Waktu Terbaik Shalat Dhuha

SHALAT dhuha memiliki banyak keutamaan. Shalat yang dihukumi sunnah ini termasuk shalat ringan yang dikerjakan pada siang hari. Yakni antara waktu setelah matahari terbit hingga menjelang dzuhur. Lalu kapan waktu terbaik untuk shalat dhuha?

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam Nabi melarang melaksanakan shalat dan mengubur jenazah pada tiga waktu berikut. Pertama ketika matahari terbit sampai tinggi, kedua ketika seseorang berdiri di tengah bayangannya sampai matahari tergelincir, dan ketia ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.

Berdasarkan hadits tiga larangan waktu untuk shalat di atas, maka di mana waktu dhuha (dibolehkannya shalat)? Shalat dhuha bisa dilakukan setelah matahari terbit dan matahari meninggi hingga jarak satu tombak (sekira dua meter).

Bila diukur dengan keumuman waktu zaman ini adalah sekitar limabelas menit. Jadi sebaiknya apabila hendak shalat dhuha di awal waktu, maka kita dapat melaksanakan pada lima belas menit setelah waktu terbit matahari.

Lalu kapan batas akhirnya? Batas akhirnya adalah hingga sebelum waktu terlarang kedua untuk shalat sebagaimana disebutkan hadits di atas. Atau bila diukur dengan keumuman waktu sekarang, kurang lebih lima belas menit sebelum dzhuhur tiba.

Sedangkan waktu yang utama untuk shalat dhuha adalah ketika matahari sudah mulai panas. Dalam shahih Muslim, disebutkan bahwa Zaib bin Al Arqam radliyallahu anhu melihat beberapa orang sedang shalat dhuha, dan kemudian beliau berkata, “Andai mereka tahu bahwa shalat dhuha setelah waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Shalat awwabin adalah ketika anak onta mulai kepanasan”.

Karenanya, ulama menjelaskan, yakni waktu ketika matahari mulai panas adalah waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat dhuha, meskipun dibolehkan shalat sejak terbit matahari hingga menjelang tergelincirnya matahari.

Allahu Alam. [*]

INILAH MOZAIK

Anda Gelisah? Ini Doa untuk Mengatasinya

DOA adalah senjata bagi orang mukmin. Untuk menghadapi musuh yang berbeda, diperlukan senjata yang berbeda pula.

Jika kita perhatikan, Rasulullah mengajarkan sangat banyak doa untuk beragam situasi dan kondisi yang dihadapi oleh umatnya. Salah satunya, doa jika gelisah di waktu malam.

“Yakni jika seseorang gelisah dan mebolak-balikkan badan di atas tempat tidur,” terang Syaikh Majdi Abdul Wahhab Al Ahmad dalam Syarh Hisnul Muslim. Doa ini diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia menilainya shahih. Adz Dzahabi juga menilainya shahih. An Nasai meriwayatkannya adalam Amal Al Yaum wa Al Lailah.

Lafazh doa tersebut adalah sebagai berikut:

Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Memaksa, Sang Pemilik bumi serta seisinya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Doa yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha ini memiliki keutamaan terkait permohonan kepada Allah untuk menghilangkan kegelisahan.

“Zikir ini mengandung permohonan seseorang kepada Allah agar Dia berkenan menjauhkan rasa sedih, gelisah, gundah gulana dan terkejut,” tambah Syaikh Majdi Abdul Wahhab Al Ahmad.

[bersamadakwah]

‘Sunnah Rasul’ di Malam Jumat?

SUATU kebahagiaan ketika kaum muslimin memperhatikan sunnah Nabi sebagai landasan dalam beragama (beramal shalih). Karena disamping Al Quran, Sunnah Nabi juga merupakan pedoman kaum muslimin dalam hidup dan beragamanya.

Dalam pelaksanaanya, Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul ada yang bersifat umum, dan ada yang bersifat khusus. Yang bersifat khusus ini yakni apabila terkait dengan tempat atau waktu tertentu, di mana sunnah tersebut tidak dilakukan kecuali pada tempat atau waktu tersebut.

Salah satu yang diklaim sebagai sunnah rasul pada malam Jum’at oleh kebanyakan kaum muslimin adalah berhubungan intim. Bahkan hingga ada gurauan di masyarakat bahwa “waktu kecil, malam yang ditakuti adalah malam Jumat. Setelah besar (sudah menikah), malam yang disukai adalah malam Jumat”.

