Hadits: Puasa Asyura di Bulan Muharram adalah Sebaik-baik Puasa

Muharram disebut syahrullah yaitu bulan Allah, karena di dalamnya ada puasa Asyura

DARI Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, tentang kemuliaan bulan Muharram yang dijuluki “sahrullah” (bulan Allah), yang di dalamnya ada puasa Asyura.

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163).

Muharram disebut syahrullah yaitu bulan Allah, itu menunjukkan kemuliaan bulan tersebut. Ath-Thibiy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan puasa di syahrullah yaitu puasa Asyura. Sedangkan Al-Qori mengatakan bahwa hadits di atas yang dimaksudkan adalah seluruh bulan Muharram. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 2: 532).

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling afdhol untuk berpuasa. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 50). Sedang Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).” (lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa di bulan Muharram secara umum, termasuk di dalamnya adalah puasa Asyura.*

HIDAYATULLAH

Jangan Terlewat 12 Amalan Bulan Muharram!

Jangan terlewat, ini 12 amalan bulan Muharram. Islam mengajarkan bahwa Muharram merupakan salah satu diantara empat bulan yang mulia. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah [9] : 36

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)

Kemudian empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini, Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,

 “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Ada 12 Amalan Bulan Muharram dari Para Ulama Muslim

Dari penjelasan di atas maka sudah jelas bahwasannya Muharram merupakan bulan yang penuh keutamaan. Namun, tentunya keutamaan itu harus diisi dengan berbagai amalan-amalan yang berbobot, sehingga momen tersebut benar-benar bernilai, baik secara individual maupun sosial. 

Berikut ini klasifikasi jenis-jenis amalan yang hendaknya diperbanyak selama bulan Muharram dari para ulama muslim, kurang lebihnya ada 12:

  1. Melakukan shalat
  2. Berpuasa
  3. Menyambung silaturahim
  4. Bersedekah
  5. Mandi
  6. Memakai celak mata
  7. Berziarah kepada ulama (baik yang hidup maupun yang meninggal)
  8. Menjenguk orang sakit
  9. Menambah nafkah keluarga
  10. Memotong kuku
  11. Mengusap kepala anak yatim
  12. Membaca Surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Nah guna mempermudah ingatan umat muslim, sebagian ulama merangkumnya dalam bentuk nadham, sebagaimana yang dilakukan Syekh Abdul Hamid dalam kitabnya Kanzun Naja was Surur Fi Ad’iyyati Tasyrahus Shudur

فِى يوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ * بِهَا اثْنَتَانِ وَلهَاَ فَضْلٌ نُقِلْ

صُمْ صَلِّ صَلْ زُرْ عَالمِاً عُدْ وَاكْتَحِلْ * رَأْسُ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ

وَسِّعْ عَلَى اْلعِيَالِ قَلِّمْ ظُفْرَا * وَسُوْرَةَ الْاِخْلاَصِ قُلْ اَلْفَ تَصِلْ 

“Ada sepuluh amalan di dalam bulan ‘asyura, yang ditambah lagi dua amalan lebih sempurna. Puasalah, sholatlah,sambung silaturrahim, ziarah orang alim, menjenguk orang sakit dan celak mata. Usaplah kepala anak yatim, bersedekah, dan mandi, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali”.

Demikian penjelasan 12 amalan bulan Muharram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Puasa Muharram Selama Satu Bulan Penuh tanpa Jeda?

Puasa Muharram merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan.

Amal yang dianjurkan untuk dikerjakan pada Muharram  adalah dengan berpuasa sunah. Khususnya puasa Tasua pada 9 Muharram, puasa Asyura pada 10 Muharram dan puasa 11 Muharram.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

   عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ  

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu, (Rasulullâh bersabda), “Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya.” (HR Ahmad).

Namun demikian, bolehkah berpuasa sebulan penuh pada Muharram ? Pendakwah yang juga pengasuh Pondok Pesantren Daarul ‘Ilmi Semarang, Habib Muhammad bin Farid Al Muthohar, mengatakan Muharram adalah bulan yang sangat mulia.  

Muharram termasuk asyhurul hurum atau bulan-bulan yang suci. Pada Muharram, umat Muslim diperintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memperbanyak puasa di dalamnya. 

Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan  puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada Muharram . 

