Al Qur’an

Al Quran menggambarkan kondisi masyarakat Arab sebelum Islam dengan istilah dholalun mubin (ضلال مبين), kesesatan yang nyata. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Jumu’ah: 2)

Buya Hamka menjelaskan dalam Tafsir Al Azhar, kesesatan yang nyata (ضلال مبين) yang dialami bangsa Arab diutusnya Rasulullah antara lain:

• Menguburkan anak perempuan hidup-hidup
• Orang kaya memeras orang miskin dengan riba
• Menyembah berhala
• Perang antar kabilah

Kondisi Sosial Masyarakat

Sebelum Rasulullah diutus, terdapat beberapa kelas masyarakat di Arab, khususnya Makkah. Yang paling dihormati adalah kelas bangsawan. Wanita bangsawan bisa mengumpulkan kabilah untuk perdamaian atau peperangan. Namun kepemimpinan tetap di tangan laki-laki.

Hubungan laki-laki dan perempuan mencapai kerusakan yang sangat parah. Pada masa jahiliyah itu, di Arab dikenal empat model pernikahan:

1. Pernikahan spontan

Yakni laki-laki datang ke wali perempuan untuk melamar lalu pernikahan dilangsungkan. Model pernikahan ini yang disetujui dalam Islam. Bedanya, pada masa jahiliyah sering kali pernikahan ini berlangsung spontan, dilakukan di hari itu juga.

2. Nikah istibdha’

Yakni suami menyuruh istrinya mendatangi bangsawan agar mendapatkan keturunan darinya. Hal ini dimotivasi oleh keinginan suami tersebut mendapatkan anak yang lebih baik. Dengan bibit dari bangsawan, ia berharap cita-cita itu bisa tercapai.

Pernikahan istibdha’ ini termasuk zina dalam pandangan Islam. Dan hukuman zina sangat keras sebagaimana dijelaskan dalam Surat An Nur ayat 2.

3. Poliandri

Yakni seorang wanita berhubungan dengan sejumlah laki-laki. Setelah anaknya lahir, wanita itu kemudian mengundang seluruh lak-laki tersebut dan bebas menunjuk siapa ayah bayi itu.

“Ini hidungnya mirip kamu Fulan, maka kamulah ayahnya.” Semudah itu kalimat wanita tersebut dan yang ditunjuk tidak boleh menolak. Demikian tradisi Arab jahiliyah.

4. Pelacuran

Ditandai dengan adanya bendera khusus di rumah tertentu. Adanya bendera itu menunjukkan bahwa di dalam rumah tersedia wanita untuk dinikmati siapa saja. Ini tak ubahnya dengan lokalisasi di zaman modern.

Selain itu, perzinaan meraja lela dan poligami tidak memiliki batasan. Bahkan tidak sedikit yang menikahi dua wanita yang bersaudara.

Dari sisi pendidikan, kebodohan mendominasi lapisan masyarakat. Sedangkan perjudian dan minuman keras juga menjangkiti semua kalangan mulai dari kelas bawah hingga bangsawan.

Kondisi Ekonomi Arab Sebelum Islam

Kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang tidak punya pakaian merupakan pemandangan yang biasa di masyarakat Arab jahiliyah. Kesenjangan ekonomi sangat tinggi, karena bangsawan sangat kaya dengan perdagangan.

Riba menguasai seluruh kehidupan orang-orang Arab. Hal ini semakin mencekit kaum dhu’afa yang terpaksa berhutang untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang kaya para pemilik modal, mereka semakin kaya dengan riba berlipat ganda. Sementara orang miskin semakin miskin dan terlilit hutang yang menggunung.

Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

Banyak kebejatan dan amoral di masyarakat Arab jahiliyah. Namun masih ada akhlak terpuji yang terjaga dan menjadi kelebihan bangsa Arab:

  1. Kedermawanan
    2. Memenuhi janji
    3. Harga diri
    4. Pantang mundur
    5. Menolong orang lain
    6. Kesederhanaan Arab Badui

Agama dan Keyakinan Arab Sebelum Islam

Awalnya masyarakat Arab bertauhid pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sejak Nabi Ismail, tidak ada lagi Nabi yang turun dari kalangan mereka hingga 20 generasi.

Semakin lama semakin banyak penyimpangan. Terutama ketika Amr bin Luhay membawa berhala Hubal dari Syam dan diletakkan di dalam Ka’bah.

Sebelum Rasulullah diutus, mayoritas penduduk Makkah menyembah berhala. Demikian pula penduduk Yatsrib, meskipun di sana juga ada Yahudi dan Nasrani.