Lalu dari mana mereka menyandarkan hal ini sebagai sunnah rasul? Setelah ditelisik, ternyata mereka menyandarkannya pada hadits palsu berikut, “Barangsiapa melakukan hubungan suami istri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi,”.

Apabila dicari di kitab-kitab kumpulan hadits, seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An Nasai, Sunan Tirmidzi, dll, tidaklah ditemukan hadits dengan bunyi/lafadz tersebut maupun yang mendekati lafadz tersebut.

Maka haram hukumnya seorang muslim sunni (muslim yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi) menjadikan hadits palsu atau hadits yang tidak ada asalnya sebagai bagian dari syariat Islam, atau sebagai landasan dalam keyakinan dan amalan.

Semoga Allah memberi hidayah kepada kita. [*]

INILAH MOZAIK

Fatwa Ulama: Berzina Lalu Menikah, Sahkah Pernikahannya?

Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili hafizhahullahSoal:

Seorang lelaki berzina dengan wanita, lalu lelaki ini menikahinya dengan akad yang syar’i. Apakah pernikahannya ini sah? Dengan catatan si lelaki tersebut berkata bahwa ia telah bertaubat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.

Jawab:

Dalam hal ini ada beberapa perkara,

Pertama: yang shahih dari pendapat para ulama, tidak diperbolehkan seorang lelaki baik-baik menikahi seorang wanita pezina. Dan tidak diperbolehkan wanita baik-baik menikahi lelaki pezina. Jika keadaannya si wanita adalah pezina dan si lelaki pezina namun sudah taubat, maka perlu di lihat keadaan si wanita. Jika si wanita tersebut juga sudah bertaubat, maka hilanglah sifat yang membuat haram pernikahannya tadi (sehingga menjadi boleh, pent). Namun jika si wanita tersebut belum bertaubat, padahal si lelaki sudah bertaubat, maka tidak diperbolehkan menikahinya.

Kedua: andai si wanita pezina tersebut sudah bertaubat, jika ia tidak hamil dari perzinaan yang ia lakukan, lalu mereka menikah, ini tidak mengapa. Akadnya sah. Namun jika mereka menikah sedangkan si wanita tersebut sedang hamil dari hasil perzinaan, maka yang shahih dari pendapat para ulama, akadnya tidak sah. Tidak sah melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang hamil yang dihasilkan dari persetubuhan tanpa nikah (baca: zina). Saya katakan “tanpa nikah” di sini untuk membedakan dengan kasus rujuk, karena dalam kasus rujuk ini si wanita hamil karena persetubuhan dengan nikah yang sah. Dan untuk kasus yang ditanya tadi (jika akad dilakukan ketika hamil) maka akadnya tidak sah dan wajib mengulang akad ketika si wanita sudah melahirkan.

Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=Z8QrMZhs5m8

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22305-fatwa-ulama-berzina-lalu-menikah-sahkah-pernikahannya.html

Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme

Orang Tua, Engkau Mempunyai Tugas yang Berat

Tugas terbesar dan terberat orang tua bukanlah menjadikan anaknya semata-mata memiliki banyak harta dan berkedudukan tinggi, tetapi tugas terbesar orang tua adalah menjadikan anak tersebut dekat dengan Allah dan memiliki akidah yang baik dan benar.

Jika ada anak-anak dan pemuda yang memiliki akidah tidak benar, seperti mengarah kepada pemikiran liberal atau pluralisme, sebaiknya jangan menyalahkan mereka secara total, apalagi di-bully habis-habisan. Mereka adalah anak-anak dan pemuda yang sedang mencari jati diri dan lebih banyak butuh bimbingan daripada celaan atau cacian.

Bisa jadi ini adalah kesalahan dan kelalaian kita bersama terhadap pendidikan akidah dasar pada anak-anak dan remaja. Sebagai orang tua bahkan kita sendiripun kadang lalai mempelajari dan mendakwahkan cara beragama yang benar kepada mereka. Jangan sampai buku-buku dan bacaan akidah tersimpan rapi di rumah tetapi sangat jarang bahkan tidak pernah disentuh.

Orang Tua, Jangan Hanya Fokus Pada Pendidikan Dunia Saja

Bisa jadi sebagian orang tua hanya fokus pada pendidikan dunia semata, sedangkan pendidikan agama benar-benar lalai. Bahkan demi mengejar pendidikan dunia tersebut, orang tua sampai mendatangkan guru les matematika atau fisika ke rumah, akan tetapi guru ngaji dan guru agama tidak diperhatikan sama sekali.