Lalu, bolehkah puasa sebulan penuh dari awal sampai akhir Muharram? Habib Muhammad mengatakan hal tersebut diperbolehkan.

Meski begitu, Habib Muhammad mengatakan Rasulullah SAW ketika berpuasa sunnah satu bulan penuh akan ada yang dikosongkan beberapa hari.  

“Boleh-boleh saja (puasa sebulan penuh di bulan Muharram ) tidak ada masalah dan dibenarkan karena itu termasuk bulan Muharram . Akan tetapi Nabi Muhammad SAW itu beliau kalau berpuasa (sunah) satu bulan itu biasanya ada yang kosong, ada yang dikosongkan, ada hari yang beliau tidak puasa,” kata Habib Muhammad. 

Sementara itu, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa di luar puasa Ramadhan, Nabi Muhammad SAW berpuasa sunnah hampir sebulan penuh itu pada bulan Syaban. Para ulama berbeda pendapat seperti disebutkan dalam Syarah Nawawi Ala al-Muslim. 

Imam Nawawi menjelaskan bahwa mengapa Nabi Muhammad SAW pada Syaban bukan Muharram padahal Nabi SAW sendiri mejelaskan paling afdhal puasa setelah Ramadhan adalah puasa sunnah di Muharram.

Namun mengapa Nabi SAW justru lebih banyak bahkan hampir sebulan penuh berpuasa sunah itu dilakukan pada Syaban? 

Pertama, karena kemuliaan Muharram  datang atau diberitahukan  di akhir hayat Nabi Muhammad SAW. Sementara Nabi Muhammad SAW telah banyak melakukan puasa sunnah pada Syaban.

Kedua, Nabi Muhammad SAW banyak berpuasa sunnah pada Syaban karena pada bulan itu amal akan dilaporkan kepada Allah SWT. 

Ketiga, Nabi tidak puasa sebulan penuh baik pada Syaban dan Muharram  agar umatnya tidak menganggap itu adalah wajib hukumnya berpuasa penuh. Keempat, pada Muharram, Nabi sering safar sehingga tidak sepenuh Syaban.  

“Intinya adalah kita diperintahkan Nabi Muhammad dari dua belas bulan ini jangan sampai ada bulan yang kosong dari berpuasa. Minimal ada sehari puasa (dalam sebulan), jangan di hari yang diharamkan seperti hari raya, tasyrik, itu dilarang. Selain itu, pokonya jangan sampai sebulan itu kosong dari berpuasa,” katanya.        

KHAZANAH REPUBLIKA

Empat Hal Penting yang Perlu Diketahui dalam Menyambut Bulan Muharam

Bulan Muharram adalah salah satu dari 4 bulan haram, bulan mulia juga dijuluki “syarullah’, umat Islam dianjurkan puasa

BULAN Muharam adalah bulan yang mulia, namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya, bahkan ada sebagaian melakukan kekeliruan di bulan ini.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram adalah bulan mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

 إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

 “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” (QS: at Taubah :36).

Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad ﷺ.

Kedua, pada bulan ini disunnahkan berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas.

Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Sayyidah Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah ﷺ berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “(HR: Muslim).

Sayyidah Aisyah RA berkata:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Belum pernah Nabi berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR: Al Bukhari dan Muslim)

Sayyidah Aisyah RA berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ
ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

Nabi ﷺ memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR:  Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ?

Jawabannya: Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah ﷺ belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’i yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

Rasulullah bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الليل. (رواه مسلم عن أبي هريرة ) يضة الصلاة بعد

“Sebaik-baik puasa sesudah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram dan sebaik-baik shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR: Muslim dari Abu Hurairah)

  عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفاً

“Dari Abu Sa’id al Khudrina., dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang berpuasa selama sehari karena Allah, melainkan dengan puasanya satu hari itu, Allah menjauhkannya dari neraka sejauh 70 musim gugur.” (Muslim 3/159).

Ketiga, bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ 

“Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR: Bukhari)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan: berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah pun bersabda :”Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).*/ Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

HIDAYATULLAH

Bulan Muharam antara Keutamaan dan Kesesatan

Muharam adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah, salah satu dari bulan suci yang empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, baik itu yang bersumber dari Al-Qur’an maupun yang bersumber dari sunah beliau yang mulia.