Selain Hubal, berhala-berhala terbesar mereka adalah Manat (di Musyallal, tepi laut merah), Lata (di Thaif), dan Uzza (di Wadi Nakhlah). Di sekitar Ka’bah sendiri ada sekitar 360 berhala.

Orang-orang Arab jahiliyah memiliki sejumlah ritual penyembahan berhala, antara lain:
• Mendatangi berhala, berkomat-kamit berdoa dan minta pertolongan
• Thawaf di sekeliling berhala dan sujud di hadapannya
• Menyembelih qurban untuk berhala
• Membawakan sesaji dari makanan pilihan kepada berhala
• Bernadzar menyajikan hasil ternak kepada berhala
• Al Bahirah (onta yang dimuliakan karena beranak betina 10), As Sa’ibah (onta yang dilepaskan karena nadzar), Al Washilah (domba yang punya anak kembar 5 betina), dan Al Hami (onta yang dimuliakan karena membuntingi 10 betina).

Khurafat meraja lela di masyarakat Arab jahiliyah. Mereka mengundi nasib dengan anak panah (azlam), percaya kepada peramal, dukun dan ahli nujum.

Namun masih ada pula sisa-sisa ajaran Ibrahim yang tidak hilang, di antaranya:
• Memuliakan ka’bah
•  Thawaf mengelilingi ka’bah
•  Haji dan umrah
•  Wuquf di arafah

Intinya, paganisme telah menguasai jazirah Arab. Mayoritas masyarakat menyembah berhala. Sisa-sia ajaran tauhid Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail masih ada, di antaranya mereka masih kenal dengan nama Allah. Bahkan yakin bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Namun mereka menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang mereka yakini sebagai perwujudan malaikat atau orang shalih untuk menjadi perantara kepada Allah.

Demikian kondisi Arab sebelum Islam. Mereka benar-benar terpuruk dalam masa jahiliyah, benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata. Kepada masyarakat seperti itulah Rasulullah diutus. Mengubah dari jahiliyah menuju cahaya Islam.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]


Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 1)

Wasiat terahir juga berisi tentang tauhid

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai para Nabi ‘alaihish shalatu wassalaam menjadikan tauhid sebagai wasiat penting mereka sebelum meninggal dunia. Hal ini tentunya menunjukkan perhatian mereka yang sangat besar terhadap masalah tauhid. Karena perhatian seseorang itu bermacam-macam, namun semua itu dapat diketahui dari wasiat apa yang mereka katakan menjelang akhir hidupnya kepada orang-orang yang akan ditinggalkannya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah pembagian harta, maka berarti harta-lah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah masalah jabatan dan kekuasaan, maka berarti itulah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ؛ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), ’Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.’ Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,’Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132-133)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menceritakan kisah Nabi Nuh ‘alaihi salaam,

إِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ نُوحاً صلى الله عليه وسلم لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ لاِبْنِهِ إِنِّى قَاصٌّ عَلَيْكَ الْوَصِيَّةَ آمُرُكَ بِاثْنَتَيْنِ وَأَنْهَاكَ عَنِ اثْنَتَيْنِ آمُرُكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ لَوْ وُضِعَتْ فِى كَفَّةٍ وَوُضِعَتْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فِى كَفَّةٍ رَجَحَتْ بِهِنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ كُنَّ حَلْقَةً مُبْهَمَةً قَصَمَتْهُنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فَإِنَّهَا صَلاَةُ كُلِّ شَىْءٍ وَبِهَا يُرْزَقُ الْخَلْقُ وَأَنْهَاكَ عَنِ الشِّرْكِ وَالْكِبْرِ

“Sesungguhnya ketika Nabi Nuh hendak meninggal dunia, beliau berkata kepada anaknya, ’Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat kepadamu. Aku memerintahkanmu kepada dua hal dan melarangmu dari dua hal. Aku memerintahkan kepadamu (untuk bersaksi bahwa) tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Karena sesungguhnya jika langit dan bumi yang tujuh diletakkan pada sebuah daun timbangan dan kalimat ‘laa ilaaha illallah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka akan lebih berat daun timbangan ‘laa ilaaha illallah’. Dan seandainya langit dan bumi yang tujuh itu sebuah cincin, maka kalimat ‘laa ilaaha illallah’ akan membuatnya terbelah. Sedangkan (kalimat) ‘Subhanallah wa bihamdihi’ [Maha Suci Allah dan segala puji untuk-Nya] adalah doa segala sesuatu dan dengannya para makhluk diberi rizki. Dan aku melarangmu dari syirik dan kesombongan’.” (HR. Ahmad no. 6583. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 6295)