Orang Tua, Sadarilah Bahaya Pemikiran Liberal dan Pluralisme pada Anak

Paham liberal dan pluralisme secara sederhana adalah suatu pemikiran yang bebas dalam menafsirkan agama. Mereka beranggapan bahwa semua agama itu sama dan tidak ada kebenaran mutlak pada satu agama. Paham ini tidak hanya menimpa orang dewasa saja, tetapi saat ini mulai memasuki pikiran anak-anak. Padahal  sangat jelas, ajaran Islam menolak dan bertentangan dengan paham ini. dalil-dalilnya sudah sangat jelas dan mudah didapatkan  di dalam ajaran dasar-dasar Islam. Ini bukti bahwa kita benar-benar mulai lalai akan pendidikan akidah dan agama bagi anak-anak dan para pemuda.

Orang Tua, Lebih Awaslah Terhadap Perilaku Anak di Sosial Media

Terlebih di zaman modern sekarang ini, berkembangnya internet dan sosial media akan semakin memudahkan anak dalam  mendapatkan akses berbagai informasi. Orang tua benar-benar harus memperhatikan akidah anak-anak dan para pemuda. Inilah yang dicontohkan oleh nabi Ya’qub, beliau benar-benar memastikan akidah dan agama anak-anak beliau.

Allah berfirman mengenai kisah nabi Ya’qub,

ﺃَﻡْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺷُﻬَﺪَﺍﺀَ ﺇِﺫْ ﺣَﻀَﺮَ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺒَﻨِﻴﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻧَﻌْﺒُﺪُ ﺇِﻟَٰﻬَﻚَ ﻭَﺇِﻟَٰﻪَ ﺁﺑَﺎﺋِﻚَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﺇِﺳْﻤَﺎﻋِﻴﻞَ ﻭَﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺇِﻟَٰﻬًﺎ ﻭَﺍﺣِﺪًﺍ ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﻟَﻪُ ﻣُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab:”Kami akan menyembah Sesembahanmu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrahim, Isma’il, dan Ishak, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya”. (Al-Baqarah/2:133)

Dalam Tafsir Al-Baghawi dijelaskan bahwa nabi Ya’qub benar-benar ingin memastikan anak dan cucunya memiliki akidah yang baik. Beliau mengumpulkan semua anak dan cucunya menjelang kematiannya untuk memastikan hal ini. Al-Baghawi berkata,

ﻓﺠﻤﻊ ﻭﻟﺪﻩ ﻭﻭﻟﺪ ﻭﻟﺪﻩ ، ﻭﻗﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﻗﺪ ﺣﻀﺮ ﺃﺟﻠﻲ ﻓﻤﺎ ﺗﻌﺒﺪﻭﻥ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ

“Nabi Ya’qub pun mengumpulkan anak  dan cucunya, kemudian bertanya kepada mereka tatkala akan datang ajalnya, apa yang akan mereka sembah setelah kematiannya.” (Lihat Tafsir Al-Baghawi)

Orang Tua, Contohlah Orang-Orang Shalih Terdahulu Dalam Mendidik Anaknya

Demikian juga orang-orang shalih sebelum kita, semisal Luqman yang menasehati anak-anaknya agar menjaga akidah dan agama mereka, jangan sekali-kali menyekutukan Allah atau berbuat syirik. Luqman berkata kepada anak-anaknya

ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻟُﻘْﻤَﺎﻥُ ﻟِﺎﺑْﻨِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻌِﻈُﻪُ ﻳَﺎ ﺑُﻨَﻲَّ ﻟَﺎ ﺗُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ۖ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙَ ﻟَﻈُﻠْﻢٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Orang Tua, Jangan Takut Menolak Paham Liberal dan Pluralisme

Untuk menolak dan membantah paham liberal dan plutalisme cukup mudah dan jelas, karena ada dalam pelajaran agama yang sangat mendasar. Jika sampai anak-anak dan pemuda kita tidak paham, berarti kita memang benar-benar lalai akan hal ini.

Misalnya untuk membantah paham mereka bahwa semua agama itu sama dan kebenaran pada satu agama itu tidaklah mutlak yang mereka kampanyekan dengan bertopeng toleransi, bijaksana dan merangkul/menyenangkan semua pihak. Sangat jelas bahwa dalam ajaran Islam, agama yang diridhai adalah Islam saja, sedangkan agama selain Islam tidak benar.