Keutamaan bulan Muharam

Ia termasuk salah satu bulan yang Allah Ta’ala agungkan dan Allah Ta’ala sebutkan di dalam kitab sucinya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهور عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Allah muliakan bulan ini di antara bulan-bulan lainnya, hingga dinamai dengan nama yang dinisbatkan langsung kepadanya “Bulan Allah Al-Muharram”, sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap bulan ini dan sebagai tanda bahwa Allah Ta’ala sendirilah yang mengagungkan dan mengharamkan bulan Muharram ini. Sehingga tidak pantas dan tidak boleh seorang pun dari makhluk-Nya yang menghalalkannya dan melanggarnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan perkara ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الذي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, kemudian bulan Rajab suku Mudhar di antara Jumadilakhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 4406 dan Muslim no. 1679)

Sebagian ulama menguatkan bahwa Muharam adalah bulan haram/suci paling mulia. Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Latha’if Al-Ma’arif mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang bulan haram apa yang paling mulia? Al-Hasan dan yang lainnya mengatakan, “Yang paling mulia adalah Muharam”; dan ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama’ masa kini.”

Yang menguatkan hal tersebut adalah hadis yang dirawayatkan oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah dan yang selainnya dari sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

سألتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أيُّ اللَّيلِ خيرٌ، وأيُّ الأشهُرِ أفضَلُ؟ فقال: خيرُ اللَّيلِ جَوفُه، وأفضَلُ الأشهُرِ شَهرُ اللهِ الذي تَدْعونَه المُحَرَّمَ

“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Malam apakah yang paling baik dan bulan apakah yang paling  utama?’ Beliaubersabda, ‘Sebaik–baik malam adalah pertengahannya, dan seutama–utamanya bulan adalah bulan Allah yang kalian sebut dengan nama Al-Muharram.’” (HR. An-Nasai no. 4216 dalam As-Sunan Al-Kubra)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Penyebutan Muharam di dalam hadis sebagai “bulan paling mulia” maksudnya adalah bulan yang paling mulia setelah bulan Ramadan.”

Beberapa hukum yang menunjukkan kemuliannya

Pertama: Haramnya berperang atau memulai peperangan di bulan ini serta besarnya dosa maksiat di dalamnya.

Para ulama berselisih pendapat apakah hukum larangan berperang ini sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi ataukah masih berlaku hingga saat ini? Menurut pendapat yang rajih, yaitu pendapatnya mayoritas ulama bahwa hukumnya sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi.

Imam Al-Aluusi rahimahullah dalam kitab tafsirnya Ruuhul M’aani mengatakan,

والجمهور على أن حرمة المقاتلة فيهن منسوخة ، وأن الظلم مؤول بارتكاب المعاصي ، وتخصيصها بالنهي عن ارتكاب ذلك فيها ، مع أن الارتكاب منهي عنه مطلقا لتعظيمها ، ولله سبحانه أن يميز بعض الأوقات على بعض ، فارتكاب المعصية فيهن أعظم وزرا كارتكابها في الحرم وحال الإحرام

“Jumhur ulama berpendapat bahwa pelarangan perang di bulan-bulan haram hukumnya telah dihapus. Bahwa ‘adz-dzulmu’ (kezaliman) di dalam ayat dimaknai dengan berbuat kemaksiatan (bukan peperangan). Adapun pengkhususan larangan berbuat maksiat di dalam bulan-bulan tersebut meskipun bermaksiat itu terlarang secara mutlak, adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap kedudukan bulan-bulan haram ini. Dan Allah Ta’ala berhak untuk membedakan satu waktu dengan waktu yang lain. Maka, bermaksiat di bulan-bulan haram dosanya lebih besar, layaknya bermaksiat di tanah suci dalam kondisi sedang ihram.”

Kedua: Anjuran memperbanyak puasa di dalamnya.

Memperbanyak puasa di bulan Muharam termasuk puasa sunah yang paling utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ، وأَفْضَلُ الصَّلاةِ، بَعْدَالفَرِيضَةِ، صَلاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharam. Sedangkan salat yang paling utama setelah (salat) fardu adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163).

Namun, harus kita ketahui, terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa selama sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadan. Maka, hadis di atas dapat dipahami bahwa hendaknya memperbanyak ibadah puasa pada bulan Muharam, namun bukan berpuasa selama sebulan penuh di bulan tersebut.