Tauhid pula yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang detik-detik akhir kehidupannya. Jundub bin ‘Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika lima hari sebelum beliau wafat,

إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah untuk memiliki seorang kekasih di antara kamu. Karena bahwasannya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seorang umatku sebagai kekasih, niscaya Abu Bakar-lah yang aku jadikan sebagai kekasih. Ketahuilah, bahwasannya umat-umat sebelummu telah menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, jangan kalian jadikan kubur-kubur sebagai masjid. Aku melarang kalian dari perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1216)

Dan bukti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah beliau mengulangi lagi wasiat tersebut menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. ‘Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Ketika Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika dalam kondisi seperti itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 1215)

Nabi menyampaikan larangan tersebut lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah Ta’ala ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa tauhid adalah masalah yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka benarlah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Bahkan para ulama seluruhnya bersepakat bahwa yang pertama kali diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat. Maka tauhid inilah yang pertama kali memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan yang terakhir kali mengeluarkan seseorang dari dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, shahih)

Maka, tauhid inilah yang merupakan kewajiban pertama sekaligus terakhir.

Melihat hadits tersebut, penulis teringat pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10/335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi yang sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin men-talqin-kan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162 dan 2164)

Namun mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk men-talqin-kannya. Lalu mereka berkata, ”Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”

Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, ”Adh-Dhahak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Kemudian Muhammad tidak meneruskannya.

Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian Abu Zur’ah yang sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan haditsnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam sakaratul maut.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk dapat beribadah hanya kepada-Nya di sepanjang hidup kita serta menutup hidup kita di dunia ini di atas tauhid. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati kita untuk tetap konsisten di jalan ilmu dan amal shalih.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50984-perintah-pertama-dan-wasiat-terakhir-bag-2.html

Said bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang mulia. Bahkan yang termulia di tengah umat ini. Jumlah mereka lebih dari seratus ribuan. Tapi yang paling mulia di antara mereka ada sepuluh orang. Kita mengenal kesepuluh orang ini dengan sebutan al-mubasyiruna bil jannah (orang-orang yang diberitakan masuk surga). Di antara sepuluh orang itu tersebutlah nama Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu.

Said bin Zaid tak seterkenal al-mubasyiruna bil Jannah yang lain. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Tapi hal itu tidak mengurangi kemuliaannya. Kali ini kita akan menyimak catatan ringkas tentang biografi Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Agar kita lebih mengenal sahabat yang mulia ini.

Said bin Zaid adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Ia memeluk Islam sebelum Nabi berdakwah di rumah al-Arqam bin Abi al-Aqram. Ia turut serta dalam semua peperangan Rasulullah. Bahkan ia turut ambil bagian juga dalam Perang Yarmuk dan pengepungan Damaskus.

Nasab dan Kedudukannya

Nama dan nasabnya adalah Said bin Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza al-Adawi. Satu kabilah dengan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Ia dilahirkan di Mekah 22 tahun sebelum hijrah. Termasuk salah seorang yang pertama-tama memeluk dengan perantara dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Said bin Zaid menikah dengan adik Umar, Fatimah binti al-Khattab radhiallahu ‘anha. Sementara Umar menikahi saudarinya, yaitu Atikah binti Zaid. Ayahnya, Zaid bin Amr bin Nufail, adalah seorang yang hanif. Meskipun hidup di masa jahiliyah ia tak pernah sujud kepada selain Allah. Di tengah kegelapan jahiliyah, menjelang wafat ayahnya berkata, “Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.” Ia tidak tahu harus mengikuti siapa. Karena di zaman itu belum ada Rasul yang diutus.

Jaminan Surga Sejak Masih Tinggal di Dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada sepuluh orang sahabatnya yang paling utama. Mereka semua dijamin surga. Sejak mereka hidup di dunia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: “أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ”.