Yaitu firman Allah,

ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺒْﺘَﻎِ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺩِﻳﻨًﺎ ﻓَﻠَﻦْ ﻳُﻘْﺒَﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮِﻳﻦَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

Orang Tua, Tanamkan Sejak Dini Bahwa Hanya Islam Agama yang Benar

Hanya Islam agama yang benar, sehingga untuk menyenangkan dan merangkul agama lain bukan dengan membuat pernyataan semua agama sama baiknya dan sama-sama benar, akan tetapi dengan menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang adil dan indah, tidak memaksakan ajaran kepada orang lain serta larangan keras menzalimi agama lain tanpa uzur syariat. Oleh karena itu, sebagai bentuk kasih sayang kepada manusia, Islam mengajak agar manusia memeluk Islam.

Contohnya adalah perintah Allah agar adil meskipun kepada orang non-muslim sekalipun

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir  As-Sa’diy  rahimahullah menafsirkan,

لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka, karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu Hazm]

Demikian juga dasar-dasar Islam lainnya. Satu-satunya kebenaran adalah dari nabi Muhammad shallallahualaihiwasallam dan Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya.

Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻧَﻔْﺲُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻻَ ﻳِﺴْﻤَﻊُ ﺑِﻲْ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻷُﻣَّﺔِ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻱٌّ ﻭَﻻَ ﻧَﺼْﺮَﺍﻧِﻲٌّ ﺛُﻢَّ َﻳﻤُﻮْﺕُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺆْﻣِﻦْ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱْ ﺃُﺭْﺳِﻠْﺖُ ﺑِﻪِ ﺇِﻻَّ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengarku; Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia adalah penghuni neraka.” (HR Muslim)

Mari kita giatkan  kembali dakwah serta pelajaran akidah kepada anak-anak dan pemuda kita. Semoga Allah menjaga mereka dan kaum muslimin dari akidah dan pemahaman yang rusak seperti pemahaman liberal dan pluralisme.

Yogyakarta tercinta, dalam keheningan jaga malam

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
A

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30123-menjaga-anak-dan-pemuda-dari-paham-liberal-dan-plurarisme.html

Menjawab Propaganda Menghalalkan Zina Dengan Konsep “Milkul Yamin”

Orang liberal yang mengaku-ngaku sebagai muslim terus berusaha terus merusakan syariat dari dalam. Kali ini mereka berusaha “menghalalkan zina” dengan memakai konsep “milkul yamin”. Bisa jadi orang awam terpengaruh karena ada istilah-istilah Arab yang terkesan ilmiah. Begitu juga dengan istilah “non-marital” (tidak menikah) yang dipakai agar terkesan ilmiah.

Sebenarnya bukan hanya saat ini saja pemikiran seperti ini muncul. Pemikiran liberal ini muncul sejak lama dan selalu menghadirkan orang baru dan gaya baru untuk mengusungnya. Sejak dahulu mereka umumnya memakai dua “pemikiran” untuk menghalalkan zina yaitu bolehnya berhubungan badan di luar pernikahan

1. “Milkul yamin” (Tuan boleh menggauli budak perempuannya)

Membolehkan berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu tidak tepat. Orang yang merdeka tentu berbeda dengan budak. Terdapat hikmah besar mengapa seorang tuan boleh menggauli budak perempuannya di antaranya tuannya akan lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada budaknya. Apabila budak perempuan itu hamil, budak tersebut akan melahirkan anak tuannya yang status anaknya merdeka dan mengangkat derajat sang ibu, lalu status budak perempuan menjadi “ummu walad” yang akan merdeka apabila tuannya telah meninggal. Masih banyak hikmah lainnya di balik syariat Allah ini.

2. Konsep mut’ah (boleh berhubungan badan suami istri dalam jangka waktu sesuai perjanjian, misalnya sehari, sepekan, sebulan, setahun. Setelah jangka waktu itu, maka mereka berpisah. Konsep ini disebut juga “nikah mut’ah”)

Memakai dalil ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat ini di hapus (mansukh).

Berikut penjelasan lebih rinci bahwa pemikiran di atas tidak tepat

1. Milkul yamin (Tuan boleh menggauli budak perempuannya)

Membolehkan berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu tidak tepat.

Penyebutan “milkul Yamin” terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran, Salah satunya di mana Allah berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS Al-Mukminun: 5-6)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan maksud “milkul yamin” yaitu budak perempuan, beliau berkata:

من الإماء المملوكات

“Yaitu budak perempuan yang ia miliki.” [Lihat Tafsir As-Sa’diy]

Orang liberal menafsirkan sendiri ayat ini dengan asal-asalnya serta membolehkannya berhubungan badan di luar nikah (membolehkan berzina), padahal tasfir ayat ini justru TIDAK membolehkan berzina.