Keutamaan berpuasa ini lebih ditekankan lagi pada tanggal 10 bulan Muharam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang berpuasa di hari tersebut, lalu beliau menjawab,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus (dosa) tahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)

Disunahkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan juga, berdasarkan hadis,

لَئِنْ بَقِيتُ أو لئِنْ عِشْتُ إلى قابلٍ لأصومَنَّ التاسِعَ

“Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan, maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim no. 1134 dan Ibnu Majah no. 1736)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa tujuan berpuasa di hari kesembilan adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi,

خالِفوا اليَهودَ وصوموا التَّاسِعَ والعاشِرَ

“Selisihilah orang Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh (di bulan Muharram).” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 108).

Kesesatan dan kebid’ahan di bulan Muharram

Selain banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh bulan Muharam ini, sayangnya masih banyak sekali kesesatan dan kebid’ahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada bulan ini. Baik itu bergembira ria, memakai celak, mengenakan baju baru, bakti sosial, ataupun menjadikan hari kesepuluh, hari Asyura sebagai hari kesedihan atas wafatnya Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Sungguh kesemuanya itu jelas merupakan kebid’ahan yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Padahal nabi dengan jelas menyebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Kesesatan pada hari Asyura sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Sholeh Fauzan hafidzhahullah secara umum terbagi menjadi 2.

Yang pertama adalah kelompok yang menyerupai orang-orang Yahudi; dimana mereka menjadikan hari Asyura sebagai hari perayaan dan hari bergembira. Mereka menyemir rambut, memakai celak, membagikan angpau untuk keluarga, memasak makanan di luar kebiasaan, dan yang semisalnya dari perbuatan orang-orang bodoh, yang menyikapi kebid’ahan dengan kebid’ahan lainnya.

Yang kedua adalah kelompok yang menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan ratapan karena terbunuhnya Alhusein bin Ali radhiyallahu anhuma. Di mana pada hari tersebut mereka menampakkan kebiasaan-kebiasaan orang jahiliyah baik itu menampar pipi, merobek kerah baju, melantunkan bait-bait kesedihan, serta menceritakan kisah-kisah yang penuh dengan kebohongan. Tentu tujuan dari semua itu adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan di antara umat. Inilah perbuatan orang-orang tersesat, yang menganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah perbuatan baik. Mereka adalah orang-orang yang lebih buruk dari khawarij yang mudah menumpahkan darah dan merekalah yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadisnya,

يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإسْلَامِ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأوْثَانِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإسْلَامِ كما يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Jika aku mendapati mereka, sungguh aku akan memerangi mereka sebagaimana kaum ‘Ad diperangi.” (HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064)

Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepada ahlussunnah. Mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berpuasa di dalamnya dengan tetap menjaga diri agar tidak menyerupai kaum Yahudi serta menjaga diri dari kebid’ahan yang berasal dari bisikan setan.

Para ahli ilmu telah menjelaskan, bahwa tidak ada amal ibadah khusus yang disyariatkan pada hari asyura, kecuali berpuasa. Tidak ada syariat untuk menghidupkan dan mengisi malamnya, atau memakai celak, dan memakai wewangian di dalamnya, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam Bisshawaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77105-bulan-muharram-antara-keutamaan-dan-kesesatan.html

Mengapa Rasulullah Menyebut Muharram sebagai Bulan Allah?

Dalam sebuah riwayat An-Nasa’i, Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bulan dan malam apa yang yang paling baik, wahai Rasulullah?” Lalu Rasul menjawab, “Malam terbaik adalah pertengahan malam, dan bulan terbaik adalah bulan Allah yang kamu sebut Muharram.”

Rasulullah SAW dalam riwayat itu menyebut Muharram dengan bulan Allah.Lantas mengapa disebut demikian?

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Allah karena untuk menunjukkan keagungan dan karunia-Nya. Allah yang menghubungkan Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Yakub dan Nabi-Nabi lainnya sebagai hamba-Nya.

“Dan bulan ini (bulan Muharram/bulan Allah), adalah bulan yang khusus untuk disandarkan kepada Allah ta’ala,” demikian penjelasan Ibnu Rajab.

Imam As-Suyuti, dalam kitab syarah Shahih Muslim, menjelaskan, bulan Muharram memiliki perbedaan dengan bulan lain. Nama bulan-bulan yang lain sudah ada pada masa jahiliyah, sedangkan nama bulan Muharram baru ada saat Islam datang.