Dari Abdurrahman bin Auf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga. Ali di surga. Thalhah (bin Ubaidillah) di surga. Az-Zubair (bin al-Awwam) di surga. Abdurrahman bin Auf di surga. Saad (bin Abil Waqqash) di surga. Said (bin Zaid) di surga. Dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Seorang Yang Mustajab Doanya

Di antara keutamaan Said bin Zaid adalah ia memiliki doa yang mustajab. Ini menunjukkan kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu hari ada seorang wanita yang memfitanah Said. Ia mengatakan bahwa Said telah mencuri tanahnya dan memasukkan tanah itu ke bagian miliknya. Fitnah tersebut benar-benar menyakitkan Said. Hingga ia mendoakan orang tersebut,

اللَّهُم إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَأَعْمِ بَصَرَهَا، وَاجْعَلْ قَبْرَهَا فِي دَارِهَا

“Ya Allah, kalau dia dusta, buatlah matanya buta. Dan jadikanlah tempat wafatnya, tanahnya sendiri.”

Selang beberapa hari, wanita tersebut mengalami kebutaan. Ia meraba-raba berjalan di dinding. Wanita itu berkata, “Aku telah tertimpa musibah dengan sebab doanya Said bin Zaid.” Saat ia berjalan di tanahnya, ia melewati sumur dan terjatuh di dalamnya. Di situlah kuburnya.

Selain turut serta bersama Rasulullah dalam semua perang setelah Perang Badar. Said juga memiliki keutamaan sebagai periwayat hadits. Memang tidak banyak hadits yang ia riwayatkan. Ia meriwayatkan sejumlah 48 hadits.

Wafat

Said bin Zaid wafat di daerah Aqiq pada tahun 50-an Hijriyah. Kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah. Saat wafat usianya 70-an tahun.

Sumber: https://islamstory.com/ar/artical/33895/الصحابي_سعيد_بن_زيد

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6386-said-bin-zaid-radhiallahu-anhu.html

Bulan Muharram: Sejarah, Peristiwa Penting, Keutamaan dan Amalan Sunnah

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah. Bagaimana sejarah bulan muharram, apa saja keutamaan dan amalan sunnah di dalamnya? Berikut ini pembahasannya.

Kalender hijriyah dimulai dari bulan Muharram. Ia merupakan bulan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia memiliki berbagai keutamaan dan mempunyai sejarah penting dalam sejarah umat Islam.

Sejarah Bulan Muharram

Bulan Muharram (المحرم) berasal dari kata haram (حرم) yang artinya suci atau terlarang. Dinamakan Muharram, karena sejak zaman dulu, pada bulan ini dilarang berperang dan membunuh. Larangan itu terus berlaku hingga masa Islam. Bahkan bulan Muharram termasuk salah satu bulan haram.

Orang-orang Arab baik sebelum masa Rasulullah maupun pada masa beliau tidak memiliki angka tahun. Mereka biasa menamakan tahun dengan peristiwa besar yang terjadi di dalamnya.

Misalnya ada tahun yang disebut tahun gajah (amul fil) karena di tahun tersebut terjadi peristiwa pasukan gajah di bawah pimpinan Abrahah yang akan menghancurkan Ka’bah. Ada tahun yang disebut sebagai tahun fijar (amul fijar) karena saat itu terjadi perang fijar. Ada tahun yang disebut tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu.

Pada tahun ketiga masa pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, datang satu masalah yang dialami oleh pejabat pemerintah. Ketiadaan angka tahun membuat sebagian pejabat pemerintah kesulitan. Salah satunya adalah Gubernur Basrah Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.

Atas aduan Abu Musa, Umar kemudian menerbitkan kalender Islam. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat terkemuka, diputuskan bahwa awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah. Karenanya kalender Islam dikenal dengan nama kalender hijriyah.

Selanjutnya, bulan apa yang dijadikan bulan pertama tahun hijriah? Utsman bin Affan mengusulkan Muharram. Mengapa? Sebab sejak dulu orang Arab menganggap Muharram adalah bulan pertama. Kedua, umat Islam telah menyelesaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah. Ketiga, bulan Muharram merupakan bulan munculnya tekad hijrah ke Madinah setelah pada Dzulhijjah terjadi Baiat Aqabah II.

Maka jadilah Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender hijriyah. 1 Muharram adalah tahun baru hijriyah.

Peristiwa Penting pada Bulan Muharram

Banyak peristiwa penting terjadi pada bulan Muharram. Mulai dari masa Nabi terdahulu hingga masa Islam.