Al-Qurthubi berkata menjelaskan tafsir ayat ini:

وهذا يقتضي تحريم الزنا وما قلناه من الاستنماء ونكاح المتعة

“Hal ini berkonsekuensi haramnya zina, demikian juga haramnya onani/masturbasi dan nikah mut’ah.” [Lihat Tafsir Al-Qurthubi]

2. Konsep mut’ah 

Memakai dalil ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat ini di hapus (mansukh).

Terdapat beberapa dalil yang menyebutkan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan hingga hari kiamat. Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .

 “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[HR. Muslim]

Beliau juga berkata,

أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا

 “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”. [HR. Muslim]

Al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa larangan nikah mut’ah adalah Ijma’ ulama. Beliau berkata,

ثبت أن نكاح المتعة كان جائزاً في أول الإسلام ، ثم ثبت أنه نسخ بما ذكر من الأحاديث في هذا الكتاب وفى غيره ، وتقرر الإجماع على منعه

“Di awal-awal Islam nikah mut’ah hukumnya boleh, kemudian terdapat nash yang menghapusnya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits dalam kitab ini dan telah ada ijma’ larangan hal ini.” [Ikmalul Mu’allim 4/275]

Sebagai penutup, kami ajak merenung dan berpikir bagi mereka yang membolehkan berhubungan badan di luar pernikahan (memperbolehkan berzina). Apakah mereka punya anak perempuan atau punya saudara perempuan? Relahkan anak perempuan dan saudara perempuan mereka dizinahi dan di luar status pernikahan? Tentu tidak kan. Perhatikan hadits berikut:

Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”.
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, merekaberkata, “Diam kamu, diam!”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.

“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.

Setelah kejadian tersebut, pemuda itu TIDAK PERNAH lagi tertarik untuk berbuat zina”. [HR. Ahmad, shahih, Ash-Shahihah I/713 no. 370]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51115-menjawab-propaganda-menghalalkan-zina-dengan-konsep-milkul-yamin.html

Syahwat Liberal

Kehidupan modern yang ditandai dengan pesatnya kemajuan sains dan teknologi benar-benar telah membuat manusia menjadi lupa diri. Bagai pedang bermata dua, capaian-capaian kemajuan itu memang tidak selalu membawa angin segar bagi perbaikan kondisi spiritual (keimanan) manusia. Kemudahan-kemudahan hidup dengan teknologi yang semakin canggih seringkali membuat manusia kian mudah terjerumus kepada pelanggaran dan malas mengerjakan beban agama. Cara pandang materialis dan dunia oriented menjadi lebih dominan daripada cara pandang keimanan dan tujuan akhirat.

Ditambah lagi, kemajuan sains dan teknologi selama ini didominasi oleh orang-orang Barat yang berfaham materialis-liberalis dan tidak mengenal agama. Bagi orang yang beriman lemah, kenyataan ini semakin menambah beban fitnah keimanan mereka. Akhirnya tidak hanya sains dan teknologi orang-orang Barat yang dipakai, namun asas pemikiran, ideologi, moral, budaya, hukum dan keyakinannya turut diadopsi sedemikian rupa.

Perbudakan Kepada Hawa Nafsu

Revolusi Perancis secara khusus, dan revolusi Industri di Eropa secara umum memang telah berhasil membebaskan manusia dari perbudakan di bawah hegemoni Gereja dan tirani feodalisme, serta menciptakan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi. Namun pada saat yang sama, sebetulnya mereka justru terjatuh pada kubangan perbudakan yang lebih parah dari itu; yaitu perbudakan kepada syahwat dan hawa nafsu yang semakin menyeret mereka pada kekufuran, moralitas yang rendah, prinsip dan prilaku yang hina hingga pada batas sederajat dengan hewan, atau lebih dari itu. Wal’iyaadzu billah. Allah berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS. At Tin [95]: 4-5)

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf [7]: 179)

Syaikhul Islam berkata,

المحبوس من حبس قلبه عن ربه تعالى، والمأسور من أسره هواه (الوابل الصيب) 109

“Orang yang terpenjara sebenarnya adalah orang yang hatinya terhalang dari Rabbnya. Dan orang yang tertawan adalah orang yang tertawan oleh hawa nafsunya.” (al Wâbil al Shayyib: 109)