Orang-orang pada masa jahiliyah menyebutnya dengan bulan Safar Awal, lalu Allah SWT mengganti nama tersebut dengan Muharram, sehingga kemudian bulan ini juga sering disebut dengan bulan Allah.

Hal itu menjadi petunjuk bahwa bulan Muharram itu adalah milik Allah yang Mahaperkasa dan Mahaagung. Tidak ada seorang pun yang berhak merubah nama bulan tersebut sebagaimana nama yang digunakan pada masa jahiliyah terdahulu.

Amalan yang diutamakan pada bulan Muharram adalah puasa. Hal ini merujuk pada riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa yang paling utama di luar bulan Ramadhan adalah di bulan Muharram. Dan sebaik-baik sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR Muslim) 

Karena itu, sudah sepantasnya pula bahwa puasa termasuk di antara amalan-amalan yang khusus disematkan kepada Allah SWT pada bulan Muharram. Dan kita sebagai seorang Muslim tentu harus melaksanakan ibadah puasa tersebut di bulan Muharram dengan penuh khidmat.

IHRAM

Usai Hijrah, Rasulullah Bangun Perekonomian Umat

Rasulullah membangun ekonomi umat usai berhijrah.

Imam Masjid New York Shamsi Ali meningatkan umat Islam bahwa perintah mendasar Syariah Islam yang turun di priode Makkah hanya satu, sholat. Perintah melaksanakan sholat itu turun sekitar dua tahun sebelum Hijrahnya Rasul melalui peristiwa Isra Mi’raj.

“Dua tahun setelah Rasul hijrah ke Madinah turunlah perintah berzakat. Yaitu kewajiban umat Islam untuk mengeluarkan hartanya sebesar 2,5 persen sekali dalam setahun (haul), jika telah memenuhi jumlah tertentu (nishob),”ujar dia dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (1/9).

Perintah zakat itu sendiri, sebagaimana syahadat dan sholat, menjadi salah satu pilar atau rukun Islam.  Jika sholat menitik beratkan kepada relasi vertikal seorang muslim dengan Tuhannya, zakat menekankan relasi horizontal seorang muslim kepada sesama. Kedua aspek relasi inilah yang menjadi dasar ubudiyah dalam Islam. Atau lebih dikenal bahasa Al-qurannya hablun minallah wa hablun minan naas.

Perintah sholat diturunkan di Makkah karena memang periode Makkah lebih menekankan aspek hablun minallah atau relasi vertikal keagamaan. Sementara Zakat yang relevansinya sangat dominan secara sosial turun di Madinah. Kerena periode Madinah memang dipahami sebagai awal pembentukan kehidupan Umat secara jama’i. Yang tentunya juga karena prioritas risalah di Madinah adalah penguatan (empowerment) umat pada sisi komunalnya (jamaah).

Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasul tidak saja memahaminya sebagai sekadar perintah untuk mengeluarkan harta. Sebaliknya justru dipahami sebagai perintah untuk memperkuat basis perekonomian umat.

Dengan kata lain, Rasulullah memahami perintah Zakat tidak sekadar memberikan 2,5 persen harta. Tapi dipahami secara pro aktif dan dengan visi yang lebih besar. Bahwa ada perintah memberi maka di balik perintah itu ada perintah lainnya. Dan perintah itu adalah economic empowerment atau membangun kekuatan ekonomi bagi Umat.

Untuk mengimplementasikan pemahaman itu, beliau melakukan beberapa hal, di antaranya:

Pertama, membeli sebuah sumur. Perlu diingat air ketika itu bagaimana minyak di masa kita. Bayangkan jika kota New York misalnya kehabisan minyak (sebelum solar energy ditemukan).

“Saya yakin kehidupan menjadi lumpuh. Sumut Madinah menjadi fondasi hidup itu sendiri. Dan Karenanya atas anjuran Rasulullah SAW, Sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman Ibnu Affan,”ujar dia.

Kedua, membeli pasar dari masyarakat Yahudi. Sejak masa itu juga sebenarnya umat Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri sebagai pribadi pernah meminjam uang dari masyarakat Yahudi.

Di Madinah ada sebuah pasar yang sangat terkenal dan strategis dalam perekonomian masyarakat. Kebetulan saja pasar itu dimiliki oleh komunitas Yahudi.