Beberapa peristiwa penting pada bulan Muharram sebelum masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai berikut:

  1. Nabi Adam ‘alaihis salam bertaubat kepada Allah dari dan diterima taubatnya.
  2. Berlabuhnya kapal Nabi Nuh ‘alaihis salam di bukit Zuhdi setelah banjir dahsyat yang menenggelamkan mayoritas penduduk bumi saat itu.
  3. Selamatnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dari siksaan api Raja Namrud.
  4. Dibebaskannya Nabi Yusuf ‘alaihis salam dari penjara Mesir.
  5. Keluarnya Nabi Yunus ‘alaihis salam dari perut ikan dengan selamat.
  6. Disembuhkannya Nabi Ayyub ‘alaihis salam dari penyakitnya.
  7. Selamatnya Nabi Musa ‘alaihis salam dan umatnya dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah.

Sedangkan peristiwa penting pada bulan Muharram yang terjadi masa Islam antara lain sebagai berikut:

  1. Pada Muharram 1 H, muncul tekad hijrah ke Madinah setelah pada Dzulhijjah terjadi Baiat Aqabah II.
  2. Pada Muharram 7 H, terjadi perang Khaibar. Perang ini kemudian dimenangkan kaum muslimin dengan gemilang.
  3. Pada 1 Muharram 24 H, Umar bin Khattab dimakamkan setelah syahid dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi.
  4. Pada 10 Muharram 61 H, terjadi musibah besar. Husain, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan keluarganya dibunuh di Karbala.

Keutamaan Bulan Muharram

Muharam merupakan bulan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa keutamaan yang dimilikinya. Berikut ini tiga keutamaan Bulan Muharram:

1. Bulan Haram

Bulan Muharam merupakan salah satu bulan haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At Taubah : 36)

Empat bulan haram yang dimaksud dalam Surat At Taubah ayat 36 ini adalah bulan Dzulqidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Ashurul haram (bulan haram), termasuk bulan Muharam ini adalah bulan yang dimuliakan Allah. Bulan-bulan ini memiliki kesucian, dan karenanya menjadi bulan pilihan. Di antara bentuk kesucian dan kemuliaan bulan-bulan ini adalah kaum muslimin dilarang berperang, kecuali terpaksa; jika diserang oleh kaum kafir. Kaum muslimin juga diingatkan agar lebih menjauhi perbuatan aniaya pada bulan haram.

2. Bulan Allah

Keutamaan bulan Muharram yang kedua adalah, bulan ini disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Az Zamakhsyari menjelaskan, ”Bulan Muharram disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan ini. Sebagaimana kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Ahlullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan ini.”

Sedangkan Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iraqiy menjelaskan, Muharram disebut syahrullah karena pada bulan ini diharamkan pembunuhan dan ia merupakan bulan pertama dalam setahun.

3. Waktu Puasa Tasu’a dan Asyura

Kemuliaan ketiga dari bulan ini adalah, disunnahkannya puasa tasu’a dan ayura. Bahkan puasa tasu’a dan asyura serta puasa sunnah lainnya (senin kamis, ayamul bidh, puasa daud), nilainya menjadi puasa yang paling mulia setelah Ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, Muharam. (HR. Muslim)

Secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan puasa asyura dalam sabdanya :

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya mengenai puasa asyura, beliau menjawab, “ia bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Sedangkan mengenai puasa tasu’a, Rasulullah berazam untuk menjalankannya, meskipun beliau tidak sempat menunaikan karena wafat sebelum Muharam tiba. Lalu para sahabatnya menjalankan puasa tasu’a seperti keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع

“Apabila tahun depan (kita masih diberi umur panjang), kita akan berpuasa pada hari tasu’a (kesembilan). (HR. As-Suyuthi dari Ibnu Abbas, dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’)

Baca juga: Khutbah Jumat Muharram

Amalan Sunnah di Bulan Muharram

Lalu apa saja amalan sunnah di bulan Muharram yang keutamaan waktunya telah dijelaskan di atas? Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Memperbanyak puasa sunnah

Amalan sunnah pertama pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah. Sebab puasa sunnah paling utama adalah puasa sunnah di bulan ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, Muharam. (HR. Muslim)

Ibnu Rajab mengisyaratkan, puasa yang dimaksud adalah puasa sunnah mutlak, bukan puasa sunnah muqayyad. Umar, Aisyah dan Abu Tholhah termasuk para shahabat yang banyak berpuasa di bulan-bulan haram termasuk bulan Muharram.