Mereka melegalkan kekurufan dan penghinaan terhadap agama atas nama kebebasan berfikir dan berkeyakinan, menganggap biasa prilaku dan akhlak menyimpang atas nama kebebasan individu dan memerangi penerapan syariat Allah atas nama kebebasan berpolitik. Gambaran hidup mereka seperti yang Allah terangkan dalam firman-Nya:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23) وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nyadan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45]: 23-24)

Dari semangat mengikuti hawa nafsu inilah sebetulnya keinginan untuk bebas-merdeka dari segala aturan muncul, terutama aturan agama. Kebebasan berekspresi dan berkeyakinan yang belakangan ini kerap dijadikan alasan untuk melegalkan segala pelanggaran dan penistaan terhadap agama adalah imbas dari cara pandang ini. Padahal, Islam sangat mewanti-wanti agar manusia tidak mengikuti hawa nafsu. Karena hawa nafsu selalu mengajak kepada kesesatan. Dan kesesatan kelak akan berakibat petaka, di dunia, begitu pula di akhirat.

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,”(QS. Maryam [19]: 59)

Allah juga berfirman (yang artinya):

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”(QS. Al Mu`minun [23]: 71)

Mempertuhankan Akal

Akal merupakan karunia Allah yang sangat menakjubkan dan istimewa. Allah memuliakan dan mengangkat derajat manusia melebihi makhluk-makhluk Allah yang lain dengan akalnya. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

 “Dan sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan akal.(Lihat Tafsir al Baghawy: 5/108)

Karena karunia inilah diantaranya mengapa Allah membebankan tugas ibadah kepada manusia. Karena beban ibadah hanya mampu dikerjakan oleh makhluk yang berakal. Akal dengan fungsinya yang baik seharusnya dapat membuat manusia sadar diri bahwa segala fenomena alam sekitar yang disaksikan, didengar, dan dirasakannya adalah tanda yang sangat jelas atas sang Pencipta dan karenanya manusia harus tunduk dan patuh kepada-Nya. Inilah poin terpenting yang sering Allah singgung seperti dalam firman-Nya, “Tidakkah kalian berfikir?” “Tidakkah kalian berakal?” dan lafadz-lafadz yang lainnya yang menyinggung soal fungsi akal manusia yang seharusnya sampai kepada satu pemikiran bahwa Allah satu-satunya yang harus diibadahi dan ditaati.

Jika manusia telah sampai pada esensi ini, maka selanjutnya, akal tidak dapat dijadikan sebagai sumber setiap kebenaran. Karena akal, seistimewa apa pun ia, tetap terbatas dalam mengetahui kebenaran. Untuk itulah Allah mengutus seorang Rasul dengan membawa wahyu dari-Nya dengan tujuan mengabarkan kepada manusia esensi-esensi lain yang tidak dapat diketahui oleh akal semata.

Syaikhunâ Dr. Sa’ad bin Nashir al Syatsry mengatakan, “Jika kebenaran disumberkan kepada akal, maka akal siapakah yang dipakai? Akal berapa orang? Satu, dua, tiga atau berapa? Bahkan, akal satu orang pun dapat berubah dari masa ke masa. Betapa sering seseorang meyakini sebuah kebenaran berdasarkan akalnya pada suatu waktu, dalam beberapa waktu kedepan akalnya berubah meyakini kebenaran yang lain.”

Mensumberkan segala kebenaran kepada akal semata berarti menempatkan akal sebagai Tuhan yang disembah selain Allah. Dengan perbuatan itu manusia berarti telah melepaskan dirinya dari penyembahan (ubudiyyah) kepada Allah, dan menuju kepada penghambaan kepada akal yang hakikatnya adalah hawa nafsu yang ditunggangi oleh setan. Maka, mempertuhan akal sama dengan mempertuhan hawa nafsu dan setan, musuh manusia yang selalu berusaha membuat manusia menyimpang dari jalan Allah.

Manusia dengan akalnya memang mampu mencapai kebenaran. Namun kebenaran akal ditempatkan setelah kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Ahli iman menjadikan wahyu sebagai pokok dan akal sebagai cabang yang mengikutinya dalam memahami kebenaran. Oleh karena itu, perhatikan firman Allah tentang orang-orang kafir yang kelak di akhirat mengungkapkan penyesalan mereka karena tidak mengikuti kebenaran:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk [67]: 10)

Orang-orang kafir itu pertama mengatakan, “sekiranya kami mendengar” maksudnya mendengar wahyu yang disampaikan oleh para Rasul Allah. Kemudian “memikirkan” maksudnya memikirkan dengan akal dalil-dalil rasional tentang kebenaran yang dikandung oleh wahyu tersebut. Dari sini, kebenaran wahyu sebetulnya didukung oleh akal yang sehat dan selamat dari dari hawa nafsu dan syahwat.