Sebagai tindak lanjut dari perintah zakat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat yang kira-kira punya modal, dan juga dikenal memiliki kemampuan bisnis, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kepada mereka disampaikan urgensi umat Islam memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian umat.

Mereka setuju dan memberikan investasi terbaik mereka untuk membeli pasar tersebut. Melalui pasar ini umat kemudian melakukan aktifitas ekonomi dan membangun basis perekonomian mereka. Dan pada akhirnya tidak lagi bergantung kepada Komunitas lain.

Dari peristiwa ini dipahami bahwa  pemberdayaan ekonomi umat menjadi krusial dalam pembentukan peradaban manusia. Ketika umat lemah secara ekonomi maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan. Dan sudah pasti klaim peradaban dengan ketergantungan kepada orang lain adalah paradoks yang nyata.

Jika hal ini dikembalikan kepada situasi kolektif umat masa kini, kita akan dapati bahwa dari sekian banyak kebutuhan dasar umat adalah perbaikan ekonominya. Umat ini sungguh beruntung menempati sisi-sisi bumi yang kaya. Jika tidak rindang dan hijau dengan hutan, atau dengan kekayaan bahari (laut), Allah memberinya dengan kekayaan minyak dan pertambangan.

Lalu kenapa umat masih tertinggal secara ekonomi?  

Jawabannya karena umat perlu berzakat. Yaitu Zakat (bersuci) dari ketamakan dan kekikiran. Ketamakanlah di dunia Islam itulah yang menjadikan kekayaan alam kita diselewengkan sedemikian rupa. Akibatnya terjadi berbagai kerusakan dalam berbagai manifestasinya.

Kalaulah saja perintah Zakat dipahami secara benar, secara pro aktif dan inovatif, serta dikelolah secara profesional dan jujur, Umat akan terkuatkan secara ekonomi.

“Sekaligus saya yakin bahwa permasalahan kemiskinan yang masih mengungkung Umat ini dapat terselesaikan,”pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (Bag.2)

Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu

Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)

Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)

Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.

Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.

Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Berbagai Ritual di Bulan Suro

Terakhir, kita akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.

Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.

Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”

Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.

Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.

Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)

Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)

Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.

Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.

Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.

Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.

Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H

Referensi:

  1. Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
  2. Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
  3. I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  4. Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
  5. Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  6. Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
  7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
  8. Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.


Artikel www.muslim.or.id

Peristiwa Muharram, dari Nabi Adam Hingga Wafatnya Husein

Sejumlah peristiwa penting terjadi di bulan Muharram.

Sebagai penanda bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah, Muharram memiliki berbagai makna dan peristiwa. Bulan yang berarti dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah itu, nyatanya memiliki banyak riwayat dan kisah penting dari sebelum zaman Nabi Muhammad SAW.

Peristiwa pertama yang tercatat adalah bertobatnya Nabi Adam AS kepada Allah atas dosa-dosanya setelah diturunkan ke muka Bumi. Jauh setelahnya, di bulan yang sama juga disebutkan bahwa Kapal Nabi Nuh AS mampu berlabuh di Bukit Zuhdi dengan selamat.

Tak hanya itu, kisah kebalnya Nabi Ibrahim AS dari siksa raja Namrud juga terlaksana dan diabadikan pada bulan Muharram. Pada saat Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup, Allah memberinya mukjizat dan terbebas dari panasnya kobaran api yang membakarnya.

Masih di kisah Nabi, kali ini datang dari zaman Nabi Yusuf AS yang bebas dari penjara karena fitnah yang didapatnya. Bahkan, Nabi Yunus juga mendapat mukjizat serupa di bulan Muharram, ia berhasil keluar dari perut ikan hiu. Nabi Ayyub AS, juga mendapat kesembuhan dari penyakit yang ia derita selama bertahun-bertahun di bulan Muharram.

Lebih lanjut, kisah terkenal Nabi Musa AS yang menyelamatkan kaum Bani Israil dari kekejaman Fir’aun juga terjadi di bulan ini. Bahkan, dalam kejadian itu, sang Nabi diberi mukjizat dengan membelah laut merah untuk menyelamatkan umatnya dari kejaran Fir’aun.

Sementara di Zaman Nabi Muhammad SAW sendiri, bulan Muharram menjadi penanda penting bagi umat Muslim dan sejarah Islam. Pasalnya, pada waktu tersebut, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrahnya dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 masehi lalu.