2. Puasa Asyura

Yakni puasa pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah amal yang paling utama dan puasa sunnah terbaik di bulan Muharram yang keutamaannya bisa menghapus dosa setahun.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya mengenai puasa asyura, beliau menjawab, “ia bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

3. Puasa Tasu’a

Yakni puasa pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah berazam untuk mengerjakannya, meskipun beliau tidak sempat menunaikan karena wafat sebelum waktu itu tiba. Lalu para sahabatnya menjalankan puasa tasu’a seperti keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع

“Apabila tahun depan (kita masih diberi umur panjang), kita akan berpuasa pada hari tasu’a (kesembilan). (HR. As-Suyuthi; shahih)

4. Membantu orang lain

Amalan sunnah berikutnya adalah memberikan kelapangan kepada keluarga, termasuk istri dan anak-anak, di hari asyura. Memberikan kelapangan ini maksudnya adalah membantu mereka dan menyenangkan hati mereka. Misalnya buka bersama di rumah makan, memberikan hadiah, dan sejenisnya.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah membuat judul khusus التوسعة يوم عاشوراء (Bagaimana merayakan hari Asyura). Sayyid Sabiq mencantumkan hadits ini di bawah judul tersebut:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi dirinya dan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

“Hadits tersebut memiliki riwayat lain, tetapi semuanya lemah,” kata Sayyid Sabiq. “Hanya saja apabila digabungkan antara satu dengan lainnya, maka bertambah kuat sebagaimana yang telah dikatakan Sakhawi.”

Berikut ini sebagian hadits-hadits yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq sebagai penguat hadits di atas:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya di keseluruhan tahun itu” (HR. Thabrani dan Hakim)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka ia takkan kesulitan di waktu lain sepanjang tahun itu” (HR. Thabrani)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ أَهْلِهِ طَوْلَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan kepada keluarganya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

Demikian pembahasan tentang bulan Muharram mulai dari sejarah, keutamaan hingga amalan sunnah di dalamnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Mengucapkan Salam pada Rumah Kosong

Apakah mesti mengucapkan salam saat memasuki rumah kosong atau memasuki rumah yang tanpa penghuni? Bagaimana bentuk salamnya jika ada?

Kita diperintahkan mengucapkan salam pada rumah yang akan kita masuki sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An Nur: 61).

Sedangkan mengucapkan salam pada rumah yang tidak berpenghuni atau tidak ada seorang pun di rumah tersebut tidaklah wajib, namun hanya disunnahkan saja.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

إذا دخل البيت غير المسكون، فليقل: السلام علينا، وعلى عباد الله الصالحين

Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin (salam bagi diri kami dan salam bagi hamba Allah yang sholeh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod 806/ 1055. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath, 11: 17).

Hal di atas diucapkan ketika rumah kosong. Namun jika ada keluarga atau pembantu di dalamnya, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alaikum”. Namun jika memasuki masjid, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Sedangkan Ibnu ‘Umar menganggap salam yang terakhir ini diucapkan ketika memasuki rumah kosong.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al Adzkar berkata, “Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk mengucapkan salam meskipun tidak ada penghuninya. Yaitu ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Begitu pula ketika memasuki masjid, rumah orang lain yang kosong, disunnahkan pula mengucapkan salam yang salam “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin. Assalamu ‘alaikum ahlal bait wa rahmatullah wa barakatuh”. (Al Adzkar, hal. 468-469).

Maksud kalimat “Assalamu ‘alainaa” menunjukkan seharusnya do’a dimulai untuk diri sendiri dulu baru orang lain. Sedangkan kalimat “wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin”, yaitu salam pada hamba yang sholeh, maksud sholeh adalah orang yang menjalani kewajiban, hak Allah dan juga hak hamba. (Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, 3: 186).

Hanya Allah yang memberi hidayah.

Referensi:

Al Adzkar An Nawawiyah, Abu Zakariya, Yahya bin Syarf An Nawawi Ad Dimasyqi, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan pertama, tahun 1422 H.

Rosysyul Barod Syarh Al Adabil Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, terbitan Darud Da’i, cetakan pertama, tahun 1326 H.

Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, Husain bin ‘Audah Al ‘Uwaisyah, terbitan Al Maktabah Al Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1425 H.

Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/6018-mengucapkan-salam-pada-rumah-kosong.html

Mengucapkan Salam Ketika Memasuki Rumah Sendiri

Ketika memasuki rumah sendiri jangan lupa tetap mengucapkan salam, biar rumah kita tambah berkah.