Allah sering menyatakan dalam Al Quran bahwa sebab kesesatan orang-orang kafir itu diantaranya karena mereka tidak menggunakan akalnya dalam memahami ayat-ayat Allah baik berupa kitab suci atau seluruh ciptaannya yang menakjubkan. Perhatikan firman Allah berikut ini:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf [7]: 179)

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami (dengan akal). Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqan [25]: 44)

Ini membuktikan, bahwa orang yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, hakikatnya adalah orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan baik. Orang-orang yang mempertuhan akalnya adalah orang yang menzalimi akalnya sendiri. Karena ia menggunakan akalnya pada tempat yang tidak semestinya.

Memancangkan Kembali Prinsip Ubudiyyah

Intinya, pemikiran liberal adalah syahwat menyesatkan yang ingin mencerabut keimanan dari hati-hati manusia, menghancurkan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk menghamba kepada-Nya. Untuk itu, jalan satu-satunya untuk menangkal pemikiran ini baik dari diri kita sendiri dan orang lain adalah dengan senantiasa menguatkan keyakinan kita terhadap prinsip ubudiyyah. Bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, untuk tunduk, taat, cinta, berserah diri, berharap dan takut kepada yang Mahakaya, Mahaterpuji, Mahapencipta dan Mahasempurna. Karena kita hakikatnya makhluk lemah dan miskin. Kehidupan kita sangat tergantung kepada pencipta kita.

Dengan prinsip ubudiyyah ini, kita akan menjadi manusia seutuhnya. Menjadi mulia tanpa kesombongan, berbahagia tanpa menuruti hawa nafsu dan sukses tanpa batas waktu. Wallahu a’lam.

Diselesaikan di Rancabogo, Subang, 27 Februari 2013

Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc (Alumni Universitas Al Azhar Mesir)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/12770-syahwat-liberal.html

Pentingnya Mempelajari Bahasa Arab

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan dalam diri kita bahwa jalan yang memberi kita jaminan keselamatan dan kenikmatan Islam adalah satu dan tidak berbilang-bilang. Jalan tersebut yaitu mengilmui dan mengamalkan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipahami oleh para sahabatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2/899) [1]

Dan Allah Ta’ala telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (QS. Yusuf [12]: 2)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

”Karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas, dan paling banyak pengungkapan makna yang dapat menenangkan jiwa. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia ini (yaitu Al-Qur’an, pen.) diturunkan dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa Arab, pen.).” [2]

Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi, memang sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192( نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194( بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195(

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam,  dia dibawa turun oleh Ar-ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 192-195)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia. Bahasa Rasul yang diutus kepada mereka dan menyampaikan dakwahnya dalam bahasa itu pula. Bahasa yang jelas dan gamblang. Dan renungkanlah bagaimana berkumpulnya keutamaan-keutamaan yang baik ini. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mulia, diturunkan melalui malaikat yang paling utama, diturunkan kepada manusia yang paling utama pula, dimasukkan ke dalam bagian tubuh yang paling utama, yaitu hati, untuk disampaikan kepada umat yang paling utama, dengan bahasa yang paling utama dan paling fasih yaitu bahasa Arab yang jelas.” [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab. Maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah Ta’ala dan menegakkan syiar-syiar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” [4]

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama. Hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu wajib, dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fiqh: sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan melakukan sesuatu (yang lain), maka sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga menjadi wajib. Namun di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” [5]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

فعلى كل مسلم أن يتعلم من لسان العرب ما بلغه جهده حتى يشهد به أن لا إله إلا الله وأن محمد عبده ورسوله ويتلوا به كتاب الله …

“Maka wajib atas setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab sekuat kemampuannya. Sehingga dia bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan dengannya dia bisa membaca kitabullah … “ [6]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Qur’an. Kita tidak akan bisa memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bekal bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap berbagai permasalahan agama.