Di buku Hijrah dalam Pandangan Al-Quran oleh Dr Ahzami Samiun, disebutkan jika, dampak dari perjalanan Hijrah Nabi Muhammad nyatanya membawa kebaikan dan berkah yang sangat luas terhadap kemanusiaan hingga masa kini.

Dalam Hijrah itu juga disebut beberapa manfaat seperti, mampu menyelamatkan manusia dari perpecahan dan kebingungan akan intimidasi. Bahkan, Hijrah yang dilakukan sekitar 14 abad silam itu, digadang-gadang mampu mendorong Muslimin menempuh jalan selamat yang dibangun di atas kepemimpinan pertama umat Islam. Selain, dari adanya penanggalan Islam yang mulai digunakan.

Namun sayang, masih di bulan Muharram, tepatnya pada 10 Muharram 61 H, ada peristiwa yang memilukan dalam sejarah Islam. Utamanya bagi keluarga Nabi Muhammad.

ada waktu itu, cucu Nabi Muhammad SAW, Husein ra, terbunuh di sebuah tempat yang bernama Karbala. Pembunuhan itu dilakukan oleh pendukung khalifah berkuasa saat itu, Yazid bin Mu’awiyah. Walaupun, khalifah sendiri tidak menyukai kejadian itu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Muharram

Asal penamaan

Nama “Muharram” berasal dari kata “haram” yang artinya ‘suci’ atau ‘terlarang’. Dinamakan “Muharram” karena bulan ini termasuk salah satu bulan suci. (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)

Keutamaan bulan Muharram

1. Termasuk empat bulan haram (suci).

Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus ….” (QS. At-Taubah:36)

Keterangan:

  1. Yang dimaksud “empat bulan haram” adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
  2.  Disebut “bulan haram” karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram, tidak boleh ada peperangan.
  3. Az-Zuhri mengatakan, “Dahulu, para sahabat menghormati syahrul hurum.” (HR. Abdur Razaq)

2. Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam satu tahun, ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci); tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar–antara Jumadi Tsani dan Sya’ban–.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dinamakan “syahrullah” (bulan Allah).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Keterangan:

  1. Imam An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
  2. As-Suyuthi mengatakan, “Dinamakan ‘syahrullah‘–sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini–karena nama bulan ini (yaitu) ‘Al-Muharram’ adalah nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliah. Sementara dahulu, orang jahiliah menyebut bulan Muharram ini dengan nama ‘Shafar Awwal’. Kemudian, ketika Islam datang, Allah mengganti nama bulan ini dengan ‘Al-Muharram’, sehingga Allah menyandarkan nama bulan ini kepada dirinya (syahrullah)”. (Syarah Suyuthi ‘Ala Shahih Muslim, 3:252)

4. Bulan ini juga sering dinamakan “syahrullah al-asham” (bulan Allah yang sunyi). Dinamakan demikian karena sangat terhormatnya bulan ini, sehingga tidak boleh ada sedikit pun riak dan konflik di bulan ini.

5. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama; hari itu adalah hari ‘Asyura. Orang Yahudi memuliakan hari ini karena hari ‘Asyura adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari yang baik; hari di saat Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, sehingga Musa pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah.’ Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa daripada kalian.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (HR. Al-Bukhari)

6. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan

Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 67)

Hadis Dhaif Seputar Muharram

1. “Barang siapa yang berpuasa selama sembilan hari pertama di bulan Muharram maka Allah akan bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki empat pintu, yang tiap pintunya berjarak satu mil.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2:199 dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)

2. “Barang siapa yang berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram, berarti dia telah mengakhiri pengujung tahun dan mengawali tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini sebagai kafarah selama lima tahun.” (Hadis dusta, karena pada sanadnya terdapat dua pendusta, sebagaimana keterangan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 45)

3. “Sesungguhnya, Allah mewajibkan Bani Israil berpuasa sehari dalam setahun, yaitu hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram. Oleh karenanya, berpuasalah kalian di bulan Muharram dan berilah kelonggaran (makan enak dan pakaian baru) untuk keluarga kalian, karena inilah hari di saat Allah menerima tobat Adam ‘alaihis salam ….” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 46)

4. “Barang siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram, maka untuk satu hari puasa, dia mendapat pahala puasa tiga puluh hari.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Silsilah Hadis Dhaif, no. 412)

5. “Bulan yang paling mulia adalah Al-Muharram.” (Hadis dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 1805)

6. “Pemimpin umat manusia: Adam, pemimpin bangsa Arab: Muhammad, pemimpin bangsa Romawi: Shuhaib Ar-Rumi, pemimpin bangsa Persia: Salman Al-Farisi, pemimpin bangsa Habasyah: Bilal bin Rabah, pemimpin gunung: Gunung Sina, pemimpin pohon: bidara, pemimpin bulan: Muharram, pemimpin hari: hari Jumat ….” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 7069)

Amalan sunah di bulan Muharram

1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan daripada yang lainnya, kecuali puasa hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Puasa ‘Asyura (puasa tanggal 10 Muharram).