Kumpulan Hadits Kitab Riyadhush Sholihin karya Imam Nawawi

Kitab As-Salam

Bab 135. Sunnahnya Salam Apabila Memasuki Rumah (Sendiri)

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An-Nuur: 61)

Ayat lengkapnya,

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” (QS. An-Nuur: 61)

Faedah Ayat

Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan, “Tidak ada dosa bagi orang buta yang kehilangan penglihatannya, tidak pula ada dosa bagi orang pincang, dan tidak pula bagi orang sakit; bila meninggalkan kewajiban yang mereka tidak sanggup laksanakan seperti jihad di jalan Allah. Dan tidak ada dosa bagi diri kalian -wahai orang-orang beriman- makan di rumah kalian sendiri, termasuk juga rumah anak laki-laki kalian, atau makan di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara laki-laki kalian, di rumah saudari kalian, di rumah saudara laki-laki bapak kalian, di rumah saudari bapak kalian, di rumah saudara laki-laki ibu kalian, di rumah saudari ibu kalian, di rumah yang kalian miliki kuncinya seperti penjaga kebun. Tidak ada dosa untuk kalian makan di rumah kawan-kawan kalian karena biasanya hal itu terjadi lantaran kerelaannya untuk itu, tidak ada pula dosa bagi kalian makan bersama-sama atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki suatu rumah seperti rumah-rumah yang di sebutkan di atas, atau rumah selainnya; hendaklah kalian memberi salam kepada penghuninya dengan mengucapkan, ASSALAAMU ‘ALAIKUM”, dan apabila di dalamnya tidak terdapat seorang pun penghuninya, maka ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri dengan mengucapkan, “ASSALAAMU ‘ALAINAA WA A’ALA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN” sebagai ucapan salam dari sisi Allah yang disyariatkan-Nya untuk kalian, yang diberi berkah; karena ia menebarkan sikap saling mencintai, dan persatuan di antara kalian, juga baik karena bisa menenangkan hati pendengarnya. Dengan penjelasan-penjelasan seperti ini yang juga disebutkan sebelumnya dalam surah ini, Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kalian memahaminya, dan mengamalkan kandungannya.”


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21345-mengucapkan-salam-ketika-memasuki-rumah-sendiri.html

Tips Supaya Iman Kuat

Beberapa hal di bawah ini menjadi peningkat kekuatan iman.

1. Memperbanyak baca Alquran dan merenungi maknanya

Ayat-ayat Alquran memiliki target yang luas dan spesifik sesuai kebutuhan masing-masing orang yang sedang mencari atau memuliakan Rabbnya. Sebagian ayat Alquran mampu menggetarkan hati seseorang yang sedang mencari kemuliaan Allah, selain itu Alquran mampu membuat menangis orang yang berdosa dan membuat ketenangan hati.

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS, Shaad 38:29)

Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian. (QS, al-Israa 17:82)

2. Mempelajari Asmaul Husna

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka ia akan menahan lidahnya, anggota tubuhnya dan gerakan hatinya dari apapun yang tidak disukai Allah.

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Indah, Maha Agung dan Maha Perkasa, maka semakin besarlah keinginannya untuk bertemu Allah di hari akhirat sehingga iapun secara cermat memenuhi berbagai persyaratan yang diminta Allah untuk bisa bertemu dengan-Nya (yaitu dengan memperbanyak amal ibadah).

Bila seseorang memahami sifat Allah yang Maha Santun, Maha Halus dan Maha Penyabar, maka iapun merasa malu ketika ia marah, dan hidupnya merasa tenang karena tahu bahwa ia dijaga oleh Tuhannya secara lembut dan sabar.

3. Mempelajari sirah Nabawiyah

Dengan memahami perilaku, keagungan dan perjuangan Rasulullah, akan menumbuhkan rasa cinta kita terhadapnya, kemudian berkembang menjadi keinginan untuk mencontoh semua perilaku beliau dan mematuhi pesan-pesan beliau selaku utusan Allah.

Seorang sahabat r.a. mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, Wahai Rasul Allah, kapan tibanya hari akhirat?. Rasulullah saw balik bertanya: Apakah yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari akhirat?. Si sahabat menjawab , Wahai Rasulullah, aku telah salat, puasa dan bersedekah selama ini, tetap saja rasanya semua itu belum cukup. Namun didalam hati, aku sangat mencintai dirimu, ya Rasulullah. Rasulullah saw menjawab, Insya Allah, di akhirat kelak engkau akan bersama orang yang engkau cintai. (HR Muslim)

Inilah hadis yang sangat disukai para sahabat Rasulullah SAW. Jelaslah bahwa mencintai Rasulullah adalah salah satu jalan menuju surga, dan membaca riwayat hidupnya (sirah) adalah cara terpenting untuk lebih mudah memahami dan mencintai Rasulullah SAW.