***

Disempurnakan ba’da dzuhur, Rotterdam NL 24 Sya’ban 1438/20 Mei 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
A

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31097-pentingnya-mempelajari-bahasa-arab.html

Keutamaan Belajar Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu

Sebagian umat Islam tidak perhatian bahkan kurang perhatian dengan bahasa Arab. Padahal bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran dan Hadits. Sebagian kaum muslimin semangat belajar bahasa Inggris karena sangat bermanfaat untuk dunianya. Hendaknya juga semangat belajar bahasa Arab karena ada beberapa manfaat:

  1. Lebih mudah memahami dan menghapal Al-Quran dan bermunajat dengan Allah
  2. Lebih mudah memahami dan menghapalkan hadits
  3. lebih mudah memahami dan menghapalkan doa-doa serta fokus dan menjiwai makna doa
  4. lebih mudah memahami ilmu agama karena banyak kaidah agama dibangun di atas ilmu nahwu dan bahasa Arab
  5. lebih khusyu’ ketika shalat dan membaca Al-Quran serta lebih merasakan kenikmatan dalam ibadah

Dalil-dalil Keutamaan bahasa Arab sangat banyak, di antaranya firman Allah

Allah  ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (yusuf:2)

Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan bahasa Arab beliau berkata menafsirkan ayat ini,

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس؛ فلهذا أنزل أشرف الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل، بسفارة (8) أشرف الملائكة، وكان ذلك في أشرف بقاع الأرض، وابتدئ إنزاله في أشرفشهور السنة وهو رمضان، فكمل من كل الوجوه

 “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusiaOleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”[Tafsirul Qur’an Al-Adzim 4/366]

Para salaf dan ulama pun banyak yang memotivasi agar kita semangat belajar bahasa Arab. Umar bin Khattab menegaskan bahwa bahasa Arab adalah bagian dari agama. Beliau berkata,

تعلموا العربية فإنها من دينكم 

Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqtidha’ shiratal mustaqim 527-528 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql]

Belajar bahasa Arab juga merupakan sarana untuk lebih memahami agama. Barang siapa yang ingin mendalami agama dan mengajarkan agama ke banyak orang (menjadi ustadz) hendaknya belajar bahasa Arab. Imam Asy-Syafi’i berkata,

من تبَحَرَّ فى النحو اهتدى إلى كل العلوم

 “Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk memahami seluruh ilmu.” [Syadzarat ad-Dzahab, hlm. 1/321]

Hendaknya kaum muslimin tidak memandang remeh bahasa Arab, dalam artian menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang tidak diperhatikan dan lebih fokus dan menaruh perhatian ke bahasa lainnya. Imam Asy Syafi’i berkata,

سمى الله الطالبين من فضله في الشراء والبيع تجاراً، ولم تزل العرب تسميهم التجار ثم سماهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بما سمى الله به من التجارة بلسان العرب، والسماسرة اسم من أسماء العجم، فلا نحب أن يسمى رجل يعرف العربية تاجراً، إلا تاجراً، ولا ينطق بالعربية فيسمي شيئاً بأعجمية، وذلك أن اللسان الذي أختاره الله عز وجل لسان العرب، فأنزل به كتابه العزيز وجعله لسان خاتم أنبيائه محمد صلى الله عليه وسلم، ولهذا نقول: ينبغي لكل أحد يقدر على تعلم العربية أن يتعلمها، لأنها اللسان الأولى، بأن يكون مرغوباً فيه من غير أن يحرم على أحد أن ينطق بأعجمية.

“Allah  menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah  melalui jual-beli (berdagang) dengan nama tujjar  (para pedagang-pent), kemudian Rasululah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah  telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa Arab. Sedangkan “samaasiroh” adalah nama dari bahasa ‘ajam (selain Arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa Arab menamai para pedagang kecuali dengan nama “tujjar” dan janganlah seseorang yang berbahasa Arab lalu ia menamakan sesuatu dengan bahasa ‘ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah , sehingga Allah  menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa penuntup para nabi, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan sepantasnya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain.”

فقد كره الشافعي لمن يعرف العربية، أن يسمى بغيرها،

وأن يتكلم بها خالطاً لها بالعجمية

Imam Syafi’i membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia menamakan dengan selain bahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa ‘ajam .” (lihat Iqtidho’ shiratal mustaqim hal 521-522 jilid I).

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51084-keutamaan-belajar-bahasa-arab-dan-ilmu-nahwu.html

Pilihan Allah Itulah yang Terbaik

Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.

Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].

Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka[4].

Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].

Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:

  1. Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:
    {وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
    Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
  2. Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].
    Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].
  3. Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].
  4. Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan)dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].
  5. Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,
    {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }
    Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
    Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6253-pilihan-allah-itulah-yang-terbaik.html