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berpuasalah kalian!’” (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa ‘Asyura, kemudian beliau menjawab, “Puasa ‘Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Mereka mengatakan, ‘Ini adalah hari di saat Musa menang melawan Fir’aun.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (orang Yahudi). Karena itu, berpuasalah!’” (HR. Al-Bukhari)

Keterangan:

Puasa ‘Asyura merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadhan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Suatu ketika, di pagi hari ‘Asyura, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan, ‘Barang siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai magrib, dan barang siapa yang sudah berpuasa maka hendaknya dia lanjutkan puasanya.’” Rubayyi’ mengatakan, “Kemudian, setelah itu, kami berpuasa dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mainan dari kain untuk mereka. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya, sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura menjadi puasa sunah. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu, hari ‘Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan hari ‘Asyura. Barang siapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh berpuasa; barangsiapa yang tidak ingin berpuasa ‘Asyura maka dia boleh tidak berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, ada sahabat yang berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al-Bukhari)

Keterangan:

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa ‘Asyura. Pendapat ini berdasarkan hadis, “Berpuasalah (di) hari ‘Asyura dan janganlah sama dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar). Namun, sanad hadis ini dhaif, sebagaimana keterangan Al-Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Oleh karena itu, yang lebih tepat, puasa satu hari setelah ‘Asyura itu tidak disyariatkan. Sebagai gantinya adalah puasa sehari sebelumnya.

Imam Ahmad mengatakan bahwa jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya berpuasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram). Beliau mempraktikkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al-Mughni, 3:174; diambil dari Al-Bida’ Al-Hauliyah, hlm. 52)

4. Puasa tiga hari setiap bulan (puasa Yaumul Bidh).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kekasihku (Rasulullah)–shallallahu ‘alaihi wa sallam–berwasiat kepadaku dengan tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat salat dhuha, dan witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari)

Bid’ahbid’ah di bulan Muharram

Ada banyak bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan Muharram, baik dalam masalah akidah dan keyakinan, maupun amal harian. Berikut ini adalah beberapa amal bid’ah di sekitar kita, terkait bulan Muharram:

Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulan sial.

Dalam bahasa Jawa, bulan Muharram sering disebut dengan “bulan syura (suro)”. Sebagian masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa bulan syura (suro) adalah “bulan sial”. Mereka diimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apa pun ketika bulan syura (suro). Barang siapa yang berani mengadakan kegiatan di bulan syura (suro), maka: awas, itu alamat ciloko (celaka)!

Pada hakikatnya, keyakinan ini adalah keyakinan syirik, karena berkeyakinan sial terhadap sesuatu tanpa dalil adalah termasuk thiyarah, dan thiyarah adalah perbuatan kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik ….” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kedua: Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram.

Pada hari ‘Asyura, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin, bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan keluarga beliau. Di hari ‘Asyura, Allah memuliakan Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah. Beliau dibantai di tanah Karbala oleh para pengkhianat dari Irak. Sebagai muslim, kita menganggap ini sebagai musibah.

Namun, perlu diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu, berupa munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin karena motivasi mengultuskan Husain. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.

Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua cahaya dimatikan, manusia keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan, “Wahai Husain, wahai Husain ….” Bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang, sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam atas kematian Husain. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhotbah menyampaikan kebaikan-kebaikan Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan.

Merekalah gerombolan Syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka Syiah; manusia yang berakidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan mereka.

Ketiga: Bergembira di hari ‘Asyura.

Kebalikan dengan kelompok sebelumnya; kelompok ini menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai musuh Syi’ah Rafidhah. Mereka adalah kelompok Khawarij, yang memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan Syiah, dan mereka juga membenci keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artikel www.yufidia.com