4. Mempelajari nilai-nilai agama Islam

Renungan terhadap syariat Islam, hukum-hukumnya, akhlak yang diajarkannya, perintah dan larangannya, akan menimbulkan kekaguman terhadap kesempurnaan ajaran agama Islam ini. Tidak ada agama lain yang memiliki aturan dan etika yang sedemikian rincinya seperti Islam, di mana untuk makan dan ke WC pun ada adabnya, untuk aspek hukum dan ekonomi ada aturannya, bahkan untuk berhubungan suami istripun ada aturannya.

5. Mempelajari Kehidupan para sahabat Rasulullah SAW, tabiin dan tabiut tabiin

Mereka adalah generasi-generasi terbaik dari Islam. Mereka adalah orang-orang yang kadar keimanannya diibaratkan sebesar gunung Uhud sementara manusia zaman kini diibaratkan kadar keimananya tak lebih dari sebutir debu dari gunung Uhud.

Umar r.a. pernah memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya ketika tahu bahwa makanan yang diberikan padanya kurang halal sumbernya. Sejarah lain menceritakan tentang lumrahnya seorang tabiin meng-khatamkan Quran dalam satu kali salatnya.

Atau cerita tentang seorang saleh yang lebih dari 40 tahun hidupnya berturut-turut tidak pernah salat wajib sendiri kecuali berjemaah di mesjid. Atau seorang saleh yang menangis karena lupa mengucap doa ketika masuk masjid. Inilah cerita-cerita teladan yang mampu menggetarkan hati seorang yang sedang meningkatkan keimanannnya.

B. Merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam (marifatullah)

Menyingkirkan sifat sombong akal kita, kemudian merenungkan secara tulus bagaimana alam ini diciptakan. Sungguh ada kekuatan luar biasa yang mampu menciptakan alam yang sempurna ini, sebuah struktur dan sistem kehidupan yang rapi, mulai dari tata surya, galaksi hingga struktur pohon dan sel-sel atom.

Renungkan pula rahasia dan mukjizat Quran. Salah satu keajaiban Alquran adalah struktur matematis Alquran. Meskipun wahyu Allah diturunkan bertahap namun ketika seluruh wahyu lengkap maka ditemukan bahwa terdapat mukjizat yang luar biasa.

Kata tunggal yaum disebut sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada satu tahun syamsiyyah (masehi). Kata jamak hari disebut sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu bulan. Sedang kata Syahrun (bulan) dalam Alquran disebut sebanyak 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Kata Saaah (jam) disebutkan sebanyak 24 kali sama dengan jumlah jam sehari semalam. Dan semua kata-kata itu tersebar di 114 surat dan 6666 ayat dan ratusan ribu kata yang tersusun indah.

Dan masih banyak lagi keajaiban dan mukjizat Alquran dari sisi pandang lainnya yang membuktikan bahwa itu bukan karya manusia. Masih banyak pula mukjizat lainnya di alam ini yang membuktikan bahwa alam ini memiliki struktur yang sangat sempurna dan tidak mungkin tercipta dengan sendirinya.

Adalah lumrah, bahwa sesuatu yang tidak mungkin diciptakan manusia, pastilah diciptakan sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Besar. Inilah yang menambah kecilnya diri kita dan menambah kekaguman dan cinta serta iman kita kepada Sang Pencipta alam semesta ini.

C. Berusaha keras melakukan amal perbuatan yang baik secara ikhlas.

Amal perbuatan perlu digerakkan. Dimulai dari hati, kemudian terungkap melalui lidah kita dan kemudian anggota tubuh kita. Selain ikhlas, diperlukan usaha dan keseriusan untuk melakukan amalan-amalan ini.

1. Amalan Hati

Dilakukan melalui pembersihan hati kita dari sifat-sifat buruk, selalu menjaga kesucian hati. Ciptakan sifat-sifat sabar dan tawakal, penuh takut dan harap akan Allah. Jauhi sifat tamak, kikir, prasangka buruk dan sebagainya.

2. Amalan Lisan

Perbanyak membaca Alquran, zikir, bertasbih, tahlil, takbir, istighfar, bersalawat kepada Rasulullah dan mengajak orang lain kepada kebaikan, dan melarang pada kemungkaran.

3. Amalan anggota tubuh

Dilakukan melalui kepatuhan dalam salat, pengorbanan untuk bersedekah, perjuangan untuk berhaji hingga disiplin untuk salat berjemaah di masjid (khususnya bagi pria).[]

INILAH MOZAIK